Good News

Kamis, 20 Desember 2018

Ringkasan kisah misi di Zaire



📖"Kisah Misionaris Yang Kepahitan Terhadap Tuhan"

Pada tahun 1921, dua pasang suami istri dari Stockholm (Swedia), menjawab panggilan Tuhan untuk melayani misi penginjilan di Afrika. Kedua pasang suami istri ini menyerahkan hidupnya untuk mengabarkan Injil dalam suatu kebaktian pengutusan Injil. Mereka terbeban untuk melayani negara Belgian Kongo, yang sekarang bernama Zaire.

Mereka adalah David Flood & isterinya Svea, serta Joel Erickson & isterinya Bertha.

Setelah tiba di Zaire, mereka melapor ke kantor Misi setempat. Lalu dengan menggunakan parang, mereka membuka jalan melalui hutan pedalaman yang dipenuhi nyamuk malaria. David dan Svea membawa anaknya David Jr. yang masih berumur 2 tahun. Dalam perjalanan, David Jr. terkena penyakit malaria.

Namun mereka pantang menyerah dan rela mati untuk Pekerjaan Injil. Tiba di tengah hutan, mereka menemukan sebuah desa di pedalaman. Namun penduduk desa ini tidak mengijinkan mereka memasuki desanya. "Tak boleh ada orang kulit putih yang boleh masuk ke desa. Dewa-dewa kami akan marah," demikian kata penduduk desa itu.

Di desa N’dolera itu mereka ditentang habis oleh kepala suku yang khawatir kehadiran orang-orang putih ini membuat dewa-dewa setempat murka. Jadi didirikan sebuah pondok dari lumpur, kira-kira 750 meter di luar desa.

Karena tidak menemukan desa lain, mereka akhirnya terpaksa tinggal di hutan dekat desa tersebut. Setelah beberapa bulan tinggal di tempat itu, mereka menderita kesepian dan kekurangan gizi. Selain itu, mereka juga jarang mendapat kesempatan untuk berhubungan dengan penduduk desa. Setelah enam bulan berlalu, keluarga Erickson memutuskan untuk kembali ke kantor misi.

Namun keluarga Flood memilih untuk tetap tinggal, apalagi karena saat itu Svea baru hamil dan sedang menderita malaria yang cukup buruk. Di samping itu David juga menginginkan agar anaknya lahir di Afrika dan ia sudah bertekad untuk memberikan hidupnya untuk melayani di tempat tersebut.

Selama beberapa bulan Svea mencoba bertahan melawan demamnya yang semakin memburuk. Namun di tengah keadaan seperti itu ia masih menyediakan waktunya untuk melakukan bimbingan rohani kepada seorang anak kecil penduduk asli dari desa tersebut.

Anak kecil itulah satu-satuya kontak dengan penduduk lokal yang diijinkan menjual telur dan daging ayam seminggu dua kali, dan kemudian disambut dengan senang hati, dibimbing kepada Kristus.

Dapat dikatakan anak kecil itu adalah satu-satunya hasil pelayanan Injil melalui keluarga Flood ini. Saat Svea melayaninya, anak kecil ini hanya tersenyum kepadanya. Penyakit malaria yang diderita Svea semakin memburuk sampai ia hanya bisa berbaring saja. Tapi bersyukur bayi perempuannya berhasil lahir dengan selamat tidak kurang suatu apa.

Namun Svea tidak mampu bertahan. Seminggu kemudian keadaannya sangat buruk dan menjelang kepergiannya, ia berbisik kepada David, "Berikan nama Aina pada anak kita," lalu ia meninggal.

David amat sangat terpukul dengan kematian istrinya. Ia membuat peti mati buat Svea, lalu menguburkannya. Saat dia berdiri di samping kuburan, ia memandang pada anak laki-lakinya sambil mendengar tangis bayi perempuannya dari dalam gubuk yang terbuat dari lumpur. Timbul kekecewaan yang sangat dalam di hatinya.

Dengan emosi yang tidak terkontrol David berseru:
"Tuhan, mengapa Kau ijinkan hal ini terjadi? Bukankah kami datang kemari untuk memberikan hidup kami dan melayani Engkau?! Istriku yang cantik dan pandai, sekarang telah tiada. Anak sulungku kini baru berumur 3 tahun dan nyaris tidak terurus, apalagi si kecil yang baru lahir. Setahun lebih kami ada di hutan ini dan kami hanya memenangkan seorang anak kecil yang bahkan mungkin belum cukup memahami berita Injil yang kami ceritakan. Kau telah mengecewakan aku, Tuhan. Betapa sia-sianya hidupku!"

Kemudian David kembali ke kantor misi Afrika. Saat itu David bertemu lagi dengan keluarga Erickson. David berteriak dengan penuh kejengkelan:
"Saya akan kembali ke Swedia! Saya tidak mampu lagi mengurus anak ini. Saya ingin titipkan bayi perempuanku kepadamu."

Kemudian David memberikan Aina kepada keluarga Erickson untuk dibesarkan. Sepanjang perjalanan ke Stockholm, David Flood berdiri di atas dek kapal. Ia merasa sangat kesal kepada Tuhan. Ia menceritakan kepada semua orang tentang pengalaman pahitnya, bahwa ia telah mengorbankan segalanya tetapi berakhir dengan kekecewaan. Ia yakin bahwa ia sudah berlaku setia tetapi Tuhan membalas hal itu dengan cara tidak mempedulikannya.

Setelah tiba di Stockholm, David Flood memutuskan untuk memulai usaha di bidang import. Ia mengingatkan semua orang untuk tidak menyebut nama Tuhan didepannya. Jika mereka melakukan itu, segera ia naik pitam dan marah. David akhirnya terjatuh pada kebiasaan minum-minuman keras.

Tidak lama setelah David Flood meninggalkan Afrika, pasangan suami-istri Erikson yang merawat Aina meninggal karena diracun oleh kepala suku dari daerah dimana mereka layani.

Selanjutnya si kecil Aina diasuh oleh Arthur & Anna Berg. Keluarga ini membawa Aina ke sebuah desa yang bernama Masisi, Utara Kongo. Di sana Aina dipanggil "Aggie". Si kecil Aggie segera belajar bahasa Swahili dan bermain dengan anak-anak Kongo.

Pada saat-saat sendirian si Aggie sering bermain dengan khayalan. Ia sering membayangkan bahwa ia memiliki empat saudara laki-laki dan satu saudara perempuan, dan ia memberi nama kepada masing-masing saudara khayalannya.

Kadang-kadang ia menyediakan meja untuk bercakap-cakap dengan saudara khayalannya. Dalam khayalannya ia melihat bahwa saudara perempuannya selalu memandang dirinya. Keluarga Berg akhirnya kembali ke Amerika dan menetap di Minneapolis.

Saat Aggie beranjak dewasa ia mendapat kiriman majalah Kristen dengan berbahasa Swedia di kotak suratnya. Saat ia melihat sebuah halaman di majalah tersebut ia  terhenti  kaget karena foto-foto yang ada di majalah tersebut. Ada sebuah kuburan primitif dengan salib putih dan di salib tertulis nama Svea Flood. Aggie pun spontan beranjak ke mobilnya dan pergi menemui seseorang yang bisa menerjemahkan artikel berbahasa Swedia tersebut.

Kemudian penerjemah itu membacakan dengan ringkas bahwa dulu ada pasangan suami isteri misionaris yang datang ke Afrika yang memperkenalkan Yesus kepada seorang bocah laki-laki. Suami isteri ini dikaruniai seorang anak perempuan tapi ibunya meninggal dunia setelah beberapa hari. Namun melalui anak kecil yang pernah dibimbing Svea Flood, Tuhan telah menyelamatkan 600 orang Zaire. Ketika si bocah tersebut beranjak dewasa ia mendirikan sekolah di desanya tersebut dan oleh semangat belas kasihan Kristus yang ia peroleh dari Svea kini ia telah menjadi Pemimpin dari Gereja Pentakosta di Zaire dan memimpin 110.000 orang-orang Kristen di Zaire.

Sejak itu Aggie pun berusaha mencari tahu keberadaan ayahnya tapi sia-sia.

Aggie menikah dengan Dewey Hurst, yang kemudian menjadi presiden dari sekolah Alkitab Northwest Bible College. Sampai saat itu Aggie tidak mengetahui bahwa ayahnya telah menikah lagi dengan adik Svea, yang tidak mengasihi Allah dan telah mempunyai anak lima, empat putra dan satu putri (tepat seperti khayalan Aggie).

Suatu ketika Sekolah Alkitab memberikan tiket pada Aggie dan suaminya untuk pergi ke Swedia. Ini merupakan kesempatan bagi Aggie untuk mencari ayahnya. Saat tiba di London, Aggie dan suaminya berjalan kaki di dekat Royal Albert Hall. Ditengah jalan mereka melihat ada suatu pertemuan penginjilan. Lalu mereka masuk dan mendengarkan seorang pengkotbah kulit hitam yang sedang bersaksi bahwa Tuhan sedang melakukan perkara besar di Zaire. Hati Aggie terperanjat.

Setelah selesai acara ia mendekati pengkotbah itu dan bertanya, "Pernahkah anda mengetahui pasangan penginjil yang bernama David dan Svea Flood?"

Pengkotbah kulit hitam ini menjawab, "Ya, Svea adalah orang yang membimbing saya kepada Tuhan waktu saya masih anak-anak. Mereka memiliki bayi perempuan tetapi saya tidak tahu bagaimana keadaannya sekarang."
Aggie segera berseru: "Sayalah bayi perempuan itu! Saya adalah Aggie - Aina!"

Mendengar seruan itu Ruhigita Ndagora si Pengkotbah kulit hitam itu segera menggenggam tangan Aggie dan memeluk sambil menangis dengan sukacita. Aggie tidak percaya bahwa orang ini adalah bocah yang dilayani ibunya. Ia bertumbuh menjadi seorang penginjil yang melayani bangsanya dan pekerjaan Tuhan berkembang pesat dengan 110.000 orang Kristen, 32 Pos penginjilan, beberapa sekolah Alkitab dan sebuah rumah sakit dengan 120 tempat tidur.

Esok harinya Aggie meneruskan perjalanan ke Stockholm dan berita telah tersebar luas bahwa mereka akan datang. Setibanya di hotel ketiga saudaranya telah menunggu mereka di sana dan akhirnya Aggie mengetahui bahwa ia benar-benar memiliki saudara lima orang.

Ia bertanya kepada mereka: "Dimana David kakakku ?" Mereka menunjuk seorang laki-laki yang duduk sendirian di lobi. David Jr. adalah pria yang nampak kering lesu dan berambut putih. Seperti ayahnya, iapun dipenuhi oleh kekecewaan, kepahitan dan hidup yang berantakan karena alkohol.

Ketika Aggie bertanya tentang kabar ayahnya, David Jr. menjadi marah. Ternyata semua saudaranya membenci ayahnya dan sudah bertahun-tahun tidak membicarakan ayahnya. Lalu Aggie bertanya: "Bagaimana dengan saudaraku perempuan?"

Tak lama kemudian  saudara perempuannya datang ke hotel itu dan memeluk Aggie dan berkata:
"Sepanjang hidupku aku telah merindukanmu. Biasanya aku membuka peta dunia dan menaruh sebuah mobil mainan yang berjalan di atasnya, seolah-olah aku sedang mengendarai mobil itu untuk mencarimu kemana-mana."

Saudara perempuannya itu juga telah menjauhi ayahnya, tetapi ia berjanji untuk membantu Aggie mencari ayahnya. Lalu mereka memasuki sebuah bangunan tidak terawat. Setelah mengetuk pintu datanglah seorang wanita dan mempersilahkan mereka masuk. Di dalam ruangan itu penuh dengan botol minuman, tapi di sudut ruangan nampak seorang terbaring di ranjang kecil, yaitu ayahnya yang dulunya seorang penginjil.

Ia berumur 73 tahun dan menderita diabetes, stroke dan katarak yang menutupi kedua matanya. Aggie jatuh di sisinya dan menangis, "Ayah, aku adalah si kecil yang kau tinggalkan di Afrika." Sesaat orang tua itu menoleh dan memandangnya. Air mata membasahi matanya, lalu ia menjawab, "Aku tak pernah bermaksud membuangmu, aku hanya tidak mampu untuk mengasuhnya lagi." Aggie menjawab, "Tidak apa-apa, Ayah. Tuhan telah memelihara aku".

Tiba-tiba, wajah ayahnya menjadi gelap, "Tuhan tidak memeliharamu!" Ia mengamuk. "Ia telah menghancurkan seluruh keluarga kita! Ia membawa kita ke Afrika lalu meninggalkan kita. Tidak ada satupun hasil di sana. Semuanya sia-sia belaka!"

Aggie kemudian menceritakan pertemuannya dengan seorang pengkotbah kulit hitam dan bagaimana perkembangan penginjilan di Zaire. Penginjil itulah si anak kecil yang dahulu pernah dilayani oleh ayah dan ibunya. "Sekarang semua orang mengenal anak kecil, si pengkotbah itu. Dan kisahnya telah dimuat di semua surat kabar."

Saat itu Roh Kudus turun ke atas David Flood. Ia sadar dan tidak sanggup menahan air mata lalu bertobat. Tak lama setelah pertemuan itu David Flood meninggal, tetapi Tuhan telah memulihkan semuanya, kepahitan hatinya dan kekecewaannya.

Pesan ini ditujukan kepada semua orang yang merasa bahwa ia berhak untuk marah kepada Tuhan!

Mungkin awalnya di mata David Flood, ia dan istrinya telah gagal sebagai seorang misionaris. Namun jerih payah di dalam Tuhan tidak pernah sia-sia. Terbukti bahwa belas kasihan dan kepedulian yang disertai pemberitaan Injil terhadap satu orang melahirkan 600 orang yang bertobat dan dimuridkan.

Beberapa tahun kemudian Aggie dan suami mengunjungi desa N’dolera tersebut. Disambut riuh rendah penuh sukacita, mereka berziarah juga ke kubur Svea Flood.

Aggie berlutut mengucap syukur di sana, dan pendeta setempat membacakan 2 ayat berikut:
Yohanes 12:24 Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah.
Mazmur 126:5 Orang-orang yang menabur dengan mencucurkan air mata, akan menuai dengan bersorai-sorai.

[Dikutip dari buku Aggie Hurst: The Inspiring Story of A Girl Without A Country]

Minggu, 16 Desember 2018

Resital Musik Gerejawi 2018!

SUMPAH PEMUDA!!! 28 OKTOBER 2018!!

Ospek Maba 2018 STT Jaffray Makassar. Sukses!!!!

Sekolah Tinggi Theologia Jaffray Makassar In 60 Second

Khotbah Yesus Kristus Hikmat bagi kita

Bagi orang percaya salib adalah keselamatan, bagi dunia salib adalah kebodohan. Latar belakang Korintus di mana ada banyak karunia Roh yang terjadi yang diberikan Allah, namun banyak pula permasalahan di Korintus. Ada banyak golongan dalam gereja. Ada golongan Paulus, Kefas, Kristus dan lain-lain. Belum lagi dalam jemaat tersebut ada golongan Yahudi dan golongan Yunani. Bagi golongan Yahudi Salib itu adalah kebodohan. Dalam sejarah penyaliban selalu ada stigma bahwa salib adalah kehinaan dan sama dengan penjahat. Bagi Allah salib itu adalah kemenangan karena dunia menganggapnya sebagai kebodohan. Bagi orang Yunani yang selalu memikirkan soal logika dan masuk akal dan bisa diterima oleh akal. Sementara Allah melakukan hal yang tidak rasional dan misteri bahwa salib adalah sarana untuk menyatakan diri-Nya menyatakan kebenaran bahwa salib adalah kemenangan.


Kenyataan dalam gereja saat ini adanya golongan Yahudi dan Yunani. Golongan Yahudi selalu ingin melihat tanda-tanda ajaib dalam gereja; sementara golongan Yunani selalu berpikir rasional dan bisa diterima dengan akal pikiran manusia dan harus memerhatikan kepentingan banyak orang dan perbuatan baik. Namun salib adalah tanda nyata bahwa Allah yang berinkarnasi ke dunia nyata adalah manusia yang menderita untuk memberikan kemerdekaan dan kebebasan bagi orang berdosa. Salib adalah kemenangan dan kabar salib itu harus diberitakan dengan menunjukkan buah pertobahan dan buah roh yaitu kasih Kristus dan hikmat Kristus.

Atap kamar "bocor"

Kisah ini adalah seorang yang hidupnya bercukupan, dan mapan. Ada yang menarik dari cerita atap yang "bocor". Kisah ini mirip juga dengan rumah mewah yang ada di tanjung bunga yang banyak "bocor" pada atapnya ditambah rembesan. Saya berpikir rumah mewah itu sudah menjadi rumah yang indah karena sudah menjadi rumah Tuhan. Saya ingin juga kamarku yang atapnya bocor menjadi kamar Tuhan di mana saya berdoa dan bersekutu dengan-Nya. Atap kamar bocor tidak mengapa tetapi bersekutu dengan Tuhan adalah lebih indah. Bersyukurlah kepada Allah yang masih dapat bersekutu dengan Allah tanpa atap dan langsung menengadah ke langit. Tuhan memberkati 

Ayah yang baik (Good Father) oleh Suharto's son

Ayahku telah meninggal dua tahun yang silam tepatnya 7 Agustus 2018. Dia ayah yang baik dan kenyataan itu terbukti dengan kehadiran teman-teman sekomunitasnya dalam Tuhan hadi r di rumah kami yang sederhana menemui ibu saya untuk mengucapkan Selamat Natal dan mendoakan ibu saya dan keluarga besar. Selain itu memberikan hadiah natal. Inilah yang terjadi bahwa Allah turut serta dalam perjalanan hidup kita dan memnuhi segala kebutuhan kita sekalipun ayah kami tidak bersama kami. Kebaikan ayah telah terbukti menggerakkan anak-anak Tuhan untuk berbagi kasih. Kasih Allah sungguh tak terbatas dan selalu baru dalam kehidupan kita. Hari ini tanggal 16 Desember 2018 adalah sukacita kami karena Allah telah menyatakan kasih-Nya melalui orang-orang yang setia kepada-Nya.

Kiranya kisah singkat hari ini membawa kita untuk terus mengasihi ayah kita sekalipun banyak kelemahannya dan bersyukurlah kepada Allah karena mememiliki ayah yang masih hidup hingga saat ini. Saya tidak melarang menangis untuk merenungkan kisah ini, tetapi bersukacitalah sore ini. Dan doa saya kita tetap mengasihi orang bagaimanpun ada ayah yang tidak mengasihi kita. Sebab Ayah yang sejati adalah Yesus Kristus selalu menyertai kita sekalian.

Membuat Section Block pada OJS

https://htmltidy.net/

Focus and Scope

Editorial Team

Author Guidelines

Publication Ethics

Reviewers

Author's Fee

Masa Advent: Pengharapan dalam Yesus Kristus oleh Hengki Wijaya

Pengharapan orang percaya dimulai sejak zaman nabi ketika bernubuat akan lahirnya Sang Penyelamat. Ketika itu dibubuatkan dalam dalam Yesaya 59:1-2, secara sederhana ditafsirkan bahwa tangan Allah tidak kurang panjang untuk mengjangkau manusia, dan telinga-Nya tidak kurang tajam untuk mendengar. Tetapi yang memisahkan Allah dengan manusia adalah dosa dan kejahatannya.

Manusia dan Allah tidak dapat bersatu. Pada masa itu manusia mencari allah lain bukan Allah yang benar. Manusia berharap kepada allah yang palsu dengan segala kehatan dan kekejiannya. Allah yang benar hendak bersekutu dan bersatu dengan manusia, namun dosa dan kejahatan menjadi penghalangnya.  Pengharapan manusia akan keselamatan sudah didengarnya sejak dahulu kala, dan telah ditusnya nabi-nabinya untuk berbicara dan bertindak, namun manusia masih berharap kepada hikmatnya sendiri. Seandainya manusia berharap kepada Allah yang sejati tentulah manusia menemukannya dan diselamatkan oleh-Nya.

Bagaimana menemukan Allah yang benar yang menyelamatkan? Manusia harus berharap kepada Allah dengan meninggalkan segala dosa dan kejahatan. Korban manusia melalui persembahan bakaran binatang tidak dapat menyelamatkan. Hanya Allah sendiri yang berinisiatif untuk menyelamatkan manusia. Setelah nabi Maleakhi, Allah tidak lagi berbicara hingga sekitar 400 tahun kemudian di mana Sang Penyelamat datang ke dunia. Malaikat menyampaikan kepada gembala-gembala tentang kabar baik. Juruselamat telah datang ke dunia bukan lagi bayi tetapi seorang Raja yang duduk dis ebelah kanan Allah Bapa.

Pengharapan sejati kita ada di dalam Yesus Kristus. Amin

Rabu, 05 Desember 2018

Beasiswa Pemrograman

Update: 18/10/2018 - Update 18/05/2018 - Beasiswa tidak dapat dipindahtangankan 13/04/2018 - Referal yang salah atau tidak dikenali 12/04/2018 - NIDK, Pengelompokan dan penambahan informasi, Bookmark 10/04/2018 - Dosen mengajar minimal 1 matkul terkait Pemrograman Android 09/04/2018 - Initial version https://docs.google.com/document/d/18zWY_KSecEm2En-Qb--1E7PeufX_mLhespoGA5j7CXY/edit?usp=sharing