BAGIAN I
STUDI FORMASI ROHANI
Formasi berarti
susunan, sedangkan rohani berarti segala sesuatu yang berhubungan dengan roh.
Roh adalah sesuatu yang ada dalam tubuh yang diberikan Tuhan sebagai penyebab
adanya hidup atau kehidupan;nyawa.[1]
Dalam bukunya Renovation of Heart,
Dallas Willard mengatakan:
Formasi
spiritual bagi orang Kristen pada dasarnya mengacu pada proses yang digerakan
oleh Roh dalam membentuk dunia batiniah manusia dengan cara sedemikian rupa
sehingga serupa dengan keberadaan batiniah Kristus sendiri…Formasi spiritual
Kristen difokuskan sepenuhnya kepada Yesus.[2]
Hal ini berarti
secara sederhana, formasi rohani adalah suatu susunan rohani yang bertujuan
menjadikan orang percaya serupa atau seperti Yesus. Formasi rohani bertujuan
untuk menumbuhkan spiritual seseorang dalam mengenal lebih dalam pribadi Tuhan
Bapa, Yesus Kristus dan Roh Kudus. Formasi rohani diajarkan berdasarkan pedoman
Alkitab dan diambil dari pengajaran Yesus Kristus di atas bukit kepada
murid-murid-Nya. Dalam kitab Injil Matius, dalam pasal 3 dan 4 menceritakan
tentang pembaptisan Yesus oleh Yohanes pembaptis dan pencobaan Yesus di padang
gurun setelah berpuasa 40 hari 40 malam. Penulis akan menuliskan kembali apa
yang diperoleh dalam kelas perkuliahan dan apa yang menarik dan menjadi berkat
bagi penulis dan bagi orang percaya lainnya.
Dalam pasal 4 kitab Injil Matius, kita
dapat menemukan prinsip-prinsip tentang disiplin rohani yaitu disiplin Firman
Tuhan. Kita diingatkan untuk membaca,
mendengar, belajar, merenungkan dan menghafal Firman Allah. Hal ini
diilustrasikan kegiatan diatas sebagai lima
jari tangan dan apabila salah satunya tidak dilakukan maka kekuatan untuk
mempertahankan apa yang dimiliki dapat direbut oleh iblis. Disiplin Firman
Tuhan ini menjadikan Yesus dapat dengan kuat melawan godaan iblis dan iblis pun
menggunakan kebenaran Allah yang dimanipulasi dan disampaikan kepada Yesus yang
pada saat itu telah mengalami keletihan dan kelelahan karena taat berpuasa. Yesus
menjawab: "Ada tertulis: Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari
setiap firman yang keluar dari mulut Allah" (Mat 4:4). Artinya kehidupan
sesungguhnya adalah karena kita menjadi hidup karena pengenalan kita tentang
kebenaran Firman Tuhan. Tafsiran yang lain tentang pencobaan di padang gurun
yaitu Yesus sebagai manusia dicobai dengan keinginan mata, keinginan daging dan
keangkuhan hidup. Sering dikhotbahkan dengan istilah “3Ta” (wanita/pria, tahta
dan harta). Hal ini juga menjadi pencobaan bagi manusia. Yang menarik Yesus
sebagai manusia tidak memakai atribut ke-AllahanNya untuk mengatasi pencobaan
tetapi bereaksi dan bertindak sesuai dengan Firman Tuhan dan membuktikan
manusia pun sanggup melewati pencobaan itu dengan disiplin rohani dan
ketergantungan dengan BapaNya.
Ada berbagai macam cara menikmati Firman
Allah yaitu:
a.
Mendengar
Firman Tuhan
Dalam
Matius 17:5, “Dan tiba-tiba sedang ia berkata-kata turunlah awan yang terang
menaungi mereka dan dari dalam awan itu terdengar suara yang berkata: “Inilah
Anak yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan, dengarkanlah Dia.” Hal yang menarik untuk kedua kalinya Bapa
berkata kepada anakNya dimana sebelumnya Ia berkata kepada Yesus setelah
dibaptis oleh Yohanes Pembaptis, katanya: “Inilah Anak-Ku yang Kukasihi,
kepada-Nyalah Aku berkenan” (Mat 3:3). Penekanannya ialah dengarkanlah Dia. Mengapa kita harus mendengarkan Dia?. Karena
Yesus adalah anak yang dikasihi dan kepada-Nyalah Bapa berkenan. Yesus
membuktikan bahwa Ia adalah anak Allah dengan melewati pencobaan padang gurun.
Tujuan kita mendengarkan Firman Allah adalah untuk mendengar suara Dia, yaitu Yesus
sendiri. Kita mendengarkan Firman Allah karena kita adalah “manusia Roh” yang
tinggal dalam tubuh ini. Sebagaimana kita selalu makan nasi untuk tubuh jasmani
kita demikian juga kita membutuhkan makanan rohani (Firman Tuhan) untuk
batiniah (roh kita yang dibaharui dengan Roh Kudus).
b.
Membaca
Firman Tuhan
“Berbahagialah
ia yang membacakan dan mereka yang mendengarkan kata-kata nubuat ini, dan
yang menuruti apa yang ada tertulis
di dalamnya, sebab waktunya sudah dekat” (Wahyu 1:3). Penulis setuju apabila kita membaca Firman
Tuhan dengan bersuara karena itu sangat membantu kita untuk disiplin mendengar
dan fokus terhadap Firman Tuhan. Melalui pendengaran Firman Tuhan maka
timbullah iman dan untuk itulah tujuan pembacaan Firman Tuhan. Setiap orang
percaya wajib membaca Firman Tuhan dalam kehidupannya untuk bertumbuh ke arah
Kristus.
c.
Belajar
Firman Tuhan
Hanya
dengan membaca Firman Tuhan tidaklah cukup karena setiap kita harus belajar
Firma Tuhan yang bertujuan untuk memberitakan perkataan kebenaran. “Usahakanlah
supaya engkau layak di hadapan Allah sebagai seorang pekerja yang tidak usah
malu, yang berterus terang memberitakan perkataan kebenaran itu” (2 Tim 2:15).
Belajar kebenaran dan melakukannya maka kebenaran itu akan memerdekaakan kita
dan menjauhkan kita dari pengajaran sesat dan mengetahui pengajaran yang sehat
dan benar. Belajar Firman Tuhan bertujuan untuk mengenal Allah lebih dalam (take me deeper and draw near again with Him),
sebagaimana perumpamaan Tuhan Yesus tentang pokok anggur. Apalah gunanya buah
yang segar pada ranting apabila sudah terlepas dari batangnya, apalagi ranting
yang kering, kedua-duanya tidak berguna, kecuali bila ia bergantung pada
batang. Karena batang itu dasar pokok kebenaran dan Yesus sendiri dan ranting
itu adalah orang percaya (Yoh 15:1-8).
d.
Merenungkan
Firman Tuhan
“Janganlah engkau lupa memperkatakan kitab Taurat ini, tetapi renungkanlah itu siang dan malam, supaya
engkau bertindak hati-hati sesuai dengan segala yang tertulis di dalamnya,
sebab dengan demikian perjalananmu akan berhasil dan engkau akan beruntung”
(Yosua 1:8). Firman Tuhan harus selalu direnungkan dalam setiap detak jantung
kita bahkan di saat kita bekerja, mengendarai kendaraan dan sewaktu kita lagi
bersantai sehingga pikiran dan hati
terfokus kepadaNya (Ulangan 6:4-9). Dalam keluarga orang percaya
seharusnya Firman Tuhan adalah pelajaran terutama yang harus diberikan oleh
orang tua secara terus menerus dan berulang-ulang kepada anak-anaknya.
Sebagaimana orang-orang Yahudi melakukannya kepada anak-anaknya maka tidak
heran kalau orang Yahudi menjadi bangsa yang tercerdas di muka bumi.
e.
Menghafal
Firman Tuhan
Setiap orang percaya harus dapat
menghafal Firman Tuhan dan melakukannya sehingga Firman Tuhan itu menjadi
daging dan memimpin seluruh kehidupan orang percaya dalam kebenaran. Firman
Tuhan menjadi awasan dalam bertindak dan juga Firman Tuhan mengandung banyak
janjiNya, maka kita memiliki pengharapan dan iman serta beroleh kasih karunia
karena kebenaranNya (Mazmur 109:9,11).
Selain kita
disiplin Firman Tuhan, kita juga harus berdisiplin beribadah (Matius 4:10).
“…Sebab ada tertulis: Engkau harus menyembah
Tuhan, Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti.!” Disiplin ibadah ini diperlukan untuk lebih berfokus
kepada Tuhan Yesus dan Yesus menegaskan bahwa kita hanya dapat beribadah kepada
Allah saja, bukan kepada allah yang palsu dan tidak dikenal. Dalam ibadah kita
menyembah Tuhan dengan hati yang tulus dan motivasi yang benar dan bertujuan
menyenangkan Allah.
Richard Foster says,
To worship is to
experience reality, to touch Life. It is to know, to feel, to experience the
resurrected Christ in the midst of the gathered community . . . Worship is
human response to divine initiative. . . Worship is our responding to the
overtures of love from the heart of the Father. . . It is kindled within us
only when the Spirit of God touches our human spirit.[3]
Penulis
menyimpulkan berdasarkan pendapat Richard Foster, bahwa penyembahan adalah
suatu realitas pengalaman yang menyentuh kehidupan kita, suatu pengalaman
kehadiran Kristus dalam suatu komunitas atau dalam ibadah. Penyembahan adalah
respon yang mengekspresikan kasih yang bersumber dari hati Bapa dan hal ini
terjadi karena Roh Allah menyentuh roh manusia. Jadi jika kita benar-benar mau
berbakti kepada Yesus maka ibadah adalah gaya hidup orang Kristen tidak hanya
pada saat berkumpul bersama-sama tetapi juga dalam kelompok kecil di dalam
keluarga yang disebut mezbah keluarga.
Hal yang menarik dalam diskusi tentang
perumpamaan penabur (Mat 13:3-23) adalah membicarakan tentang keadaan hati
dalam menerima kebenaran Allah. Namun, melalui perumpamaan ini kita diajarkan
ada empat tipe manusia yang mewakili jenis tanah. “Pada waktu ia menabur,
sebagian benih itu jatuh di pinggir jalan, lalu datanglah burung dan memakannya
sampai habis” (Mat 13:4). Taburan yang pertama ini mewakili para ahli Taurat.
“Sebagian jatuh di tanah yang berbatu-batu, yang tidak banyak tanahnya, lalu
benih itupun segera tumbuh, karena tanahnya tipis” (Mat 13:5). Taburan kedua
ini mewakili orang banyak atau khalayak ramai. “Sebagian lagi jatuh di tengah
semak duri, lalu makin besarlah semak itu dan menghimpitnya sampai mati” (Mat
13:7). Taburan ketiga ini mewakili para murid. “Dan sebagian jatuh di tanah
yang baik lalu berbuah: ada yang seratus kali lipat, ada yang enam puluh kali
lipat, ada yang tiga puluh kali lipat. Siapa bertelinga, hendaklah ia
mendengar!” (Mat 13:8-9). Taburan keempat ini diwakili oleh orang percaya dan
melakukan Firman Allah dalam hidupnya sehingga mendapatkan kelimpahan berkat
rohani dan jasmani.
Khotbah Yesus di bukit dalam Injil Matius
pasal 5 dikenal sebagai ucapan bahagia. Namun, yang terpenting pasal ini
membicarakan tentang hakikat Kerajaan Allah. Kerajaan yang universal mencakup
semua orang, tetapi kita mengetahui bahwa konteks Kerajaan Allah bukan
merupakan kerajaan universal tetapi merupakan bagian Kerajaan Allah yang universal.
Kita adalah
warga Kerajaan Allah karena kita adalah anak-anak Allah. Kita dapat menemukan
ciri watak dan tabiat Kristiani dalam khotbah di bukit khususnya hubungan
dengan Allah dan sesama manusia, dan berkat-berkat Allah yang dicurahkan atas
diri mereka yang memperlihatkan ciri-ciri itu. Khotbah itu melukiskan perilaku
yang dituntut Yesus dari setiap pengikut-Nya
yang sekaligus warga Kerjaan Allah.[4]
Kata “berbahagialah” dalam bahasa Yunani makarioi melampaui pengertian sekadar
rasa senang. Kata itu mengandung unsur puji-pujian. Kita patut merasa iri
kepada orang yang dimaksudkan dalam ucapan-ucapan bahagia itu. Kita akan
membahas ucapan-ucapan bahagia ini sesuai dengan urutannya dalam Injil Matius, tetapi
kita juga akan memperhatikan perbedaan-perbedaannya dengan catatan yang sejajar
dengan Injil Lukas.[5]
Jadi kata “Berbahagia” berarti seseorang yang hidup secara berkenan dihadapan
Allah.
Pertama, "Berbahagialah orang yang
miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga” (ayat
3). Kata “miskin di hadapan Allah” yang dalam bahasa Yunani ptōchoi tō pneumati, yaitu kata sifat
yang berarti miskin dalam roh (NRSV).[6]
Pada waktu Yesus menyebut “orang miskin” bukan saja mempunyai arti orang yang
tidak mempunyai apa-apa di bidang ekonomis, tetapi juga orang yang miskin di
bidang religius.[7]
Maka untuk menjadi “orang miskin di hadapan Allah”, kita harus mengakui
kemiskinan spiritual kita, bahkan kebangkrutan kita di hadapan Allah. Seperti
ditulis Calvin, “Hanya dia yang menganggap dirinya tak berarti sama sekali di
mata Tuhan, lalu semata-mata bergantung pada anugerah Tuhan, hanya orang
seperti itulah yang miskin di hadapan
Tuhan!”.[8]
Sampai sekarang syarat mutlak untuk menerima Kerajaan Allah ialah pengakuan
akan kemiskinan kita di hadapan Allah. Allah masih tetap menyuruh orang-orang
kaya pergi dengan tangan hampa (Lukas 1:53).
Kedua, “Berbahagialah
orang yang berdukacita, karena mereka akan dihibur” (ayat 4). Kata “duka cita”
dalam bahasa Yunani pentheō yaitu
kata kerja aktif yang berarti berdukacita baik secara perasaan maupun
perbuatan.[9]
Kata ini berarti duka kesedihan
karena kehilangan seseorang atau sesuatu yang sangat dicintainya: orang yang
tertindas dan orang yang berkabung berdukacita karena mengalami kehilangan yang
nyata dan menjadi sedih. Tetapi kata ini juga dapat berarti “pertobatan”; orang
berdosa berdukacita karena dosa-dosanya, dan mereka sungguh ingin mengakhiri
dosa mereka dan melayani Tuhan. Tuhan Allah akan menghapus air mata dari setiap wajah, dan kematian serta
perkabungan akan berakhir (Yesaya 25;Wahyu 21:4). Allah sudah mulai
melaksanakan pembebasan ini dalam Yesus.[10] Kita berduka cita karena dosa-dosa kita dan
dosa-dosa orang lain yang hidup dalam dosa maka Allah yang mengampuni dosa
memberikan kita penghiburan sejati.
Menurut Sinclair B. Ferguson, ada tiga
hal yang perlu ditegaskan berkaitan dengan kata “berdukacita” yaitu:[11]
Pertama, ketika orang
Kristen sadar akan dosanya, maka ia akan berdukacita atasnya. Jikalau tidak
demikia, ia justru akan mendukacitakan Roh Kudus (Efesus 4:30). Tetapi tingkat
kesadaran dan kedalaman jiwa dari perasaan berdukacita ini sangatlah beragam.
Adanya kepekaan terhadap dosa tidak identik dengan keberadaan orang Kristen
yang senangtiasa menyesali dosanya. Kedua,
yang harus diingat bahwa kalimat-kalimat dari Ucapan Bahagia
tidak
dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Melalui Khotbah di Bukit, Tuhan Yesus
mengajarkan tentang kehidupan orang Kristen secara menyeluruh. Kita hendaknya
tidak memangkas ajaran-Nya dengan memisahkan satu dengan yang lainnya. Ketiga, pengalaman rohani yang
utuh juga mencakup peningkatan, bukan penurunan respon
emosi kita terhadap Injil. Orang yang menjadi
milik Kerajaan Allah mengenal sukacita besar, sebesar ia mengenal kesusahan
besar. Ia mengenal ratapan memilukan, tetapi juga mengenal luapan kegembiraan
atas kenyataan bahwa sekarang ia adalah milik Tuhan.
Ketiga, “Berbahagialah
orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi” (ayat 5). Kata sifat Yunani praus berarti lemah lembut, rendah hati,
baik budi, sopan dan dalamnya terkandung pengertian penguasaan diri, karena
tanpa itu kualitas-kualitas itu mustahil ada.[12]
Contoh nyata adalah Yesus sendiri, “Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah
pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat
ketenangan” (Matius 11:29). Kata yang dipakai untuk lemah lembut (praeis) mengandung makna lebih mendalam
dibandingkan pemahaman yang biasa.Pengertiannya bukanlah sikap menyerah tanpa
protes melainkan sikap yang tidak menonjolkan diri secar aktif. Karena itu,
orang yang lemah lembut adalah orang yang menolak keangkuhan dan penonjolan
diri dengan memilih sifat yang lebih lemah lembut.[13]
Keempat, “Berbahagialah
orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan” (ayat
6). Yesus menggunakan ungkapan tersebut untuk menggambarkan seberapa
mendesaknya kebutuhan orang Kristen akan kebenaran Allah. Ungkapan “lapar dan
haus akan kebenaran” memiliki beberapa pengertian. Yang terutama berarti rindu
akan suatu hubungan baik dengan Allah, dan itu juga berarti rindu untuk dapat
hidup dengan benar dihadapan-Nya. Tetapi
selanjutnya, ini juga berarti rindu untuk dapat hidup berkenan kepada-Nya di
dunia ini dan rindu untuk melihat hubungan sesama manusia dengan-Nya kembali
dipulihkan. [14]
Kelima,“Berbahagialah
orang yang murah hatinya, karena mereka akan beroleh kemurahan” (ayat 7).
Kemurahan hati bermuara dalam dua sikap yang saling berbeda yaitu dalam
mengasihi dan mengampuni. Kita mengasihi orang yang kita lihat kesakitan,
menderita sengsara atau berdukacita tapi kita juga mengampuni orang-orang yang
berbuat salah kepada kita yang menjahati kita.[15]Contoh
nyata adalah perumpamaan orang Samaria (Lukas 10:30-37). Dalam perannya sebagai
contoh dalam hal kemurahan hati, ada dua hal yang patut dicatat: 1) kemurahan
hati yang menyembuhkan akibat dosa dalam hidup sesama manusia; dan 2) kemurahan
hati tidak tersembunyi di belakang larangan-larangan Alkitab untuk melindungi
diri sendiri dari pelayanan yang menuntut pengorbanan.[16]
Keenam, “Berbahagialah
orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah” (ayat 8). Makna
“orang yang suci hatinya” alah orang yang suci secara batiniah, yaitu kualitas
orang yang telah disucikan hatinya dari kotoran-kotoran moral, selaku kebalikan
dari kesucian secara ritual. Itulah
sebabnya Raja Daud sadar, bahwa Tuhan berkenan akan “kebenaran dalam batin”,
yang berdoa “jadikanlah hatiku tahir, ya Allah” (Mazmur 51:8,12;bdg. Mazmur
73:1;Kisah Para Rasul 15:9;I Timotius 1:5). Jadi orang yang suci hatinya itu adalah
orang yang “amat bersungguh-sungguh”. Seluruh hidup mereka, baik yang pribadi
maupun yang terbuka bagi orang lain, adalah transparan di hadapan Allah dan
sesama manusia. Hati mereka termasuk pikiran dan motivasi mereka adalah murni, tidak tercampur dengan
sesuatu yang cemar jelek, atau
tersembunyi. Kemunafikan dan tipu daya
adalah tabu bagi mereka , tidak ada akal bulus pada mereka.[17]
Ketujuh, “Berbahagialah
orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah” (ayat 9).
Menurut ucapan bahagia ini, orang Kristen dimaksudkan menjadi pembawa damai,
baik dalam masyarakat maupun dalam gereja. Secara jelas pasti dalam seluruh
ajaran Yesus dan para rasul-Nya, bahwa kita sendiri sekali-kali tidak boleh
mencari gara-gara atau biang keladi suatu konflik. Sebaliknya, kita terpanggil
untuk hidup dalam damai (I Korintus 7:15), kita harus giat mencari “kedamaian”
(I Petrus 3:11), kita harus “berusaha hidup damai dengan semua orang” (Ibr.
12:14), kita harus “hidup dalam perdamaian dengan semua orang” (Roma 12:18).[18]
Pada saat Yesus memuji orang yang membawa damai, Dia menentang semua sistem
yang memisahkan antara manusia dengan manusia lainnya yang mengakibatkan
tumbuhnya pertengkaran. Yesus menentang rasa nasionalisme orang-orang Yahudi
yang sempit , dan hal ini diperkuat oleh jaminan bahwa para pembawa damai itu
akan disebut “anak-anak Allah”, suatu sebutan yang dikhususkan oleh para rabi
bangsa Israel. Etika Kristen tidak mengunggulkan bangsa yang satu atas bangsa
yang lain. Ruang lingkup Injil bagi semua orang, dan hal ini harus memengaruhi
hubungan antar manusia.[19]
Penulis sependapat dengan perkataan “Berbahagialah orang yang berdamai dengan
musuh mereka, sebagaimana Allah menyatakan kasih kepada musuh-musuh-Nya”.[20]
Kedelapan, “Berbahagialah
orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya
Kerajaan Sorga. Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya
dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat. Bersukacita dan bergembiralah,
karena upahmu besar di sorga, sebab demikian juga telah dianiaya nabi-nabi yang
sebelum kamu" (ayat 10-12). Mereka yang rindu akan kebenaran akan
menderita bagi kebenaran yang mereka rindukan. Kita tidak usah heran kalau
kebencian kepada orang Kristen meningkat, kita malahan harus heran bila itu tidak
terjadi. Kemuridan berarti kesetiaan kepada Kristus yang menderita, dan itulah
sebabnya sama sekali tidak mengherankan apabila orang Kristen suatu ketika
dipanggil untuk menderita. Penderitaan adalah suatu sukacita dan pertanda
anugerah-Nya.[21]
Berbahagialah orang yang menderita karena praktik kesetiaan mereka kepada Yesus
dan kepada keadilan.[22]
Tuhan Yesus menerapkan disiplin penderitaan untuk setiap murid-Nya yang ingin
mengikut Dia hingga akhir.
“Kamu adalah garam dunia” (matius
5:13a). Ye are the salt of the earth
(KJV). Lebih tepatnya terjemahannya “kamu adalah garam bumi”. Bumi dalam bahasa
Yunani adalah gê artinya soil, tanah atau bumi. Maksud Yesus
bahwa kita adalah garam dunia adalah kita menjadi teladan dan pengaruh bagi
orang di sekeliling kita (tanah) dan bukan sebaliknya “tanah atau bumi”
mempengaruhi kita “garam” sehingga kehilangan keasinannya. Garam berfungsi
untuk mengawetkan. Artinya memelihara kerohanian seseorang sehingga menjadi
teladan seperti teladan Yesus yang menggarami dunia dengan perkataan dan
perbuatan-Nya selama di dunia.
Hal memberi sedekah adalah ketulusan
hati yang dianugerahkan. Bukanlah digerakkan oleh keinginan sendiri, tetapi
dorongan hati yang mau memberi. Ada gereja yang tidak mewajibkan untuk memberi
perpuluhan, padahal secara jelas Yesus mengatakan bahwa bahwa ahli Taurat tidak
mengabaikan perpuluhan. Dalam hal pemberian, Yesus mengajarkan kita
mempersembahkan seluruh kehidupan kita yang digambarkan tentang seorang janda
yang member dari kekurangannya dan tindakannya itu adalah totalitas dalam
memberi. Disiplin memberi menjadikan kita murah hati dan beroleh kemurahan,
apalagi yang berhubungan dengan Kerajaan Allah.
Hal berdoa yang Yesus ajarkan dalam
Matius 6:5-13 adalah berdoa sesuai dengan kehendak Allah. Hal yang menarik
dalam doa “Bapa kami” adalah bagaimana Allah dimuliakan di Sorga dan di bumi.
Doa ini mengandung janji-janji Tuhan dan semakin mendisiplinkan dalam formasi
rohani khususnya dalam berdoa. Berdoa seringkali kita harus mendisiplinkan
pikiran yang tidak berfokus dengan Tuhan. Posisi berdoa bukanlah masalah,
tetapi yang menjadi masalah adalah kesiapan hati untuk menghadap Tuhan dalam
doa. Dalam keheningan dalam doa, kita dapat mendengar suara-Nya, setelah kita
telah berdoa permohonan kita. Saatnya Tuhan berbicara dan menyatakan diri-Nya
dalam kasih, kebenaran dan kuasa. Hal yang menarik lainnya adalah “Karena
Engkaulah yang empunya Kerajaan dan kuasa dan kemuliaan sampai selama-lamanya”
(Mat 6:13b). Kita memasuki Kerajaan Allah dimana kuasa dan kemuliaan Allah
dinyatakan.
“Karena itu Aku berkata kepadamu: Janganlah kuatir akan hidupmu, akan apa
yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan
apa yang hendak kamu pakai ...” (Matius 6:25). Bila kita kuatir akan kehidupan
berarti kita tidak percaya kepada Allah lagi dan hal tersebut adalah dosa. Kekuatiran
menyebabkan kita memisahkan diri dari Allah baik secara pikiran maupun tindakan
kita. Hal itu seumpama bagian dalam pikiran kita terbagi dua akibat kekuatiran.
Hal yang menarik bahwa kekuatiran ini tidak dapat menambahkan sesuatu yang
berarti dalam hidup, tetapi malah menimbulkan ketakutan sehingga iman kepada
Allah tidak ada. Yesus mengajarkan kita untuk disiplin percaya kepada-Nya dan
ia menyimpulkan, “Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka
semuanya itu akan ditambahkan kepadamu” (Matius 6:33).
“Mengapakah engkau melihat selumbar di
mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui?” (Mat
7:3). Kata “selumbar” atau butiran kecil adalah hal yang sering dilihat oleh
orang yang memiliki sifat menghakimi. Namun, balok yang ada di mata secara
pribadi tidaklah diketahuinya. Sebaiknya kita menyerahkan penghakiman itu
kepada Allah, karena Yesus pun tidak menghakimi siapa pun selama Dia hidup di
dunia sebagai manusia.
BAGIAN II FORMASI ROHANI PRIBADI
Formasi rohani yang akan dilakukan oleh
penulis yaitu disiplin Firman Tuhan, disiplin doa, disiplin memberi,
disiplin puasa, disiplin bersaksi, disiplin beribadah, disiplin ketaatan kepada
otoritas dan disiplin penderitaan.
Program ini dibuat untuk mendisiplinkan penulis yang bertujuan menjadikan
penulis seperti Yesus Kristus dan melakukan kehendak Tuhan. Seseorang yang telah menerima Kristus sebagai Tuhan dan
Juruselamat adalah seseorang memiliki status sebagai manusia baru (2 Kor 5:17). Sebuah status yang dianugerahkan Allah
namun tetap menuntut tanggung jawab manusia untuk menjalani status tersebut.
Kenyataan menunjukkan meskipun seseorang telah menjadi ciptaan baru namun
kebiasaan-kebiasaan manusia lama masih sulit dihilangkan. Di sinilah
perlunya penerapan disiplin rohani, yaitu supaya kebiasaan-kebiasaan lama kita
diubah dengan kebiasaan-kebiasaan baru yang sesuai dengan status kita yang
baru.
Disiplin Firman Tuhan
Penulis rohani Puritan mengingatkan kita
bahwa “membaca, tetapi tidak merenungkan tidak akan menghasilkan buah;
merenungkan tetapi tidak membaca akan berbahaya; membaca dan merenungkan tanpa
doa akan menyakitkan.”[23]
Penulis akan mendisiplinkan diri untuk membaca Firman Tuhan dengan bersuara
karena dengan bersuara maka pendengaran kita dapat mendengarkan kembali Firman
Tuhan yang telah dibaca. Firman Tuhan berkata bahwa iman timbul dari
pendengaran akan Firman Tuhan. Dengan bersuara maka penulis diharapkan
berkonsentrasi dengan pembacaan Firman Tuhan.
Pembacaan Firman Tuhan ini dilakukan
pada pagi hari setelah bangun tidur sebelum melakukan aktivitas yang lainnya
dan sebelum berdoa malam. Penulis akan membaca Firman Tuhan secara teratur
minimal tiga pasal sehari dan merenungkannya dan menghafal bagian ayat yang ditentukan
sendiri dalam pasal yang dibaca. Penulis memulai dari kitab Injil Matius hingga
Wahyu dan memulai dari kitab Kejadian hingga Maleakhi. Pembacaan Alkitab ini
dapat diselesaikan dalam setahun. Penulis juga menerapkan lima langkah dalam
disiplin Firman Tuhan yaitu membaca, mendengar, merenungkan, belajar dan
menghafal ayat-ayat Firman Tuhan. Pada waktu belajar Firman Tuhan, penulis
membuat catatan tentang teguran, nasihat dan janji Tuhan kepada penulis.
Teguran diresponi dengan insaf dan melakukan yang benar dihadapan Tuhan.
Pembacaan Alkitab memandang Alkitab
sebagai firman Allah yang memanggil kita untuk membuat respons yang tegas; oleh
karena itu Alkitab melatih kita mengambil sikap rohani tertentu – keterbukaan
kepada Allah, sikap mendengar dengan rendah hati, kesediaan untuk taat.
Kecenderungan sikap dasar ini merupakan tanah subur yang dapat menumbuhkan
benih kebenaran. Tidak seperti pembacaan biasa, pembacaan rohani dilakukan
untuk mempengaruhi hati, bukan untuk mendapatkan informasi.[24]
Disiplin
Berdoa
Tantangan dalam berdoa adalah
waktu, keadaan dan fokus kepada Tuhan. Penulis menggunakan waktu pada subuh
hari dan tengah malam untuk berdoa. Berdoa bertujuan untuk menjadi dekat atau
intim dengan Tuhan dalam mendengar suara dan menaati segala perintah-Nya. Dalam doa ada permohonan, syafaat dan juga
mendengar suara-Nya dalam disiplin keheningan dalam doa yang dikenal berdiam
tanpa suara dalam mendengar suara-Nya. Keadaan hati yang tenang dan damai
adalah penentu untuk berdoa terfokus dengan Tuhan. Berdoa tentunya dimulai
dengan keinginan hati dan pikiran sendiri dan selanjutnya kita dapat berdoa
dalam roh yang dipimpin oleh Roh Kudus. Berdoa bertujuan untuk mengetahui
kehendak Allah dan menyenangkan Allah. Bagi kita doa adalah nafas kehidupan
untuk berjuang di dalam dunia dan diberi kuasa untuk menjalani kehidupan
duniawi. Diumpamakan bahwa orang percaya adalah ranting-ranting yang tidak
dapat hidup tanpa batang pohon. Batang pohon adalah Tuhan Yesus sendiri karena
itu diperlukan disiplin doa dan ketergantungan dengan Tuhan. Simon Chan
berpendapat bahwa apabila kita tidak berdoa berarti menaruh nasib kita ke dalam
tangan kita sendiri, memalsukan diri kita yang sebenarnya sebagai ciptaan yang
tergantung dan menyangkal Allah sebagai Pribadi yang berdaulat.[25]
Penulis
akan melakukan disiplin doa pada malam hari dikisaran jam 11 malam hingga jam
satu dini hari. Penulis akan bertahan dalam doa minimal satu jam. Kerinduan
penulis untuk memiliki waktu yang berkualitas bersama dengan Tuhan Yesus.
Penulis akan berusaha dan meminta pertolongan Roh Kudus untuk mendisiplinkan
pikiran untuk tetap berfokus kepada Tuhan dengan berbagai cara seperti memuji,
menyembah Tuhan dan posisi berdoa sampai penulis sungguh-sungguh berfokus
kepada Tuhan. Penulis teringat perkataan Yesus kepada Petrus ditaman Getsemani,
“Tidakkah kamu sanggup berjaga-jaga satu jam dengan Aku?” (Matius 26:40).
Tujuan kita berdoa supaya kita tidak jatuh dalam pencobaan yang disediakan si
iblis. Berdoa berarti kita tidak mampu melawan iblis tanpa ada kuasa Tuhan di
dalam diri kita. Selain itu penulis menambahkan disiplin waktu bersama Tuhan
yaitu ada waktu-waktu yang disediakan secara khusus dimana dalam sehari itu
menyendiri berdua bersama Tuhan dan waktu itu adalah hari libur dan bukan hari
Minggu.
Kita tidak diharuskan begitu ketat mengikut Tuhan hingga
merasa ketakutan. Disiplin rohani akan menjadi sebuah paksaan atau
tuntutan jika aktifitas-aktifitas yang dilakukan bukan berasal dari keinginan
untuk mengasihi Tuhan. Tuhan Yesus rajin berdoa di pagi hari bukan karena
terpaksa atau melakukan sebuah tuntutan. Ia begitu mengasihi Bapa dan
rindu bersekutu dengan Bapa-Nya, meskipun sepanjang hari hingga malam Ia sibuk
melayani tetapi keesokan paginya Ia tetap mengambil waktu untuk berdoa (Mrk
1:35). Yang
terpenting adalah hubungan kita dengan Allah harus diperbaharui setiap hari
atau istilahnya terus diupdate setiap
saat. Alasannya adalah Allah adalah sumber kasih dan damai sejahtera karena
manusia tidak dapat membuat kasih itu ada karena kasih yang ada pada manusia
bukanlah kasih Allah yang sejati. Ketergantungan kita kepada Tuhan dapat
dilihat melalui adanya disiplin berdoa dalam kehidupan kekristenan kita. T.M. Moore
mengatakan bahwa tujuan disiplin rohani adalah pertumbuhan orang Kristen.
Hasil dari disiplin rohani adalah menjadi lebih serupa dengan Yesus.[26]
Disiplin keheningan adalah satu dari tiga disiplin dasar selain kesendirian dan doa.
Henri
Nouwen mengatakan:
Clearly silence
is a discipline needed in many different situations: in teaching and learning,
inpreaching and worship, in visiting and counseling. Silence is a very
concrete, practical, and useful discipline in all our ministerial tasks. It can
be seen as a portable cell taken with us from the solitary place to the midst
of our ministry. Silence is solitude practiced in action.[27]
Jelas diam adalah suatu
disiplin yang diperlukan dalam berbagai
situasi: dalam proses belajar mengajar, berkhotbah dan ibadah, dalam kunjungan dan konseling. Diam adalah sangat konkret, praktis, dan berguna disiplin dalam semua tugas pelayanan kami. Penulis setuju bahwa diperlukan
disiplin keheningan dalam doa dan diam dalam mendengar suara Tuhan.
Disiplin
Memberi
Hukum
memberi adalah siapa yang menabur berarti akan menuai. Penulis mendisiplinkan diri
melalui disiplin perpuluhan. Penulis lebih mendahulukan memberi bagi pekerjaan
Tuhan daripada kepentingan pribadi yang tidak mendesak. Tujuan disiplin memberi
untuk membuang tabiat pelit atau kikir pada seseorang dan mengajarkan berbelas
kasihan dan murah hati. Penulis juga
berkomitmen untuk memberi kepada sesama yang membutuhkan dan seturut dengan
tuntunan Tuhan. Memberi atau menabur haruslah tepat sasaran dan tidak
dimotivasi oleh berkat Tuhan melainkan karena kita mengasihi Allah dan sesama
manusia.
Disiplin Berpuasa
Disiplin
berpuasa bertujuan untuk memiliki sikap kerendahan hati di hadapan Tuhan bahwa
kita tidak mampu melakukan kehendak-Nya tanpa bergantung kepada-Nya. Berpuasa
tidak ditujukan untuk ketahanan rohani, tetapi melatih diri untuk taat kepada-Nya.
Penulis sudah melakukan berpuasa secara pribadi dan berjemaat. Saat ini penulis
ingin berdisiplin puasa yaitu ada minimal sekali berpuasa dalam sebulan. Selain
itu apabila ada himbauan untuk berpuasa bersama jemaat maka penulis juga akan
mengikutinya seperti puasa 40 hari di dalam jemaat atau puasa tiga hari. Selain
itu, penulis juga akan banyak berpuasa untuk makan siang. Berpuasa tidak untuk
mendapat pujian, tetapi upah yang berasal dari Bapa sendiri (Mat 6:16).
Disiplin Bersaksi
Disiplin
bersaksi adalah amanat Agung untuk semua orang percaya (Mat 28:19-20). Untuk
tujuan itu maka penulis tetap akan memberitakan kepada semua orang tentang
Kabar Baik Yesus Kristus dan seruan pertobatan kepada orang yang belum percaya.
Biasanya penulis akan berkunjung kepada teman dan orang yang belum dikenal
untuk menyaksikan tentang Yesus Kristus, Tuhan dan Juruselamat pribadi. Dalam
setahun dalam anugerah Tuhan, penulis mampu memuridkan sedikitnya dua jiwa baru
yang juga dapat bersaksi, berdoa dan melayani di gereja.
Disiplin Beribadah
Disiplin
beribadah adalah perintah dalam Alkitab. Paulus mengatakan bahwa kita harus
melatih tubuh kita beribadah. Dia juga berpesan agar kita tidak meninggalkan
jadwal persekutuan ibadah. Penulis memiliki kebaktian/ibadah tiga kali seminggu
dan semua itu telah dilakukan sejak bergabung dengan gereja lokal. Kegunaannya
adalah agar kita dapat bertahan dalam pencobaan dan dijauhkan dari si jahat.
Tujuan disiplin beribadah adalah membangun tubuh Kristus dimana di dalamnya
kita saling menguatkan dan membangkitkan melalui persekutuan ibadah (Ibrani
10:25).
Disiplin Ketaatan kepada Otoritas
Yesus selama di dunia juga
sebagai manusia yang senangtiasa taat dan taat sampai mati melakukan kehendak
Bapa-Nya. Tuntutan itu juga diberikan kepada kita. Penulis harus berdisiplin
taat kepada otoritas karena kelemahan ini seringkali menjadi penyebab kehidupan
spiritual menjadi lemah dan godaan-godaan tidak mudah dipatahkan. Tuhan Yesus
adalah otoritas tertinggi yang harus ditaati melalui Firman Tuhan dan
hamba-hamba-Nya. Dalam gereja kita memunyai gembala dan kita adalah
domba-domba-Nya dan sebagai domba akan mengikuti gembalanya. Penulis belajar
untuk taat kepada pemimpin seperti Daud taat kepada Saul karena pengurapan
Allah kepada Saul, meskipun Saul itu jahat dihadapan Tuhan.
Pengajaran
Injil Matius, ketika Yesus dicobai di padan gurun adalah dalam kewenangan Bapa
di surge sebagai manusia, Yesus tetap taat sebagai manusia dan tidak
menggunakan keAllahan-Nya dan menjalani pencobaan itu seturut dengan kehendak
Bapa. Demikian pula ketika Yesus berdoa di Taman Getsemani sekali lagi sebagai
manusia, Yesus berdoa dan berkata: “Ya Bapa-Ku jikalau cawan ini tidak mungkin
lalu, kecuali apabila Aku meminumnya, jadilah kehendak-Mu!” (Mat 26:42).
Disiplin Penderitaan
Disiplin
penderitaan seharusnya menjadi bagian dalam kehidupan orang percaya yang mau
seperti Yesus, tetapi yang terjadi adalah kita malah menghindari penderitaan.
Alkitab berkata: “Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya
dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat.” (Mat 5:11). Penulis harus bersiap
untuk suatu penderitaan yang dikehendaki Tuhan dan tidak menghindari dari saat
itu. Setiap orang Kristen harus menyangkal dirinya dan memikul salibnya. Setiap
orang tidak sama dalam penyangkalan diri seesuai dengan kemampuan yang
diberikan dan dianugerahkan oleh Tuhan sendiri. Oleh karena itu, penulis selalu
siap sedia untuk tetap setia walaupun penderitaan itu datang untuk menguji iman
dan kesetiaan serta ketekunan di dalam Tuhan.
BAGIAN III.
FORMASI ROHANI DALAM JEMAAT
Gereja terdiri atas tubuh Kristus
dan seluruh bagiannya dan Kristus sebagai Kepala yang menyatukan semua bagian
tubuh melalui kasih Kristus sendiri (Ef 4:15-16). Gereja adalah oragnisme hidup
yang bertumbuh dan dalam pertumbuhannya dibutuhkan formasi rohani atau disiplin
rohani. Hal ini sebagian telah dijelaskan dalam formasi rohani pribadi.
Implementasi dalam jemaat, penulis mencoba membaginya dalam disiplin bersaksi,
disiplin melayani, disiplin penyembahan, disiplin pemuridan dan disiplin
ibadah. Semua disiplin ini bertujuan untuk melakukan kehendak Tuhan dan
memuliakan nama-Nya sebab kuasa, kekuasaan dan kemuliaan sampai selama-lamanya
(Mat 6:13b).
Disiplin Bersaksi
Setiap
orang percaya wajib bersaksi dimana pun ia berada dan tidak peduli apakah ia
seorang pendeta maupun orang awam. Oleh karena itu, gembala selalu mengajarkan
dan mendidik jemaatnya untuk semangat penginjilan dan mendukung misi sebagai
Amanat Agung Yesus Kristus. Jemaat harus terbeban dengan jiwa-jiwa yang akan
binasa karena tidak mereka tidak percaya dan mengenal Yesus. Yesus sendiri
menyuruh murid-murid-Nya pergi untuk memberitakan kabar keselamatan ke seluruh
daerah-daerah dan bahkan orang yang terkenal berdosa yaitu perempuan Samaria menjadi
pemberita Injil untuk sesama di kampung halamannya.
Disiplin Melayani
Jemaat
yang sungguh-sungguh mengasihi Tuhan tentunya akan melayani Tuhan dan
sesamanya. Jemaat harus diajarkan untuk terbeban melayani. Melayani daripada
dilayani itu adalah sikap hamba yang telah ditunjukkan oleh Yesus sendiri.
Setiap orang awan harus dilatih melayani dan didorong untuk melayani Tuhan.
Disiplin melayani ini dianggap perlu karena seringkali jemaat tidak lagi
bersemangat untuk melayani karena pelayanan dianggap sebagai suatu rutinitas.
Dalam kehidupan rohani ini adalah suatu siklus yang akan terjadi dalam
pelayanan, namun perlu diingat bahwa kita melayani Tuhan yang berdaulat atas
seluruh kehidupan kita. Namun yang perlu diperhatikan adalah pelayanan bukanlah
segalanya tetapi kehendak Tuhan. Kata Yesus kepada mereka, “Makananku ialah
melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya” (Yoh
4:34).
Disiplin Penyembahan
Penyembahan
ditujukan kepada Allah dengan tujuan untuk menyenangkan Dia yang layak menerima
segala pujian dan hormat. Disiplin penyembahan ini sangat dibutuhkan dalam
masa-masa penderitaan dan kesusahan sehingga selalu mengucap syulkur dan
berterima kasih kepada Allah.
Penyembahan berarti juga pengabdian kepada Allah yang telah menebus kita
dengan mengorbankan diri-Nya di kayu salib sebagai ganti orang-orang berdosa.
Dalam
ibadah kita menyembah Tuhan, tidak hanya sampai disitu jemaat juga harus
menyembah Dia dalam roh dan kebenaran. Artinya kehidupan jemaat harus
menghasilkan buah sebagai akibat dari penyembahan kepada Tuhan. Disiplin
penyembahan ini dapat dilakukan dimulai dari keluarga melalui mezbah keluarga
dan secara pribadi juga dilakukan oleh setiap anggota keluarga dan
dimplementasikan dalam sikap dan perbuatan.
Disiplin Pemuridan
Gereja
yang sehat memiliki program pemuridan yang bertujuan regenerasi gereja di masa
yang akan datang. Pemuridan bagi jemaat untuk mencegah masuknya
pengajaran-pengajaran yang sesat dan memperlengkapi jemaat dalam pelayanan.
Pemuridan jemaat bermanfaat untuk melipatgandakan jiwa-jiwa melalui
penginjilan. Apbila seorang murid telah belajar maka dia pun dapat menjadi guru
untuk mengajar jemaat yang lain yang belum dewasa rohani.
Gembala
berkewajiban memuridkan jemaatnya untuk menghasilkan gembala-gembala seperti
pemimpinnya untuk menjalankan fungsi gereja untuk melayani pekerjaan Tuhan dan
secara pribadi Tuhan sendiri. Dalam gereja diperlukan Marta dan Maria yang
seimbang dalam melayani Yesus Kristus. Dalam pemuridan juga diajarkan bagaimana
membangun huibungan pribadi dan intimasi dengan Tuhan dan bagaimana menghormati
Allah dan pemimpin serta bagaimana menjadi pemimpin atau gembala untuk
menggembalakan domba-domba yang lainnya. Dalam pemuridan akan nyata siapa yang
kawan (domba) dan siapa yang lawan (srigala dan srigala berbulu domba).
Disiplin pemuridan ini dapat dilakukan sesuai dengan kelompok seperti kaum bapak, kaum ibu, kaum pemudi dan
kaum pemuda. Pemuridan juga menjadi jalan keluar persoalan-persoalan yang
dialami jemaat. Apabila jumlah murid banyak dapat juga dibagi menjadi beberapa
kelompok dan dipimpin oleh satu ketua kelompok dibawah otoritas gembala yang
menugaskannya. Pemuridan adalah perintah Tuhan dan Tuhan mencari murid dan
bukan pengikut simpatisan. Pemuridan juga digunakan sebagai katekisasi dan
syarat untuk menjadi anggota jemaat lokal.
Disiplin Ibadah
Disiplin ibadah bertujuan untuk melatih
diri untuk beribadah kepada Tuhan. Jiwa manusia tidak mau beribadah namun roh
manusia yang telah dilahirbarukan Roh Kudus merindukan hal tersebut. Oleh
karena itu, disiplin beribadah dikenal juga sebagai disiplin perayaan (celebration).
According to Dallas Willard, celebration
is one of the most important disciplines of engagement, yet it is one of the
most overlooked and misunderstood. He says, “We engage in celebration when we
enjoy ourselves, our life, our world, in conjunction with our faith and
confidence in God’s greatness, beauty, and goodness. We concentrate on our life
and world as God’s work and as God’s gift to us.” [28]
Menurut pernyataan Dallas Willard,
perayaan adalah hal terpenting yang menghubungan diri kita dengan Allah dalam
segala kebesaran, keindahan dan kebaikan-Nya. Menurut penulis kita beribadah
sebagai suatu ucapan syukur atas segala yang telah diperbuat-Nya bagi umat-Nya
melalui ekspresi dan penghayatan melalui ibadah.
Lampiran
Jadwal Formasi Rohani Harian Penulis
Jam
|
Aktivitas
|
Keterangan
|
05.00-06.00
06.00-07.00
07.00-19.00
19.00-22.00
19.00-23.00
(hari
Jumat –Minggu)
24.00-01.00
dini hari
01.00-04.00
|
Menyembah,
berdoa dan berdiam
Membaca
dan merenungkan Firman Tuhan
Aktivitas,
kerja, istirahat dan menjadi berkat
Berkunjung
dan bersaksi, memuridkan
Beribadah
dan melayani Tuhan
Menyembah
dan berdoa syafaat dan berdiam
Istirahat
|
Disiplin
Firman Tuhan
Disiplin
Berdoa
Disiplin
Melayani
Disiplin
Bersaksi
Disiplin
Ibadah
Disiplin
keheningan
Tidur
|
[1] J.S. Badudu dan Sultan Mohammad
Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1994), 410, 1174.
[2] Dallas Willard, Renovation of Heart (Malang: Literatur
SAAT, 2005), 30.
[3] Richard J. Foster, Celebration
of Discipline (San Francisco: Harper & Row, 1978), 138.
[4] John R.W. Stott, Khotbah di Bukit, cet. ke-4 (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina
Kasih, 2008), 28.
[5] Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 3 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), 257.
[6]
Jonathan
Kristen Mickelson, Mickelson’s Enhanced
Strong’s Greek and Hebrew Dictionaries (The Word,2008), s.v. “ptōchoi
tō pneumati”
[7] J.L. Ch.
Abineno, Khotbah di Bukit
(Jakarta:BPK Gunung Mulia, 1990), 14.
[8] Stott, Khotbah di Bukit,51-52.
[9] James Strong, Strong’s Greek and Hebrew Dictionaries (Franklin,TN:e-Sword,
2008), s.v pentheō.
[10] Stassen, Glen H. dan David P. Gushee, Etika Kerajaan Mengikut Yesus dalam Konteks
Masa Kini, 29-30.
[11] Sinclair B.
Ferguson, Khotbah di Bukit, 22-23.
[12] Stott, Khotbah
di Bukit, 56.
[13] Guthrie,
Teologi Perjanjian Baru 3,259.
[15] Stott, Khotbah
di Bukit, 62.
[16] Ferguson, Khotbah
di Bukit, 35-36.
[17] Stott, Khotbah
di Bukit, 64-66.
[18] Stott,
Khotbah di Bukit, 66-67.
[19] Guthrie, 260-261.
[20] Stassen, Glen H. dan David P. Gushee, 38.
[21] Stott, Khotbah
di Bukit, 71-72.
[22] Stassen, Glen H. dan David P. Gushee, 38.
[23] Simon Chan, Spiritual Theology 2 (Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2002), 57.
[24] Simon Chan, 60-61.
[25] Simon Chan, 13.
[26] T.M. Moore, Disiplin Anugerah: Dari Rutinitas
Rohani kepada Pembaharuan Rohani (Malang: SAAT, 2004), 26-27.
[27] Henri J.M. Nouwen, The Way of
the Heart (New York: Ballantine
Books, 1981), 30.
[28] Dallas Willard,
The Spirit of The Disciplines (San Francisco: Harper & Row
Publishers, 1988),
179.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar