Good News

Selasa, 04 November 2014

Komunikasi Pastoral



PENDAHULUAN
Latar Belakang
Komunikasi sangat penting dalam pelayanan seorang gembala atau pastor. Gembala dalam berinteraksi dengan jemaat menggunakan komunikasi yang baik dan benar sesuai dengan kebenaran Allah. Yesus telah menjadi komunikator terbaik dalam menyampaikan pesan Allah kepada banyak orang dan menjadi berkat. Perkataan dan perbuatanNya telah mengkomunikasikan maksud Allah kepada umatNya. Yesus menggunakan berbagai sarana untuk mengkomunikasikan Injil kepada banyak orang, baik dengan berbicara perumpamaan, kotbah, ilustrasi, maupun  pernyataanNya sendiri.

Berkotbah adalah tugas setiap orang beriman. Baik pengkotbah maupun jemaat, tugasnya dalam berkotbah adalah sama, yaitu mewartakan Firman Allah dan membantu jemaat untuk memahami makna Firman Allah dalam hidup, serta mengalami kehadiran Tuhan dalam hidupnya. Berkotbah bukanlah suatu tugas yang mudah, karena masalahnya bukan hanya pada sisi persiapan dan penulisan khotbah tetapi juga pada penyampaian. Dalam hal ini bagaiman seorang pengkotbah mengkomunikasikan maksud Allah kepada jemaat. Ada kotbah yang sangat bagus dan bermutu yang telah lama disiapkan, akan tetapi ketika disampaikan kepada jemaat, kotbah itu terasa kering, tidak menarik, atau pesannya tidak dapat ditangkap oleh pendengar. Tetapi ada khotbah yang sederhana dan nampaknya biasa-biasa saja malah menarik dan berkesan bagi pendengar. Mengapa? Para pendengar atau jemaat sangat berharap akan mendapat sesuatu dari pengkotbah, akan tetapi banyak pendengar yang akhirnya gusar dan menggerutu karena kotbah itu disampaikan layaknya mengajar di perguruan tinggi, pengkotbah tidak melihat jemaat dan terpaku pada teks yang dibuatnya.
Berdasarkan latar belakang diatas penulis mencoba mengkaji suatu pendekatan komunikasi dan media komunikasi dalam pelayanan kepada jemaat baik pelayanan gereja, mimbar maupun diakonia pada beberapa gereja Tuhan di kota Makassar yang nantinya memberikan gambaran singkat penggunaan komunikasi yang baik dan benar untuk memuliakan Allah. Penulis menetapkan judul tulisan: Komunikasi dalam Pelayanan Masa Kini.
Pokok Masalah
Bertitik tolak dengan latar belakang diatas maka pokok masalah yang dikaji adalah:
Pertama, mengkaji bagaimana penggunaan media komunikasi digunakan di dalam gereja untuk mengkomunikasi berita Injil kepada jemaat. Kedua, bagaimana komunikasi dalam berkotbah dapat menyampaikan berita Injil dengan baik dan benar kepada jemaat. Ketiga, bagaimana berkomunikasi yang baik dengan jemaat dalam pelayanan diakonia atau pelayanan perkunjungan ke jemaat.
Tujuan Penulisan
            Tujuan penulisan ini adalah: Pertama, mengetahui pemanfaatan media komunikasi baik verbal maupun  non verbal dalam pelayanan mimbar dan diakonia. Kedua, memberikan informasi dan pengetahuan tentang komunikasi pastoral yang baik dan benar yang dapat digunakan oleh hamba Tuhan dan pelayanNya.
Metode Penulisan
            Metode yang digunakan adalah wawancara dengan jemaat gereja tertentu (nama gereja, nama jemaat) dengan menanyakan beberapa pertanyaan yang relevan yang berhubungan dengan pemanfaatan media komunikasi dalam pelayanan masa kini, evaluasi terhadap komunikasi kotbah dan percakapan pastoral.

KOMUNIKASI PASTORAL
Pengertian Komunikasi Pastoral
Kata komunikasi berasal dari bahasa Latin communis, yang artinya berbagi, menjadikan umum, atau bahkan untuk “memiliki sebuah kepercayaan yang sama.” Komunikasi memampukan kita mengembangkan pendidikan, teknik, bisnis, media dan setiap aspek  dari budaya manusia. Barangkali kemampuan ini merupakan bagian dari apa yang dinyatakan oleh Kitab Suci sebagai imago Dei (gambar Allah) di dalam diri kita (Kej 1:26-27).[1]
Komunikasi pastoral berasal dari “pastor” atau “gembala” dan segala sesuatunya dikaitkan dengan berbagai sarana, metode serta kandungan komunikasi yang dibutuhkan seorang gembala agar dapat berkomunikasi dengan dan memelihara kawanannya.[2] Jadi komunikasi pastoral dalam arti luas adalah semua kegiatan komunikasi Gereja dan para anggotanya. Namun dalam arti lebih sempit dan tegas, komunikasi pastoral adalah dimensikomunikasi dari semua pelayanan gerejawi, alat-alat komunikasi, struktur, kebutuhan serta peluang demi pelayanan dari para pejabat gerejawi, para pelayan awam yang terlibat secara langsung dalam karya gerejawi, dan setipa anggota gereja wajib untuk mengkomunikasikan iman keyakinannya dalam perkataan dan perbuatan, baik secara langsung maupun tidak langsung kepada siapa saja di sekitarnya.[3]
Penggunaan Media Komunikasi dalam Pastoral
Unsur-unsur apa saja yang digunakan dalam menyampaikan programnya kepada gereja dan masyarakat yaitu:

1.      Warta Jemaat
Komunikasi gereja melalui media tulisan Warta Jemaat atau ada nama lain untuk sebutan itu tergantung pada gereja masing-masing. Bahkan sebuah gereja kadang juga memiliki majalah bulanan untk mempromosikan kegiatan-kegiatan gereja. Semua gereja menggunakannya untuk menyampaikan kegiatan-kegiatan gereja dan pelaporan tanggung jawab pengurus gereja kepada jemaat.
2.      Media Elektronik
Media elektonik yang digunakan adalah sound system, LCD proyektor, computer atau laptop, alat-alat musik dan perlengkapan lightening. Semua ini memberikan dukungan pada suasana peribadatan.
3.      Media Sosial
Media sosial adalah jejaring sosial yang dihubungan dengan dunia internet dimana ada facebook, twitter, blogger dan website. Melalui media ini, gereja mengkomunikasikan artikel, kotbah, laporan pelayanan dan dokumentasi pelayanan dan dinikmati dan diketahui oleh banyak orang dan orang percaya di seluruh dunia.
4.      Persekutuan-persekutuan
Ibadah-ibadah di luar gereja adalah pemuridan sebagai media komunikasi yang efektik untuk pertumbuhan iman dan pengenalan yang benar akan Tuhan Yesus Kristus.
5.      Kegiatan Sosial
Kegiatan sosial atau kemanusiaan  menajdi  media komunikasi kea rah luar untuk menyatakan kasih dan kebenaran Kristus kepada masyarakat di luar gereja yaitu masyarakat sosial.

6.      Penginjilan
Sarana penginjilan merupakan media komunikasi yang efektif untuk mengjangkau orang-orang di luar yang belum bergereja dan memultifikasi penyampaian Firman Allah dan penyampaian informasi gereja.
7.      Seminar dan  Pelatihan
Seminar dan pelatihan bertujuan untuk memberdayakan potensi dan karunia jemaat dan akhirnya berguna dalam pelayanan Kristus. Seminar dan pelatihan adalah salah satu cara mengkomunikasikan Injil kepada masyarakat luar.
8.      Liturgis
Bagi umat Katolik pelayanan liturgis mengkomunikasi sakramen-sakramen termasuk sakramen ekaristi atau perjamuan kudus (sebutan protestan dan pantekosta) untuk  mengalami tubuh dan darah Yesus secara realitas dan bukan simbolis. Sementara untuk kalangan pantekosta, liturgis dapat membawa realitas pengalaman kehadiran Tuhan dalam jemaat. Bahkan pujian dan penyembahan membawa realitas kehadiran Tuhan dan keintiman selam proses ibadah.
Media komunikasi dalam pelayanan gereja sangat penting untuk membantu kelancaran penyampaian informasi tentang pelayanan gereja sepekan dan mengetahui perkembangan aktivitas bergereja. Alat-alat komunikasi visual dan audio visual digunakan. Untuk mengetahui penggunaan media komunikasi maka penulis menggunakan metode wawancara yang bertujuan mendapatkan data-data dari jemaat yang bergereja lokal di kota Makassar.
            Adapun media komunikasi yang digunakan oleh gereja GKI Sulawesi Selatan adalah Warta Jemaat adalah media komunikasi tulisan yang berisikan jadwal ibadah, jadwal pelayanan sepekan, jadwal hamba-hamba Tuhan yang melakukan diakonia, pokok-pokok doa, materi Persekutuan Warga Jemaat (PWJ), renungan harian. Warta Jemaat ini ditulis dalam dua bahasa yaitu bahasa Indonesia dan Mandarin. Akuntanbilitas keuangan juga disampaikan dalam Warta Jemaat.[4] Selain itu melalui mimbar selalu diingatkan  bagian-bagian tertentu dalam Warta Jemaat dalam sesi pengumuman gereja. Hal yang menarik dalam gereja ini adalah kesan penerimaan jemaat terhadap pengunjung gereja yang baru. Mereka disambut dengan ucapan “Selamat Datang dan Beribadah”. Dan hal ini dilakukan setiap ibadah gereja. Efektivitas komunikasi dalam gereja didukung dengan fasilitas komunikasi dan penyampaian yang variatif yang dapat memberi kesan mendalam bagi pengunjung gereja atau pun jemaat lokal sebuah gereja.
Gereja ini juga memiliki siaran radio yang bernama Radio Christy yang mengjangkau daerah pedesaan dan diluar kota Makassar dengan pemberitaan Injil dan merupakan radio Kristen pertama di kota Makassar.[5] Media siaran radio sangat efektif  untuk menyampaikan informasi tentang Injil dimana di daerah pedesaan dapat belajar pengetahuan dan pengalaman yang baru tentang kebenaran Allah. Bahkan saat ini banyak gereja yang menggunakan media televisi untuk menyampaikan kotbah dan pelayanan gerejanya. Saat ini Stasiun televisi (TVRI) memberikan kesempatan setiap gereja yang mau menyampaikan Injil melalui televisi  dan gereja ini juga ikut serta dalam acara ini. Tentu melalui media penyiaran sangat efektif untuk mengjangkau yang jauh dari komunitas gereja ini dan juga mengjangkau yang belum percaya di daerah-daerah yang sulit dijangkau atau Injil sulit diterima di daerah tersebut.
            Media komunikasi yang lain yang digunakan adalah penggunaan audio visual seperti LCD proyektor  untuk menampilkan lirik-lirik lagu ataupun pengumuman dan gambar-gambar untuk keperluan kotbah. Melalui full band dan musik maka berita Injil disampaikan dalam pujian dan penyembahan. Namun, pujian dan penyembahan kepada Tuhan mendapatkan bagian waktu yang singkat dibandingkan dengan penyampaian kotbah. [6] Beberapa gereja pantekosta memberikan waktu yang lebih banyak untuk pujian dan penyembahan, hal itu sekarang terjadi dalam pujian penyembahan gereja kami. Jemaat berkomunikasi dengan Tuhan melalui penyembahan dan Tuhan bertindak mengubahkan hati jemaatnya melalui lirik-lirik lagu yang dinyanyikan.[7]
Gereja ini belum memiliki situs (website) yang berguna untuk menyampaikan program-program gereja. Beberapa gereja lokal memiliki website untuk menyiarkan radio secara langsung untuk mengjangkau pengguna media dunia maya (internet). Bagi masyarakat perkotaan ini sangat mendukung akses informasi tentang pelayanan gereja, namun untuk masyarakat desa komunikasi dari mulut ke mulut merupakan sarana yang efektif untuk menyampaikan berita seperti halnya cara perempuan Samaria di dalam Alkitab (Yohanes 4).
Program kerja gereja yang disampaikan kepada masyarakat melalui kegiatan sosial seperti pengobatan dan pembukaan pos penginjilan diluar kota Makassar seperti kabupaten Bulukumba dengan tujuan mengjangkau orang-orang etnis Tionghoa. Pertemuan-pertemuan ibadah di luar hari Minggu menyatukan persahabatan diantara jemaat dalam bertukar informasi seputar pelayanan gereja. Keterlibatan jemaat dalam kepanitiaan suatu program gereja semakin menguatkan arti komunikasi dalam gereja.[8] Sambutan anggota gereja yang bertugas sebagai “penjemput tamu” memberi kesan penerimaan anggota jemaat untuk beribadah dengan sukacita. Komunikasi di depan gereja ini adalah sesuatu yang sederhana namun memberikan kesan pertama bagi jemaat, apalagi jemaat yang baru pertama kali beribadah di gereja tersebut. Gereja ini memiliki misi untuk mengjangkau lebih banyak lagi etnis Tionghoa untuk kemuliaan Allah.[9]
Komunikasi dalam Kotbah
            Hasil wawancara kepada dua belas jemaat terdiri atas empat denominasi gereja yaitu Gereja Kristen Maranatha Panama, Gereja Toraja Jemaat Bunturannu dan Gereja Katolik Paroki St. Yakobus, dan GKII Ekklesia Apostolik penulis menyimpulkannya sebagai berikut.
            Pertama, ada gereja yang membatasi ruang gerak seorang pengkhotbah dalam menyampaikan Firman Allah dengan memberikan ruang yang melingkar diatas mimbar.[10]  Ada pula gereja yang memberikan kebebasan kepada pengkhotbah sebebas-bebasnya di atas mimbar dan bahkan bias berinteraksi dengan jemaat. Maksudnya adalah tidak membatasi gerakan dari dalam hati pengkhotbah untuk mengekspresikan pesan Injil kepada jemaat Tuhan. [11] Seorang pengkotbah yang hatinya digerakkan oleh Sabda Allah dan yang akan menyampaikan pesan yang mulia dan besar itu kepada umat, tentu tidak akan berdiri secara kaku di atas mimbar. Tetapi ia akan menggerakkan tangan dan badannya sebagaimana biasanya. Dalam hal sikap, memang tidak dapat ditentukan bagaimana yang seharusnya, sebab pribadi tiap-tiap pengkotbah berbeda sehingga pembawaan atau sikap pun turut berbeda.[12] Hendaknya pengkhotbah bersikap santai dalam menyampaikan kebenaran Firman Tuhan dan tidak harus sangat serius sehingga suasana pendengar/jemaat menjadi tegang.
            Kedua, seorang hamba Tuhan harus menjadi dirinya sendiri dan tidak mengikuti gaya dan komunikasi orang lain untuk menyampaikan khotbahnya. Gaya bahasa dan komunikasi yang meniru hamba Tuhan yang lain menghilangkan ciri khas pribadinya dan perlu diingat bahwa pendengar/jemaat selalu memerhatikan setiap Minggunya. Hal ini sering dilakukan hamba Tuhan dalam suatu jemaat karena ada asumsi apabila mengikuti gaya dan komunikasi hamba tertentu akan memberikan kesan yang sama dari pendengar, namun hal tersebut malahan menjadikan pengkhotbah tidak percaya diri dengan dirinya dalam menyampaikan kotbahnya.[13]
            Ketiga, kotbah pengajaran bercirikan secara mendalam menjelaskan setiap teks Alkitab. Penjelasan yang panjang namun hal tersebut sudah dimengerti jemaat, hal itu menyebabkan kebosanan dan hanya untuk menambah lama waktunya.[14]  Gereja Katolik  sangat ketat dalam disiplin waktu liturgis maka ada pembatasan waktu berkotbah, misalnya paling lama 30 menit. Umat Katolik menyetujui waktu itu secara tradisi namun rasa lapar terhadap kebenaran membuat jiwa mereka membutuhkan lebih banyak lagi. Hal ini juga disebabkan waktu pertembuan ibadah di luar gereja tidak ada. [15] Untuk sebuah kotbah pemberitaan maka waktu itu relatif cukup dibandingkan kotbah pengajaran yang membutuhkan lebih banyak dari waktu tersebut. Khotbah pengajaran di gereja Ekklesia Apostolik membutuhkan waktu yang lebih banyak, namun terkadang kotbah itu harus berseri supaya pemahaman dan daya tangkap pendengar bias lebih maksimal dan tentunya ini tergantung peranan Roh Kudus dan keterbukaan jemaat yang mendengarkan Firman Tuhan dan melakukannya dalam kehidupan sehari-hari.[16]
            Keempat, kualitas isi kotbah mempengaruhi pemahaman jemaat dalam merenungkan Firman Tuhan yang disampaikan. Ada kalanya hamba Tuhan tidak konsisten dengan amanat kotbah atau tema kotbah dengan ilustrasi atau kesaksia sehingga jemaat terfokus pada kesaksian hamba Tuhan dan akhirnya melupkan tema kotbah itu sendiri.[17] Secara keseluruhan pendengar menilai pengkhotbah terlalu menekankan pengalaman pribadi dengan Tuhan dan melupakan penyampaian Firman Tuhan sebagai prioritas utama dalam isi kotbah.[18] Ada hamba Tuhan yang berkotbah dengan menggunakan banyak referensi ayat-ayat Firman Tuhan dan mengkotbahkan suatu perikop dengan tema yang jelas. Referensi ayat-ayat tersebut justru memperluas tema tersebut dan kadang kala menjadi beberapa tema.[19]
            Kelima, seorang pengkhotbah harus dapat menguasai keadaan pendengar dengan memerhatikan wajah-wajah pendengar. Artinya pengkhotbah memahami kebutuhan jemaat akan kebenaran Firman Tuhan. Secara rohani, pendengar/jemaat sering mengamati ekspresi pengkhotbah untuk mengenal pribadi pengkhotbah dan maksud Firman Tuhan, demikian pula pengkhotbah mampu mengkomunikasikan Firman Tuhan dengan baik dan benar supaya pendengar menafsirkan maksud pengkhotbah dengan benar pula.[20]
            Keenam, seorang pengkhotbah hendaknya memiliki etika komunikasi dalam menyampaikan kebenaran Allah tanpa harus memperlemah pesan Injil. Misalnya ada beberapa kiasan seperti “babi kembali ke kubangan” artinya bila kita selalu jatuh ke dalam dosa yang sama maka kita seperti hewan babi. Hal ini dapat ditafsirkan berbeda oleh  pendengar . Penyampaian kata-kata yang “tegas” dapat berdampak negative yang diterima pendengar sebagai suatu intimidasi rohani bagi jemaat yang masih lemah imannya dan pemahaman rohaninya masih dangkal.[21]
Komunikasi dalam Pastoral
            Masalah-masalah yang sering timbul dalam konseling adalah kebanyakan dari pihak pendeta atau konselor yang tidak berempati kepada konseli atau jemaat yang mengkomunikasikan masalahnya. Mereka menginginkan seorang konselor yang siap mendengar perasaan dan keluhan  sebelum diberikan penyelesaian masalah. Kadangkala pendeta lebih banyak berbicara daripada konselinya seakan-akan dia telah mengetahui keseluruhan masalah-masalah yang dialami konselor. Sebaiknya pendeta lebih banyak berdiam dalam arti mendengarkan dengan empati yang dibicarakan oleh jemaat. [22]
            Perkunjungan jemaat yang dilakukan pendeta seperti menjenguk orang yang sakit dengan berkomunikasi singkat seperti menanyakan keadaan jemaat dan pergumulan jemaat itupun dalam hal ini jemaat yang harus memulai duluan percakapan seperti itu. Pendeta tidak sering menjelaskan kebenaran Firman Tuhan dalam perkunjungan dan selalu untuk berdoa setiap perkunjungan. Pendeta sebaiknya lebih banyak lagi mengetahui keadaan rohani jemaatnya saat berkunjung ke rumah karena selalu saja ada masalah rumah tangga yang tidak dapat diselesaikan oleh jemaat sendiri.[23]
Para Pendeta dan konselor perlu membekali diri dengan prinsip-prinsip dasar konseling pastoral dan berbagai pendekatan yang dapat dikembangkan dalam konseling pastoral agar dapat membantu orang-orang yang menghadapi masalah-masalah mereka secara konstruktif, dengan mengambil keputusan-keputusan yang sungguh-sungguh dapat dipertanggung-jawabkan, dan memperbaiki sikap dan perilaku mereka yang cenderung melukai diri sendiri dan orang lain. Oleh karena itu, para Pendeta dapat membantu anggota Jemaat untuk secara jujur dan terbuka mengungkapkan perasaan-perasaan dan sikap-sikap yang merintangi pertumbuhan mereka, maupun orang-orang yang berelasi dengan mereka.[24] Oleh karena itu karakter gembala menjadi pendukung dalam proses konseling. Seorang gembala yang siap untuk menjadi konselor harus membekali diri dengan pengetahuan dan praktik konseling atau barangkali juga telah dikaruniakan oleh Tuhan untuk pelayanan konseling.
Prinsipnya tugas pendeta adalah mengunjungi dari rumah kerumah (Kis 5:42) sudah diakui dan diterima secara luas, tetapi pada pelaksanaannya juga mengalami kesulitan yaitu:
1. Permintaan pelayanan yang tidak masuk akal. Artinya jemaat memanfaatkan kunjungan pastoral dengan permintaan financial atau penyelesaian masalah secara cepat oleh pendeta.
2.   Pengaturan waktu antara waktu untuk organisasi dan waktu perkunjungan yang seharusnya fleksibel pada keadaan darurat.
3.   Permintaan kunjungan segera dari jemaat yang tinggal jauh akhirnya menyisakan sedikit waktu saja.
4.   Banyak anggota yang bekerja sehingga tidak ada di rumah dan ketika mereka punya waktu di sore atau malam hari, pendeta sudah punya jadwal acara pertemuan sore lainnya.
5.   Idealnya kunjungan pastoral dilakukan secara rutin, sedikitnya satu orang atau satu keluarga dikunjungi sekali dalam setahun. Hanya dengan cara ini pendeta dapat mengetahui dari tangan pertama tentang aspirasi, pergumulan dan tantangan jemaat.
Perkunjungan, secara nyata akan mengetahui adanya kasih dan penolakan,
kegembiraan dan kesedihan, harapan dan ketakutan. Melalui perkunjungan pendeta dapat masuk kedalam kehidupan pribadi yang paling dalam dan memberi pendampingan dan pertolongan akan kebutuhan mereka.
Bagaimana kita dapat menentukan pendekatan konseling pastoral yang mendukung atau yang pendekatan yang menyingkapkan di dalam pelayanan pastoral kita? Namun beberapa kecenderungan konseli yang dapat memandu Pendeta atau konselor untuk mengembangkan konseling pastoral yang mendukung bila : (1) Konseli tidak mampu menangani atau memikul tanggung-jawabnya sebagai orang dewasa; (2) Konseli tidak mampu meredakan rasa frustrasi dan mengontrol emosinya; (3) Konseli mengalami ketergantungan yang berat dan kronis terhadap hal-hal tertentu; (4)Konseli mengalami gangguan-gangguan persepsi/interpretasi/daya tangkap (perceptual distortion); (5) Konseli memiliki kepribadian yang kaku (personality rigidity); (6) Konseli mengalami kesulitan untuk memperoleh manfaat dari pendekatan konseling yang berpusat pada pemahaman diri.[25]
Beberapa bentuk ketrampilan konseling mendasar yang perlu diperhatikan dan dikembangkan oleh Pendeta dalam konseling pastoral yaitu:[26]
1.      Sikap yang terus memperhatikan dan menjaga kontak mata, sehingga Konseli mengetahui bahwa Pendeta sedang berusaha memahami dunia batinnya.
2.      Mintalah konseli untuk berbicara tentang soal yang penting dengan pertanyaan terbuka dengan komentar yang singkat atau dengan isyarat badan.
3.      Dengarkan dan amati dengan hati-hati pesan non-verbal yang disampaikan Konseli.
4.      Ikutilah jalan ceritanya, sehingga konseli mengetahui bahwa Pendeta sedang berupaya memahami dunia batinnya.
5.      Berilah tanggapan empatik dengan cara meringkaskan arah utama dari perasaan dan masalah yang penting dan apa maknanya bagi konseli.
6.      Buatlah kejelasan dengan meringkaskan pokok-pokok dari apa yang disampaikan oleh konseli, dan kemudian periksalah catatan Anda dengan menanyakannya.
7.      Selidikilah bagian-bagian yang masih belum didiskusikan dengan pertanyaan-pertanyaan yang tajam.
8.      Berkonfrontasi jika perlu dan situasinya cocok.
9.      Pahamilah makna, persoalan dan dinamika masalah yang dihadapi oleh konseli dan berilah rekomendasi berdasarkan pemahaman diagnostik.
10.  Buatlah suatu pengertian tentang gambaran batin atau “internal frame of reference” dari konseli (bagaimana orang itu memandang kehidupan dari dunia batiniahnya, bagaimana ia merumuskan masalahnya, di mana letak kegagalannya, dan di mana kekuatan untuk mengatasi situasinya).



[1] Quentin J. Schultze . Berkomunikasi Untuk Hidup:Penatalayanan Kristen Dalam Komunitas Dan Media (Malang: SAAT, 2004), 16.
[2] Franz-Josef Eilers, Berkomunikasi dalam Pelayanan dan Misi (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2008), 12.
[3] Ibid., 13-14.
[4] Wawancara Penulis dengan Bapak Suharto, anggota Jemaat GKI Sulawesi Selatan Jemaat Makassar terletak di jalan Samiun. Penulis juga mengsurvei gereja yang dimaksud pada tanggal 30 September 2012.
[5] Wawancara Penulis dengan saudari Femy, anggota Jemaat GKI Sulawesi Selatan Jemaat Makassar pada tanggal 30 September 2012.
[6] Wawancara penulis dengan saudara Tommy, anggota Jemaat GKI Sulawesi Selatan tanggal 02 Oktober 2012.
[7] Penulis berpendapat sama dengan pernyataan tersebut karena Gereja GKII Ekklesia Apostolik saat ini memberikan waktu yang lebih banyak untuk pemyembahan kepada Tuhan dibandingkan kotbah.
[8] Wawancara penulis dengan Bapak Paulus, anggota Jemaat GKI Sulawesi Selatan tanggal 02 Oktober 2012.
[9] Wawancara penulis dengan Bapak Johan, anggota Jemaat GKI Sulawesi Selatan tanggal 02 Oktober 2012.
[10] Wawancara penulis dengan Wawan, anggota Gereja Toraja tanggal 20 September 2012.
[11] Wawancara penulis dengan Bapak John, anggota Gereja Kristen Maranatha Indonesia tanggal 22 September 2012.
[12] Wawancara penulis dengan Bapak Dedy William, anggota Gereja Katolik tanggal 23 September 2012.
[13] Wawancara penulis dengan Ibu Magdalena Mailangkay, anggota Gereja Kristen Maranatha Indonesia tanggal 22 September 2012.
[14] Wawancara penulis dengan Daniel, anggota Gereja Kristen Marnatha Indonesia tanggal 22 September 2012.
[15] Wawancara penulis dengan Philipus, anggota Gereja Katolik tanggal 18 September 2012.
[16] Wawancara penulis dengan Carlos,anggota GKII Ekklesia Apostolik tanggal 20 September 2012.
[17] Wawancara penulis dengan Ibu Mey Fong, anggota Gereja Kristen Maranatha Indonesia tanggal 22 September 2012.
[18] Wawancara penulis dengan Nelson, anggota GKII Ekklesia Apostolik tanggal 20 September 2012.
[19] Wawancara penulis dengan Bapak Robby Coeandy, anggota Gereja Kristen Maranatha Indonesia tanggal 22 Sepetember 2012.
[20]  Wawancara Penulis dengan Peter, anggota GKII Ekklesia Apostolik tanggal 20 September 2012.

[21] Wawancara penulis dengan Yahya, anggota GKII Ekklesia Apostolik tanggal 20 September 2012.

[22] Wawancara penulis dengan Stephen, anggota GKII Ekklesia Apostolik tanggal 22 September 2012.
[23] Wawancara penulis dengan Hanry Mikael, anggota GKII Ekklesia Apostolik tanggal 22 September 2012.
[24] Charles V. Gerkin, Konseling Pastoral Dalam Transisi (Yogyakarta : Kanisius, 1992), 17, 21.
[25] Howard Clinebell, Tipe-Tipe dasar Pendampingan dan Konseling Pastoral (Yogyakarta : Kanisius, 2002), 227-228.
[26] Ibi., 120.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar