Good News

Rabu, 12 November 2014

INTERAKSI BUKU ESTETIKA POPULER By Hengki Wijaya




Sunardi mengulas beritanya bersumber dari kajian budaya dan seni yang berkembang di masa lalu hingga saat ini dari sudut pandang yang dikenal sebagai estetika populer. Hal itu dapat dilihat dalam urain buku ini yang mencerminkan kreativitas tulisan dan makna yang terkandung dalam tulisan tersebut.
Berkenaan dengan kajian budaya dan seni pop dalam hal ini salah satunya mengkaji musik punk. Estetika dalam punk adalah sebuah estetika penolakan, estetika anti seni. Pengalaman estetik yang dirayakan dalam punk, adalah pengalaman ketegangan (tension). Sebagai seni pop, punk menemukan stylenya untuk memperlakukan pengalaman akan ketegangan. Kostum yang dikenakan tidak mengikuti fashion melainkan unfashion, cara pementasan tidak mengikuti cara konser atau hiburan malam melainkan cara mereka sendiri di mana tidak lagi bias dibedakan antara mereka yang sedang pentas dan mereka yang sedang menonton pentas. [1]

            Dalam hal ini seni untuk mengembangkan tanda seperti dikutip Hebdige dari Culler:
            Ungkapan estetik bertujuan untuk mengkomunikasikan dugaan, kehalusan, kompleksitas yang belum diformulasikan dan dengan demikian begitu tatanan estetik bias dipahami secara umum sebagai suatu kode (sebagai suatu cara untuk mengungkapkan dugaan yang sudah diformulasikan), karya-karya seni cenderung melangkah melampaui kode ini sambil mengeksplorasi kemungkinan untuk mengubah dan memperluas diri…Kebanyakan kepentingan karya seni terletak pada cara di mana karya itu mengeksplorasi dan mengubah kode-kode yang seakan-akan sedang dipakainya.[2]

Musik punk adalah musik yang melibatkan emosi dan ekspresi yang mengkomunikasikan suatu ketegangan dan musik yang keras melebihi musik rock. Sebagai orang Kristen kita harus memanfaatkan kreativitas musik punk ini dengan tujuan memberitakan kebenaran Firman Tuhan dan hal ini akan menunjukkan perbedaan antara musik punk sekuler dengan musik punk rohani. Musik punk dengan lirik rohani akan memberikan perasaan damai dan sukacita dan bukan ketegangan. Bukankah ada tertulis: “Padahal Engkaulah Yang Kudus yang bersemayam di atas puji-pujian orang Israel” (Mazmur 22:4).
Karya-karya Tjokrowasito kaya dengan lirik-lirik sindiran kritis yang esensinya menagih janji pada penguasa. Begitulah Tjokrowasito menyindir dan memperingatkan “orang-orang kuat” (konon militer) pada akhir tahun 1960-an supaya tidak menggunakan kekuasaan mereka semaunya. Dia menggunakan seni tradisi karawitan untuk mengeksplorasi semangat jamannya. Baginya seni tidak sama dengan seni yang mesti diulang-ulang melainkan harus dicipta ulang sesuai dengan jamannya.[3] Dengan demikian seni dapat dikomunikasikan tanpa dihalangi oleh zamannya. Hal ini sama halnya dengan lagu-lagu Hymne gereja yang diubah musiknya yang dikenal sebagai musik kontemporer tanpa harus kehilangan maksud dan makna yang ingin disampaikan oleh penulis lagunya.
Kita sedang berada di salah satu tempat bisnis orang-orang konon hidup dalam consumer society, kita sedang berada dalam “pasar” yang sejuk di tengah Yogya yang kian terik, di tempat pusat shopping. Sebagai tempat belanja, “Galeria” mempunyai fungsi seperti pasar Demangan dan satu diantara mall-mall yang ada di Yogya. Accent klasik yang dikesankan lewat bangunan dan pesan estetik yang disuratkan lewat namanya punya satu tujuan: membuat kita kerasan berbelanja atau terdorong berbelanja di sana. Motif “Galeria” adalah klasik-estetik, sebuah metode untuk mengorganisasi sebuah kesadaran ruang dan waktu ini kita akan mengikuti ajakan entah itu membeli sekilo telor atau arloji berharga jutaan rupiah.[4] Menurut pendapat saya, motif “Galeria” memadukan semua potensi yang menyatu menjadi sebuah konsep yang mampu mengkomunikasikan misi pemilik “Galeria” dan kebutuhan masyarakat (society need) untuk mengisi waktu dan ruang yang kosong dalam diri mereka, misalnya sebagai hiburan, aktivitas dan kesenangan. Bila dihubungkan dengan kehidupan Kristen, menjadikan mall-mall sebagai bagian hiburan dan menghabiskan waktu berjam-jam adalah aktivitas yang sia-sia. Tetapi menjadi sangat berguna untuk sebuah keluarga bila mengunjungi tempat-tempat berbelanja dengan tujuan untuk membangun komunikasi antar pribadi dalam keluarga.
Pinkswing Park karya Agus Suwage dan Davy Linggar ini mengundang protes (dengan kontroversi-kontrobersi ikutannya), hal itu menunjukkan kompleksitas persoalan kehidupan kota itu sendiri, pengalaman estetis para seniman atas kehidupan kota, sampai dengan tanggung jawab para petugas Bienal dalam melindungi para peserta pameran dari protes dan penilaian. Dilihat dari bentuk karya, Swingpink Park merupakan radikalisasi penciptaan realitas media lewat simulasi. Dalam fotografi konvensional, orang sudah dibiasakan untuk percaya bahwa foto menghadirkan apa yang difoto secara persis apa adanya. Akan tetapi keahlian dalam teknik fotografilah maka rekayasa bukan hanya terjadi lewat duplikasi melainkan juga pada sosok itu sendiri. Jadi pengalaman mencolok adalah pengalaman untuk tidak mempercayai representasi fotografis sebagai realisne absolute. Dalam karya ini ditampilkan gambar ketelanjangan walaupun dalam realitas sebenarnya itu hanya rekayasa fotografi. Ketelanjangan adalah parody. Maksud seniman adalah jelas melihat dari perspektif seni.[5]
Seni merupakan salah satu strategi manusia menghadapi kekuatan-kekuatan dahsyat dan berbahaya yang melingkupinya. Salah satu kekuatan ini bernama seks. Sebagai objek normalisasi, seks melahirkan berbagai wacana. Wacana yang paling dominan adalah wacana moral yang berkisar pada boleh atau tidak. Di bidang seni, kita mengenal ars erotica yang mengambil seni sebagai objek stilisasi. Menurut saya, kita harus bijaksana dalam menilai karya seni yang mana pelaku seni tidak bermaksud menonjolkan erotisme yang berujung pada pornografi. Pemikiran kita untuk mengaitkan ketelanjangan dengan erotisme, kita merasa tidak berdaya untuk didiagnosis dan diterapi lewat sebuah karya. Para seniman mencoba mengkomunikasikan maksudnya melalui media seni fotografi untuk menyampaikan pesan realitas kepada masyarakat. Hal ini juga digambarkan juga dalam Alkitab (Yehezkiel 23). Namun maksud Alkitab menggambarkan kehidupan berdosa bangsa Israel yang menyembah berhaka dan hidup dalam persundalan. Dalam Kidung Agung digambarkan bagaimana semestinya hubungan Allah dengan umat-Nya. Namun, bila itu suatu realitas yang nyata yaitu benar-benar ketelanjangan (bukan rekayasa) maka tentunya motifnya adalah komersialitas yang akhirnya menimbulkan kesan pornografi.
Sunardi berpendapat bahwa seni dan religi sering bertabrakan karena ada persaingan. Kalau seni menghadirkan tubuh dalam kerangka beyond good and evil, agama membaginya dalam wilayah halal dan haram (kudus dan dosa). Pendapat saya, apapun bentuk seni yang dapat menyesatkan mata anda sebaiknya anda buang dan tinggalkan, apalagi pornografi dan sejenisnya (Matius 5:29).
Apa artinya kampanye di televisi dalam situasi kewargaan media seperti diulas diatas? Tujuan kampanye sudah jelas: menjaring massa sebanyak mungkin dengan segala daya persuasifnya. Berkampanye lewat televisi berarti berkampanye mengikuti budaya atau aturan main televisi yang harus juga bertahan sebagai lembaga bisnis dan hiburan. Dari pengamatan dan asumsi di atas ada tiga kemungkinan yang diakibatkan oleh kampanye televisi: Pertama, kampanye di televisi bisa memperkokoh demokrasi sejauh kampanye ikut serta melakukan transformasi ruang media. Kedua, kampanye di televisi bisa memperkokoh status televisi sebagai demo-tainmen sejauh para kontestan mengikuti logika televisi (sebagai sumber hiburan) sepenuhnya tanpa kritis.Ketiga, kampanye di televisi bisa menggeser demokrasi menjadi partai-tainmen sejauh partai-partai tampil secara narsistik dengan menjual diri sebagai sumber entertainment. Dapat disimpulkan bahwa media televisi telah menjadi konsumsi publik dan media sosialita yang mampu mengkomunikasikan maksud pelaku bisnis dan koleganya dalam hiburan yang juga bermanfaat mendewasakan masyarakat dalam demokrasi. Saat ini media televisi juga telah digunakan oleh gereja untuk mengkomunikasikan visi dan misi gereja tertentu dan media pemberitaan Kerajaan Allah ke seluruh dunia.


[1] “Jalan Purgatorio dalam Kajian Budaya Sebuah Post Scriptum (2004)” dalam St. Sunardi,  Estetika Populer(Yogyakarta: Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma,nd), 16.
[2]  St. Sunardi,  Estetika Populer(Yogyakarta: Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma,nd), 16;Dick Hebdige, Subculture. The Meaning of the Style (London: Routledge, 1979), 129.
[3] “Karawitan Menagih Janji Jepang Seabad Kelahiran Pengrawit Ki Tjokrowasito”  dalam St. Sunardi,  Estetika Populer (Yogyakarta: Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma,nd), 31.
[4] Keluarga “Galeri” dalam St. Sunardi, 48-50.
[5] Pinkswing Park Pohon Kamboja Berdaun Palma” dalam St. Sunardi, 63-65.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar