By Hengki Wijaya
BAB
I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pemahaman
tentang penciptaan manusia menurut gambar dan rupa Allah adalah hal yang
penting, karena berdasarkan pemahaman tersebut, manusia akan menempatkan diri
secara benar sebagai makhluk yang diciptakan dan akan menghormati Penciptanya
sebagai Oknum yang berkuasa penuh di dalam hidupnya. Kesalahan pengertian terhadap konsep
penciptaan manusia, maka manusia akan menjadikan dirinya sebagai allah terhadap
dirinya sendiri dan segala sesuatu yang berada di sekitarnya.
Penciptaan
manusia dalam kitab Kejadian pasal 1 bahwa Allah menciptakan manusia seturut
gambar dan rupa Allah menjadikan manusia berbeda dengan ciptaan lainnya yang
ada di taman Eden. Allah memiliki tujuan menciptakan manusia dan tujuan itu
sudah diketahui oleh banyak orang. Namun alangkah baiknya apabila kebenaran itu
diungkap dari Alkitab sendiri dalam hal ini Kitab Kejadian 1:26-28 tentang
gambar dan rupa Allah. Adapun judul
penulisan ini adalah “Ekposisi Gambar Allah Menurut Penciptaan Manusia Berdasarkan
Kejadian 1:26-28.”
Tujuan
penulisan ini diharapkan dapat memberikan makna gambar Allah dalam penciptaan
manusia, tujuan penciptaan manusia dan implikasi teologis gambar Allah
berdasarkan Kejadian 1:26-28. Penulisan inimembeatsi teks hanya pada konteks
Kejadian 1:26-28 dan peristiwa manusia belum jatuh ke dalam dosa. Penulisan ini
mengusahakan pendekatan biblical research
dan didukung dengan buku-buku yang
berhubungan dengan judul tersebut diatas.
BAB
II
EKSPOSISI
GAMBAR ALLAH MENURUT PENCIPTAAN MANUSIA BERDASARKAN KEJADIAN 1:26-28
Asal Mula Manusia
Sebagai seorang
Kristen harus mempercayai bahwa di dalam penciptaan manusia ada keterlibatan
Allah. Di dalam kejadian 1:26
“Berfirmanlah Allah: "Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan
rupa Kita, kata menjadikan dalam ayat
tersebut berasal dari bahasa Ibrani השׂע ‘asah
yang berarti “menjadikan” atau “membuat” dengan memakai bahan.[1] Kata
tersebut berbicara mengenai tubuh manusia yang diciptakan oleh Allah dengan menggunakan
bahan yaitu debu tanah, “ketika itulah TUHAN Allah membentuk manusia itu dari
debu tanah” (Kej. 2:7a) dan kata ארב bara’
yang berarti “menciptakan” dengan tidak memakai bahan,[2] kata tersebut mengacu kepada jiwa manusia
yang diciptakan Allah tanpa memakai bahan melainkan Allah langsung menghembuskan
nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang
hidup (Kej. 2:7b). kata berikut ialah yatsar
yang berarti “membentuk”, bukan bertumbuh dan bertambah-tambah (Kej. 2:7).[3]
Jadi dari ketiga kata tersebut dapat disimpulkan bahwa teori evolusi yang
mengatakan “suatu jenis berkembang dan berubah sampai menjadi jenis baru yang
lebih tinggi tingkatannya”,[4]
hal itu merupakan kekeliruan karena Allah sendiri yang telah menciptakan
manusia secara langsung baik dengan menggunakan bahan maupun tanpa menggunakan
bahan. “Cerita Kitab Kejadian tentang penciptaan memberikan kepada manusia
tempat mulia dalam alam semesta. Penciptaan manusia tidak hanya merupakan
penutup dari segenap karya ciptaan Allah, tapi dalam penciptaan manusia itu
sendiri terkandung penggenapan dan makna dari seluruh pekerjaan Allah pada
kelima hari lainnya. Manusia diperintahkan memenuhi bumi dan menaklukkannya,
dan manusia berkuasa atas semua makhluk.”[5]
Teori evolusi dan teori penciptaan merupakan teori yang paling sering
dibicarakan dan dipertentangkan. Untuk mengetahui kebenaran yang asli harus
kembali kepada kebenaran Alkitab secara
menyeluruh bukan setengah-setengah.
Makna Gambar dan Rupa dalam Kejadian
1:26-28
Kata
tselem juga berarti sia-sia (vain),
empty (kosong), image (gambar, patung, kesan, bayang-bayang), likeness
(persamaan). Pengertian dasar dari kata tselem adalah to shade (melindungi, membayangi, menaungi). Dalam budaya Timur
Tengah, tselem digunakan untuk menyatakan
suatu bentuk pemberhalaan terhadap suatu bentuk gambar atau patung. Suatu figur yang represntatif untuk
diberhalakan.
Penggunaan
tselem dalam PL menjelaskan tentang
gambar dalam konsep penciptaan (Kej. 1:26, 27; 9:6), gambar dalam konsep yang
dilahirkan manusia (Kej. 5:3), penekanan tentang siapa yang membuhuh manusia,
darahnya akan tertumpah sebab Allah membuat manusia menurut gambar-Nya (Kej.
9:5), patung-patung tuangan yang menjadi berhala (Bil. 33:52), gambar binatang
yang diberhala (I Sam. 6:5, 11), patung-patung sembahan (II Raja 11:18; II Taw.
23:17; Yeh. 7:20; 16:17; Amos 5:26), gambar orang (Yeh. 23:14), hidup manusia
yang hampa (Mzr. 39:7). Penggunaan demut
dalam PL menjelaskan tentang rupa dalam konsep ciptaan (Kej. 1:26; 5:1), rupa
dalam konsep keturunan yang dihasilkan manusia (Kej. 5:3), bagan (II Raja
16:10), gambar yang mirip dengan asli, kiasan (II Taw. 4:3), penyerupaan yang
menyatakan kiasan (Mzr. 58:5), seperti yang menyatakan penggambaran (Yes.
13:4), serupa yang menyatakan perbandingan yang tidak sama (Yes. 40:18),
menyerupai yang menyatakan kemiripan, atau nampaknya/seperti (Yeh. 1:5, 10, 13,
16, 22, 26; 8:2; 10:1, 10, 23:15; Dan. 10:18), berbentuk seperti (Yeh. 10:21).
Manusia
pada dasarnya adalah makhluk ciptaan Allah yang paling spesial, karena Allah
menciptakan manusia secara langsung, Allah membentuk manusia itu dengan memakai
tangan Allah sendiri (Kej.2:7) “ketika itulah TUHAN Allah membentuk manusia itu
dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah
manusia itu menjadi makhluk yang hidup.” Tidak sama halnya dengan penciptaan
makhluk lainnya, Allah menciptakan makhluk lainnya hanya dengan berfirman tanpa
Allah membentuk langsung.
Allah
juga memberikan kuasa kepada manusia atas mahkluk ciptaan yang lain (Kej.
1:26,28), ini juga merupakan salah satu bukti bahwa manusia itu berbeda dari
makhluk ciptaan yang lainnya. Hal yang paling membedakan manusia dengan makhluk
ciptaan yang lainnya ialah manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. “Di
dalam bahasa Ibrani tidak ada kata sambung di antara kedua ungkapan tersebut;
teks Ibrani hanya berbunyi “marilah Kita menjadikan manusia menurut gambar rupa
Kita.” Baik Septuaginta[6]
maupun Vulgata[7]
memasukkan kata dan sehingga beri
kesan bahwa “gambar” dan “rupa” mengacu kepada dua hal yang berbeda.”[8]
Pada kenyataannya kedua kata tersebut tidak memiliki perbedaan yang begitu jauh
melainkan kedua kata tersebut memiliki makna yang hampir sama, keduanya saling
melengkapi satu sama lainnya. Terbukti kata tersebut dipakai bergantian di
dalam penggambaran penciptaan manusia di dalam Kej. 1:27 memakai kata gambar
“Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah
diciptakan-Nya,”sedangkan di dalam Kej. 5:1 di gunakan kata rupa, “dibuatNyalah
dia menurut rupa Allah.” Di dalam Kej. 1:26 dan Kej. 5:3 mengandung kedua kata
tersebut tetapi dengan urutan yang berbeda, ada yang kata gambar yang terlebih
dahulu dan ada pula kata rupa yang terlebih dahulu.
Kata
Ibrani untuk gambar ialah םלצ tselem
yang diturunkan dari akar kata yang bermakna “mengukir” atau “memotong.” Maka
kata ini bisa dipakai untuk mendeskripsikan ukiran berbentuk binatang atau
manusia. Ketika diaplikasikan pada penciptaan manusia dalam Kejadian 1, kata tselem ini mengindikasikan bahwa manusia
menggambarkan Allah, artinya manusia merupakan suatu representasi Allah. Kata
Ibrani untuk rupa ialah תומד damuwth
yang bermakna “menyerupai”. Jadi, orang bisa berkata bahwa kata damuwth di Kejadian 1
mengidentifikasikan bahwa gambar
tersebut juga merupakan keserupaan, “gambar yang menyerupai Kita.” Kedua kata
itu memberi tahu kita bahwa bahwa manusia mempresentasikan Allah dan menyerupai
Dia dalam hal-hal tertentu.”[9]
Hakikat
Manusia
Salah
satu keserupaan manusia dengan Allah ialah manusia diberi kekuasaan oleh Allah
atas binatang dan atas seluruh bumi ini merupakan aspek dari gambar Allah.
Maksud Allah memberikan kekuasaan kepada manusia agar manusia menjadi serupa
dengan Allah, dalam hal memiliki kekuasaan atas bumi. Yang membedakan manusia
dan Allah ialah manusia berkuasa atas segala makhluk ciptaan Allah yang di bumi
karena diberi kuasa oleh Allah sedangkan Allah adalah pemilik kekuasaan tertinggi
atas segala makhluk di bumi karena Dia adalah sang pencipta. Jadi pada hakikatnya
manusia merupakan cerminan dari beberapa sifat Allah.
Ada
dua tahapan dalam penciptaan manusia, Allah membentuk manusia dari debu tanah
dan menghembuskan napas hidup agar menjadi makhluk hidup (Kej. 2:7), yang
hasilnya adalah tunggal, yaitu manusia yang berupa satu kesatuan. Tanah adalah bahan kebendaan dan napas Allah
yang memberi hidup. Unsur kebendaan
menghasilkan saluran darah, otak, otot dan sebagainya. Unsur bukan kebendaan menghasilkan jiwa, roh,
hati nurani, kemauan, kesadaran, dan sebagainya. Tanpa kesatuan dari kedua hal tersebut,
masing-masing tidak dapat berfungsi.[10]
Manusia
diciptakan dari materi (debu tanah) dan non-materi (napas hidup dari Allah)
yang menjadi satu kesatuan. Kematian
memisahkan badan dari roh (Yak. 2:26). Ibrani 4:12, “Firman tidak memisahkan jiwa dari roh
tetapi firman itu menembus sehingga membagi jiwa dan roh, bagian yang terdalam
dari manusia.” Dengan maksud, firman
tidak meninggalkan apa pun yang tersembunyi dari manusia. I Tesalonika
5:23, nampaknya bagian bukan materi
terdiri dari jiwa dan roh. Tekanan ayat
ini adalah kesempurnaan penyucian. Tidak
ada tempat yang tersembunyi dari bagian non-materi manusia yang tidak disucikan
oleh Allah (Bdg. I Kor. 15:44; II Kor.
7:1; I Pet. 2:11; Mark. 12:30; Ibr. 10:3).
Setara Namun Berbeda
Laki-laki dan perempuan diciptakan
Allah setara nanum berbeda, setara dalam keberadaan sebagai manusia, berbedaan
dalam keberadaan jenis kelamin (Kej. 1:27).
1.
Dan
Allah menciptakan manusia menurut gambar-Nya.
2.
Menurut
gambar Allah Ia menciptakan mereka.
3.
Laki-laki
dan perempuan Ia menciptakan mereka.
Laki-laki dan perempuan sama
martabatnya di hadapan Allah sebagai manusia, sebelum maupun sesudah kejatuhan
(Kej. 5:2), sebagai penyandang gambar Allah.
1.
Dan
menciptakan Allah manusia menurut gambar-Nya.
2.
Menurut
gambar Allah Ia menciptakan dia.
Manusia, laki-laki dan perempuan,
diciptakan menurut gambar Allah dalam posisi setara tanpa hierarki. Martabat
manusia terletak dalam keberadaannya sebagai gambar Allah. Kesetaraan laki-laki dan perempuan juga
terlihat dalam mandat yang sama dari TUHAN untuk beranak cucu dan menguasai
alam (Kej. 1:26, 28-29). Laki-laki tidak
diciptakan untuk berada di atas perempuan atau sebaliknya. Sehingga sebenarnya kesertaan manusia
(laki-laki dan perempua) telah dimulai sejak manusia diciptakan, namun dalam
perkembangan sejarah hidup manusia, memberikan kesan bahwa derajat kaum
perempuan direndahkan.
Tujuan Penciptaan
Manusia
Memiliki Hubungan Dengan Ciptaan Lain
Allah
tidak menciptakan manusia dari seekor binatang, tetapi dari debu tanah. Penciptaan yang demikian dengan tegas menolak
teori evolusi yang mengatakan bahwa manusia berevolusi dari binatang hingga
menjadi manusia. Manusia terpisah dari
binatang, tetapi menjadi bagian dari tatanan ciptaan, sehingga relasi antara
manusia dengan ciptaan yang lain mendapat penekanan penting dalam Alkitab.[11] Manusia yang diciptakan Allah memiliki dua
aspek, yaitu debu tanah dan meniupkan napas hidup ke dalamnya sehingga
menyebabkan manusia menjadi makhluk hidup.
Ungkapan yang sama juga dikenakan kepada hewan (1:21, 24; 2:19), tetapi
hewan tidak diciptakan menurut gambar dan rupa Allah.[12] Manusia yang dibentuk, baik Adam maupun Hawa
adalah manusia yang dewasa (adam),
bukan melalui proses perkembangan menjadi dewasa. Kadang janji-janji Allah
dikaitkan dengan perjanjian yang diberikan dalam konteks tanah dan ibadah umat
Allah kadang berhubungan dengan bumi yang dihidupi. Ketika manusia pertama kali jatuh dalam dosa,
kutukan dikenakan kepada tanah (Kej. 3:17-18), dosa mencemari negeri (Ul.
24:4). Setelah negeri dicemari oleh
dosa, ia memuntahkan penduduknya (Im. 18:25,28). Di pihak lain, Yerusalem menjadi simbol
gunung TUHAN, di mana segala bangsa akan naik untuk beribadah kepada Allah
(Yes. 2:2-4). Saat itu, damai meliputi
negeri, integritas umat akan dipulihkan, dan singa akan berbaring dengan anak
lembu (Yes. 11:6-9). Dunia menjadi area kehidupan manusia yang dapat
membahagiakan manusia, tetapi karena dosa, dunia menjadi penjara bagi manusia.[13]
Adam,
manusia pertama, diberikan kuasa untuk menamai dan mengkategorikan semua jenis
binatang, akan tetapi tidak ada satu pun yang pantas berperan sebagai penolong
yang sepadan, “Manusia itu memberi nama kepada segala ternak, kepada
burung-burung di udara dan kepada segala binatang hutan, tetapi baginya sendiri
ia tidak menjumpai penolong yang sepadan dengan dia” (Kej. 2:20). Memberi nama adalah menempatkan dalam suatu
rencana bagi segala sesuatu dan menujukkan keunggulan Adam dari segala ciptaan
yang lain. Memberi nama adalah
kelanjutan pekerjaan Allah yang dikerjakan oleh manusia. Dalam hal inilah manusia memiliki relasi yang
terikat dengan alam.[14]
Memiliki Hubungan Dengan Sesama
Hanya
manusialah yang diciptakan Allah untuk dapat memenuhi kepuasan dan kebutuhan
dasar manusia, oleh sebab itu, Allah menciptakan manusia, laki-laki dan
perempuan (Kej. 1:27). Manusia
diciptakan untuk berelasi dan saling melengkapi dalam kasih. Kedua-duanya sama derajat di hadapan
Allah. Perkawinan diperkenalkan oleh Allah
kepada manusia sebagai lembaga yang utama dan monogami (laki-laki dan
perempuan), keduanya menjadi satu daging.
Dalam
Perjanjian Lama, manusia tidak dilihat secara terpisah atau sendiri-sendiri,
tetapi sebagai anggota-anggota yang bertanggung jawab dari satu keluarga atau
suku bangsa. Seorang individu adalah
seorang anggota keluarga atau suku bangsa, yang termasuk dalam satu marga,
dipersatukan dalam satu suku, yang semuanya berada dalam kesatuan dari seluruh kaum
Israel (Yos. 7:16-18). Panggilan Allah
juga datang kepada individu-individu untuk demi kepentingan kelompok. Abraham dipanggil untuk meninggalkan
kesenangan hidup keluarga dan negerinya agar menjadi berkat bagi sarana berkat
bagi banyak orang (Kej. 12:1-3). Musa
dipanggil untuk hidup dekat dengan Allah agar menjadi berkat bagi bangsa Israel
(Kel. 24:2). Imam Besar masuk ke dalam
ruang maha kudus seorang diri demi tugas untuk banyak orang (Im.
16:17-19). Para nabi dipanggil untuk
melayani bangsa Israel dan Yehuda.[15]
Tujuan Kemuliaan dan Rencana Allah
Segala
sesuatu tentu ada tujuannya, demikian pula dengan penciptaan manusia. Allah
menciptakan manusia tentunya dengan maksud dan tujuan yang berbeda dengan
makhluk ciptaan lainnya. Tujuan Allah dalam penciptaan manusia ialah:
1.
Untuk Kemuliaan Allah
Tujuan utama
penciptaan manusia yaitu untuk kemuliaan Allah. Itulah sebabnya manusia
diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Maksud dari segambar dan serupa
dengan Allah untuk menyatakan kemuliaan melalui kehidupan manusia (Rom. 11:36)
2.
Untuk Menggenapi Rencana Allah
Dari
awal penciptaan Allah memberkati manusia Adam dan Hawa dalam sebuah pernikahan
dan berfirman kepada mereka: “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah
bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung
di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.” Dalam Kejadian 1:28
mengandung beberapa rencana Allah bagi kehidupan manusia. Dimulai dengan kata beranakcuculah
disini memiliki dua pengertian: Pertama,
beranakcucu secara jasmani yaitu menghasilkan keturunan secara fisik, untuk
menggenapi rencana Allah di dalam dunia ini. Kedua, dari bahasa aslinya הרפ parah
yang dalam terjemahan bahasa Inggrisnya fruitful
yang berarti berhasil, pertemuan yang berhasil baik, bermanfaat, subur dan penuh
keberhasilan. Rencana Allah dalam kehidupan manusia untuk mendapat berkat,
berguna bagi sesama, menjadi berkat, dan penuh dengan keberhasilan.
Kata
bertambah banyak dalam bahasa aslinya
הבר rabah yang dalam terjemahan
bahasa Inggrisnya multiply memiliki
pengertian mengalikan dan melipat gandakan. Allah ingin manusia mengembangkan
segala sesuatu yang telah Allah berikan atau percayakan kepadanya sebagai
contoh talenta yang telah Tuhan berikan dikembangkan untuk melayani Dia,
kepandaian yang dipercayakan digunakan untuk
memuliakan nama Allah, karunia digunakan untuk membangun tubuh Kristus. Beranakcucu
dan bertambah banyak adalah bagian rencana Allah untuk memenuhi bumi dan
memuliakan diri-Nya.
Implikasi
Teologis Tentang Gambar Allah
Gambar Allah Menyatakan Kepribadian[16]
Gambar
menyatakan keserupaan bentuk, yang menunjukkan bahwa bentuk luar manusia
mengambil bagian dari penggambaran Allah.
Rupa menitikberatkan kepada kesamaan daripada tiruan, sesuatu yang mirip
dalam hal-hal yang tidak diketahui melalui pancaindera. Dalam hal ini, manusia menjadi saksi
kekuasaan Allah atas ciptaan dan bertindak sebagai wakil penguasa. Dengan demikian, kekuasaan manusia mencerminkan
kekuasaan Allah sendiri atas ciptaan, yang melibatkan kreativitas dan tanggung
jawab manusia.
Gambar
Allah menunjuk kepada keberadaan manusia yang berkepribadian dan bertanggung
jawab di hadapan Allah, yang pantas mencerminkan Penciptanya dalam pekerjaan
yang ia lakukan, serta mengenal dan mengasihi Dia dalam segala perbuatan
mereka. Tubuh manusia dianggap sebagai
sarana yang tepat untuk kehidupan rohani. Allah menciptakan manusia dan
mengenalnya (Mzr. 139:13-16), memeliharanya (Ayub 10:12), dan menuntunnya
menuju akhir hidupnya.
Gambar Allah sebagai Tanggung Jawab[17]
Orang
sering beranggapan bahwa gambar kemiripan manusia dengan Penciptanya yang
dinyatakan dalam gambar Allah, terletak pada karakteristik manusia yang
membedakannya dari binatang, seperti rasio, kekekalan dan konsepnya, dan
perasaan moral. Seperti yang dijelaskan
oleh Eichrodt, bahwa keunikan manusia sebagai gambar dan rupa Allah terletak
pada kesadaran diri dan kemampuannya untuk menentukan diri. Namun menurut, Yonky Karman, persoalan bagi
teologi biblika adalah kategori-kategori gambar Allah itu diimpor dari luar
konteks. Von Rad, menyatakan bahwa dalam
kontek Timur Dekat kuno, “tselem-gambar”
dapat dimaksud sebagai bentuk fisik yang mewakili kehadiran seorang
penguasa. Raja yang memiliki kekuasaan
di luar daerahnya, dapat diwakili oleh patung dirinya sebagai representasi
kehadirannya di daerah itu.
Berdasarkan
analogi ini, penciptaan manusia menurut gambar Allah, secara negatif menyangkal
manusia sama dengan Allah. Gambar Allah
bukanlah Allah. Semulia-mulia manusia,
ia tetap bukan Allah hanya gambar-Nya saja, yang ternyata hanya berasal dari
debu tanah (Kej. 2:7) dan kembali kepada debu (Kej. 3:7). Jika ia memanipulasi untuk dirinya berbagai
bentuk ketaatan dan dedikasi orang lain yang seharusnya untuk Tuhan, maka ia
mencuri kemuliaan Allah.
Gambar
Allah bersifat fungsional, yang mana manusia ditempatkan di bumi untuk
menunjukkan kedaulatan Allah atas dunia ciptaan dengan cara menaklukkan dan
berkuasa atas bumi (Kej. 28). Manusia
memiliki relasi yang istimewa dengan Allah, penguasa bumi sebenarnya, berkenaan
dengan kewajibannya mewakili Yang Mahakuasa untuk menguasai alam. Menguasai alam memiliki pemahaman hidup
harmoni dengan alam sebelum Kejatuhan dan belum ada unsur keserakahan manusia
untuk menguras alam (Kej. 1-2).
Menguasai alam juga berarti mempelajari hukum-hukumnya, menyelidikinya,
mengeksporasinya. Ini bukanlah pekerjaan
yang ringan, sehingga diperlukan keseriuasan dan kekuatan manusia. Manusia menjalankan kekuasaannya tetapi
terbatas pada yang didapat dari Penciptanya dan semua usaha harus mendatangkan
kesejahteraan bagi semua orang bukan hanya segelintir orang saja.
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan
teks yang membedakan manusia dan Allah ialah manusia berkuasa atas segala
makhluk ciptaan Allah yang di bumi karena diberi kuasa oleh Allah sedangkan
Allah adalah pemilik kekuasaan tertinggi atas segala makhluk di bumi karena Dia
adalah sang pencipta. Jadi pada hakikatnya manusia merupakan cerminan dari
beberapa sifat Allah.
Tujuan
penciptaan manusia berdasarkan konteks Kejadian 1:26-28 yaitu manusia
diciptakan untuk berhubungan dengan ciptaan yang lain dan juga kepada sesama
manusia dimana Allah menghendaki manusia beranakcucu dan bertambah banyak
memenuhi bumi. Allah menciptakan manusia untuk memenuhi rencana-Nya dan seluruh
makhluk ciptaan-Nya memiliakan Dia.
Gambar
Allah yang ada pada manusia mencerminkan kepribadian Allah sebelum manusia
jatuh dalam dosa. Dan manusia yang diciptakan segambar Allah memiliki tanggung
jawab untuk menaklukkan segala ciptaan-Nya sebagai tanggung jawab atas kedaulatan
Allah sebagai wakilnya di muka bumi.
KEPUSTAKAAN
Alkitab Terjemahan
Baru. Jakarta:LAI, 2004.
Brill, J. Wesley. Dasar Yang Teguh. Bandung:Kalam Hidup,
1998.
Djadi, Jeremia. Diktat
Angelologi, Antropologi, dan Hamartologi. Makassar:STT Jaffray Makassar,
2009.
Dyrness,
William. Tema-Tema dalam Teologi
Perjanjian Lama. Malang: Gandum Mas, 2001.
Hoekema, Anthony A. Manusia: Ciptaan Menurut Gambar Allah.
Surabaya:Momentum, 2010.
Karman,
Yonky. Bunga Rampai Teologi Perjanjian
Lama. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007.
Maiaweng, Peniel. Diktat Teologi Perjanjian Lama. Makassar:STT
Jaffray Makassar, 2011.
Ryrie,
Charles. Teologi Dasar 1. Yogyakarta:
Penerbit ANDI, 1992.
[1] Jeremia Djadi, Diktat Angelologi, Antropologi, dan
Hamartologi (Makassar: STT Jaffray
Makassar, 2009), 44.
[2] Jeremia Djadi, Diktat Angelologi, Antropologi, dan
Hamartologi, 44.
[3] Jeremia Djadi, Diktat Angelologi, Antropologi, dan
Hamartologi, 44.
[4] J. Wesley Brill, Dasar Yang Teguh (Bandung: Kalam Hidup,
1994), 181.
[5] Ensiklopedia Alkitab
Masa Kini
[6] Perjanjian Lama
Versi Yunani, dihasilkan pada abad ke-3 SM.
[7] Alkitab terjemahan
Latin disusun oleh Jerome dari tahun 382 sampai 404 M.
[8] Anthony A. Hoekema, Manusia: Ciptaan Menurut Gambar Allah
(Surabaya: Momentum, 2010) ,17-18.
[9] Anthony A. Hoekema, Manusia: Ciptaan Menurut Gambar Allah, 18.
[10] Peniel Maiaweng, Diktat Teologi Perjanjian Lama
(Makassar:STT Jaffray Makassar, 2011), 4.
[11] William Dyrness, Tema-Tema dalam Teologi Perjanjian Lama (Malang: Gandum Mas, 2001), 63-64.
[12] Charles Ryrie, Teologi Dasar 1 (Yogyakarta: Penerbit ANDI, 1992), 256.
[13] Dyrness, 64.
[14] Ibid.
[15]
Peniel Maiaweng, Diktat Teologi Perjanjian
Lama,4.
[16] William Dyrness, Tema-Tema dalam Teologi Perjanjian Lama (Malang: Gandum Mas, 2001), 67-68.
[17] Yonky Karman, Bunga Rampai Teologi Perjanjian Lama (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007), 50-52.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar