PENDAHULUAN
Latar Belakang
Komunikasi sangat penting dalam pelayanan seorang gembala atau pastor. Gembala
dalam berinteraksi dengan jemaat menggunakan komunikasi yang baik dan benar
sesuai dengan kebenaran Allah. Yesus telah menjadi komunikator terbaik dalam
menyampaikan pesan Allah kepada banyak orang dan menjadi berkat. Perkataan dan
perbuatanNya telah mengkomunikasikan maksud Allah kepada umatNya. Yesus
menggunakan berbagai sarana untuk mengkomunikasikan Injil kepada banyak orang,
baik dengan berbicara perumpamaan, kotbah, ilustrasi, maupun pernyataanNya sendiri.
Berkotbah adalah tugas setiap
orang beriman. Baik pengkotbah maupun jemaat, tugasnya dalam berkotbah adalah
sama, yaitu mewartakan Firman Allah dan membantu jemaat untuk memahami makna Firman
Allah dalam hidup, serta mengalami kehadiran Tuhan dalam hidupnya. Berkotbah
bukanlah suatu tugas yang mudah, karena masalahnya bukan hanya pada sisi
persiapan dan penulisan khotbah tetapi juga pada penyampaian. Dalam hal ini bagaiman seorang pengkotbah
mengkomunikasikan maksud Allah kepada jemaat. Ada kotbah
yang sangat bagus dan bermutu yang telah lama disiapkan, akan tetapi ketika
disampaikan kepada jemaat, kotbah itu terasa kering, tidak menarik, atau pesannya tidak dapat
ditangkap oleh pendengar. Tetapi ada khotbah yang sederhana dan nampaknya
biasa-biasa saja malah menarik dan berkesan bagi pendengar. Mengapa? Para
pendengar atau jemaat sangat berharap akan mendapat sesuatu dari pengkotbah,
akan tetapi banyak pendengar yang akhirnya gusar dan menggerutu karena kotbah
itu disampaikan layaknya mengajar di perguruan tinggi, pengkotbah tidak melihat
jemaat dan terpaku pada teks yang dibuatnya.
Berdasarkan
latar belakang diatas penulis mencoba mengkaji suatu pendekatan komunikasi dan
media komunikasi dalam pelayanan kepada jemaat baik pelayanan gereja, mimbar
maupun diakonia pada beberapa gereja Tuhan di kota Makassar yang nantinya
memberikan gambaran singkat penggunaan komunikasi yang baik dan benar untuk
memuliakan Allah. Penulis menetapkan judul tulisan: Komunikasi dalam Pelayanan Masa
Kini.
Pokok Masalah
Bertitik tolak dengan latar belakang diatas maka pokok masalah yang
dikaji adalah:
Pertama, mengkaji bagaimana penggunaan media komunikasi digunakan di dalam gereja
untuk mengkomunikasi berita Injil kepada jemaat. Kedua, bagaimana komunikasi dalam berkotbah dapat menyampaikan
berita Injil dengan baik dan benar kepada jemaat. Ketiga, bagaimana berkomunikasi yang baik dengan jemaat dalam
pelayanan diakonia atau pelayanan perkunjungan ke jemaat.
Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan ini
adalah: Pertama, mengetahui
pemanfaatan media komunikasi baik verbal maupun
non verbal dalam pelayanan mimbar dan diakonia. Kedua, memberikan informasi dan pengetahuan tentang komunikasi
pastoral yang baik dan benar yang dapat digunakan oleh hamba Tuhan dan
pelayanNya.
Metode Penulisan
Metode yang digunakan
adalah wawancara dengan jemaat gereja tertentu (nama gereja, nama jemaat) dengan
menanyakan beberapa pertanyaan yang relevan yang berhubungan dengan pemanfaatan
media komunikasi dalam pelayanan masa kini, evaluasi terhadap komunikasi kotbah
dan percakapan pastoral.
KOMUNIKASI PASTORAL
Pengertian Komunikasi
Pastoral
Kata komunikasi berasal dari bahasa Latin communis, yang artinya berbagi, menjadikan umum, atau bahkan untuk
“memiliki sebuah kepercayaan yang sama.” Komunikasi memampukan kita
mengembangkan pendidikan, teknik, bisnis, media dan setiap aspek dari budaya manusia. Barangkali kemampuan ini
merupakan bagian dari apa yang dinyatakan oleh Kitab Suci sebagai imago Dei (gambar Allah) di dalam diri
kita (Kej 1:26-27).[1]
Komunikasi pastoral berasal dari “pastor” atau “gembala” dan segala
sesuatunya dikaitkan dengan berbagai sarana, metode serta kandungan komunikasi
yang dibutuhkan seorang gembala agar dapat berkomunikasi dengan dan memelihara
kawanannya.[2]
Jadi komunikasi pastoral dalam arti luas
adalah semua kegiatan komunikasi Gereja dan para anggotanya. Namun dalam arti lebih
sempit dan tegas, komunikasi pastoral adalah dimensikomunikasi dari semua
pelayanan gerejawi, alat-alat komunikasi, struktur, kebutuhan serta peluang
demi pelayanan dari para pejabat gerejawi, para pelayan awam yang terlibat
secara langsung dalam karya gerejawi, dan setipa anggota gereja wajib untuk
mengkomunikasikan iman keyakinannya dalam perkataan dan perbuatan, baik secara
langsung maupun tidak langsung kepada siapa saja di sekitarnya.[3]
Penggunaan Media Komunikasi dalam
Pastoral
Unsur-unsur apa saja yang digunakan dalam menyampaikan programnya kepada
gereja dan masyarakat yaitu:
1. Warta Jemaat
Komunikasi gereja melalui media tulisan Warta Jemaat atau ada nama lain untuk
sebutan itu tergantung pada gereja masing-masing. Bahkan sebuah gereja kadang
juga memiliki majalah bulanan untk mempromosikan kegiatan-kegiatan gereja. Semua
gereja menggunakannya untuk menyampaikan kegiatan-kegiatan gereja dan pelaporan
tanggung jawab pengurus gereja kepada jemaat.
2. Media Elektronik
Media elektonik yang digunakan adalah sound system, LCD proyektor, computer
atau laptop, alat-alat musik dan perlengkapan lightening. Semua ini memberikan dukungan pada suasana peribadatan.
3. Media Sosial
Media sosial adalah jejaring sosial yang dihubungan
dengan dunia internet dimana ada facebook, twitter, blogger dan website. Melalui media ini, gereja mengkomunikasikan
artikel, kotbah, laporan pelayanan dan dokumentasi pelayanan dan dinikmati dan
diketahui oleh banyak orang dan orang percaya di seluruh dunia.
4. Persekutuan-persekutuan
Ibadah-ibadah di luar gereja adalah pemuridan sebagai
media komunikasi yang efektik untuk pertumbuhan iman dan pengenalan yang benar
akan Tuhan Yesus Kristus.
5. Kegiatan Sosial
Kegiatan sosial atau kemanusiaan menajdi
media komunikasi kea rah luar untuk menyatakan kasih dan kebenaran
Kristus kepada masyarakat di luar gereja yaitu masyarakat sosial.
6. Penginjilan
Sarana penginjilan merupakan media komunikasi yang
efektif untuk mengjangkau orang-orang di luar yang belum bergereja dan
memultifikasi penyampaian Firman Allah dan penyampaian informasi gereja.
7. Seminar dan Pelatihan
Seminar dan pelatihan bertujuan untuk memberdayakan
potensi dan karunia jemaat dan akhirnya berguna dalam pelayanan Kristus.
Seminar dan pelatihan adalah salah satu cara mengkomunikasikan Injil kepada
masyarakat luar.
8. Liturgis
Bagi umat Katolik pelayanan liturgis mengkomunikasi
sakramen-sakramen termasuk sakramen ekaristi atau perjamuan kudus (sebutan
protestan dan pantekosta) untuk
mengalami tubuh dan darah Yesus secara realitas dan bukan simbolis.
Sementara untuk kalangan pantekosta, liturgis dapat membawa realitas pengalaman
kehadiran Tuhan dalam jemaat. Bahkan pujian dan penyembahan membawa realitas
kehadiran Tuhan dan keintiman selam proses ibadah.
Media komunikasi dalam pelayanan gereja sangat penting untuk membantu
kelancaran penyampaian informasi tentang pelayanan gereja sepekan dan
mengetahui perkembangan aktivitas bergereja. Alat-alat komunikasi visual dan
audio visual digunakan. Untuk mengetahui penggunaan media komunikasi maka
penulis menggunakan metode wawancara yang bertujuan mendapatkan data-data dari
jemaat yang bergereja lokal di kota Makassar.
Adapun media komunikasi
yang digunakan oleh gereja GKI Sulawesi Selatan adalah Warta Jemaat adalah media komunikasi tulisan yang berisikan jadwal
ibadah, jadwal pelayanan sepekan, jadwal hamba-hamba Tuhan yang melakukan
diakonia, pokok-pokok doa, materi Persekutuan Warga Jemaat (PWJ), renungan
harian. Warta Jemaat ini ditulis dalam dua bahasa yaitu bahasa Indonesia dan
Mandarin. Akuntanbilitas keuangan juga disampaikan dalam Warta Jemaat.[4]
Selain itu melalui mimbar selalu diingatkan
bagian-bagian tertentu dalam Warta Jemaat dalam sesi pengumuman gereja.
Hal yang menarik dalam gereja ini adalah kesan penerimaan jemaat terhadap
pengunjung gereja yang baru. Mereka disambut dengan ucapan “Selamat Datang dan
Beribadah”. Dan hal ini dilakukan setiap ibadah gereja. Efektivitas komunikasi
dalam gereja didukung dengan fasilitas komunikasi dan penyampaian yang variatif
yang dapat memberi kesan mendalam bagi pengunjung gereja atau pun jemaat lokal
sebuah gereja.
Gereja ini juga memiliki siaran radio yang bernama Radio Christy yang
mengjangkau daerah pedesaan dan diluar kota Makassar dengan pemberitaan Injil
dan merupakan radio Kristen pertama di kota Makassar.[5] Media
siaran radio sangat efektif untuk
menyampaikan informasi tentang Injil dimana di daerah pedesaan dapat belajar
pengetahuan dan pengalaman yang baru tentang kebenaran Allah. Bahkan saat ini
banyak gereja yang menggunakan media televisi untuk menyampaikan kotbah dan
pelayanan gerejanya. Saat ini Stasiun televisi (TVRI) memberikan kesempatan
setiap gereja yang mau menyampaikan Injil melalui televisi dan gereja ini juga ikut serta dalam acara
ini. Tentu melalui media penyiaran sangat efektif untuk mengjangkau yang jauh
dari komunitas gereja ini dan juga mengjangkau yang belum percaya di
daerah-daerah yang sulit dijangkau atau Injil sulit diterima di daerah
tersebut.
Media komunikasi yang
lain yang digunakan adalah penggunaan audio visual seperti LCD proyektor untuk menampilkan lirik-lirik lagu ataupun
pengumuman dan gambar-gambar untuk keperluan kotbah. Melalui full band dan musik maka berita Injil
disampaikan dalam pujian dan penyembahan. Namun, pujian dan penyembahan kepada
Tuhan mendapatkan bagian waktu yang singkat dibandingkan dengan penyampaian
kotbah. [6] Beberapa
gereja pantekosta memberikan waktu yang lebih banyak untuk pujian dan
penyembahan, hal itu sekarang terjadi dalam pujian penyembahan gereja kami.
Jemaat berkomunikasi dengan Tuhan melalui penyembahan dan Tuhan bertindak
mengubahkan hati jemaatnya melalui lirik-lirik lagu yang dinyanyikan.[7]
Gereja ini belum memiliki situs (website) yang berguna untuk
menyampaikan program-program gereja. Beberapa gereja lokal memiliki website
untuk menyiarkan radio secara langsung untuk mengjangkau pengguna media dunia
maya (internet). Bagi masyarakat perkotaan ini sangat mendukung akses informasi
tentang pelayanan gereja, namun untuk masyarakat desa komunikasi dari mulut ke mulut merupakan sarana yang efektif untuk
menyampaikan berita seperti halnya cara perempuan Samaria di dalam Alkitab
(Yohanes 4).
Program kerja gereja yang disampaikan kepada masyarakat melalui kegiatan
sosial seperti pengobatan dan pembukaan pos penginjilan diluar kota Makassar
seperti kabupaten Bulukumba dengan tujuan mengjangkau orang-orang etnis
Tionghoa. Pertemuan-pertemuan ibadah di luar hari Minggu menyatukan
persahabatan diantara jemaat dalam bertukar informasi seputar pelayanan gereja.
Keterlibatan jemaat dalam kepanitiaan suatu program gereja semakin menguatkan
arti komunikasi dalam gereja.[8]
Sambutan anggota gereja yang bertugas sebagai “penjemput tamu” memberi kesan
penerimaan anggota jemaat untuk beribadah dengan sukacita. Komunikasi di depan
gereja ini adalah sesuatu yang sederhana namun memberikan kesan pertama bagi
jemaat, apalagi jemaat yang baru pertama kali beribadah di gereja tersebut. Gereja
ini memiliki misi untuk mengjangkau lebih banyak lagi etnis Tionghoa untuk
kemuliaan Allah.[9]
Komunikasi dalam Kotbah
Hasil wawancara kepada
dua belas jemaat terdiri atas empat denominasi gereja yaitu Gereja Kristen
Maranatha Panama, Gereja Toraja Jemaat Bunturannu dan Gereja Katolik Paroki St.
Yakobus, dan GKII Ekklesia Apostolik penulis menyimpulkannya sebagai berikut.
Pertama, ada gereja yang membatasi ruang gerak seorang pengkhotbah
dalam menyampaikan Firman Allah dengan memberikan ruang yang melingkar diatas
mimbar.[10] Ada pula gereja yang memberikan kebebasan
kepada pengkhotbah sebebas-bebasnya di atas mimbar dan bahkan bias berinteraksi
dengan jemaat. Maksudnya adalah tidak membatasi gerakan dari dalam hati pengkhotbah
untuk mengekspresikan pesan Injil kepada jemaat Tuhan. [11] Seorang
pengkotbah yang hatinya digerakkan oleh Sabda Allah dan yang akan menyampaikan
pesan yang mulia dan besar itu kepada umat, tentu tidak akan berdiri secara
kaku di atas mimbar. Tetapi ia akan
menggerakkan tangan dan badannya sebagaimana biasanya. Dalam hal sikap, memang
tidak dapat ditentukan bagaimana yang seharusnya, sebab pribadi tiap-tiap
pengkotbah berbeda sehingga pembawaan atau sikap pun turut berbeda.[12] Hendaknya pengkhotbah bersikap santai dalam menyampaikan kebenaran
Firman Tuhan dan tidak harus sangat serius sehingga suasana pendengar/jemaat
menjadi tegang.
Kedua, seorang hamba Tuhan harus menjadi dirinya sendiri dan tidak
mengikuti gaya dan komunikasi orang lain untuk menyampaikan khotbahnya. Gaya
bahasa dan komunikasi yang meniru hamba Tuhan yang lain menghilangkan ciri khas
pribadinya dan perlu diingat bahwa pendengar/jemaat selalu memerhatikan setiap
Minggunya. Hal ini sering dilakukan hamba Tuhan dalam suatu jemaat karena ada
asumsi apabila mengikuti gaya dan komunikasi hamba tertentu akan memberikan
kesan yang sama dari pendengar, namun hal tersebut malahan menjadikan pengkhotbah
tidak percaya diri dengan dirinya dalam menyampaikan kotbahnya.[13]
Ketiga, kotbah pengajaran bercirikan secara mendalam menjelaskan
setiap teks Alkitab. Penjelasan yang panjang namun hal tersebut sudah
dimengerti jemaat, hal itu menyebabkan kebosanan dan hanya untuk menambah lama
waktunya.[14] Gereja Katolik sangat ketat dalam disiplin waktu liturgis
maka ada pembatasan waktu berkotbah, misalnya paling lama 30 menit. Umat
Katolik menyetujui waktu itu secara tradisi namun rasa lapar terhadap kebenaran
membuat jiwa mereka membutuhkan lebih banyak lagi. Hal ini juga disebabkan
waktu pertembuan ibadah di luar gereja tidak ada. [15]
Untuk sebuah kotbah pemberitaan maka waktu itu relatif cukup dibandingkan
kotbah pengajaran yang membutuhkan lebih banyak dari waktu tersebut. Khotbah
pengajaran di gereja Ekklesia Apostolik membutuhkan waktu yang lebih banyak,
namun terkadang kotbah itu harus berseri supaya pemahaman dan daya tangkap
pendengar bias lebih maksimal dan tentunya ini tergantung peranan Roh Kudus dan
keterbukaan jemaat yang mendengarkan Firman Tuhan dan melakukannya dalam
kehidupan sehari-hari.[16]
Keempat, kualitas isi kotbah mempengaruhi pemahaman jemaat dalam
merenungkan Firman Tuhan yang disampaikan. Ada kalanya hamba Tuhan tidak
konsisten dengan amanat kotbah atau tema kotbah dengan ilustrasi atau kesaksia
sehingga jemaat terfokus pada kesaksian hamba Tuhan dan akhirnya melupkan tema
kotbah itu sendiri.[17]
Secara keseluruhan pendengar menilai pengkhotbah terlalu menekankan pengalaman
pribadi dengan Tuhan dan melupakan penyampaian Firman Tuhan sebagai prioritas
utama dalam isi kotbah.[18] Ada
hamba Tuhan yang berkotbah dengan menggunakan banyak referensi ayat-ayat Firman
Tuhan dan mengkotbahkan suatu perikop dengan tema yang jelas. Referensi
ayat-ayat tersebut justru memperluas tema tersebut dan kadang kala menjadi
beberapa tema.[19]
Kelima, seorang pengkhotbah harus dapat menguasai keadaan pendengar
dengan memerhatikan wajah-wajah pendengar. Artinya pengkhotbah memahami
kebutuhan jemaat akan kebenaran Firman Tuhan. Secara rohani, pendengar/jemaat sering
mengamati ekspresi pengkhotbah untuk mengenal pribadi pengkhotbah dan maksud
Firman Tuhan, demikian pula pengkhotbah mampu mengkomunikasikan Firman Tuhan
dengan baik dan benar supaya pendengar menafsirkan maksud pengkhotbah dengan
benar pula.[20]
Keenam, seorang pengkhotbah hendaknya memiliki etika komunikasi
dalam menyampaikan kebenaran Allah tanpa harus memperlemah pesan Injil.
Misalnya ada beberapa kiasan seperti “babi kembali ke kubangan” artinya bila
kita selalu jatuh ke dalam dosa yang sama maka kita seperti hewan babi. Hal ini dapat ditafsirkan berbeda
oleh pendengar . Penyampaian kata-kata
yang “tegas” dapat berdampak negative yang diterima pendengar sebagai suatu intimidasi rohani bagi jemaat yang masih
lemah imannya dan pemahaman rohaninya masih dangkal.[21]
Komunikasi dalam Pastoral
Masalah-masalah yang sering timbul dalam konseling adalah kebanyakan
dari pihak pendeta atau konselor yang tidak berempati kepada konseli atau
jemaat yang mengkomunikasikan masalahnya. Mereka menginginkan seorang konselor
yang siap mendengar perasaan dan keluhan
sebelum diberikan penyelesaian masalah. Kadangkala pendeta lebih banyak
berbicara daripada konselinya seakan-akan dia telah mengetahui keseluruhan
masalah-masalah yang dialami konselor. Sebaiknya pendeta lebih banyak berdiam
dalam arti mendengarkan dengan empati yang dibicarakan oleh jemaat. [22]
Perkunjungan jemaat
yang dilakukan pendeta seperti menjenguk orang yang sakit dengan berkomunikasi
singkat seperti menanyakan keadaan jemaat dan pergumulan jemaat itupun dalam
hal ini jemaat yang harus memulai duluan percakapan seperti itu. Pendeta tidak
sering menjelaskan kebenaran Firman Tuhan dalam perkunjungan dan selalu untuk
berdoa setiap perkunjungan. Pendeta sebaiknya lebih banyak lagi mengetahui
keadaan rohani jemaatnya saat berkunjung ke rumah karena selalu saja ada
masalah rumah tangga yang tidak dapat diselesaikan oleh jemaat sendiri.[23]
Para
Pendeta dan konselor perlu membekali diri dengan prinsip-prinsip dasar
konseling pastoral dan berbagai pendekatan yang dapat dikembangkan dalam
konseling pastoral agar dapat membantu orang-orang yang menghadapi
masalah-masalah mereka secara konstruktif, dengan mengambil keputusan-keputusan
yang sungguh-sungguh dapat dipertanggung-jawabkan, dan memperbaiki sikap dan
perilaku mereka yang cenderung melukai diri sendiri dan orang lain. Oleh karena
itu, para Pendeta dapat membantu anggota Jemaat untuk secara jujur dan terbuka
mengungkapkan perasaan-perasaan dan sikap-sikap yang merintangi pertumbuhan
mereka, maupun orang-orang yang berelasi dengan mereka.[24]
Oleh karena itu karakter gembala menjadi pendukung dalam proses konseling.
Seorang gembala yang siap untuk menjadi konselor harus membekali diri dengan
pengetahuan dan praktik konseling atau barangkali juga telah dikaruniakan oleh
Tuhan untuk pelayanan konseling.
Prinsipnya
tugas pendeta adalah mengunjungi dari rumah kerumah
(Kis 5:42) sudah diakui dan diterima secara luas, tetapi pada pelaksanaannya
juga mengalami kesulitan yaitu:
1. Permintaan
pelayanan yang tidak masuk akal. Artinya jemaat memanfaatkan kunjungan pastoral
dengan permintaan financial atau penyelesaian masalah secara cepat oleh
pendeta.
2. Pengaturan waktu
antara waktu untuk organisasi dan waktu perkunjungan yang seharusnya fleksibel
pada keadaan darurat.
3. Permintaan kunjungan segera dari jemaat
yang tinggal jauh akhirnya menyisakan sedikit waktu saja.
4. Banyak anggota yang bekerja sehingga
tidak ada di rumah dan ketika mereka punya waktu di sore atau malam hari,
pendeta sudah punya jadwal acara pertemuan sore lainnya.
5. Idealnya kunjungan pastoral dilakukan
secara rutin, sedikitnya satu orang atau satu keluarga dikunjungi sekali dalam
setahun. Hanya dengan cara ini pendeta dapat mengetahui dari tangan pertama
tentang aspirasi, pergumulan dan tantangan jemaat.
Perkunjungan, secara nyata akan mengetahui adanya kasih dan penolakan, kegembiraan dan kesedihan, harapan dan ketakutan. Melalui perkunjungan pendeta dapat masuk kedalam kehidupan pribadi yang paling dalam dan memberi pendampingan dan pertolongan akan kebutuhan mereka.
Perkunjungan, secara nyata akan mengetahui adanya kasih dan penolakan, kegembiraan dan kesedihan, harapan dan ketakutan. Melalui perkunjungan pendeta dapat masuk kedalam kehidupan pribadi yang paling dalam dan memberi pendampingan dan pertolongan akan kebutuhan mereka.
Bagaimana
kita dapat menentukan pendekatan konseling pastoral yang mendukung atau yang
pendekatan yang menyingkapkan di dalam pelayanan pastoral kita? Namun beberapa
kecenderungan konseli yang dapat memandu Pendeta atau konselor untuk
mengembangkan konseling pastoral yang mendukung bila : (1) Konseli tidak mampu
menangani atau memikul tanggung-jawabnya sebagai orang dewasa; (2) Konseli
tidak mampu meredakan rasa frustrasi dan mengontrol emosinya; (3) Konseli
mengalami ketergantungan yang berat dan kronis terhadap hal-hal tertentu; (4)Konseli
mengalami gangguan-gangguan persepsi/interpretasi/daya tangkap (perceptual
distortion); (5) Konseli memiliki kepribadian yang kaku (personality
rigidity); (6) Konseli mengalami kesulitan untuk memperoleh manfaat dari
pendekatan konseling yang berpusat pada pemahaman diri.[25]
Beberapa
bentuk ketrampilan konseling mendasar yang perlu diperhatikan dan dikembangkan
oleh Pendeta dalam konseling pastoral yaitu:[26]
1. Sikap
yang terus memperhatikan dan menjaga kontak mata, sehingga Konseli mengetahui
bahwa Pendeta sedang berusaha memahami dunia batinnya.
2. Mintalah
konseli untuk berbicara tentang soal yang penting dengan pertanyaan terbuka
dengan komentar yang singkat atau dengan isyarat badan.
3. Dengarkan
dan amati dengan hati-hati pesan non-verbal yang disampaikan Konseli.
4. Ikutilah
jalan ceritanya, sehingga konseli mengetahui bahwa Pendeta sedang berupaya
memahami dunia batinnya.
5. Berilah
tanggapan empatik dengan cara meringkaskan arah utama dari perasaan dan masalah
yang penting dan apa maknanya bagi konseli.
6. Buatlah
kejelasan dengan meringkaskan pokok-pokok dari apa yang disampaikan oleh
konseli, dan kemudian periksalah catatan Anda dengan menanyakannya.
7. Selidikilah
bagian-bagian yang masih belum didiskusikan dengan pertanyaan-pertanyaan yang
tajam.
8. Berkonfrontasi
jika perlu dan situasinya cocok.
9. Pahamilah
makna, persoalan dan dinamika masalah yang dihadapi oleh konseli dan berilah
rekomendasi berdasarkan pemahaman diagnostik.
10. Buatlah
suatu pengertian tentang gambaran batin atau “internal frame of reference”
dari konseli (bagaimana orang itu memandang kehidupan dari dunia batiniahnya,
bagaimana ia merumuskan masalahnya, di mana letak kegagalannya, dan di mana
kekuatan untuk mengatasi situasinya).
[1] Quentin J. Schultze . Berkomunikasi
Untuk Hidup:Penatalayanan Kristen Dalam Komunitas Dan Media (Malang: SAAT, 2004), 16.
[2] Franz-Josef
Eilers, Berkomunikasi dalam Pelayanan dan
Misi (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2008), 12.
[3] Ibid.,
13-14.
[4] Wawancara
Penulis dengan Bapak Suharto, anggota Jemaat GKI Sulawesi Selatan Jemaat
Makassar terletak di jalan Samiun. Penulis juga mengsurvei gereja yang dimaksud
pada tanggal 30 September 2012.
[5] Wawancara
Penulis dengan saudari Femy, anggota Jemaat GKI Sulawesi Selatan Jemaat
Makassar pada tanggal 30 September 2012.
[6] Wawancara
penulis dengan saudara Tommy, anggota Jemaat GKI Sulawesi Selatan tanggal 02
Oktober 2012.
[7] Penulis
berpendapat sama dengan pernyataan tersebut karena Gereja GKII Ekklesia
Apostolik saat ini memberikan waktu yang lebih banyak untuk pemyembahan kepada
Tuhan dibandingkan kotbah.
[8] Wawancara
penulis dengan Bapak Paulus, anggota Jemaat GKI Sulawesi Selatan tanggal 02 Oktober
2012.
[9] Wawancara
penulis dengan Bapak Johan, anggota Jemaat GKI Sulawesi Selatan tanggal 02
Oktober 2012.
[10] Wawancara
penulis dengan Wawan, anggota Gereja Toraja tanggal 20 September 2012.
[11] Wawancara
penulis dengan Bapak John, anggota Gereja Kristen Maranatha Indonesia tanggal
22 September 2012.
[12] Wawancara
penulis dengan Bapak Dedy William, anggota Gereja Katolik tanggal 23 September
2012.
[13] Wawancara
penulis dengan Ibu Magdalena Mailangkay, anggota Gereja Kristen Maranatha
Indonesia tanggal 22 September 2012.
[14] Wawancara
penulis dengan Daniel, anggota Gereja Kristen Marnatha Indonesia tanggal 22
September 2012.
[15] Wawancara
penulis dengan Philipus, anggota Gereja Katolik tanggal 18 September 2012.
[16] Wawancara
penulis dengan Carlos,anggota GKII Ekklesia Apostolik tanggal 20 September
2012.
[17] Wawancara
penulis dengan Ibu Mey Fong, anggota Gereja Kristen Maranatha Indonesia tanggal
22 September 2012.
[18] Wawancara
penulis dengan Nelson, anggota GKII Ekklesia Apostolik tanggal 20 September
2012.
[19] Wawancara
penulis dengan Bapak Robby Coeandy, anggota Gereja Kristen Maranatha Indonesia
tanggal 22 Sepetember 2012.
[20] Wawancara Penulis dengan Peter, anggota GKII
Ekklesia Apostolik tanggal 20 September 2012.
[21] Wawancara penulis dengan Yahya, anggota GKII Ekklesia Apostolik tanggal 20 September 2012.
[22] Wawancara
penulis dengan Stephen, anggota GKII Ekklesia Apostolik tanggal 22 September
2012.
[23] Wawancara
penulis dengan Hanry Mikael, anggota GKII Ekklesia Apostolik tanggal 22
September 2012.
[24] Charles V. Gerkin, Konseling
Pastoral Dalam Transisi (Yogyakarta : Kanisius, 1992), 17, 21.
[25] Howard Clinebell, Tipe-Tipe
dasar Pendampingan dan Konseling Pastoral (Yogyakarta : Kanisius,
2002), 227-228.
[26] Ibi.,
120.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar