Sunardi mengulas beritanya bersumber dari kajian
budaya dan seni yang berkembang di masa lalu hingga saat ini dari sudut pandang
yang dikenal sebagai estetika populer. Hal itu dapat dilihat dalam urain buku
ini yang mencerminkan kreativitas tulisan dan makna yang terkandung dalam
tulisan tersebut.
Berkenaan dengan kajian budaya dan seni pop dalam hal ini salah satunya mengkaji
musik punk. Estetika dalam punk adalah sebuah estetika penolakan, estetika anti
seni. Pengalaman estetik yang dirayakan dalam punk, adalah pengalaman
ketegangan (tension). Sebagai seni
pop, punk menemukan stylenya untuk memperlakukan pengalaman akan ketegangan.
Kostum yang dikenakan tidak mengikuti fashion
melainkan unfashion, cara pementasan
tidak mengikuti cara konser atau hiburan malam melainkan cara mereka sendiri di
mana tidak lagi bias dibedakan antara mereka yang sedang pentas dan mereka yang
sedang menonton pentas. [1]
Dalam hal ini seni
untuk mengembangkan tanda seperti dikutip Hebdige dari Culler:
Ungkapan
estetik bertujuan untuk mengkomunikasikan dugaan, kehalusan, kompleksitas yang
belum diformulasikan dan dengan demikian begitu tatanan estetik bias dipahami
secara umum sebagai suatu kode (sebagai suatu cara untuk mengungkapkan dugaan
yang sudah diformulasikan), karya-karya seni cenderung melangkah melampaui kode
ini sambil mengeksplorasi kemungkinan untuk mengubah dan memperluas
diri…Kebanyakan kepentingan karya seni terletak pada cara di mana karya itu
mengeksplorasi dan mengubah kode-kode yang seakan-akan sedang dipakainya.[2]
Musik punk
adalah musik yang melibatkan emosi dan ekspresi yang mengkomunikasikan suatu
ketegangan dan musik yang keras melebihi musik rock. Sebagai orang Kristen kita
harus memanfaatkan kreativitas musik punk ini dengan tujuan memberitakan
kebenaran Firman Tuhan dan hal ini akan menunjukkan perbedaan antara musik punk
sekuler dengan musik punk rohani. Musik punk dengan lirik rohani akan
memberikan perasaan damai dan sukacita dan bukan ketegangan. Bukankah ada
tertulis: “Padahal Engkaulah Yang Kudus yang bersemayam di atas puji-pujian
orang Israel” (Mazmur 22:4).
Karya-karya
Tjokrowasito kaya dengan lirik-lirik sindiran kritis yang esensinya menagih
janji pada penguasa. Begitulah Tjokrowasito menyindir dan memperingatkan
“orang-orang kuat” (konon militer) pada akhir tahun 1960-an supaya tidak
menggunakan kekuasaan mereka semaunya. Dia menggunakan seni tradisi karawitan
untuk mengeksplorasi semangat jamannya. Baginya seni tidak sama dengan seni yang mesti diulang-ulang melainkan harus
dicipta ulang sesuai dengan jamannya.[3]
Dengan demikian seni dapat dikomunikasikan tanpa dihalangi oleh zamannya. Hal
ini sama halnya dengan lagu-lagu Hymne gereja yang diubah musiknya yang dikenal
sebagai musik kontemporer tanpa harus kehilangan maksud dan makna yang ingin
disampaikan oleh penulis lagunya.
Kita sedang
berada di salah satu tempat bisnis orang-orang konon hidup dalam consumer society, kita sedang berada
dalam “pasar” yang sejuk di tengah Yogya yang kian terik, di tempat pusat shopping. Sebagai tempat belanja,
“Galeria” mempunyai fungsi seperti pasar Demangan dan satu diantara mall-mall
yang ada di Yogya. Accent klasik yang
dikesankan lewat bangunan dan pesan estetik yang disuratkan lewat namanya punya
satu tujuan: membuat kita kerasan berbelanja atau terdorong berbelanja di sana.
Motif “Galeria” adalah klasik-estetik, sebuah metode untuk mengorganisasi
sebuah kesadaran ruang dan waktu ini kita akan mengikuti ajakan entah itu
membeli sekilo telor atau arloji berharga jutaan rupiah.[4] Menurut
pendapat saya, motif “Galeria” memadukan semua potensi yang menyatu menjadi
sebuah konsep yang mampu mengkomunikasikan misi pemilik “Galeria” dan kebutuhan
masyarakat (society need) untuk
mengisi waktu dan ruang yang kosong dalam diri mereka, misalnya sebagai
hiburan, aktivitas dan kesenangan. Bila dihubungkan dengan kehidupan Kristen,
menjadikan mall-mall sebagai bagian hiburan dan menghabiskan waktu berjam-jam adalah
aktivitas yang sia-sia. Tetapi menjadi sangat berguna untuk sebuah keluarga
bila mengunjungi tempat-tempat berbelanja dengan tujuan untuk membangun
komunikasi antar pribadi dalam keluarga.
Pinkswing Park karya Agus
Suwage dan Davy Linggar ini mengundang protes (dengan kontroversi-kontrobersi
ikutannya), hal itu menunjukkan kompleksitas persoalan kehidupan kota itu
sendiri, pengalaman estetis para seniman atas kehidupan kota, sampai dengan
tanggung jawab para petugas Bienal dalam melindungi para peserta pameran dari
protes dan penilaian. Dilihat dari bentuk karya, Swingpink Park merupakan radikalisasi penciptaan realitas media
lewat simulasi. Dalam fotografi konvensional, orang sudah dibiasakan untuk
percaya bahwa foto menghadirkan apa yang difoto secara persis apa adanya. Akan
tetapi keahlian dalam teknik fotografilah maka rekayasa bukan hanya terjadi
lewat duplikasi melainkan juga pada sosok itu sendiri. Jadi pengalaman mencolok
adalah pengalaman untuk tidak mempercayai representasi fotografis sebagai
realisne absolute. Dalam karya ini ditampilkan gambar ketelanjangan walaupun dalam
realitas sebenarnya itu hanya rekayasa fotografi. Ketelanjangan adalah parody.
Maksud seniman adalah jelas melihat dari perspektif seni.[5]
Seni merupakan
salah satu strategi manusia menghadapi kekuatan-kekuatan dahsyat dan berbahaya
yang melingkupinya. Salah satu kekuatan ini bernama seks. Sebagai objek
normalisasi, seks melahirkan berbagai wacana. Wacana yang paling dominan adalah
wacana moral yang berkisar pada boleh atau tidak. Di bidang seni, kita mengenal
ars erotica yang mengambil seni
sebagai objek stilisasi. Menurut saya, kita harus bijaksana dalam menilai karya
seni yang mana pelaku seni tidak bermaksud menonjolkan erotisme yang berujung
pada pornografi. Pemikiran kita untuk mengaitkan ketelanjangan dengan erotisme,
kita merasa tidak berdaya untuk didiagnosis dan diterapi lewat sebuah karya. Para
seniman mencoba mengkomunikasikan maksudnya melalui media seni fotografi untuk
menyampaikan pesan realitas kepada masyarakat. Hal ini juga digambarkan juga
dalam Alkitab (Yehezkiel 23). Namun maksud Alkitab menggambarkan kehidupan
berdosa bangsa Israel yang menyembah berhaka dan hidup dalam persundalan. Dalam
Kidung Agung digambarkan bagaimana semestinya hubungan Allah dengan umat-Nya. Namun,
bila itu suatu realitas yang nyata yaitu benar-benar ketelanjangan (bukan
rekayasa) maka tentunya motifnya adalah komersialitas
yang akhirnya menimbulkan kesan pornografi.
Sunardi
berpendapat bahwa seni dan religi sering bertabrakan karena ada persaingan.
Kalau seni menghadirkan tubuh dalam kerangka beyond good and evil, agama membaginya dalam wilayah halal dan
haram (kudus dan dosa). Pendapat saya, apapun bentuk seni yang dapat
menyesatkan mata anda sebaiknya anda buang dan tinggalkan, apalagi pornografi
dan sejenisnya (Matius 5:29).
Apa artinya
kampanye di televisi dalam situasi kewargaan media seperti diulas diatas?
Tujuan kampanye sudah jelas: menjaring massa sebanyak mungkin dengan segala
daya persuasifnya. Berkampanye lewat televisi berarti berkampanye mengikuti
budaya atau aturan main televisi yang harus juga bertahan sebagai lembaga
bisnis dan hiburan. Dari pengamatan dan asumsi di atas ada tiga kemungkinan
yang diakibatkan oleh kampanye televisi: Pertama,
kampanye di televisi bisa memperkokoh demokrasi sejauh kampanye ikut serta
melakukan transformasi ruang media. Kedua, kampanye di televisi bisa
memperkokoh status televisi sebagai demo-tainmen
sejauh para kontestan mengikuti logika televisi (sebagai sumber hiburan)
sepenuhnya tanpa kritis.Ketiga,
kampanye di televisi bisa menggeser demokrasi menjadi partai-tainmen sejauh partai-partai tampil secara narsistik dengan
menjual diri sebagai sumber entertainment.
Dapat disimpulkan bahwa media televisi telah menjadi konsumsi publik dan media
sosialita yang mampu mengkomunikasikan maksud pelaku bisnis dan koleganya dalam
hiburan yang juga bermanfaat mendewasakan masyarakat dalam demokrasi. Saat ini
media televisi juga telah digunakan oleh gereja untuk mengkomunikasikan visi
dan misi gereja tertentu dan media pemberitaan Kerajaan Allah ke seluruh dunia.
[1] “Jalan Purgatorio dalam Kajian Budaya Sebuah Post Scriptum (2004)” dalam St. Sunardi,
Estetika Populer(Yogyakarta: Program
Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma,nd), 16.
[2] St. Sunardi, Estetika Populer(Yogyakarta:
Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma,nd), 16;Dick
Hebdige, Subculture. The Meaning of the
Style (London: Routledge, 1979), 129.
[3] “Karawitan
Menagih Janji Jepang Seabad Kelahiran Pengrawit Ki Tjokrowasito” dalam St. Sunardi, Estetika Populer (Yogyakarta:
Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma,nd), 31.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar