Good News

Selasa, 04 November 2014

SPIRITUAL FORMATION



BAGIAN I  STUDI FORMASI ROHANI
Formasi berarti susunan, sedangkan rohani berarti segala sesuatu yang berhubungan dengan roh. Roh adalah sesuatu yang ada dalam tubuh yang diberikan Tuhan sebagai penyebab adanya hidup atau kehidupan;nyawa.[1] Dalam bukunya Renovation of Heart, Dallas Willard mengatakan:
Formasi spiritual bagi orang Kristen pada dasarnya mengacu pada proses yang digerakan oleh Roh dalam membentuk dunia batiniah manusia dengan cara sedemikian rupa sehingga serupa dengan keberadaan batiniah Kristus sendiri…Formasi spiritual Kristen difokuskan sepenuhnya kepada Yesus.[2]


Hal ini berarti secara sederhana, formasi rohani adalah suatu susunan rohani yang bertujuan menjadikan orang percaya serupa atau seperti Yesus. Formasi rohani bertujuan untuk menumbuhkan spiritual seseorang dalam mengenal lebih dalam pribadi Tuhan Bapa, Yesus Kristus dan Roh Kudus. Formasi rohani diajarkan berdasarkan pedoman Alkitab dan diambil dari pengajaran Yesus Kristus di atas bukit kepada murid-murid-Nya. Dalam kitab Injil Matius, dalam pasal 3 dan 4 menceritakan tentang pembaptisan Yesus oleh Yohanes pembaptis dan pencobaan Yesus di padang gurun setelah berpuasa 40 hari 40 malam. Penulis akan menuliskan kembali apa yang diperoleh dalam kelas perkuliahan dan apa yang menarik dan menjadi berkat bagi penulis dan bagi orang percaya lainnya.
Dalam pasal 4 kitab Injil Matius, kita dapat menemukan prinsip-prinsip tentang disiplin rohani yaitu disiplin Firman Tuhan. Kita diingatkan untuk membaca, mendengar, belajar, merenungkan dan menghafal Firman Allah. Hal ini diilustrasikan kegiatan diatas sebagai lima jari tangan dan apabila salah satunya tidak dilakukan maka kekuatan untuk mempertahankan apa yang dimiliki dapat direbut oleh iblis. Disiplin Firman Tuhan ini menjadikan Yesus dapat dengan kuat melawan godaan iblis dan iblis pun menggunakan kebenaran Allah yang dimanipulasi dan disampaikan kepada Yesus yang pada saat itu telah mengalami keletihan dan kelelahan karena taat berpuasa. Yesus menjawab: "Ada tertulis: Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah" (Mat 4:4). Artinya kehidupan sesungguhnya adalah karena kita menjadi hidup karena pengenalan kita tentang kebenaran Firman Tuhan. Tafsiran yang lain tentang pencobaan di padang gurun yaitu Yesus sebagai manusia dicobai dengan keinginan mata, keinginan daging dan keangkuhan hidup. Sering dikhotbahkan dengan istilah “3Ta” (wanita/pria, tahta dan harta). Hal ini juga menjadi pencobaan bagi manusia. Yang menarik Yesus sebagai manusia tidak memakai atribut ke-AllahanNya untuk mengatasi pencobaan tetapi bereaksi dan bertindak sesuai dengan Firman Tuhan dan membuktikan manusia pun sanggup melewati pencobaan itu dengan disiplin rohani dan ketergantungan dengan BapaNya.
Ada berbagai macam cara menikmati Firman Allah yaitu:
a.         Mendengar  Firman Tuhan
Dalam Matius 17:5, “Dan tiba-tiba sedang ia berkata-kata turunlah awan yang terang menaungi mereka dan dari dalam awan itu terdengar suara yang berkata: “Inilah Anak yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan, dengarkanlah Dia.” Hal yang menarik untuk kedua kalinya Bapa berkata kepada anakNya dimana sebelumnya Ia berkata kepada Yesus setelah dibaptis oleh Yohanes Pembaptis, katanya: “Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan” (Mat 3:3). Penekanannya ialah dengarkanlah Dia. Mengapa kita harus mendengarkan Dia?. Karena Yesus adalah anak yang dikasihi dan kepada-Nyalah Bapa berkenan. Yesus membuktikan bahwa Ia adalah anak Allah dengan melewati pencobaan padang gurun. Tujuan kita mendengarkan Firman Allah adalah untuk mendengar suara Dia, yaitu Yesus sendiri. Kita mendengarkan Firman Allah karena kita adalah “manusia Roh” yang tinggal dalam tubuh ini. Sebagaimana kita selalu makan nasi untuk tubuh jasmani kita demikian juga kita membutuhkan makanan rohani (Firman Tuhan) untuk batiniah (roh kita yang dibaharui dengan Roh Kudus).
b.      Membaca Firman Tuhan
“Berbahagialah ia yang membacakan dan mereka yang mendengarkan kata-kata nubuat ini, dan yang menuruti apa yang ada tertulis di dalamnya, sebab waktunya sudah dekat” (Wahyu 1:3).  Penulis setuju apabila kita membaca Firman Tuhan dengan bersuara karena itu sangat membantu kita untuk disiplin mendengar dan fokus terhadap Firman Tuhan. Melalui pendengaran Firman Tuhan maka timbullah iman dan untuk itulah tujuan pembacaan Firman Tuhan. Setiap orang percaya wajib membaca Firman Tuhan dalam kehidupannya untuk bertumbuh ke arah Kristus.
c.       Belajar Firman Tuhan
Hanya dengan membaca Firman Tuhan tidaklah cukup karena setiap kita harus belajar Firma Tuhan yang bertujuan untuk memberitakan perkataan kebenaran. “Usahakanlah supaya engkau layak di hadapan Allah sebagai seorang pekerja yang tidak usah malu, yang berterus terang memberitakan perkataan kebenaran itu” (2 Tim 2:15). Belajar kebenaran dan melakukannya maka kebenaran itu akan memerdekaakan kita dan menjauhkan kita dari pengajaran sesat dan mengetahui pengajaran yang sehat dan benar. Belajar Firman Tuhan bertujuan untuk mengenal Allah lebih dalam (take me deeper and draw near again with Him), sebagaimana perumpamaan Tuhan Yesus tentang pokok anggur. Apalah gunanya buah yang segar pada ranting apabila sudah terlepas dari batangnya, apalagi ranting yang kering, kedua-duanya tidak berguna, kecuali bila ia bergantung pada batang. Karena batang itu dasar pokok kebenaran dan Yesus sendiri dan ranting itu adalah orang percaya (Yoh 15:1-8).
d.      Merenungkan Firman Tuhan
“Janganlah engkau lupa memperkatakan kitab Taurat ini, tetapi renungkanlah itu siang dan malam, supaya engkau bertindak hati-hati sesuai dengan segala yang tertulis di dalamnya, sebab dengan demikian perjalananmu akan berhasil dan engkau akan beruntung” (Yosua 1:8). Firman Tuhan harus selalu direnungkan dalam setiap detak jantung kita bahkan di saat kita bekerja, mengendarai kendaraan dan sewaktu kita lagi bersantai sehingga pikiran dan hati  terfokus kepadaNya (Ulangan 6:4-9). Dalam keluarga orang percaya seharusnya Firman Tuhan adalah pelajaran terutama yang harus diberikan oleh orang tua secara terus menerus dan berulang-ulang kepada anak-anaknya. Sebagaimana orang-orang Yahudi melakukannya kepada anak-anaknya maka tidak heran kalau orang Yahudi menjadi bangsa yang tercerdas di muka bumi.
e.       Menghafal Firman Tuhan
Setiap orang percaya harus dapat menghafal Firman Tuhan dan melakukannya sehingga Firman Tuhan itu menjadi daging dan memimpin seluruh kehidupan orang percaya dalam kebenaran. Firman Tuhan menjadi awasan dalam bertindak dan juga Firman Tuhan mengandung banyak janjiNya, maka kita memiliki pengharapan dan iman serta beroleh kasih karunia karena kebenaranNya (Mazmur 109:9,11).
Selain kita disiplin Firman Tuhan, kita juga harus berdisiplin beribadah (Matius 4:10). “…Sebab ada tertulis: Engkau harus menyembah Tuhan, Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti.!” Disiplin ibadah ini diperlukan untuk lebih berfokus kepada Tuhan Yesus dan Yesus menegaskan bahwa kita hanya dapat beribadah kepada Allah saja, bukan kepada allah yang palsu dan tidak dikenal. Dalam ibadah kita menyembah Tuhan dengan hati yang tulus dan motivasi yang benar dan bertujuan menyenangkan Allah.
Richard Foster says,
To worship is to experience reality, to touch Life. It is to know, to feel, to experience the resurrected Christ in the midst of the gathered community . . . Worship is human response to divine initiative. . . Worship is our responding to the overtures of love from the heart of the Father. . . It is kindled within us only when the Spirit of God touches our human spirit.[3]

   Penulis menyimpulkan berdasarkan pendapat Richard Foster, bahwa penyembahan adalah suatu realitas pengalaman yang menyentuh kehidupan kita, suatu pengalaman kehadiran Kristus dalam suatu komunitas atau dalam ibadah. Penyembahan adalah respon yang mengekspresikan kasih yang bersumber dari hati Bapa dan hal ini terjadi karena Roh Allah menyentuh roh manusia. Jadi jika kita benar-benar mau berbakti kepada Yesus maka ibadah adalah gaya hidup orang Kristen tidak hanya pada saat berkumpul bersama-sama tetapi juga dalam kelompok kecil di dalam keluarga yang disebut mezbah keluarga.
Hal yang menarik dalam diskusi tentang perumpamaan penabur (Mat 13:3-23) adalah membicarakan tentang keadaan hati dalam menerima kebenaran Allah. Namun, melalui perumpamaan ini kita diajarkan ada empat tipe manusia yang mewakili jenis tanah. “Pada waktu ia menabur, sebagian benih itu jatuh di pinggir jalan, lalu datanglah burung dan memakannya sampai habis” (Mat 13:4). Taburan yang pertama ini mewakili para ahli Taurat. “Sebagian jatuh di tanah yang berbatu-batu, yang tidak banyak tanahnya, lalu benih itupun segera tumbuh, karena tanahnya tipis” (Mat 13:5). Taburan kedua ini mewakili orang banyak atau khalayak ramai. “Sebagian lagi jatuh di tengah semak duri, lalu makin besarlah semak itu dan menghimpitnya sampai mati” (Mat 13:7). Taburan ketiga ini mewakili para murid. “Dan sebagian jatuh di tanah yang baik lalu berbuah: ada yang seratus kali lipat, ada yang enam puluh kali lipat, ada yang tiga puluh kali lipat. Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengar!” (Mat 13:8-9). Taburan keempat ini diwakili oleh orang percaya dan melakukan Firman Allah dalam hidupnya sehingga mendapatkan kelimpahan berkat rohani dan jasmani.
   Khotbah Yesus di bukit dalam Injil Matius pasal 5 dikenal sebagai ucapan bahagia. Namun, yang terpenting pasal ini membicarakan tentang hakikat Kerajaan Allah. Kerajaan yang universal mencakup semua orang, tetapi kita mengetahui bahwa konteks Kerajaan Allah bukan merupakan kerajaan universal tetapi merupakan bagian Kerajaan Allah  yang  universal.

Kita adalah warga Kerajaan Allah karena kita adalah anak-anak Allah. Kita dapat menemukan ciri watak dan tabiat Kristiani dalam khotbah di bukit khususnya hubungan dengan Allah dan sesama manusia, dan berkat-berkat Allah yang dicurahkan atas diri mereka yang memperlihatkan ciri-ciri itu. Khotbah itu melukiskan perilaku yang dituntut Yesus dari setiap pengikut-Nya yang sekaligus warga Kerjaan Allah.[4]
   Kata “berbahagialah” dalam bahasa Yunani makarioi melampaui pengertian sekadar rasa senang. Kata itu mengandung unsur puji-pujian. Kita patut merasa iri kepada orang yang dimaksudkan dalam ucapan-ucapan bahagia itu. Kita akan membahas ucapan-ucapan bahagia ini sesuai dengan urutannya dalam Injil Matius, tetapi kita juga akan memperhatikan perbedaan-perbedaannya dengan catatan yang sejajar dengan Injil Lukas.[5] Jadi kata “Berbahagia” berarti seseorang yang hidup secara berkenan dihadapan Allah.
Pertama, "Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga” (ayat 3). Kata “miskin di hadapan Allah” yang dalam bahasa Yunani ptōchoi tō pneumati, yaitu kata sifat yang berarti miskin dalam roh (NRSV).[6] Pada waktu Yesus menyebut “orang miskin” bukan saja mempunyai arti orang yang tidak mempunyai apa-apa di bidang ekonomis, tetapi juga orang yang miskin di bidang religius.[7] Maka untuk menjadi “orang miskin di hadapan Allah”, kita harus mengakui kemiskinan spiritual kita, bahkan kebangkrutan kita di hadapan Allah. Seperti ditulis Calvin, “Hanya dia yang menganggap dirinya tak berarti sama sekali di mata Tuhan, lalu semata-mata bergantung pada anugerah Tuhan, hanya orang seperti itulah yang miskin di hadapan Tuhan!”.[8] Sampai sekarang syarat mutlak untuk menerima Kerajaan Allah ialah pengakuan akan kemiskinan kita di hadapan Allah. Allah masih tetap menyuruh orang-orang kaya pergi dengan tangan hampa (Lukas 1:53).
Kedua, “Berbahagialah orang yang berdukacita, karena mereka akan dihibur” (ayat 4). Kata “duka cita” dalam bahasa Yunani pentheō yaitu kata kerja aktif yang berarti berdukacita baik secara perasaan maupun perbuatan.[9] Kata ini berarti duka kesedihan karena kehilangan seseorang atau sesuatu yang sangat dicintainya: orang yang tertindas dan orang yang berkabung berdukacita karena mengalami kehilangan yang nyata dan menjadi sedih. Tetapi kata ini juga dapat berarti “pertobatan”; orang berdosa berdukacita karena dosa-dosanya, dan mereka sungguh ingin mengakhiri dosa mereka dan melayani Tuhan. Tuhan Allah akan menghapus air  mata dari setiap wajah, dan kematian serta perkabungan akan berakhir (Yesaya 25;Wahyu 21:4). Allah sudah mulai melaksanakan pembebasan ini dalam Yesus.[10]  Kita berduka cita karena dosa-dosa kita dan dosa-dosa orang lain yang hidup dalam dosa maka Allah yang mengampuni dosa memberikan kita penghiburan sejati.
Menurut Sinclair B. Ferguson, ada tiga hal yang perlu ditegaskan berkaitan dengan kata “berdukacita” yaitu:[11]
Pertama, ketika orang Kristen sadar akan dosanya, maka ia akan berdukacita atasnya. Jikalau tidak demikia, ia justru akan mendukacitakan Roh Kudus (Efesus 4:30). Tetapi tingkat kesadaran dan kedalaman jiwa dari perasaan berdukacita ini sangatlah beragam. Adanya kepekaan terhadap dosa tidak identik dengan keberadaan orang Kristen yang senangtiasa menyesali dosanya. Kedua, yang harus diingat bahwa kalimat-kalimat dari Ucapan Bahagia

tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Melalui Khotbah di Bukit, Tuhan Yesus mengajarkan tentang kehidupan orang Kristen secara menyeluruh. Kita hendaknya tidak memangkas ajaran-Nya dengan memisahkan satu dengan yang lainnya. Ketiga,  pengalaman  rohani  yang utuh juga mencakup peningkatan, bukan penurunan respon
 emosi kita terhadap Injil. Orang yang menjadi milik Kerajaan Allah mengenal sukacita besar, sebesar ia mengenal kesusahan besar. Ia mengenal ratapan memilukan, tetapi juga mengenal luapan kegembiraan atas kenyataan bahwa sekarang ia adalah milik Tuhan.
Ketiga, “Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi”  (ayat 5). Kata sifat Yunani praus berarti lemah lembut, rendah hati, baik budi, sopan dan dalamnya terkandung pengertian penguasaan diri, karena tanpa itu kualitas-kualitas itu mustahil ada.[12] Contoh nyata adalah Yesus sendiri, “Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan” (Matius 11:29). Kata yang dipakai untuk lemah lembut (praeis) mengandung makna lebih mendalam dibandingkan pemahaman yang biasa.Pengertiannya bukanlah sikap menyerah tanpa protes melainkan sikap yang tidak menonjolkan diri secar aktif. Karena itu, orang yang lemah lembut adalah orang yang menolak keangkuhan dan penonjolan diri dengan memilih sifat yang lebih lemah lembut.[13]
Keempat, “Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan” (ayat 6). Yesus menggunakan ungkapan tersebut untuk menggambarkan seberapa mendesaknya kebutuhan orang Kristen akan kebenaran Allah. Ungkapan “lapar dan haus akan kebenaran” memiliki beberapa pengertian. Yang terutama berarti rindu akan suatu hubungan baik dengan Allah, dan itu juga berarti rindu untuk dapat hidup dengan benar dihadapan-Nya. Tetapi selanjutnya, ini juga berarti rindu untuk dapat hidup berkenan kepada-Nya di dunia ini dan rindu untuk melihat hubungan sesama manusia dengan-Nya kembali dipulihkan. [14]
Kelima,“Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan beroleh kemurahan” (ayat 7). Kemurahan hati bermuara dalam dua sikap yang saling berbeda yaitu dalam mengasihi dan mengampuni. Kita mengasihi orang yang kita lihat kesakitan, menderita sengsara atau berdukacita tapi kita juga mengampuni orang-orang yang berbuat salah kepada kita yang menjahati kita.[15]Contoh nyata adalah perumpamaan orang Samaria (Lukas 10:30-37). Dalam perannya sebagai contoh dalam hal kemurahan hati, ada dua hal yang patut dicatat: 1) kemurahan hati yang menyembuhkan akibat dosa dalam hidup sesama manusia; dan 2) kemurahan hati tidak tersembunyi di belakang larangan-larangan Alkitab untuk melindungi diri sendiri dari pelayanan yang menuntut pengorbanan.[16]
Keenam, “Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah” (ayat 8). Makna “orang yang suci hatinya” alah orang yang suci secara batiniah, yaitu kualitas orang yang telah disucikan hatinya dari kotoran-kotoran moral, selaku kebalikan dari  kesucian secara ritual. Itulah sebabnya Raja Daud sadar, bahwa Tuhan berkenan akan “kebenaran dalam batin”, yang berdoa “jadikanlah hatiku tahir, ya Allah” (Mazmur 51:8,12;bdg. Mazmur 73:1;Kisah Para Rasul 15:9;I Timotius 1:5). Jadi orang yang suci hatinya itu adalah orang yang “amat bersungguh-sungguh”. Seluruh hidup mereka, baik yang pribadi maupun yang terbuka bagi orang lain, adalah transparan di hadapan Allah dan sesama manusia. Hati mereka termasuk pikiran dan motivasi  mereka adalah murni, tidak tercampur dengan sesuatu  yang cemar jelek, atau tersembunyi. Kemunafikan dan tipu daya  adalah tabu bagi mereka , tidak ada akal bulus pada mereka.[17]
Ketujuh, “Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah” (ayat 9). Menurut ucapan bahagia ini, orang Kristen dimaksudkan menjadi pembawa damai, baik dalam masyarakat maupun dalam gereja. Secara jelas pasti dalam seluruh ajaran Yesus dan para rasul-Nya, bahwa kita sendiri sekali-kali tidak boleh mencari gara-gara atau biang keladi suatu konflik. Sebaliknya, kita terpanggil untuk hidup dalam damai (I Korintus 7:15), kita harus giat mencari “kedamaian” (I Petrus 3:11), kita harus “berusaha hidup damai dengan semua orang” (Ibr. 12:14), kita harus “hidup dalam perdamaian dengan semua orang” (Roma 12:18).[18] Pada saat Yesus memuji orang yang membawa damai, Dia menentang semua sistem yang memisahkan antara manusia dengan manusia lainnya yang mengakibatkan tumbuhnya pertengkaran. Yesus menentang rasa nasionalisme orang-orang Yahudi yang sempit , dan hal ini diperkuat oleh jaminan bahwa para pembawa damai itu akan disebut “anak-anak Allah”, suatu sebutan yang dikhususkan oleh para rabi bangsa Israel. Etika Kristen tidak mengunggulkan bangsa yang satu atas bangsa yang lain. Ruang lingkup Injil bagi semua orang, dan hal ini harus memengaruhi hubungan antar manusia.[19] Penulis sependapat dengan perkataan “Berbahagialah orang yang berdamai dengan musuh mereka, sebagaimana Allah menyatakan kasih kepada musuh-musuh-Nya”.[20]
Kedelapan, “Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga. Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat. Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di sorga, sebab demikian juga telah dianiaya nabi-nabi yang sebelum kamu" (ayat 10-12). Mereka yang rindu akan kebenaran akan menderita bagi kebenaran yang mereka rindukan. Kita tidak usah heran kalau kebencian kepada orang Kristen meningkat, kita malahan harus heran bila itu tidak terjadi. Kemuridan berarti kesetiaan kepada Kristus yang menderita, dan itulah sebabnya sama sekali tidak mengherankan apabila orang Kristen suatu ketika dipanggil untuk menderita. Penderitaan adalah suatu sukacita dan pertanda anugerah-Nya.[21] Berbahagialah orang yang menderita karena praktik kesetiaan mereka kepada Yesus dan kepada keadilan.[22] Tuhan Yesus menerapkan disiplin penderitaan untuk setiap murid-Nya yang ingin mengikut Dia hingga akhir.
“Kamu adalah garam dunia” (matius 5:13a). Ye are the salt of the earth (KJV). Lebih tepatnya terjemahannya “kamu adalah garam bumi”. Bumi dalam bahasa Yunani adalah artinya soil, tanah atau bumi. Maksud Yesus bahwa kita adalah garam dunia adalah kita menjadi teladan dan pengaruh bagi orang di sekeliling kita (tanah) dan bukan sebaliknya “tanah atau bumi” mempengaruhi kita “garam” sehingga kehilangan keasinannya. Garam berfungsi untuk mengawetkan. Artinya memelihara kerohanian seseorang sehingga menjadi teladan seperti teladan Yesus yang menggarami dunia dengan perkataan dan perbuatan-Nya selama di dunia.
Hal memberi sedekah adalah ketulusan hati yang dianugerahkan. Bukanlah digerakkan oleh keinginan sendiri, tetapi dorongan hati yang mau memberi. Ada gereja yang tidak mewajibkan untuk memberi perpuluhan, padahal secara jelas Yesus mengatakan bahwa bahwa ahli Taurat tidak mengabaikan perpuluhan. Dalam hal pemberian, Yesus mengajarkan kita mempersembahkan seluruh kehidupan kita yang digambarkan tentang seorang janda yang member dari kekurangannya dan tindakannya itu adalah totalitas dalam memberi. Disiplin memberi menjadikan kita murah hati dan beroleh kemurahan, apalagi yang berhubungan dengan Kerajaan Allah.
Hal berdoa yang Yesus ajarkan dalam Matius 6:5-13 adalah berdoa sesuai dengan kehendak Allah. Hal yang menarik dalam doa “Bapa kami” adalah bagaimana Allah dimuliakan di Sorga dan di bumi. Doa ini mengandung janji-janji Tuhan dan semakin mendisiplinkan dalam formasi rohani khususnya dalam berdoa. Berdoa seringkali kita harus mendisiplinkan pikiran yang tidak berfokus dengan Tuhan. Posisi berdoa bukanlah masalah, tetapi yang menjadi masalah adalah kesiapan hati untuk menghadap Tuhan dalam doa. Dalam keheningan dalam doa, kita dapat mendengar suara-Nya, setelah kita telah berdoa permohonan kita. Saatnya Tuhan berbicara dan menyatakan diri-Nya dalam kasih, kebenaran dan kuasa. Hal yang menarik lainnya adalah “Karena Engkaulah yang empunya Kerajaan dan kuasa dan kemuliaan sampai selama-lamanya” (Mat 6:13b). Kita memasuki Kerajaan Allah dimana kuasa dan kemuliaan Allah dinyatakan.
“Karena itu Aku berkata kepadamu: Janganlah kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai ...” (Matius 6:25). Bila kita kuatir akan kehidupan berarti kita tidak percaya kepada Allah lagi dan hal tersebut adalah dosa. Kekuatiran menyebabkan kita memisahkan diri dari Allah baik secara pikiran maupun tindakan kita. Hal itu seumpama bagian dalam pikiran kita terbagi dua akibat kekuatiran. Hal yang menarik bahwa kekuatiran ini tidak dapat menambahkan sesuatu yang berarti dalam hidup, tetapi malah menimbulkan ketakutan sehingga iman kepada Allah tidak ada. Yesus mengajarkan kita untuk disiplin percaya kepada-Nya dan ia menyimpulkan, “Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu” (Matius 6:33).
“Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui?” (Mat 7:3). Kata “selumbar” atau butiran kecil adalah hal yang sering dilihat oleh orang yang memiliki sifat menghakimi. Namun, balok yang ada di mata secara pribadi tidaklah diketahuinya. Sebaiknya kita menyerahkan penghakiman itu kepada Allah, karena Yesus pun tidak menghakimi siapa pun selama Dia hidup di dunia sebagai manusia.

BAGIAN II  FORMASI ROHANI PRIBADI
Formasi rohani yang akan dilakukan oleh penulis yaitu disiplin Firman Tuhan, disiplin doa, disiplin memberi, disiplin puasa, disiplin bersaksi, disiplin beribadah, disiplin ketaatan kepada otoritas dan disiplin penderitaan. Program ini dibuat untuk mendisiplinkan penulis yang bertujuan menjadikan penulis seperti Yesus Kristus dan melakukan kehendak Tuhan. Seseorang yang telah menerima Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat adalah seseorang memiliki status sebagai manusia baru (2 Kor 5:17).  Sebuah status yang dianugerahkan Allah namun tetap menuntut tanggung jawab manusia untuk menjalani status tersebut.  Kenyataan menunjukkan meskipun seseorang telah menjadi ciptaan baru namun kebiasaan-kebiasaan manusia lama masih sulit dihilangkan.  Di sinilah perlunya penerapan disiplin rohani, yaitu supaya kebiasaan-kebiasaan lama kita diubah dengan kebiasaan-kebiasaan baru yang sesuai dengan status kita yang baru. 
Disiplin Firman Tuhan
   Penulis rohani Puritan mengingatkan kita bahwa “membaca, tetapi tidak merenungkan tidak akan menghasilkan buah; merenungkan tetapi tidak membaca akan berbahaya; membaca dan merenungkan tanpa doa akan menyakitkan.”[23] Penulis akan mendisiplinkan diri untuk membaca Firman Tuhan dengan bersuara karena dengan bersuara maka pendengaran kita dapat mendengarkan kembali Firman Tuhan yang telah dibaca. Firman Tuhan berkata bahwa iman timbul dari pendengaran akan Firman Tuhan. Dengan bersuara maka penulis diharapkan berkonsentrasi dengan pembacaan Firman Tuhan.
Pembacaan Firman Tuhan ini dilakukan pada pagi hari setelah bangun tidur sebelum melakukan aktivitas yang lainnya dan sebelum berdoa malam. Penulis akan membaca Firman Tuhan secara teratur minimal tiga pasal sehari dan merenungkannya dan menghafal bagian ayat yang ditentukan sendiri dalam pasal yang dibaca. Penulis memulai dari kitab Injil Matius hingga Wahyu dan memulai dari kitab Kejadian hingga Maleakhi. Pembacaan Alkitab ini dapat diselesaikan dalam setahun. Penulis juga menerapkan lima langkah dalam disiplin Firman Tuhan yaitu membaca, mendengar, merenungkan, belajar dan menghafal ayat-ayat Firman Tuhan. Pada waktu belajar Firman Tuhan, penulis membuat catatan tentang teguran, nasihat dan janji Tuhan kepada penulis. Teguran diresponi dengan insaf dan melakukan yang benar dihadapan Tuhan.
Pembacaan Alkitab memandang Alkitab sebagai firman Allah yang memanggil kita untuk membuat respons yang tegas; oleh karena itu Alkitab melatih kita mengambil sikap rohani tertentu – keterbukaan kepada Allah, sikap mendengar dengan rendah hati, kesediaan untuk taat. Kecenderungan sikap dasar ini merupakan tanah subur yang dapat menumbuhkan benih kebenaran. Tidak seperti pembacaan biasa, pembacaan rohani dilakukan untuk mempengaruhi hati, bukan untuk mendapatkan informasi.[24]
Disiplin Berdoa
          Tantangan dalam berdoa adalah waktu, keadaan dan fokus kepada Tuhan. Penulis menggunakan waktu pada subuh hari dan tengah malam untuk berdoa. Berdoa bertujuan untuk menjadi dekat atau intim dengan Tuhan dalam mendengar suara dan menaati segala perintah-Nya.  Dalam doa ada permohonan, syafaat dan juga mendengar suara-Nya dalam disiplin keheningan dalam doa yang dikenal berdiam tanpa suara dalam mendengar suara-Nya. Keadaan hati yang tenang dan damai adalah penentu untuk berdoa terfokus dengan Tuhan. Berdoa tentunya dimulai dengan keinginan hati dan pikiran sendiri dan selanjutnya kita dapat berdoa dalam roh yang dipimpin oleh Roh Kudus. Berdoa bertujuan untuk mengetahui kehendak Allah dan menyenangkan Allah. Bagi kita doa adalah nafas kehidupan untuk berjuang di dalam dunia dan diberi kuasa untuk menjalani kehidupan duniawi. Diumpamakan bahwa orang percaya adalah ranting-ranting yang tidak dapat hidup tanpa batang pohon. Batang pohon adalah Tuhan Yesus sendiri karena itu diperlukan disiplin doa dan ketergantungan dengan Tuhan. Simon Chan berpendapat bahwa apabila kita tidak berdoa berarti menaruh nasib kita ke dalam tangan kita sendiri, memalsukan diri kita yang sebenarnya sebagai ciptaan yang tergantung dan menyangkal Allah sebagai Pribadi yang berdaulat.[25]
          Penulis akan melakukan disiplin doa pada malam hari dikisaran jam 11 malam hingga jam satu dini hari. Penulis akan bertahan dalam doa minimal satu jam. Kerinduan penulis untuk memiliki waktu yang berkualitas bersama dengan Tuhan Yesus. Penulis akan berusaha dan meminta pertolongan Roh Kudus untuk mendisiplinkan pikiran untuk tetap berfokus kepada Tuhan dengan berbagai cara seperti memuji, menyembah Tuhan dan posisi berdoa sampai penulis sungguh-sungguh berfokus kepada Tuhan. Penulis teringat perkataan Yesus kepada Petrus ditaman Getsemani, “Tidakkah kamu sanggup berjaga-jaga satu jam dengan Aku?” (Matius 26:40). Tujuan kita berdoa supaya kita tidak jatuh dalam pencobaan yang disediakan si iblis. Berdoa berarti kita tidak mampu melawan iblis tanpa ada kuasa Tuhan di dalam diri kita. Selain itu penulis menambahkan disiplin waktu bersama Tuhan yaitu ada waktu-waktu yang disediakan secara khusus dimana dalam sehari itu menyendiri berdua bersama Tuhan dan waktu itu adalah hari libur dan bukan hari Minggu.
          Kita tidak diharuskan begitu ketat mengikut Tuhan hingga merasa ketakutan.  Disiplin rohani akan menjadi sebuah paksaan atau tuntutan jika aktifitas-aktifitas yang dilakukan bukan berasal dari keinginan untuk mengasihi Tuhan.  Tuhan Yesus rajin berdoa di pagi hari bukan karena terpaksa atau melakukan sebuah tuntutan.  Ia begitu mengasihi Bapa dan rindu bersekutu dengan Bapa-Nya, meskipun sepanjang hari hingga malam Ia sibuk melayani tetapi keesokan paginya Ia tetap mengambil waktu untuk berdoa (Mrk 1:35). Yang terpenting adalah hubungan kita dengan Allah harus diperbaharui setiap hari atau istilahnya terus diupdate setiap saat. Alasannya adalah Allah adalah sumber kasih dan damai sejahtera karena manusia tidak dapat membuat kasih itu ada karena kasih yang ada pada manusia bukanlah kasih Allah yang sejati. Ketergantungan kita kepada Tuhan dapat dilihat melalui adanya disiplin berdoa dalam kehidupan kekristenan kita. T.M. Moore mengatakan bahwa tujuan disiplin rohani adalah pertumbuhan orang Kristen.  Hasil dari disiplin rohani adalah menjadi lebih serupa dengan Yesus.[26]
Disiplin keheningan adalah satu dari tiga disiplin dasar selain kesendirian dan doa. Henri Nouwen mengatakan:
Clearly silence is a discipline needed in many different situations: in teaching and learning, inpreaching and worship, in visiting and counseling. Silence is a very concrete, practical, and useful discipline in all our ministerial tasks. It can be seen as a portable cell taken with us from the solitary place to the midst of our ministry. Silence is solitude practiced in action.[27]

Jelas diam adalah suatu disiplin yang diperlukan dalam berbagai situasi: dalam proses belajar mengajar, berkhotbah dan ibadah, dalam kunjungan dan konseling. Diam adalah sangat konkret, praktis, dan berguna disiplin dalam semua tugas pelayanan kami. Penulis setuju bahwa diperlukan disiplin keheningan dalam doa dan diam dalam mendengar suara Tuhan.
Disiplin Memberi
          Hukum memberi adalah siapa yang menabur berarti akan menuai. Penulis mendisiplinkan diri melalui disiplin perpuluhan. Penulis lebih mendahulukan memberi bagi pekerjaan Tuhan daripada kepentingan pribadi yang tidak mendesak. Tujuan disiplin memberi untuk membuang tabiat pelit atau kikir pada seseorang dan mengajarkan berbelas kasihan dan murah hati. Penulis  juga berkomitmen untuk memberi kepada sesama yang membutuhkan dan seturut dengan tuntunan Tuhan. Memberi atau menabur haruslah tepat sasaran dan tidak dimotivasi oleh berkat Tuhan melainkan karena kita mengasihi Allah dan sesama manusia.


Disiplin Berpuasa
          Disiplin berpuasa bertujuan untuk memiliki sikap kerendahan hati di hadapan Tuhan bahwa kita tidak mampu melakukan kehendak-Nya tanpa bergantung kepada-Nya. Berpuasa tidak ditujukan untuk ketahanan rohani, tetapi melatih diri untuk taat kepada-Nya. Penulis sudah melakukan berpuasa secara pribadi dan berjemaat. Saat ini penulis ingin berdisiplin puasa yaitu ada minimal sekali berpuasa dalam sebulan. Selain itu apabila ada himbauan untuk berpuasa bersama jemaat maka penulis juga akan mengikutinya seperti puasa 40 hari di dalam jemaat atau puasa tiga hari. Selain itu, penulis juga akan banyak berpuasa untuk makan siang. Berpuasa tidak untuk mendapat pujian, tetapi upah yang berasal dari Bapa sendiri (Mat 6:16).
Disiplin Bersaksi
          Disiplin bersaksi adalah amanat Agung untuk semua orang percaya (Mat 28:19-20). Untuk tujuan itu maka penulis tetap akan memberitakan kepada semua orang tentang Kabar Baik Yesus Kristus dan seruan pertobatan kepada orang yang belum percaya. Biasanya penulis akan berkunjung kepada teman dan orang yang belum dikenal untuk menyaksikan tentang Yesus Kristus, Tuhan dan Juruselamat pribadi. Dalam setahun dalam anugerah Tuhan, penulis mampu memuridkan sedikitnya dua jiwa baru yang juga dapat bersaksi, berdoa dan melayani di gereja.
Disiplin Beribadah
          Disiplin beribadah adalah perintah dalam Alkitab. Paulus mengatakan bahwa kita harus melatih tubuh kita beribadah. Dia juga berpesan agar kita tidak meninggalkan jadwal persekutuan ibadah. Penulis memiliki kebaktian/ibadah tiga kali seminggu dan semua itu telah dilakukan sejak bergabung dengan gereja lokal. Kegunaannya adalah agar kita dapat bertahan dalam pencobaan dan dijauhkan dari si jahat. Tujuan disiplin beribadah adalah membangun tubuh Kristus dimana di dalamnya kita saling menguatkan dan membangkitkan melalui persekutuan ibadah (Ibrani 10:25).
Disiplin Ketaatan kepada Otoritas
          Yesus selama di dunia juga sebagai manusia yang senangtiasa taat dan taat sampai mati melakukan kehendak Bapa-Nya. Tuntutan itu juga diberikan kepada kita. Penulis harus berdisiplin taat kepada otoritas karena kelemahan ini seringkali menjadi penyebab kehidupan spiritual menjadi lemah dan godaan-godaan tidak mudah dipatahkan. Tuhan Yesus adalah otoritas tertinggi yang harus ditaati melalui Firman Tuhan dan hamba-hamba-Nya. Dalam gereja kita memunyai gembala dan kita adalah domba-domba-Nya dan sebagai domba akan mengikuti gembalanya. Penulis belajar untuk taat kepada pemimpin seperti Daud taat kepada Saul karena pengurapan Allah kepada Saul, meskipun Saul itu jahat dihadapan Tuhan.
          Pengajaran Injil Matius, ketika Yesus dicobai di padan gurun adalah dalam kewenangan Bapa di surge sebagai manusia, Yesus tetap taat sebagai manusia dan tidak menggunakan keAllahan-Nya dan menjalani pencobaan itu seturut dengan kehendak Bapa. Demikian pula ketika Yesus berdoa di Taman Getsemani sekali lagi sebagai manusia, Yesus berdoa dan berkata: “Ya Bapa-Ku jikalau cawan ini tidak mungkin lalu, kecuali apabila Aku meminumnya, jadilah kehendak-Mu!” (Mat 26:42).
Disiplin Penderitaan
          Disiplin penderitaan seharusnya menjadi bagian dalam kehidupan orang percaya yang mau seperti Yesus, tetapi yang terjadi adalah kita malah menghindari penderitaan. Alkitab berkata: “Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat.” (Mat 5:11). Penulis harus bersiap untuk suatu penderitaan yang dikehendaki Tuhan dan tidak menghindari dari saat itu. Setiap orang Kristen harus menyangkal dirinya dan memikul salibnya. Setiap orang tidak sama dalam penyangkalan diri seesuai dengan kemampuan yang diberikan dan dianugerahkan oleh Tuhan sendiri. Oleh karena itu, penulis selalu siap sedia untuk tetap setia walaupun penderitaan itu datang untuk menguji iman dan kesetiaan serta ketekunan di dalam Tuhan.
BAGIAN III. FORMASI ROHANI DALAM JEMAAT
          Gereja terdiri atas tubuh Kristus dan seluruh bagiannya dan Kristus sebagai Kepala yang menyatukan semua bagian tubuh melalui kasih Kristus sendiri (Ef 4:15-16). Gereja adalah oragnisme hidup yang bertumbuh dan dalam pertumbuhannya dibutuhkan formasi rohani atau disiplin rohani. Hal ini sebagian telah dijelaskan dalam formasi rohani pribadi. Implementasi dalam jemaat, penulis mencoba membaginya dalam disiplin bersaksi, disiplin melayani, disiplin penyembahan, disiplin pemuridan dan disiplin ibadah. Semua disiplin ini bertujuan untuk melakukan kehendak Tuhan dan memuliakan nama-Nya sebab kuasa, kekuasaan dan kemuliaan sampai selama-lamanya (Mat 6:13b).
Disiplin Bersaksi
          Setiap orang percaya wajib bersaksi dimana pun ia berada dan tidak peduli apakah ia seorang pendeta maupun orang awam. Oleh karena itu, gembala selalu mengajarkan dan mendidik jemaatnya untuk semangat penginjilan dan mendukung misi sebagai Amanat Agung Yesus Kristus. Jemaat harus terbeban dengan jiwa-jiwa yang akan binasa karena tidak mereka tidak percaya dan mengenal Yesus. Yesus sendiri menyuruh murid-murid-Nya pergi untuk memberitakan kabar keselamatan ke seluruh daerah-daerah dan bahkan orang yang terkenal berdosa yaitu perempuan Samaria menjadi pemberita Injil untuk sesama di kampung halamannya.
Disiplin Melayani
          Jemaat yang sungguh-sungguh mengasihi Tuhan tentunya akan melayani Tuhan dan sesamanya. Jemaat harus diajarkan untuk terbeban melayani. Melayani daripada dilayani itu adalah sikap hamba yang telah ditunjukkan oleh Yesus sendiri. Setiap orang awan harus dilatih melayani dan didorong untuk melayani Tuhan. Disiplin melayani ini dianggap perlu karena seringkali jemaat tidak lagi bersemangat untuk melayani karena pelayanan dianggap sebagai suatu rutinitas. Dalam kehidupan rohani ini adalah suatu siklus yang akan terjadi dalam pelayanan, namun perlu diingat bahwa kita melayani Tuhan yang berdaulat atas seluruh kehidupan kita. Namun yang perlu diperhatikan adalah pelayanan bukanlah segalanya tetapi kehendak Tuhan. Kata Yesus kepada mereka, “Makananku ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya” (Yoh 4:34).
Disiplin Penyembahan
          Penyembahan ditujukan kepada Allah dengan tujuan untuk menyenangkan Dia yang layak menerima segala pujian dan hormat. Disiplin penyembahan ini sangat dibutuhkan dalam masa-masa penderitaan dan kesusahan sehingga selalu mengucap syulkur dan berterima kasih kepada Allah.  Penyembahan berarti juga pengabdian kepada Allah yang telah menebus kita dengan mengorbankan diri-Nya di kayu salib sebagai ganti orang-orang berdosa.
          Dalam ibadah kita menyembah Tuhan, tidak hanya sampai disitu jemaat juga harus menyembah Dia dalam roh dan kebenaran. Artinya kehidupan jemaat harus menghasilkan buah sebagai akibat dari penyembahan kepada Tuhan. Disiplin penyembahan ini dapat dilakukan dimulai dari keluarga melalui mezbah keluarga dan secara pribadi juga dilakukan oleh setiap anggota keluarga dan dimplementasikan dalam sikap dan perbuatan.
Disiplin Pemuridan
          Gereja yang sehat memiliki program pemuridan yang bertujuan regenerasi gereja di masa yang akan datang. Pemuridan bagi jemaat untuk mencegah masuknya pengajaran-pengajaran yang sesat dan memperlengkapi jemaat dalam pelayanan. Pemuridan jemaat bermanfaat untuk melipatgandakan jiwa-jiwa melalui penginjilan. Apbila seorang murid telah belajar maka dia pun dapat menjadi guru untuk mengajar jemaat yang lain yang belum dewasa rohani.
          Gembala berkewajiban memuridkan jemaatnya untuk menghasilkan gembala-gembala seperti pemimpinnya untuk menjalankan fungsi gereja untuk melayani pekerjaan Tuhan dan secara pribadi Tuhan sendiri. Dalam gereja diperlukan Marta dan Maria yang seimbang dalam melayani Yesus Kristus. Dalam pemuridan juga diajarkan bagaimana membangun huibungan pribadi dan intimasi dengan Tuhan dan bagaimana menghormati Allah dan pemimpin serta bagaimana menjadi pemimpin atau gembala untuk menggembalakan domba-domba yang lainnya. Dalam pemuridan akan nyata siapa yang kawan (domba) dan siapa yang lawan (srigala dan srigala berbulu domba). Disiplin pemuridan ini dapat dilakukan sesuai dengan kelompok  seperti kaum bapak, kaum ibu, kaum pemudi dan kaum pemuda. Pemuridan juga menjadi jalan keluar persoalan-persoalan yang dialami jemaat. Apabila jumlah murid banyak dapat juga dibagi menjadi beberapa kelompok dan dipimpin oleh satu ketua kelompok dibawah otoritas gembala yang menugaskannya. Pemuridan adalah perintah Tuhan dan Tuhan mencari murid dan bukan pengikut simpatisan. Pemuridan juga digunakan sebagai katekisasi dan syarat untuk menjadi anggota jemaat lokal.
Disiplin Ibadah
Disiplin ibadah bertujuan untuk melatih diri untuk beribadah kepada Tuhan. Jiwa manusia tidak mau beribadah namun roh manusia yang telah dilahirbarukan Roh Kudus merindukan hal tersebut. Oleh karena itu, disiplin beribadah dikenal juga sebagai disiplin perayaan (celebration).
According to Dallas Willard, celebration is one of the most important disciplines of engagement, yet it is one of the most overlooked and misunderstood. He says, “We engage in celebration when we enjoy ourselves, our life, our world, in conjunction with our faith and confidence in God’s greatness, beauty, and goodness. We concentrate on our life and world as God’s work and as God’s gift to us.” [28]
Menurut pernyataan Dallas Willard, perayaan adalah hal terpenting yang menghubungan diri kita dengan Allah dalam segala kebesaran, keindahan dan kebaikan-Nya. Menurut penulis kita beribadah sebagai suatu ucapan syukur atas segala yang telah diperbuat-Nya bagi umat-Nya melalui ekspresi dan penghayatan melalui ibadah.
Lampiran Jadwal Formasi Rohani Harian Penulis
Jam
Aktivitas
Keterangan
05.00-06.00
06.00-07.00
07.00-19.00
19.00-22.00
19.00-23.00
(hari Jumat –Minggu)
24.00-01.00 dini hari
01.00-04.00
Menyembah, berdoa dan berdiam
Membaca dan merenungkan Firman Tuhan
Aktivitas, kerja, istirahat dan menjadi berkat
Berkunjung dan bersaksi, memuridkan
Beribadah dan melayani Tuhan

Menyembah dan berdoa syafaat dan berdiam
Istirahat
Disiplin Firman Tuhan
Disiplin Berdoa
Disiplin Melayani
Disiplin Bersaksi
Disiplin Ibadah

Disiplin keheningan
Tidur





[1] J.S. Badudu dan Sultan Mohammad Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994), 410, 1174.
[2] Dallas Willard, Renovation of Heart (Malang: Literatur SAAT, 2005), 30.
[3] Richard J. Foster, Celebration of Discipline (San Francisco: Harper & Row, 1978), 138.
[4]  John R.W. Stott, Khotbah di Bukit, cet. ke-4 (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2008), 28.
[5]  Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 3 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), 257.
[6]  Jonathan Kristen Mickelson, Mickelson’s Enhanced Strong’s Greek and Hebrew Dictionaries (The Word,2008), s.v.  ptōchoi tō pneumati
[7] J.L. Ch. Abineno, Khotbah di Bukit (Jakarta:BPK Gunung Mulia, 1990), 14.
[8] Stott, Khotbah di Bukit,51-52.
[9] James Strong, Strong’s Greek and Hebrew Dictionaries (Franklin,TN:e-Sword, 2008), s.v pentheō.
[10]  Stassen, Glen H. dan David P. Gushee, Etika Kerajaan Mengikut Yesus dalam Konteks Masa Kini, 29-30.
[11] Sinclair B. Ferguson,  Khotbah di Bukit, 22-23.
[12]  Stott, Khotbah di Bukit, 56.
[13]  Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 3,259.
[15]  Stott, Khotbah di Bukit, 62.
[16]  Ferguson, Khotbah di Bukit, 35-36.
[17]  Stott, Khotbah di Bukit, 64-66.
[18]   Stott, Khotbah di Bukit, 66-67.
[19]    Guthrie, 260-261.
[20]    Stassen, Glen H. dan David P. Gushee, 38.
[22]   Stassen, Glen H. dan David P. Gushee, 38.
[23] Simon Chan, Spiritual Theology 2 (Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2002), 57.
[24] Simon Chan, 60-61.
[25] Simon Chan, 13.
[26]  T.M. Moore, Disiplin Anugerah: Dari Rutinitas Rohani kepada Pembaharuan Rohani (Malang: SAAT, 2004), 26-27.
[27] Henri J.M. Nouwen, The Way of the Heart  (New York: Ballantine Books, 1981), 30.
[28] Dallas Willard, The Spirit of The Disciplines (San Francisco: Harper & Row Publishers, 1988),
179.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar