Good News

Senin, 29 Desember 2014

Ringkasan: ETIKA KRISTEN: Bagian Umum (J. Verkuyl)



BUKU:  ETIKA KRISTEN: Bagian Umum
BAB I PENGANTAR KE DALAM ETIKA KRISTEN
By Hengki Wijaya

Kata Etika asalnya dari beberapa kata Yunani yang hamper sama bunyinya, yaitu ethos  dan  éthos atau ta ethika. Kata ethos artinya kebiasaan, adat. Kata éthos dan éthikos lebih berarti kesusilaan, perasaan batin, atau kecenderungan hati dengan mana seseorang melaksanakan sesuatu perbuatan. Apa yang dimaksud dengan Etika dinyatakan dalam bahasa Indonesia dengan tepat oleh kata kesusilaan. Kata “sila”, yang terdapat dalam bahsa Sansekerta dan kesusasteraan Pali dalam kebudayaan Buddha, mempunyai banyak arti. Pertama Sila berarti: norma (kaidah), peraturan hidup, perintah. Kedua, kata ini menyatakan pula keadaan batin terhadap peraturan hidup, hingga dapat berarti juga: sikap, keadaban, siasat batin. Perikelakuan, sopan santun dan sebagainya. Kata su berarti: baik, bagus. Kata ini pertama menunjukkan norma dan menerangkan bahwa norma itu baik. Kedua, menunjukkan sikap terhadap norma itu dan menyatakan bahwa perikelakuan harus sesuai dengan norma. Karena itu kata kesusilaan tepat untuk menyatakan pengertian Etika.

          Di pandang dari sudut kepercayaan pada hukum Taurat dan Injil Allah, maka haruslah: Segala yang dikehendaki Allah, itulah yang baik. Itulah pokok Etika Teologi. Menurut pendapat kami, dogmatika ialah suatu teologi yang memikirkan tentang isi iman: Kasih Allah Bapa, anugerah Allah Anak dan persekutuan dengan Roh Kudus. Demikian pula dengan Etika Kristen pun memikirkan tentang kehendak Allah yang dinyatakan, hukum-hukum Taurat Allah, Pendamai, Pembebas, hukum-hukum Allah Bapa, Allah Anak dan Roh Kudus. Karena itulah Etika Teologis, menurut asas-asasnya, termasuk dogmatika. Ia sebagian merupakan dari dogmatika, hubungannya tidak dapat diputuskan. Tetapi karena alasan-alasan yang praktis, dogmatika dan Etika itu kita beda-bedakan, walaupun pada asasnya kedua mata pelajaran itu. Dalam 1 Yohanes 4:19 tertulis: “Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita.” Pokok Dogmatika ialah Allah lebih dulu mengasihi kita. Pokok Etika ialah: Kita mengasihi (Allah). Demikianlah Etika tidak mendahului dogmatika, tetapi dogmatikalah yang lebih dahulu daripada Etika.
          Etika tidak boleh bertindak sebagai pengganti Allah dan tidak boleh, lagi pulaq tidak mungkin mengganti tugas Roh Kudus. Itu bukanlah tugas Etika. Akan tetapi, Etika sistematis dapat dan boleh bertindak sebagai penunjuk jalan di dalam keseluruhan dan bagian-bagian yang dinyatakan oleh Alkitab kepada kita mengenai kehendak Allah. Di mana tidak terdapat Etika sistematis yang berdasarkan Alkitab, di situlah orang beriman dalam praktik kerapkali menjadi korban pikiran-pikiran yang mendadak, pikiran-pikiran yang tidak tetap dan pendapat-pendapat perseorangan.
          Prof. Dr. W. Banning dalam bukunya Typen van zedeleer, menerangkan macam-macam Etika falsafi sebagai berikut: Etika metafisika, etika yang didasarkan padaq individu, etika yang didasarkan pada masyarakat dan etika nilai-nilai. Penulis-penulis lain mengikhtisarkan Etika falsafi dengan membagi bentuk-bentuk etika dalam etika otonom, etika heteronom dan etika teonom. Etika otonom berdasarkan norma-norma kepada kehidupan sendiri. Etika heteronom mengambil norma-normanya di dalam masyarakat. Sedangkan etika teonom memakai Penyataan Allah sebagai sumber. Sumber pengetahuan tentang baik-buruk tidak bioleh lain daripada apa yang dianugerahkan Allah kepada kita di dalam Alkitab (Matius 5:48).
BAB II DASAR-DASAR ATAU TITIK PANGKAL

          Etika Kristen berpangkalkan kepercayaan kepada Allah, yang menyatakan diri di dalam Yesus Kristus. Allah Bapa menyatakan diri di dalam Yesus Kristus sebagai Pencipta langit dan bumi, yang menciptakan dunia dan segala yang ada di dalamnya, yang menciptakan manusia menurut gambar dan rupa-Nya, yang melaksanakan rencana-Nya mengenai dunia dan manusia, “dengan tangan yang terkekang”. Titik pangkal inilah yang bersifat menentukan bagi Etika Kristen.
          Pandangan tentang manusia menurut agama-agama suku ini tidak ada tempat bagi kesusilaan dalam arti yang khusus. Sebab-sebabnya sebagai berikut: Pertama: manusia, sebagai individu yag bertanggungjawab kepada Allah, menjadi tidak tepat kedudukannya. Kedua, Hukum Allah di dalam agama-agama primitif itu tidak dianggap sebagai hukum yang normatif, yang menggerakkan manusia mengambilkeputusan-keputusan etis, tetapi dianggap sebagai semacam hukum kodrat, sebagai tata tertib kosmis. Ketiga, dalam agama-agama primitif, Etika tidak dapat tampil ke depan, karena agama-agama primitif itu tidak dapat menerima pertentangan-pertentangan yang mutlak.
          Pandangan tentang manusia menurut agama Hindu adalah atman dan pada hakikatnya “atman” itu ialah Brahman. Manusia tidak mempunyai kehidupan pribadi dan tidak mempunyai kehidupan pribadi  dan tidak mempunyai tanggungjawab perseorangan. Karena disesatkan oleh avidya (ketidaktahuan), manusia menganggap gejala-gejala kosmis itu sebagai suatu kenyataan. Agama Hindu tidak mengenal kepercayaan akan Allah, Sang Pencipta. Karena itulah tak dikenalnya pula kepercayaan akan penciptaan manusia menurut gambar Allah. Agama Hindu tidak melihat garis batas antara Allah dengan ciptaan-Nya. Dan dengan demikian tidak ada tempat bagi Etika di dalam arti yang sesungguhnya.
          Pandangan tentang manusia menurut agama Buddha adalah suatu “nama rupa”, artinya ia terdiri dari “nama” (roh) dan “rupa” (tubuh) di dalam kehidupan psiko-fisis. Manusia itu bukanlah suatu “kenyataan” yang tetap. Di dalam agama Buddha, Allah tidak diakui sebagai Pencipta. Agama Buddha tidak mengakui bahwa manusia dijadikan menurut gambar Allah. Etika (dhamma) agama Buddha hanya merupakan suatu cara untuk meluputkan diri dari segala macam Etika. Menurut agama Buddha, kehidupan manusia itu berdasarkan sangkaan. Tidak berarti dan tidak bertujuan. Dan sejarah pun tidak ada artinya dan tujuannya. Kata terakhir di dalam agama Buddha ialah: meleburnya kehidupan. Kata terakhir di dalam Injil ialah: penyelamatan dari dosa, menuju kepada hidup kekal di dalam persekutuan dengan Allah.
          Menurut Kalam (dogmatika) Islam. Kedudukan manusia di dalam alam kejadian mendapat perhatian besar di dalam dogmatika Islam. Sebab agama Islam mengakui Allah sebagai Pencipta. Di dalam agama Islam tidak terdapat hubungan antara Bapa dan anak, sebagaimana terdapat dalam Alkitab, bila mengatakan tentang hubungan antara Allah dan manusia. Tidak disebutkan pula tentang manusia yang dijadikan menurut gambar Allah. Oleh karena itu, di dalam agama Islam juga tidak terdapat perjanjian antara Allah dan Manusia, dimana manusia bertindak sebagai sekutu Allah, di mana manusia dipanggil kepada kepatuhan sukarela dan di mana manusia mendapat kemerdekaan yang relatif secara makhluk. Manusia hanya dipandang sebagai abd. Itulah juga sebabnya, mengapa di dalam agama Islam tanggung jawab etis manusia tidak kelihatan dengan sewajarnya. Di dalam dogmatika ortodoks Islam, tanggung jawab etis manusia tidak tampil ke depan dengan sewajarnya. Sebab yang pertama ialah: karena kedaulatan Allah hanya dipandang sebagai kedaulatan kekuasaan-Nya. Di dalam Alkitab, Allah yang diakui oleh Alkitab itu adalah juga kedaulatan kasih-Nya, hikmat-Nya, keadilan-Nya, kesucian-Nya. Kedua, tanggung jawab etis manusia tidak tampak dengan sewajarnya, karena di sini tidak ada tempat bagi pengertian, yang di dalam ajaran iman Kristen disebut “Pemeliharaan oleh Allah” (providential), Agama Islam hanya menganggap bahwa ada satu hubungan saja antara Allah dan hasil pekerjaan-Nya, yakni hubungan antara khalik dan makhluk.
          Dalam pandangan tentang manusia menurut agama Islam tidak terdapat pandangan tentang Allah ini, yakni Allah Bapa, dan tentang manusia sebagai anak, yakni anak yang berdosa, anak Bapa ini. Inilah salah satu sebab dari kenyataan yang mengherankan, bahwa di dalam agama Islam, Etika tidak pernah mendapat kedudukan sendiri di samping Kalam dan Fiqh.
          Pandangan evolusi biologis tentang manusia ialah menganggap manusia itu sebagai binatang yang menyusui yang cerdas, yang pertumbuhannya berlangsung menurut proses evolusi, dari tingkat yang rendah ke tingkat yang lebih tinggi. Pandangan ini menyangkal Allah dan pernyataan-Nya. Di sini “penyelidikan ilmiah” dijadikan ukuran untuk menentukan yang baik dan jahat. Lagi pula di sini “penyelidikan ilmiah” itu terbatas kepada penyelidikan biologios, secara kimiawi dan fisik- seakan-akan manusia hanya dapat diterangkan menurut proses kimiawi dan biologis.
          Pandangan manusia menurut komunisme adalah “makhluk biologis ekonomis”. Sebagai makhluk biologis, ia pun “binatang menyusui yang cerdas”. Atas dasar pandangan tentang manusia ini, materialisme dialetika menyusun suatu Etika tertentu. Teori revolusi menggantikan susila. Etiak materialisme dialetis adalah: Sadarlah akan kedudukanmu dalam perjuangan di tengah masyarakat dan berbuatlah sesuai dengan kedudukanmu.
          Di dalam Kitab Kejadian 1 terdapat kalimat-kalimat yang terkenal mengenai kejadian manusia, “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka” (ayat 27). Dalam Perjanjian Baru Yesus Kristus disebut gambar Allah ( 2 Kor 4:4; Kol 1:15). Dan sudah dijanjikan kepada kita, bahwa barangsiapa percaya kepada Allah akan dijadikan kembali menurut gambar-Nya dan akan serupa dengan Dia (1 Kor 15:49; 2 Kor 3:18).
          Bagaimanakah arti berita tentang manusia ini dan apakah konsekuensi pandangan tentang manusia ini bagi Etika?
1.        Manusia itu makhluk dan akan tetap menjadi makhluk untuk selama-lamanya. Manusia bukanlah Allah dan manusia juga tidak mempunyai zat ilahi atau kodrat ilahi. Tidak ada “analogi entis” (persamaan zat) antara manusia dan Allah.
2.        Manusia dijadikan sebagai makhluk somatic-psikis (berjiwa raga). Allah membentuk manusia (di dalam bahasa Ibrani:haadam) dari debu tanah (adama) dan menghembuskan nafas kehidupan (nismat hajjim) ke dalam hidungnya (Kej 2:7).
3.        Hubungan Allah-manusia dan manusia-Allah itu dinyatakan dalam berita tentang manusia yang dijadikan menurut gambar Allah. Karena itu yang harus menjadi salah satu pokok masalah Etika ialah: Apakah yang kau perbuat dengan mandate yang diberikan Allah kepadamu, ketika Allah menjadikan engkau menurut gambar dan rupa-Nya?
4.        Akhirnya dalam hubungan ini harus ditekankan, bahwa Allah menciptakan manusia supaya manusia itu berbakti secara sukarela. Allah memberiukan kebebasan memilih kepadanya. Kedaulatan ilahi itu diserahkan kepada manusia secara sukarela di dalam kasih. Kebebasan itu termasuk hakikat manusia dank arena itu termasuk inti Etika Kristen. Kata kebebasan menyatakan panggilan yang pertama dan hak tertinggi yang diberikan oleh Allah kepada manusia.
Beberapa catatan tentang asal dosa, dan hakikat dosa akan diterangkan secara khusus di bawah ini.
a.         Asalnya dosa
Di dalam agama-agama dan pandangan tentang dunia Kristen pada garis besarnya terdapat jawaban-jawaban atas pertanyaan asalnya kejahatan sebagai berikut.
Menurut agama Hindu dan berbagai aliran mistik panteistis, sumber kejahatan itu harus dicari pada avidya, ketidaktahuan. Kejahatan itu hanya semu saja. Manusia buta karena ketidaktahuan itu, menganggap itu, menganggap kejahatan sebagai kenyataan. Akan tetapi sebenarnya kejahatan itu tidak ada. Pandangan agama Buddha mencari asalnya kejahatan di dalam “tanha”, nafsu, keinginan, yang menggerakkan prioses Bhava. Dalam pandangan evolusi biologis, asalnya kejahatan itu dicari pada berasalnya kita dari binatang. Menurut pandangan ini, kita masih mempunyai sisa-sisa sifat yang buruk dari keturunan yang rendah. Tetapi lambat laun kita akan mengatasi sisa-sisa kejahatan ini dalam pertumbuhan ke taraf yang lebih tinggi. Pandangan tentang dunia yang dialektis materialis mencari asalnya kejahatan di dalam keadaan social ekonomi. Jika system social ekonomi berubah, maka manusia pun berubahlah.
Menurut Alkitab, inisiatif (prakarsa) untuk berbuat dosa itu tidak keluar dari manusia, tetapi dari iblis. Asalnya dosa itu terdapat di dunia iblis. Tetapi karena kesalahan sendiri, manusia telah mengatakan ya kepada dosa dan dengan demikian ia menjadi hamba dosa (Yoh 8:34). Karena manusia ingin menjadi sama seperti Allah, iamenyerah kepada iblis, sehingga sejak itu dosa keluar dari iblis dan manusia bersama-sama.
b.        Hakikat dosa
Apakah hakikat dosa itu?. Kata yang terbanyak dipergunakan ialah kata dalam bahasa Yunani hamartia (di dalam bahasa Ibrani chet atau chatta). Hamartia berarti: luncas (luput, tidak mengenai sasaran, menyeleweng dari tujuan); seperti anak panah dapat tidak mengenai sasarannya, begitulah pula manusia yang berdosa itu dapat tidak mencapai tujuannya. Kata hamartia itu diterjemahkan dengan dosa.
Pandangan Alkitab tentang hakikat dosa adalah bahwa dosa itu tidak dimulai pada kejasmanian, tetapi justru pada inti manusia, di dalam hatinya, di dalam hubungannya dengan Allah. Jika hubungan di situ diserang oleh kesombongan, maka jasmani pun diperalat oleh dosa. Sombong mengakibatkan meluapnya hawa nafsu. Jika hati tak jujur di hadapan Allah, maka badan kita pun disalahgunakan untuk cabul, kelahapan, loba akan uang, boros dan sebagainya.




BAB III  MANUSIA DALAM KEBESARAN DAN KESENGSARAANNYA

Di dalam hidup manusia ada dua macam gejala yang ada di bawah kekuasaan dosa dan yang paling jelas menggambarkan kebesaran  dan kesengsaraan manusia. Kedua gejala itu ialah rasa malu dan perasaan hati (yang kedua ini kadang-kadang juga disebut: keinsafan batin, kata hati, suara hati, suara batin, gerak hati, setahu hati dan sebagainya). Karena pentingnya kedua gejala itu bagi Etika, maka dibawah ini akan dijelaskan tentang kedua hal tersebut.

1.        Rasa Malu
Rasa malu adalah suatu perasaan badani yang mengingatkan kita kepada keadaan kita yang telah “terkoyak-koyak”. Manusia berusaha menghindarkan diri dari kesalahannya. Ia mencoba memungkiri dosanya, menyembunyikan dosanya, membenarkan dosanya. Namun rasa malu itu dengan tak sadar membuka kesalahannya. Rasa malu itu mengingatkan kita bahwa kita ini diciptakan menurut gambar-Nya. Binatang dan iblis tidak memiliki rasa malu, tetapi manusia mempunyainya. Apabila Tuhan melihat manusia di dalam rasa malunya, sebagaimana Ia memandang Adam dan Hawa di taman Firdaus, maka kesimpulan-Nya ialah: “Rasa malumu itu menunjuk kepada-Ku, bahwa engkau telah mengkhianati Aku”.
2.        Suara hati
Secara etimologi istilah suara hati dipakai dalam Perjanjian Baru ialah suneidésis (Rm 2:15). Dalam bahasa Latin “conscientia”, dan ini pun menjadi kata asal dari kata suara hati dalam bahasa Inggris dan Perancis. Suneidésis (conscientia) artinya: setahu, dengan diketahui oleh. Yang dimaksudkan ialah, bahwa di dalam manusia seolah-olah ada suatu instansi yang bertindak sebagai saksi pendengaran telinga dan saksi pandangan mata dari segala kelakuan kita, yang mengamat-amati kehidupan batin kita dan yang mempertimbangkan kehidupan itu.
Istilah-istilah yang lazim dipakai dalam bahasa Indonesia ialah bisikan hati, kata hati, rasa hati, suara batin, keinsafan batin. Istilah yang khas adalah hati kecil. Suatu “hati kecil”, yang mengamat-amati dan mempertimbangkan kelakuan kita. Suara hati ialah suatu desakan, yang terdapat dalam batin tiap-tiap manusia, untuk menimbang-nimbang kelakuannya. Ia menuduh kita. Bahkan, apabila kita berdaya upaya untuk mematikan suara itu, maka nyaringlah suara hati itu. Tidak hanya berbisik-bisik saja, tetapi kadang-kadang ia dapat merintih dan memanggik dan berteriaqk dalam hati kita. Di dalam Alkitab, reaksi-reaksi suara hati ini kita jumpai dengan terang pada tokoh-tokoh seperti Kain, Saul, Yudas Iskariot. Mereka hanya mendengar suara hati dan tidak mau mendengarkan suara Allah, Pengampun dan Penyayang. Batasan defenisi suara hati yang sudah tua, tetapi masih terdapat dalam perpustakaan baru: Di dalam suara hati, dengan tiada terlawan, manusia berhadapan dan bersoal-jawab dengan dirinya sendiri, dan ia menjadi pembuat peraturan, hakim dan pembalas terhadap perbuatannya sendiri (Index, Judex, Vindex).
Kewajiban gereja Kristen pada umumnya dan Etika Kristen pada khususnya, untuk menyinarkan terang Hukum Allah dan Injil di dalam hal ini. Agustinus pernah berkata, “Kita gelisah di dalam hati kita sehingga kita menemukan ketenteraman di dalam Allah.” Demikianlah pula dapat dikatakan: suara hati kita gelisah, sehingga akhirnya takluk kepada Pembuat Hukum, Hakim dan Penolong tertinggi, yakni Allah dan Bapa Yesus Kristus.
BAB IV DIMANAKAH SUMBER PENGETAHUAN
TENTANG NORMA-NORMA SUSILA?

Jika kita di Indonesia ini mengajukan pertanyaan tentang norma-norma hidup, maka diantara orang-orang muda dan orang-orang tua akan banyak yang menjawabnya dengan:”Yang disebut baik ialah apa yang disuruhkan oleh adat istiadat kita!” Kata adat berasal dari kata Arab: “ada”, artinya kebiasaan, cara yang lazim, kelakuan yang telah biasa, aturan-aturan yang lazim. Yang disebut  adat istiadat ialah kumpulan peraturan dan norma-norma hidup yang berlaku di dalam persekutuan suku tertentu.
Dapatkah adat istiadat itu menjadi sumber pengetahuan, pengetahuan yang sesungguhnya tentang yang baik dan jahat? Dipandang dari sudut iman Kristen, maka jawab pertanyaan itu ialah: tidak! Apakah sebabnya? Pertama, karena di dalam kompleks adat istiadat kuno itu tidak tampak batas-batas antara Tuhan dengan kosmos. Segala agama suku adalah naturalistis. Di dalam agama-agama itu yang dikenal dan dimuliakan bukanlah Tuhan yang hidup, tetapi makhluklah yang dimuliakan. Kedua, adat istiadat itu tidak dapat menjadi sumber pengetahuan tentang yang baikdan yang jahat, kerena adat istiadat itu penuh takhyul dan guna-guna.
Oleh sebab itu adat istiadat adalah suatu sumber yang keruh, dan dari sumber itu kita tidak dapat tahu apa yang baik dan apa yang jahat itu. Disini kami tambahkan tiga buah catatan. Pertama, haruslah kita akui dengan bersyukur, bahwa di dalam adat istiadat bangsa-bangsa itu terdapat unsur-unsur yang yang mengingatkan kita akan kehendak Tuhan yang suci. Paulus dalam Surat Roma 2:14-16 menunujukkan bahwa bangsa-bangsa kafir, walaupun belum memunyai pengetahuan tentang Hukum Taurat, tidak kehilangan sama sekali kesadaran akan yang baik dan yang jahat. Isi Taurat atau “pekerjaan Hukum Taurat” tertulis di dalam hatinya, dan suara hatinya bersaksi demikian dengan mempersalahkan dan membenarkan. Kedua, hendaklah kita perhatikan bahwa ada ada beberapa persekutuan yang beradat istiadat, dimana pengaruh Hukum Taurat dan Injil telah tampak jelas sekali. Ketiga, hendaklah kita perhatikan bahwa pengaruh adat istiadat di dalam persekutruan suku yang kuno itu makin lama makin berkurang. Perhubungan di antara  suku-suku makin bertambah. Hubungan dengan peradaban dunia makin berlipat ganda. Makin banyak terjadi percampuran “bentuk-bentuk kebudayaan”.
Ajaran tentang hukum kodrat dan hukum susila kodrati. Ajaran ini terdapat dalam berbagai bentuk. Di negeri Barat paham “hukum kodrat” (jus natural) dan “hukum susila kodrati” (ethica naturalis) mula-mula terdapat di dalam filsafat Yunani, khususnya dalam apa yang disebut dengan Stoa. Menurut Stoa, budi (logos atau ratio) dapat membaca dan merumuskan peraturan-peraturan alam dari alam itu sendiri. Menurut mereka, kodrat manusia itu baik, dan sesuai dengan kodratnya itu, manusia dapat berbuat yang baik, dan dengan demikian cita-cita orang yang berhikmatdapat dibuat nyata. Menurut Stoa, orang berhikmat yang sejati ialah orang yang berbuat baik dengan tidak tergerak hatinya oleh perasaan apapun juga (apatheia dan autarkeia). Berpangkal pada pandangan-pandangan filsafat itu, maka golongan Stoa berusaha membentuk sebuah susunan tentang hak dan kewajiban manusia (lex naturalis dan ethica naturalis).
Filsafat Thomas Aquino ini membedakan di dalam manusia suatu “kodrat” (alam) dan “kodrat atas” (alam atas). Oleh sebab dosa, maka manusia telah kehilangan “kodrat atas” itu. Hanya dengan sakramen-sakramen gerejani saja manusia dapat menerima kembali “kodrat atas” itu. Tetapi menurut ajaran Thomas, “kodrat” manusia itu tidak rusak sama sekali (radikal) oleh dosa itu. Paulus berkata, bahwa kodrat manusia telah rusak sama sekali oleh karena dosa, bahwa manusia telah “mati di dalam dosa dan kejahatan”, dan lagi bahwa akal budi manusia telah rusak sedemikian rupa, hingga kodrat akal budi itu sendiri menentang kebenaran Allah serta memperhambakan diri kepada kebohongan, dan akibatnya ialah bahwa hati manusia menjadi gelap oleh sebab pikiran-pikiran akal budinya.
Hukum kodrat dalam arti yang lebih luas meliputi segala peraturan yang menurut ajaran Thomisme, dibebankan kepada manusia oleh “hukum susila kodrati”. “Hukum kodrat di dalam arti yang lebih luas” ini sama dengan “hukum susila kodrati”, dan di dalam Thoisme hukum itu tidak hanya mengatur hubungan-hubungan antara manusia dan manusia tetapi juga hubungan antara manusia dan Tuhan dan antara manusia dengan dirinya sendiri. Keberatan kami terhadap teori-teori Thomistis ini adalah bahwa pandangan Thomisme tentang kodrat manusia adalah terlalu optimistis. Juga pandangannya tentang fungsi akal budi adalah terlalu optimis. Kodrat kita telah rusak sampai pada dasar-dasarnya oleh sebab dosa, dan akal budi kita merupakan suatu pedoman yang tak dapat dipercaya, sehingga kita dapat tersesat, bila berlayar berdasarkan pedoman itu.
Mencari “yang baik” berarti mencari Tuhan. Hanya Tuhanlah yang baik. Dan hanya Tuhanlah yang tahu apa yang baik itu. Tuhan telah memberi jawaban atas pertanyaan apakah yang baik itu. “Hai manusia, telah diberitahukan kepadamu apa yang baik. Dari apakah yang dituntut Tuhan daripadamu…” (Mikha 6:8). Dan jawaban atas pertanyaan apakah yang baik itu, hanya dapat diterima oleh manusia, apabila ia mendengarkan Firman Tuhan. Bagaimanakah manusia dapat mengetahui kehendak Tuhan? Tak dapat disangsikan bahwa rahasia pengetahuan ini terletak pada pergaulannya dengan Tuhan yang menciptakan manusia menurut gambar-Nya. Ketika manusia hanya mau menjadi gambar Allah saja dan tidak mau menjadi sama seperti Allah, maka terdapatlah di antara Tuhan dan manusia suatu persekutuan yang tidak terganggu, yang perjanjian yang erat suatu hubungan kasih, maka tahulah ia akan kehendak ”Kekasihnya”, kehendak peserta di dalam perjanjian tadi.
Paulus berkata bahwa Tuhan tetap menyatakan diri sebagai Pencipta kepada segala bangsa pada segala zaman, juga kepada mereka yang tidak kenal Hukum Taurat dan nabi-nabi. Dan Tuhan tetap bekerja terus di dalam hati manusia serta “menulis pekerjaan Taurat di dalam hatinya“ (Rm 2:15; Rm 1:18,19). Di dalam firman Tuhan dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, diberitahukan kepada kita, apa yang baik itu. Bukan suara alam yang berkata di situ, bukan pula suara akal budi, bukan suara perasaan, bukan suara bangsa kita, bukan pula suara golongan kita. Yang bersuara di situ ialah Dia yang hanya baik semata-mata: Allah     (Mrk 10:18).
Gereja Kristen dipanggil untuk menyususn suatu Etika Kristen yang oikumenis. Gereja-gereja pun dipanggil untuk menyadari bersama-sama, betapa tinggi dan dalam, panjang dan lebar perintah Tuhan yang berlaku bagi segala bangsa di dalam tiap-tiap keadaan. Kita tidak hanya perlu sadar secara oikumenis akan “faith and order” (iman dan tata tertib) gereja, tetapi perlu juga sadar akan perlunya Etika yang oikumenis. Masalah dunia yang termasuk juga di dalam Etika, seperti pengaturan kelahiran, soal perang, soal perbedaan kulit dan lain-lain.  Apabila gereja-gereja bekerja bersama-sama untuk menyusun etika oikumenis ini, maka buah hasilnya akan merupakan suatu sumbangan bagi pembentukan ukuran dan norma kesusilaan.
BAB V KEDUDUKAN DAN FUNGSI HUKUM TAURAT
DI DALAM PENYATAAN ALLAH

          Firman Allah, yang datang kepada kita di dalam Perjanjian Lama dan Baru, harus dibagi dalam Hukum Taurat dan Injil (Law and Gospel). Di dalam Alkitab tidak pernah Injil diberitakan tanpa Hukum Taurat, demikian pula sebaliknya. Seluruh penyataan Allah adalah selalu rangkap dua. Di dalam Perjanjian Lama dan Baru, Tuhan selalu berfirman dengan dua perkataan yakni Hukum Taurat dan Injil, Injil dan Hukum Taurat, anugerah dan perintah, keselamatan dan suruhan, memberi dan menugaskan.
          Salah satu di antara pokok-pokok pembicaraan yang diperdebatkan panjang lebar di dalam sejarah gereja dan teologi, ialah masalah tentang hubungan antara Hukum Taurat dan Injil. Pertama, di dalam sejarah gereja, apalagi pada abad-abad yang pertama, nisbah antara Hukum Taurat dan Injil kerapkali disamakan dengan nisbah antara Perjanjian Lama dan Baru. Lalu Perjanjian Lama itu dipandang sebagai Kitab Hukum Taurat dan Perjanjian Baru sebagai Kitab Injil. Gambaran ini bertentangan dengan kenyataan. Barangsiapa memperhadapkan Perjanjian Lama dengan Perjanjian Baru sebagai Hukum Taurat dan Injil. Kedua, di dalam sejarah gereja dan teologi, hubungan antara Hukum Taurat dan Injil kerapkali digambarkan sebagai anti tesis yang mutlak. Di dalam teologi Lutheran kerapkali ditekankan anti tesis ini. Luther berkata bahwa Hukum Taurat menimbulkanketakutan dan bahwa Hukum Taurat adalah medium atau perantara murka Allah. Akan tetapi pandangan ini melupakan satu hal, yakni jika kita hidup dari Anugerah Allah, maka kita tidak dapat terlepas dari Hukum Taurat. Jadi Hukum Taurat memang tidak merupakan syarat lagi untuk keselamatan kita, namun menjadi norma untuk kehidupan syukuri kita. Martin Luther sendiri telah menekankan hal itu berulang-ulang. Ahli-ahli teologi Lutheran yang kemudian yang telah melupakannya. Ketiga, di dalam teologi Karl Barth, tampak pandangan yang bertentangan sama sekali. Barth memandang Hukum Taurat dan Injil itu bukanlah sebagai suatu anti tesis, tetapi ia memandang Hukum Taurat sebagai bentuk Injil, yang berisikan anugerah. Keempat, H. Berkhof di dalam salah satu tulisannya: Crisis der middenorthodoxie, pernah mengingatkan dengan tepat, bahwa apa yang dikatakan tentang hubungan antara Hukum Taurat dan Injil dapat dirumuskan dengan rumus yang dipakai oleh konsili Chalcedon untuk kedua “kodrat” atau tabiat Kristus, yaitu “tidak tercampur, tidak berubah, tidak terpisah”. Hukum Taurat berkata, “Terkutuklah setiap orang yang tiada tekun melakukan segala sesuatu yang tersurat di dalam Kitab Taurat”. Injil berkata, “Kristus telah menebus kita dari kutuk hukum Taurat dengan jalan menjadi kutuk karena kita, sebab ada tertulis: terkutuklah orang yang digantung pada kayu salib!” (Galatia 3:13).
          Para reformator, Luther dan Calvin sungguh-sungguh fungsi-fungsi Hukum Taurat itu dan mereka berbicara tentang Triplex usus legis, artinya: tiga cara mempergunakan Hukum Taurat. Ketiga fungsi Hukum Taurat itu diterangkan dengan istilah-istilah yang berikut: 1) Usus elenchticus (fungsi menginsafkan akan kesalahan) yang disebut usus paedagogicus; 2) usus normativus  atau  usus didacticus (Hukum Taurat itu memunyai fungsi sebagai norma untuk hidup baru atau sebagai norma bersyukur) dan 3) Usus politicus atau usus civilis (fungsi Hukum taurat sebagai cermin yang mencerminkan keadilan Tuhan di dalam masyarakat dan Negara.
BAB VI  HUKUM TAURAT DALAM BENTUK-BENTUK HISTORISNYA

          Tuhan adalah Allah yang hidup, yang mengadakan hubungan yang nyata dengan manusia. Tuhan bukanlah suatu “prinsip susila” yang tidak berpribadi. Tuhan bukanlah suatu “tata tertib dunia kesusilaan” yang tidak berpribadi. Dalam Kitab mikha 6:8, disitu Nabi Mikha seolah-olah berkata, “Tidak perlu Tuhan telah berfirman dan Ia tetap setia kepada firman-Nya. Kata Nabi Yesaya, “Tidakkah diberitahukan kepadamu dari mulanya?” (Yes 40:21b). Hal yang sama kita jumpai juga di dalam “Khotbah di Bukit”. Ketika Yesus menerangkan Hukum Taurat, Ia bertolak dari Hukum Taurat Musa dan berkata, “Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya. Karena Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya selama belum lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titik pun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi” (Mat 5:17-18).
          Di dalam Kitab Perjanjian Lama, Hukum Taurat itu biasanya disebut  “Tora”. Kata Ibrani ini asalnya dari kata kerja hora artinya mengajar, menunjukkan. Mengenai isinya, terdapatlah terutama 3 golongan hukum-hukum  dan perintah-perintah. Pertama: Dekalog atau Dasatitah, yakni Kesepuluh Titah Tuhan yang di dalam bahasa Ibrani disebut “aseret had-d’barim”, Kesepuluh Firman (dabar berarti perkataan, titah atau firman, yaitu di dalam arti norma). Dasatitah itu harus dipandang sebagai ringkasan seluruh Hukum Taurat. Kedua: misypatim, yakni undang-undang hukum sipil, yang mengatur kehidupan umat Tuhan sebagai “warga Negara” (peraturan-peraturan tentang janda dan yatim piatu, orang-orang miskin, budak belian, orang-orang asing, orang sakit dan lain-lain). Ketiga: khuqqim, yakni undang-undang yang berisi ketetapan-ketetapan tentang kebaktian (ketetapan-ketetapan tentang bait suci, kurban-kurban, hari-hari raya).
          Dasatitah itu adalah berhubungan dengan perjanjian (berith). Keempat titah yang pertama memberi penerangan tentang hubungan kita dengan Sang Kepala Perjanjian, yaitu Tuhan Allah kita. Keenam titah berikutnya memberi penerangan tentang hubungan antara para anggota perjanjian itu. Di dalam titah yang pertama, Tuhan melarang umat-Nya untuk keselamatan hidup mereka sendiri mengadakan hubungan dengan kekuasaan-kekuasaan dan allah lain. Titah yang kedua, Tuhan melarang manusia menyembah Dia “menurut cara sendiri”. Manusia tidak boleh mencari sesuatu yang menggambarkan Yahweh, baik di langit maupun di bumi ataupun di dalam air, sebab barangsiapa mencari atau membuat patung untuk maksud itu, maka ia sebenarnya mencoba menguasai ke-Allahan Tuhan. Titah ketiga, meperkenankan anggota-anggota umat Tuhan memanggil nama Tuhan dengan kepercayaan serta melarang menyalahgunakan nama Tuhan. Memanggil nama Tuhan dengan percaya mendatangkan kebahagiaan. Titah keempat memerintahkan adanya kerja dan istirahat yang silih berganti dengan teratur, dengan irama yang tetap. Barangsiapa menyalahgunakan hari Sabat, maka ia sebenarnya merampas waktu Tuhan; dan barangsiapa yang menguduskan hari Sabat berarti di dalam hari Sabat itu semua hari lainnya diberkati.
          Titah kelima, Tuhan menyatakan kekuasaan-Nya atas kehidupan keluarga, dan kehidupan keluarga itu ditempatkan-Nya di bawah janji-janji dan tuntutan-tuntutan-Nya. Di dalam titah yang keenam Tuhan melindungi hidup manusia terhadap mengamuknya kebencian di dalam pembunuhan. Titah ketujuh, Tuhan melindungi perkawinan terhadap ketidaksetiaan yang menghebat di dalam perceraian. Di dalam titah yang kedelapan Tuhan melindungi milik manusia terhadap pencurian. Titah kesembilan Tuhan melindungi nama manusia terhadap saksi palsu yang dapat merusak hidup. Dan titah kesepuluh  Tuhan memberikan penerangan tentang motif-motif yang menjadi dasar-dasar perbuatan kita dan Ia memanggil kita untuk berjuang melawan segala keinginan yang tidak sah. Di dalam titah yang kesepuluh  itu Tuhan, Allah kita menuntut hak atas inti hidup kita, kehendak kita, pikiran kita, perasaan kita, keinginan kita dan hati kita.
          Kunci untuk mengetahui sikap Yesus terhadap Hukum Taurat, pelaksanaan Hukum Taurat oleh orang yahudi dan interpretasi Hukum Taurat oleh ahli-ahli kitab Taurat terletak pada rahasia Yesus sebagai Mesias. Di dalam Yesus, Injil telah menjadi nyata. Yesus sendirilah Injil itu. Di dalam Yesus. Hukum Taurat telah digenapi dan oleh-Nya Huku7m Taurat itu telah digenapi pula di dalam mereka yang ada di dalam-Nya.”Sebab Hukum Taurat diberikan oleh Musa, tetapi kasih karunia dan kebenaran datang oleh Yesus kristus” (Yoh 1:17).
Di dalam surat-surat Paulus seringkali dibicarakan tentang Hukum taurat. Tuhan telah menyatakan kehendak-Nya kepada manusia. Walaupun Hukum Taurat itu baru datang kepada manusia sesudah Tuhan memberikan janji-janji-Nya kepada Abraham dan setelah diadakan-Nya perjanjian, namun di antara bangsa-bangsa terdapat juga pengetahuan sedikit tentang Hukum Taurat. Tidak ada seorang pun yang memenuhi tuntutan Hukum Taurat ini. “Tidak ada yang benar, seorang pun tidak” (Rm 3:10). Baik orang Yahudi maupun orang Yunani, baik Israel maupun bangsa-bangsa kafir lainnya sekaliannya sudah berbuat dosa dan sekaliannya kehilangan kemuliaan dari Allah. Dari mengerjakan Hukum Taurat itu tidak ada juga daging yang akan dibenarkan di hadapan Allah (Rm 3:11, 20). Akan tetapi, yang menjadi Injil ialah bahwa “sekarang, tanpa hukum Taurat kebenaran Allah telah dinyatakan” (Rm 3:21).
Yesus Kristuslah tujuan hukum Taurat (Rm 10:4). Segala yang disebutkan dalam perjanjian, janji-janji dan Hukum Taurat di dalam Perjanjian Lama, diarahkan kepada-Nya. Kristus telah menjadi kutuk karena kita (Gal 3:13; 2 Kor 5:21). Segala tuntutan Hukum Taurat telah dipenuhi-Nya. Apakah itu berarti bahwa kita kini telah terlepas dari Hukum Taurat? Tidak. Barangsiapa hidup dari kasih Allah di dalam Kristus, ia akan mengenal Hukum Taurat dan mengakuinya sebagai norma untuk bersyukur. Seluruh kehidupan itu diteranginya dari sudut kasih setia, dari sudut anugerah. Tidak seorang pun ditariknya kembali kepada kehidupan di bawah Hukum Taurat.
Yang dibicarakan di dalam Surat Yakobus bukanlah seperti di dalam surat-surat Paulus tentang hubungan antara iman dan Taurat, melainkan tentang iman dan perbuatan. Iman yang hidup tentu ternyata di dalam perbuatan. Kasih setia yang tidak mengubah hidup, bukanlah kasih setia. Di dalam surat-surat Paulus tak pernah iman digambarkan sebagai sesuatu yang membuat kita berpeluk tangan dan menganggur. Iman yang hidup dari anugerah, iman itu bekerja oleh sebab kasih, demikian kata Paulus (Gal 5:6). Apa yang disebut Rasul Yakobus “iman yang mati”, yaitu iman tanpa perbuatan,  itu tidak dibicarakan di dalam surat-surat Paulus. Iman yang sejati itu hidup dan berbuat. Soal pokoknya bukanlah mendengar tanpa berbuat, tetapi mendengar dan berbuat. Firman sebagai yang telah datang kepada kita di dalam Injil dan Hukum Taurat, haruslah meresap ke dalam hidup dan keadaan kita. Firman itu mau menjadi bagian hidup kita yang tidak dapat terpisahkan lagi. Ia ingin dan harus menjelma di dalam hidup kita. Seharusnya diubah menjadi perbuatan-perbuatan.

BAB VII POKOK HUKUM TAURAT

Isi Injil dapat disimpulkan dalam satu kalimat: Allah adalah kasih. Bukan kita yang mengasihi Allah, tetapi Allahlah yang mengasihi kita dan kasih-Nya tetap dicurahkan terus kepada kita. Kasihg-nya tak kunjung padam. Hukum Taurat dapat juga disimpulkan dalam satu kalimat: di dalam Hukum Taurat-Nya, Allah menuntut kasih: “Kasih itu adalah kegenapan Hukum Taurat”. Allah menuntut apa yang diberikan-Nya, yakni kasih. Dalam Perjanjian Baru , Yesus bertolak kembali dari perumusan itu, “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi” (Mat 22:37-40).
Yesus berfirman: ada dua buah perintah. Tetapi kedua perintah itu merupakan dwi-tunggal. Jika kita mengatakan bahwa kita mengasihi Allah, tetapi tidak mengasihi sesama manusia , maka pada hakikatnya kita tidak mengasihi Allah. Sebab Allah mengasihi manusia. Allah berkenan kepada manusia. Siapa mengasihi Allah haruslah pula mengasihi manusia yang telah dijadikan menurut gambar-Nya. Apakah artinya mengasihi Allah? Menurut Alkitab, artinya adalah membalas kasih Allah kepada kita. “Kita mengasihi, karena Allah terlebih dahulu mengasihi kita. Dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita” (1 Yoh 4:19;1 Yoh 4:10). Mengasihi Allah berarti hidup dari kasih-Nya, yakni dikuasai oleh anugerah Allah. Mengasihi Allah ialah menerima dan memberi lagi, disayangi dan menyayangi. Tepat sekali peringatan Söe di dalam Ethieknya, bahwa jika usaha mengasihi Allah itu menjadi tipis atau kabur, maka usaha mengasihi sesama manusia pun menjadi tipis atau kabur juga. Ia bertanya, “Apakah kasih kepada sesama manusia itu tumbuh sejak berkurangnya kasih kepada Allah dan bekunya usaha mengasihi ini?”.
Apa yang dimaksud dengan kasih kepada sesama manusia di dalam Alkitab, dapat kita lihat dari perumpamaan “Orang Samaria yang Murah Hati” yang menaruh belas kasihan. Bertanyalah seorang ahli Taurat, siapakah gerangan sesama manusianya itu. Ia menyangka dapat menjawab sendiri pertanyaan itu. Jawabnya di dalam kehidupan sehari-hari adalah: “Aku memilih sesamaku manusianya itu. Sesamaku manusia ialah: bangsaku sendiri dan di dalam lingkungan bangsa yang kuutamakan, yakni orang dari golonganku sendiri”. Tetapi di dalam perumpamaan “Orang Samaria yang Murah Hati” itu, Tuhan Yesus menyatakan bahwa bukanlah kita sendiri yang menentukan, siapa yang menjadi sesama manusia kita. Allah juga yang menentukan untuk siapa kita layak menjadi sesama manusia. Sesama manusia ialah misalnya orang yang sedang menderita kesukaran, yang ditempatkan Allah pada jalan hidup kita. Kita harus menjadi sesama manusia orang itu demi kehendak Allah.
Ketika Paulus di dalam mimpinya mendengar orang Makedonia berseru: “Datanglah dan tolonglah kami”, maka ia mendengar seruan orang yang tergolong “orang yang terjauh”, jika dilihat dari Asia Kecil. Paulus suka membatyasi kasih akan sesama manusia itu pada golongan-golongan yang dikenalnya, bangsa-bangsa Sem dan orang-orang Asia Kecil. Tetapi Allah sudah menjelaskan kepadanya pada malam itu, bahwa ia harus pula menjadi sesama manusia bagi bangsa Eropa.
Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. “Kasih kepada diri sendiri yang sejati ialah patuh pada perintah yang besar dan terutama” (Söe). Biji gandum menghasilkan buahnya, bila ia mati tertanam dalam tanah. Kasih kepada diri sendiri yang sejati tumbuh seimbang dengan kematian kasih kepada diri sendiri yang sia-sia. Barangsiapa yang menyangkal diri sendiri, maka ia akan menemukan bahwa jalan penyangkalan diri dan penyerahan diri kepada Yesus adalah jalan keselamatan, juga bagi hidup kita sendiri.

BAB VIII PELAKSANAAN DAN PENGENAAN HUKUM TAURAT
DALAM HIDUP ORANG BERIMAN

          Kata “kasuistik” berasal dari kata Latin casus,artinya hal (peristiwa, perkara). Yang dimaksudkan dengan kasuistik ialah usaha “mempergunakan hukum pada bermacam-macam hal” dengan alasan dan cara-cara yang berdalil yang tertentu. Soal pokok di dalam kasuistik ini tidak terletak pada pertanyaan: Bolehkah manusia berbuat dosa?, tetapi terletak pada pertanyaan: “Sampai dimanakah manusia boleh ‘mendekati’ dosa itu?” Makin dekat manusia kepada dosa, makin berbahayalah baginya, tetapi demikianlah kata golongan Yesuit itu, ada berbagai soal yang berada di perbatasan, sehingga tidak mungkin lagi menentukan dengan pasti, apakah suatu perbuatan tertentu itu baik ataukah jahat.
          Kasuistik ini ditentang, terutama oleh Pascal, seorang ahli pikir Kristen yang termasyur, di dalam tulisan-tulisannya yang terkenal, yakni “surat-surat yang menentang golongan Yesuit” (Letter Provinciales dan Letters contre les Jesuites). Tuduhan Pascal terhadap kasuistik itu ialah, bahwa kasuistik itu mau mencari kompromi antara perintah-perintah Tuhan dan praktik hidup yang berdosa. Tak kurang hebatnya serangan Calvin terhadap kasuistik itu. Disebutnya kasuistik itu suatu “jerat untuk mencekik jiwa manusia”. Ia mengatakan bahwa bahwa kasuistik ini memperhambakan manusia kepada manusia. Ia mengatakan tentang suatu kekuasaan yang sangat berbahaya, yang merugikan kemerdekaan di dalam Kristus dan merugikan wibawa Kristus atas kehidupan manusia.
          Berdasarkan Alkitab keberatan-keberatan apakah yang harus diajukan terhadap kasuistik?
1)   Keberatan terhadap segala macam kasuistik ialah bahwa yang ditekankan bukanlah tuntutan-tuntutan Hukum Taurat yang terdalam, yakni:kasih, belas kasihan dan kesetiaan, tetapi dosa senangtiasa dicari secara lahiriah (Matius 23:23). Puritanisme misalnya, hanya sangat memperhatikan soal-soal seperti bermain kartu, mengunjungi gedung kesenian, dansa dan sebagainya, tetapi dosa yang menggerumit di dalm hati seperti:tanpa kasih, kikir, bohong, tipu sangat sedikit atau sama sekali tidak digubris; 2) bahwa yang diperhatikan hanya perbuatan hanyalah perbuatan lahir saja, bukan hati. Kasuistik mematikan kemerdekaan rohani dan tanggung jawab perseorangan. Kasuistik itu mengikat kita kepada wibawa seorang rabi, imam, kepala adat, pendeta, paus atau siapapun juga, tetapi tidak menempatkan diri kita di hadirat Tuhan dan tidak mendidik kita mengambil keputusan di hadirat-Nya; 3) Kasuistik menganggap Hukum Taurat sebagai semacam semacam kitab pegangan untuk mencari pemecahan soal-soal kesusilaan kita. Kasuistik lupa bahwa hukum Taurat itu merupakan kenyataan kehendak Tuhan.
Dengan menolak kasuistik sebagai pemecahan semu, maka perlu dikemukan jalan yang ditunjukkan Alkitab yaitu: a) pimpinan Roh Kudus. Yesus berkata bahwa Roh Kudus akan mengambil yang Dia punya, dan akan menunjukkan kepada kita jalan kebenaran yang sepenuhnya. Roh Kudus membuat actual Injil dan Hukum Taurat yang dinyatakan kepada kita dalam Yesus Kristus. Ia melanjutkan pekerjaan Yesus. Roh Kudus itu pun mengikutkan kita di dalam pelaksanaan perintah-perintah Tuhan; b) Mencari kehendak Allah:Roma 12:2, “…sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna?” Kata dokimadzein dalam bahasa Yunani berarti dapat membedakan, menguji, menyelidiki, mengupas, menganalisis dan memilih. Roh Kudus menggerakkan kita supaya berdoa di dalam mencari kehendak Tuhan. Ia menghendaki supaya kita mempergunakan akal kita, supaya kita memperhatikan dan mengamat-mengamati keadaan dengan seksama, supaya kita mencari dan menyelidiki kehendak Tuhan dengan perasaan yang halus dan tajam; c) bantuan dari pihak “persekutuan segala orang kudus”. Di dalam mencari kehendak Tuhan, orang Kristen pun dipanggil untuk saling menolong; d) mengambil keputusan menurut keinsafan batin di hadirat Allah. Kita sekalian dipanggil supaya mengambil keputusan dihadapan Tuhan menurut suara hati yang bersih (Roma 14:5).
BAB IX  HIDUP BARU

          Sumber-sumber hidup baru diantaranya adalah: a) Pembenaran oleh iman (justification sola fide). Bahwa manusia tidak dapat dibenarkan dengan melakukan tuntutan Taurat; b) Pengudusan (sanctification) hidup kita oleh Tuhan Yesus dan Roh Kudus. Kristus telah diberikan kepada kita dan menjadi pengudusan kita. Dalam Yohanes 15 misalnya kita jumpai firman Tuhan Yesus kepada murid-murid-Nya sebagai berikut: “Kamu memang sudah bersih karena firman yang telah Kukatakan kepadamu” (Yoh 15:3). Pengudusan bukanlah hasil daya upaya manusia, tetapi dari permulaan sampai akhirnya pengudusan itu adalah pekerjaan Yesus Kristus dan Roh Kudus. Kepada anak-anak Allah, yang di dunia ini sedang dalam perjalanan hidupnya, diberikan doa berkat rasuli sebagai bekalnya, yakni: “Kasih karunia Tuhan Yesus Kristus, dan kasih Allah dan persekutuan Roh Kudus menyertai kamu sekalian” (2 Kor 13:13). Tanpa kasih karunia, tanpa kasih, tanpa persekutuan, tak mungkinlah hidup baru itu!
          Beberapa aliran dalam gereja Kristen beranggapan, bahwa kesempurnaan dan keadaan tak berdosa sama sekali itu sudah dapat dicapai di dalam batas-batas kehidupan di dunia ini. Aliran ini disebut perfeksionisme (artinya sempurna). Ada juga aliran-aliran yang bertendensi perfeksionisme, walaupun tendensi itu tidak menguasai seluruhnya, misalnya Metodisme. Ayat-ayat dari Alkitab yang biasanya dikutip dalam kitab-kitab perfeksionistis itu ialah:
1.        Pada Galatia 6:15 Paulus berkata bahwa orang yang ada di dalam Kristus adalah suatu “ciptaan baru”, yang lama sudah lampau.
2.        Tuhan Yesus berfirman bahwa orang yang telah dimerdekakan oleh kebenaran, bukan lagi seorang budak atau hamba, tetapi sungguh-sungguh merdeka (Yoh 8).
3.        Yesus telah mengajukan tuntutan-Nya: Haruslah kamu sempurna seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna (Mat 5:48).
4.        Paulus mengadakan perbedaan antara orang yang masih muda, belum matang, belum sempurna (1 Kor 2:6). Dalam surat Ibrani diadakan perbedaan antara orang yang masih “kanak-kanak”.

Menurut Bonhoeffer, kompromi adalah sikap manusia yang menyesuaikan diri dengan dosa. “Perfeksionisme berbuat seolah-olah akhir zaman telah tiba”. Kompromi menyerah kepada keadaan dan kehilangan kerinduan akan hal yang masih akan datang, yakni: kesempurnaan. Perfeksionisme tidak melihat kenyataan dosa. Kompromi tidak melihat kenyataan “pekerjaan Kristus dan Roh Kudus”. Apabila kita sungguh-sungguh hidup dari kasih karunia, maka kita tentu akan menolak baik kompromi maupun perfeksionisme atau radikalisme. Dan berdoalah kitakepada Roh Kudus: “Tuhan akan menyelesaikannya bagiku” (Mzm 138:8) dan “Yesus yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan” (Ibr 12:2).
Kata “tobat”terdapat dalam berbagai agama dan ibadat. Dalam agama Buddha kerapkali dikatakan tentang tobat, tentang berpaling. Barangsiapa berbalik , maka Buddha telah bangun,  bertobat, telah dapat “melihat”. Jadi, di dalam agama Buddha, tobat itu berpaling dari kehidupan dunia dan menuju nirwana. Di dalam agama Islam tawba adalah berpaling dari dosa dan berjalan kebali kepada Tuhan. Di dalam agama Islam, tawba itu dipandang sebagai suatu perbuatan yang berpahala. Makanya tawba berarti: tidak lagi memikirkan siapapun juga, kecuali Tuhan saja dan tertenggelam di dalam-Nya. Di dalam filsafat Yunani, tobat (metanoia dan catharsis) berarti bahwa manusia membersihkan batinnya dari segala keinginannya. Manusia haruslah membalikkan batinnya, mengubah diri, membersihkan diri agar dengan demikian ia dapat mencapai perdamaian dan kekebalan (Yunani: ataraxia; Inggris: non-attachment). Haruslah ia berbalik dari kebodohan kepada hikmat yang sejati, yang telah mencapai kekebalan, tidak lagi memerlukan tobat, demikian pandangan filsafat Yunani.

Dalam Kitab Perjanjian Lama terdengar panggilan atau seruan untuk bertobat, terutama pada nabi-nabi Israel. Kata Ibrani untuk tobat ialah syub, artinya membalikkan diri, memalingkan diri, kembali. Istilah yang plastis ini melukiskan di dalam angan-angan kita seorang manusia yang berjalan kea rah yang salah. Pada suatu saat, jalannya terhenti oleh sesuatu, lalu berbaliklah ia, kemudian melanjutkan perjalanannya kea rah yang benar. Jadi tobat ialah suatu perubahan yang radikaldi dalam sikap kita terhadap Tuhan.Apabila kita bertanya kepada nabi-nabi, “Siapakah yang mengerjakan tobat?”, maka jawab mereka serempak: “Tuhanlah yang mengerjakannya. Anugerah-Nya yang mengerjakannya, kasih-Nya, setia-Nya, belas kasihan-Nya yang menggerakkan kita kepada tobat”.
Akan tetapi dalam kitab Perjanjian Baru kita lihat, bahwa pada Yohanes Pembaptis dan Yesus, kata tobat itu memunyai lagi arti yang dalam seperti yang terdapat pada nabi-nabi Israel. Dalam KItab Perjanjian Baru terdapat dua kata Yunani untuk kata tobat itu. Kedua kata itu saling melengkapi. Kata yang paling banyak dipakai ialah: metanoia,artinya: berubah di dalam. Berkehendak, bertujuan, berkeinginan dan bercita-cita lain daripada dulu. Kata lainnya ialah: epistrophe artinya berbalik dan juga berkelakuan lain daripada dulu si dalam praktik kehidupan. Metanoia adalah pemberian dan panggilan  juga. Panggilan kepada tobat barulah dapat dipahami dan ditaati di mana pemberian (yang berupa tobat itu) diterima secara kanak-kanak menerimanya.
Apakah sebenarnya yang dimaksudkan Paulus dengan kematian atau mematikan atau menanggalkan manusia lama? Mematikan manusia lama adalah pertama-tama dengan tulus hati menyesali dosa. Barangsiapa hanya menyesal karena dosanya, ia tidak menyesal dengan sungguh hati. Menyesal dengan sungguh hati dan dengan tulus hati ialah menyesali dosa itu sendiri dan menyesali pelanggaran terhadap kasih dan kesetiaan Tuhan. Yang mengherankan dalam Mazmur 51, penyesalan dosa ini ialah bahwa unsure yang terdalam bukanlah takut akan hukuman, bukan pula takut akan akibat-akibat dosa itu, bukan pula takut akan merosotnya derajatnya di mata manusia, tetapi yang menyebabkan kepedihan hatinya sedalam itu ialah bahwa ia telah merusak hubungannya dengan Tuhan (Mzm 51:6). Gejala kedua dari kematian manusia lama ialah: pengakuan dosa. Dimana Yesus mengerjakan penyesalan yang sungguh-sungguh di dalam hati kita, maka di situlah pula penyesalan itu diikuti oleh pengakuan dosa. Pengakuan dosa si anak yang hilang barulah sungguh-sungguh dan dengan tulus hati, ketika tangan ayahnya memeluknya dan setelah diberinya cium pengampunan (Luk 15). Tidak seorang pun yang dapat bersikeras dan bersitegang leher, setelah ia mengenal pengampunan itu. Bagi bapa yang menerima kembali anak-anaknya yang hilang, akan terbukalah banyak hati dan mulut untuk mengucapkan pengakuan dosa.Hal yang ketiga dari kematian manusia lama ialah “membenci dan menjauhkan diri dari dosa”.  Tobat dengan sungguh-sungguh adalah selalu bersamaan dengan dan disertai oleh “membenci dan menjauhkan diri dari dosa”. Bertobat dengan sungguh hati tidak berarti menyerah saja kepada dosa, tetapi bergumul, berjuang mati-matian, berperang melawan dosa dengan kesadaran bahwa Yesus adalah Pemenang. Membenci dan menolak dosa ini berlangsung terus sampai akhir hidup kita.
Tobat tidak hanya terdiri dari kematian manusia lama dan “pembunuhan” tabiat kita yang lama secara aktif, tetapi juga dari “kebangkitan manusia baru.” Di dalam Katekismus Heidelberg berdasarkan Alkitab, bunyinya: “Itulah kesukaan sepenuhnya dalam Allah karena Kristus serta kasih dan keinginan akan hidup menurut kehendak Allah dan bermuat amalan”. Di dalam Alkitab setiap kali seolah-olah terdengarlah suara reveil (tanda harus bangun): Bangunlah! Tanggalkan pakaian tua, pakaian dosa itu! Kenakanlah manusia baru. Dengan kekuatan kebangkitan Kristus (Efesus 4:22-24).



BAB X    SEGI-SEGI HIDUP BARU

Di dalam sejarah Etika Kristen hidup baru itu sering dirumuskan dengan mengikut Kristus. Perumusan ini sangat penting, karena ada dua macam sebab. Pertama, karena di dalam perumusan ini hubungan yang erat antara hidup baru dan Yesus Kristus kelihatan sangat jelas. Di dalam berbagai perumusan tentang hidup baru dan Taurat. Di dalam perumusan “mengikut Kristus” diterangkan hubungan antara Yesus dan hidup baru. Dialah pokok anggur dan kita ranting-rantingnya (Yoh 15). Barangsiapa mengikuti Kristus, maka yang diikuti ialah Dia yang dibuang dan disalibkan oleh dunia.
Menurut Perjanjian Lama, istilah “mengikut” dengan jelas dalam pergumulan antara Nabi Elia dengan nabi-nabi Baal di Bukit Karmel (1 Raj 18). Di situ bangsa Israel disuruh memilih: “Berapa lama lagi kamu berlaku timpang dan bercabang hati? Kalau Tuhan itu Allah, ikutlah Dia, dan kalau Baal, ikutlah dia.” Di dalam Perjanjian Baru, “ikutlah Aku”, itulah panggilan yang dipakai oleh  Yesus untuk mengumpulkan murid-murid-Nya. Panggilan itu tidak berarti, bahwa Yesus meminta murid-murid-Nya supaya mereka meniru-niru Dia, tetapi supaya mereka menyerahkan diri kepada-Nya dan berjalan di jalan yang ditempuh-Nya (Markus 8:34-35). Segala yang diajarkan Alkitab kepada kita tentang mengikut Kristus itu oleh Martin Luther disimpulkan dalam rumus singkat bahasa Latin, sebagai berikut: Non imitation fecit filios, sed filiatio fecit imitators. Artinya: “Mengikut Kristus tidak membuat kita menjadi anak-anak Allah, tetapi diterimanya kita menjadi anak-anak itulah yang membuat kita menjadi pengikut-pengikut Kristus”.
Segi-segi yang diterangkan di dalam istilah “mengikut Kristus” ini ialah: 1) Kehidupan Kristen ialah hidup di bawah anugerah kekuasaan Yesus Tuhan yang disalibkan dan bangkit kembali dari mati; 2) kehidupan yang memunyai tanda-tanda “penyangkalan diri” dan “mengangkat salib”; 3) kehidupan Kristen membuat kita menjadi “orang asing” di dunia ini karena kita mengikut Yesus. “Karena kewargaan kita adalah di dalm sorga, dan dari situ juga kita menantikan Tuhan Yesus Kristus sebagai Juruselamat” (Filipi 3:20; Ibrani 11); 4) Barangsiap mengikut Yesus, ia ikut pula di dalam sengsara Yesus Kristus; 5) Yesus Kristus bukan hanya menjadi Pembebas dan Pendamai bagi mereka yang mengikut-Nya, tetapi Ia pun menjadi teladan bagi mereka.
Sesungguhnya Kristus telah membebaskan kita dari kutuk Taurat; itu tidak berarti bahwa Taurat telah kehilangan segala artinya di dalam hidup orang-orang beriman. Anugerah Yesus Kristus menimbulkan suatu keajaiban, suatu mukjizat, yakni: bahwa anugerah, yang membebaskan kita dari ancaman dan kutuk, menggerakkan kita juga kepada ketaatan dengan sukarela kepada perintah-perintah Tuhan. Paulus menguraikan tentang kebebasan, maka ditulisnyalah: “Jika demikian, apakah yang hendak kita katakan?  Bolehkah kita bertekun dalam dosa, supaya bertambah kasih karunia itu?. Sekali-kali tidak! Bukankah kita telah mati bagi dosa, bagaimanakah kita masih dapat hidup di dalamnya?” (Roma 6:1-2). Kristus telah membebaskan kita dari kutuk hukum Taurat “supaya tuntutan hukum Taurat digenapi di dalam kita, yang tidak hidup menurut daging, tetapi menurut Roh” (Roma 8:4). Anugerah itu tidak meniadakan (membatalkan) hukum Taurat, tetapi Taurat itu diteguhkannya. Oleh anugerah itu terjadilah ketaatan sukarela kepada hukum Taurat.
Ringkasan tentang soal kebebasan Kristen di dalam praktik hidup. “Segala sesuatu itu halal”. Ya segala sesuatu! Segala sesuatu yang sesuai di dalam lingkungan kekuasaan Yesus, yang anugerah-Nya boleh kita terima menjadi pangkal hidup kita. “Segala sesuatu itu halal”, ya, tetapi haruslah kita ingat kepada sesama manusia dan kepada pembangunan jemaat. “Segala sesuatu itu halal”, ya, tapi penggunaan kebebasan itu haruslah diuji dan diawasi oleh kasih sebagai norma yang diperintahkan oleh Tuhan kepada kita, agar kita jangan menjadi batu sandungan bagi sesama manusia.
Dalam Kitab Perjanjian Baru, hidup baru itu kerap kali digambarkan sebagai perjuangan. Kadang-kadang diumpamakan juga dengan gelanggang perlombaan, di mana pelari harus menguji kekuatannya dengan berlari di gelanggang yang berupa tanah pasir dan harus belajar bertahan hingga akhirnya memperoleh karangan bunga sebagai tanda kemenangan (Ibr 12:1,2). Paulus mempergunakan perumpamaan yang sama pula ketika dibangkitkannya semangat Timotius, katanya: “Bertandinglah dalam pertandingan iman yang benar” (1 Tim 6:12). Timotius dibangkitkannya kepada “pertandingan yang benar” (agona to kalon). Demikian pula Paulus menerangkan bahwa ia telah mengakhiri pertandingan yang benar dan telah menerima mahkota kebenaran tanda kemenangan (2 Tim 4:7).
Kehidupan Kristen merupakan suatu perjuangan sampai saat meninggal dunia, sebab manusia yang telah mulai dengan hidup baru selalu mengalami perlawanan, daya-daya yang menahannya kuasa rohani musuh. Daya-daya penahan dan kuasa-kuasa rohani musuh manakah yang melawan hidup baru itu? Pertama, Alkitab mengarahkan perhatian kita kepada perlawanan yang timbul dari tabiat kita sendiri yang fasik itu. Kedua, Alkitab megarahkan perhatian kita kepada dunia. “Dunia” itu hendak menggoda kita, supaya kita jangan lagi setia kepada Kristus. Ketiga, kekuasaan rohani yang disebutkan oleh Alkitab ialah kekuasaan si jahat.
Dalam bahasa Yunani, yakni bahasa asli yang dipakai untuk Kitab Perjanjian Baru, pada pokoknya terdapat tiga macam kata untuk kata kasih itu, yakni: “Erao” (yang ada hubungannya dengan eros), philein dan agapan (kata agape ditafsirkan dari agapan itu). Daslam bahasa Yunani kata Erao dan Eros itu mula-mula berarti kasih, di dalam arti birahi, cinta birahi, cinta yang disertai hawa nafsu, asamara. Dalam mitologi Yunani “eros” itu diperdewakan dan dipuja dalam keadaan mabuk nafsu. Kata yang kedua ialah “philein” yang artinya adalah kasih antara orangtua dan anaknya, antara kawan dan kawan, antara teman sekerja dan teman sekerja lainnya. Kata yang ketiga adalah “agapan”. Mengandung arti : kasih yang memilih seseorang, kasih yang setia antara manusia dan manusia.
Pertama-tama, kasih di dalam bentuk perikemanusiaan yang sejati. Dalam Alkitab bentuk kasih itu digambarkan dengan cara mengharukan di waktu kunjungan Yesus kepada orang sakit selama 38 tahun di Betesda (Yoh 5:1-18). Kedua, kasih dalam bentuk belas kasihan. Belas kasihan yang disertai perbuatan, yang dilakukan di dalam praktik, belas kasihan terhadap kesengsaraan sesama manusia. Contoh klasik yang menyaksikan hal itu ialah perumpamaan “orang Samaria yang Murah hati” dan cara Yesus bergaul dengan orang banyak. Ketiga, bentuk kasih yang lain ialah kesabaran, lembut hati, mengasihi musuh, kesediaan melayani, kesediaan memberi pengorbanan. “Dan sekali pun aku membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar, tetapi jika aku tidak memunyai kasih, sedikit pun tidak ada faedahnya bagiku” ( 1 Kor 13:3).
Dalam Kitab Perjanjian Lama, terutama dalam pemberitaan nabi-nabi , umat Tuhan dibangkitkan, digerakkan supaya berpengharapan, supaya menanti-nantikan dengan kerinduan akan pertolonan Tuhan. “Berbahagialah orang yang menaruh kepercayaannya kepada Tuhan, yang tidak berpaling kepada orang-orang angkuh” (Mzm 40:5).  Paulus berkata: “Setiap orang yang menaruh pengharapan itu kepada-Nya, menyucikan diri sama seperti Dia yang adalah suci" (1 Yoh 3:3). Alasan pengharapan Kristen itu mengeluarkan daya yang membarukan ialah: Pertama, karena pengharapan Kristen mengandung kepastian, bahwa dunia baru sungguh-sungguh datang. Kedua, pengharapan itu memenuhi hati kitadengan kegembiraan.Ketiga, pengharapan itu menempatkan kita dibawah disiplin Kerajaan yang akan datang (1 Kor 15:32-34). Keempat, pengharapan kepada Yesus membuat kita dapat membedakan mana yang berharga dan mana yang baik, mana yang akan berlalu dan mana yang tetap (Luk 12:20). Kelima, pengharapan kepada Yesus itu keluar daya yang membersihkan, memurnikan, menguduskan, oleh sebab orang mulai dengan membersihkan diri sendiri (1 Yoh 3:3).
BAB XI   TUJUAN HIDUP BARU

   Dalam semua agama disebutkan bahwa tujuan akhir yang dituju oleh hidup adalah menuruti ketentuan-ketentuan atau peraturan-peraturan agama itu masing-masing. Preisker berkata di dalam bukunya, Das Ethos des Urchristentums, bahwa Etika Kristen adalah terutama “telos-ethos”, artinya suatu etika yang diarahkan kepada “telos”, kepada tujuan tertentu, kepada suatu akhir tertentu yang juga menjadi pemenuhannya. Kebanyakan buku tentang Etika falsafi memuat tiga bagian. Bagian pertama: ajaran tentang kewajiban-kewajiban (Pflichtenlehre). Dalam bagian ini dibicarakan soal:”Apakah yang harus kami perbuat?”. Bagian kedua: ajaran tentang kebajikan (Tugendlehre). Dalam bagian ini diuraikan soal “Bagaimanakah aku dapat melakukan kewajibanku itu?”. Bagian ketiga: ajaran tentang nilai-nilai rohani (Güterlehre). Dalam bagian ini diterangkan soal: “Untuk apa aku harus berbuat itu? Apakah tujuan-tujuan kesusilaan yang kita tuntut?”.
Para rabi dalam agama Yahudi Rabinik mengajarkan bahwa “telos” kehidupan di dunia terletak pada pembaruan pemerintahan Yahweh atas kerajaan duniawi dengan seorang Mesias duniawi sebagai kepala Kerajaan. Di dalam kerajaan Mesias duniawi, orang Yahudi dan orang Kafir akan memelihara kita Tora (Taurat). Oleh sebab itu, berita yang dibawah oleh Yesus tentang hubungan antara perbuatan manusia dan tujuan Allah mengenai hidup manusia, serta berita yang disiarkan Yesus tentang isi tujuan Allah dengan hidup manusia, membangkitkan amarah para ahli Taurat dan murid-murid mereka. Sebab mengenai hal itu, apa yang diajarkan para rabid an apa yang tertulis di dalam Injil adalah amat dalam bedanya.
Di Indonesia pengaruh Hindu amat besar karena meninggalkan bekas di dalam kebudayaan Indonesia, mudahlah dilihat itu dalam praktik kehidupan sehari-sehari. Pandangan agama Hindu tentang tujuan hidup ialah terdapat beberapa tujuan yang hendak dicapai yaitu pertama,kama yakni kenikmatan , kesenanganan. Kedua, artha  yaitu usaha untuk mendapat harta benda dan kekuasaan, kehormatan di dalam masyarakat, pangkat setinggi mungkin, hubungan-hubungan dan kawan-kawan yang banyak. Ketiga, dhrma yakni kesesuaian dengan hukum, keselarasan, keberaturan, keseimbangan, pengekangan diri. Tujuan yang tertinggi, moksha, yakni kelepasan, kebebasan. Tujuan tertinggi haruslah terangkat lepas dari penitisan berantai (penjelmaan, perpindahan jiwa).
Dalam agama Buddha tujuan tertinggi ialah Vimutti, yakni pembebasan dari reinkarnasi (samsara) berantai, penjelmaan atau perpindahan jiwa. Pemusnahan (nirodha) penjelmaan berabttaiitu pula berarti pula pemusnahan karma (atau kamma), artinya pemusnahan segala perbuatan manusia dan hukum pembalasan yang menguasai perbuatan-perbuatan itu. Isi Vimutti ialah: Nirvana yang digambarkan sebagai pemusnahan kehidupan sebagai makhluk dengan segala nafsunya:”Musnah kelahiran, sempurna kelakuan yang suci, terpenuhi kewajiban, berakhir kehidupan di dunia ini”.
Dalam pandangan Islam tujuan hidup di dunia ialah kehidupan di Firdaus (Arab: Firdaws) yang sering disebut juga dengan kata Arab:janna, artinya taman atau jannat Eden, taman Eden. Di dalam tulisan-tulisan ahli-ahli teologi Muslim yang kemudian ada kelihatan berbagai corak etis dan mistik dalam gambaran-gambaran tentang Firdaus itu. Terutama dalam salah satu tulisan Ghazali yang bernama “Mutiara berharga dariilmu pengetahuan tentang dunia akhirat”, corak-corak etis dan mistik diuraikan lebih lanjut. Ia menulis tentang tempat nabi-nabi dan malaikat-mailakat Firdaus, demikian tentang takhta Tuhan. Artinya, diuraikan tentang pergaulan dengan rasul-rasul dan nabi-nabi di Firdaus. Ditegaskan tentang kedudukan terpenting yang diambil oleh kitab Quran asli di dalam Firdaus. Dan terutama memandang Tuhan secara rohani diuraikan sebagai puncak kehidupan di Firdaus. Berpuasa, melakukan Shalat, naik haji dan lain-lain, dipandang sebagai perbuatan yang berpahala, yang dapat diterima sebagai penebus dosa dan yang membawa hak memperoleh Firdaus.
Menurut Marx dan Lenin, bapa-bapa komunisme dunia, sejarah ialah suatu kejadian yang penuh arti. Di dalam sejarah itu terlaksanalah suatu rencana. Sejarah itu akan bermuara pada suatu Negara bahagia duniawi, ialah Negara bahagia yang masyarakatnya tidak berkelas. Di dalam masyarakat yang akan datang itu tidak aka nada lagi majikan dan buruh. Tidak ada lagi krisis di dalam dunia ekonomi. “Segala sesuatu datang dari kerja dan pekerja, oleh kerja dan pekerja dan kepada kerja dan pekerja”. Itulah semboyan Komunisme. Dan apabila kita tanyakan, apakah arti hidup para pekerja yang belum melihat Negara bahagia itu, maka jawabnya ialah: “Mereka telah tertabur bagaikan pupuk di lading kemudian hari. Itulah arti mereka untuk kemudian hari”. Pekerjaan dan hidup mereka merupakan persiapan untuk negara yang bahagia, tetapi mereka sendiri belum pernah dan tidak akan pernah mengenyam kenikmatan dalam negara bahagia itu.
Berita yang dibawa oleh Alkitab ialah bahwa tujuan hidup manusia terletak dalam Kerajaan Allah. Kerajaan Allah  itu telah datang di dalam Yesus Kristus. Dialah Kepala Kerajaan itu; keadaan-Nya sebagai Kepala masih tersembunyi. Ia menerima orang beriman, karena anugerah-Nya, dalam Kerajaan-Nya dan makin dekat Kerjaan itu kepada kesempurnaannya, makin banyaklah yang Ia terima. Kata Yunani untuk kata sempurna itu ialah teleios, dari kata telos, artinya: maksud Tuhan dengan hidup manusia akan terpenuhi. Di dalam Alkitab kerapkali dijanjikan kepada orang beriman, bahwa mereka akan menjadi sempurna (Matius 5:48; Yoh 17:23; 1 Kor 13:10; Kol 1:28. Janji itu akan dipenuhi. Mereka akan menjadi sama seperti Kristus. Mereka akan menjadi sama seperti Kristus. Mereka akan menjadi segambar dengan Dia ( 1 Yoh 3). Mereka akan menjadi cemerlang tanpa cacat atau kerut sedikit pun (Ef 5:27). Dan jika kita tanyakan apakah isi hidup yang sempurna itu, maka jawab Alkitab ialah bahwa kita akan mengasihi Allah di dalam kesempurnaan dan mengasihi sesama manusia kita di dalam kesempurnaan. Jadi, tujuan hidup baru bukanlah penghapusan hidup, tetapi kasih yang kekal. Ketaatan bebas yang kekal, persekutruan yang kekal antara Allah dan manusia. Di dalam Kerajaan Allah hubungan Taurat akan terpenuhi, terpenuhi selamanya. Itulah tujuan hidup menurut apa yang tercantum dalam Alkitab.
Hubungan antara Allah dan manusia tak akan lenyap, sebagaimana diajarkan dalam agama Buddha. Manusia tidak melebur di dalam keilahan, sebagaimana diajarkan oleh agama Hindu. Kehidupan dalam langit baru dan bumi baru bukanlah suatu kehidupan tanpa kekudusan seperti kehidupan dalam “taman sari” duniawi. Bukan pula suatu Negara bahagia yang penuh dengan dosa, penyakit dan maut. Tetapi dunia baru yang akan datang itu adlah suatu dunia, dimana hubungan antara Allah dan manusia telah menjadi baik untuk selama-lamanya, yaitu hubungan di dalam kasih dan kebenaran , dimana hukum Taurat Tuhan, hukum kasih itu memenuhi seluruh kehidupan.
Untuk siapakah Kerajaan Allah itu? Kepada siapakah kekayaan Kerajaan Allah itu diberikan? Berkali-kali Alkitab berkata kepada kita, bahwa Kerajaan Allah itu diberikan kepada orang yang miskin di hadapan Allah, orang-orang berdosa, peminta-minta anugerah yang sama sekali tak dapat menyatakan haknya atas Kerajaan Allah (matius 5:1-5). Kekayaan Kerajaan Allah tidak diletakkan ke dalam tangan para pekerja yang menuntut upahnya, tetapi ke dalam tangan anak-anak yang gembira keheran-heranan dan yang mau hidup hanya dari anugerah saja (Luk 18:17). Apakah maksud ancaman dan pemberitaan hukuman-hukuman itu adalah untuk membawa kita kembali ke bawah kuk hukum Taurat? Apakah maksudnya adalah untuk membuat kita takut? Tidak. Semua pemberitaan hukuman hanyalah satu maksudnya, yakni untuk membawa kita kembali kepada kasih setia Tuhan Yesus Kristus, untuk memimpin kita kembali kepada Injil Tuhan dan Taurat Tuhan, kembali kepada iman dan tobat. Maksudnya, untuk menyerukan kepada kita: “Biarkanlah dirimu dibersihkan, ialah dikuduskan oleh Darah dan Roh Yesus” (bnd 1 Kor 6:1). Untuk mengatakan kepada kita: “Marilah dan minumlah air tanpa bayaran (Yes 55). “Ambillah air kehidupan itu dengan Cuma-Cuma” (Why 22:17).

3 komentar:

  1. Luar biasa ... thanks for sharing.

    BalasHapus
  2. Anda mengingatkan saya ketika saya mengajar Etika Kristen di PGAK tahun 1980-an. Ringkasan ini mirip dengan milik saya, hanya waktu itu saya tulis dengan tulisan tangan. Anda luar biasa. Tks

    BalasHapus