BUKU: ETIKA KRISTEN: Bagian Umum
BAB
I PENGANTAR KE DALAM ETIKA KRISTEN
By
Hengki Wijaya
Kata Etika asalnya dari beberapa kata Yunani
yang hamper sama bunyinya, yaitu ethos dan éthos atau ta ethika. Kata ethos
artinya kebiasaan, adat. Kata éthos dan
éthikos lebih berarti kesusilaan, perasaan batin, atau kecenderungan hati
dengan mana seseorang melaksanakan sesuatu perbuatan. Apa yang dimaksud dengan Etika dinyatakan dalam bahasa Indonesia
dengan tepat oleh kata kesusilaan. Kata
“sila”, yang terdapat dalam bahsa
Sansekerta dan kesusasteraan Pali dalam kebudayaan Buddha, mempunyai banyak
arti. Pertama Sila berarti: norma (kaidah), peraturan hidup, perintah. Kedua, kata ini menyatakan pula keadaan
batin terhadap peraturan hidup, hingga dapat berarti juga: sikap, keadaban,
siasat batin. Perikelakuan, sopan santun dan sebagainya. Kata su berarti: baik, bagus. Kata ini
pertama menunjukkan norma dan menerangkan bahwa norma itu baik. Kedua,
menunjukkan sikap terhadap norma itu dan menyatakan bahwa perikelakuan harus
sesuai dengan norma. Karena itu kata kesusilaan
tepat untuk menyatakan pengertian Etika.
Di pandang dari sudut kepercayaan pada
hukum Taurat dan Injil Allah, maka haruslah: Segala yang dikehendaki Allah, itulah yang baik. Itulah pokok Etika
Teologi. Menurut pendapat kami, dogmatika ialah suatu teologi yang memikirkan
tentang isi iman: Kasih Allah Bapa, anugerah Allah Anak dan persekutuan dengan
Roh Kudus. Demikian pula dengan Etika Kristen pun memikirkan tentang kehendak
Allah yang dinyatakan, hukum-hukum Taurat Allah, Pendamai, Pembebas,
hukum-hukum Allah Bapa, Allah Anak dan Roh Kudus. Karena itulah Etika Teologis,
menurut asas-asasnya, termasuk dogmatika. Ia sebagian merupakan dari dogmatika,
hubungannya tidak dapat diputuskan. Tetapi karena
alasan-alasan yang praktis, dogmatika dan Etika itu kita beda-bedakan, walaupun
pada asasnya kedua mata pelajaran itu. Dalam 1 Yohanes 4:19 tertulis: “Kita
mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita.” Pokok Dogmatika ialah Allah lebih dulu mengasihi kita. Pokok Etika ialah: Kita mengasihi
(Allah). Demikianlah Etika tidak mendahului dogmatika, tetapi dogmatikalah
yang lebih dahulu daripada Etika.
Etika tidak boleh bertindak sebagai
pengganti Allah dan tidak boleh, lagi pulaq tidak mungkin mengganti tugas Roh
Kudus. Itu bukanlah tugas Etika. Akan tetapi, Etika sistematis dapat dan boleh bertindak sebagai penunjuk jalan di dalam
keseluruhan dan bagian-bagian yang dinyatakan oleh Alkitab kepada kita mengenai
kehendak Allah. Di mana tidak terdapat Etika sistematis yang berdasarkan
Alkitab, di situlah orang beriman dalam praktik kerapkali menjadi korban
pikiran-pikiran yang mendadak, pikiran-pikiran yang tidak tetap dan
pendapat-pendapat perseorangan.
Prof. Dr. W. Banning dalam bukunya Typen van zedeleer, menerangkan
macam-macam Etika falsafi sebagai berikut: Etika
metafisika, etika yang didasarkan padaq individu, etika yang didasarkan pada
masyarakat dan etika nilai-nilai. Penulis-penulis lain mengikhtisarkan
Etika falsafi dengan membagi bentuk-bentuk etika dalam etika otonom, etika heteronom dan etika teonom. Etika otonom berdasarkan norma-norma kepada kehidupan
sendiri. Etika heteronom mengambil norma-normanya di dalam masyarakat.
Sedangkan etika teonom memakai Penyataan Allah sebagai sumber. Sumber
pengetahuan tentang baik-buruk tidak bioleh lain daripada apa yang
dianugerahkan Allah kepada kita di dalam Alkitab (Matius 5:48).
BAB
II DASAR-DASAR ATAU TITIK PANGKAL
Etika Kristen berpangkalkan
kepercayaan kepada Allah, yang menyatakan diri di dalam Yesus Kristus. Allah
Bapa menyatakan diri di dalam Yesus Kristus sebagai Pencipta langit dan bumi, yang menciptakan dunia dan segala yang
ada di dalamnya, yang menciptakan manusia menurut gambar dan rupa-Nya, yang
melaksanakan rencana-Nya mengenai dunia dan manusia, “dengan tangan yang
terkekang”. Titik pangkal inilah yang bersifat menentukan bagi Etika Kristen.
Pandangan tentang manusia menurut
agama-agama suku ini tidak ada tempat bagi kesusilaan
dalam arti yang khusus. Sebab-sebabnya sebagai berikut: Pertama: manusia, sebagai individu yag
bertanggungjawab kepada Allah, menjadi tidak tepat kedudukannya. Kedua, Hukum Allah di dalam agama-agama
primitif itu tidak dianggap sebagai hukum yang normatif, yang menggerakkan
manusia mengambilkeputusan-keputusan etis, tetapi dianggap sebagai semacam
hukum kodrat, sebagai tata tertib kosmis. Ketiga,
dalam agama-agama primitif, Etika tidak dapat tampil ke depan, karena
agama-agama primitif itu tidak dapat menerima pertentangan-pertentangan yang
mutlak.
Pandangan tentang manusia menurut
agama Hindu adalah atman dan pada
hakikatnya “atman” itu ialah Brahman. Manusia tidak mempunyai kehidupan pribadi
dan tidak mempunyai kehidupan pribadi dan tidak mempunyai tanggungjawab
perseorangan. Karena disesatkan oleh avidya
(ketidaktahuan), manusia menganggap gejala-gejala kosmis itu sebagai suatu
kenyataan. Agama Hindu tidak mengenal kepercayaan akan Allah, Sang Pencipta.
Karena itulah tak dikenalnya pula kepercayaan akan penciptaan manusia menurut
gambar Allah. Agama Hindu tidak melihat garis batas antara Allah dengan
ciptaan-Nya. Dan dengan demikian tidak ada tempat bagi Etika di dalam arti yang
sesungguhnya.
Pandangan tentang manusia menurut
agama Buddha adalah suatu “nama rupa”,
artinya ia terdiri dari “nama” (roh) dan “rupa” (tubuh) di dalam kehidupan
psiko-fisis. Manusia itu bukanlah suatu “kenyataan” yang tetap. Di dalam agama
Buddha, Allah tidak diakui sebagai Pencipta. Agama Buddha tidak mengakui bahwa
manusia dijadikan menurut gambar Allah. Etika (dhamma) agama Buddha hanya
merupakan suatu cara untuk meluputkan diri dari segala macam Etika. Menurut agama
Buddha, kehidupan manusia itu berdasarkan sangkaan. Tidak berarti dan tidak bertujuan.
Dan sejarah pun tidak ada artinya dan tujuannya. Kata terakhir di dalam agama
Buddha ialah: meleburnya kehidupan. Kata terakhir di dalam Injil ialah:
penyelamatan dari dosa, menuju kepada hidup kekal di dalam persekutuan dengan
Allah.
Menurut Kalam (dogmatika) Islam. Kedudukan manusia di dalam alam kejadian
mendapat perhatian besar di dalam dogmatika Islam. Sebab agama Islam mengakui
Allah sebagai Pencipta. Di dalam agama Islam tidak terdapat hubungan antara
Bapa dan anak, sebagaimana terdapat dalam Alkitab, bila mengatakan tentang
hubungan antara Allah dan manusia. Tidak disebutkan pula tentang manusia yang
dijadikan menurut gambar Allah. Oleh
karena itu, di dalam agama Islam juga tidak terdapat perjanjian antara Allah dan Manusia, dimana manusia bertindak sebagai
sekutu Allah, di mana manusia dipanggil kepada kepatuhan sukarela dan di mana manusia mendapat kemerdekaan yang
relatif secara makhluk. Manusia hanya dipandang sebagai abd. Itulah juga sebabnya, mengapa di dalam agama Islam tanggung jawab etis manusia tidak
kelihatan dengan sewajarnya. Di dalam dogmatika ortodoks Islam, tanggung jawab
etis manusia tidak tampil ke depan dengan sewajarnya. Sebab yang pertama ialah:
karena kedaulatan Allah hanya dipandang sebagai kedaulatan kekuasaan-Nya. Di dalam Alkitab, Allah yang diakui oleh Alkitab itu
adalah juga kedaulatan kasih-Nya, hikmat-Nya,
keadilan-Nya, kesucian-Nya. Kedua, tanggung jawab etis manusia tidak tampak
dengan sewajarnya, karena di sini tidak ada tempat bagi pengertian, yang di
dalam ajaran iman Kristen disebut “Pemeliharaan oleh Allah” (providential), Agama Islam hanya
menganggap bahwa ada satu hubungan saja antara Allah dan hasil pekerjaan-Nya,
yakni hubungan antara khalik dan makhluk.
Dalam pandangan tentang manusia
menurut agama Islam tidak terdapat pandangan tentang Allah ini, yakni Allah Bapa, dan tentang manusia sebagai anak, yakni anak yang berdosa, anak Bapa ini. Inilah salah satu sebab dari
kenyataan yang mengherankan, bahwa di dalam agama Islam, Etika tidak pernah mendapat kedudukan sendiri di samping Kalam dan
Fiqh.
Pandangan evolusi biologis tentang
manusia ialah menganggap manusia itu sebagai binatang yang menyusui yang cerdas, yang pertumbuhannya berlangsung
menurut proses evolusi, dari tingkat yang rendah ke tingkat yang lebih tinggi.
Pandangan ini menyangkal Allah dan
pernyataan-Nya. Di sini “penyelidikan ilmiah” dijadikan ukuran untuk menentukan
yang baik dan jahat. Lagi pula di sini “penyelidikan ilmiah” itu terbatas kepada penyelidikan biologios,
secara kimiawi dan fisik- seakan-akan manusia hanya dapat diterangkan
menurut proses kimiawi dan biologis.
Pandangan manusia menurut komunisme
adalah “makhluk biologis ekonomis”. Sebagai makhluk biologis, ia pun “binatang
menyusui yang cerdas”. Atas dasar pandangan tentang manusia ini, materialisme
dialetika menyusun suatu Etika tertentu. Teori revolusi menggantikan susila.
Etiak materialisme dialetis adalah: Sadarlah akan kedudukanmu dalam perjuangan
di tengah masyarakat dan berbuatlah sesuai dengan kedudukanmu.
Di dalam Kitab Kejadian 1 terdapat
kalimat-kalimat yang terkenal mengenai kejadian manusia, “Maka Allah
menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya
dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka” (ayat 27). Dalam Perjanjian
Baru Yesus Kristus disebut gambar Allah ( 2 Kor 4:4; Kol 1:15). Dan sudah
dijanjikan kepada kita, bahwa barangsiapa percaya kepada Allah akan dijadikan
kembali menurut gambar-Nya dan akan serupa dengan Dia (1 Kor 15:49; 2 Kor
3:18).
Bagaimanakah arti berita tentang
manusia ini dan apakah konsekuensi pandangan tentang manusia ini bagi Etika?
1.
Manusia itu makhluk dan akan tetap
menjadi makhluk untuk selama-lamanya. Manusia bukanlah Allah dan manusia
juga tidak mempunyai zat ilahi atau kodrat ilahi. Tidak ada “analogi entis”
(persamaan zat) antara manusia dan Allah.
2.
Manusia
dijadikan sebagai makhluk somatic-psikis (berjiwa raga).
Allah membentuk manusia (di dalam bahasa Ibrani:haadam) dari debu tanah (adama)
dan menghembuskan nafas kehidupan (nismat
hajjim) ke dalam hidungnya (Kej 2:7).
3.
Hubungan Allah-manusia dan manusia-Allah
itu dinyatakan dalam berita tentang manusia yang dijadikan menurut gambar Allah. Karena itu yang harus menjadi salah satu
pokok masalah Etika ialah: Apakah yang kau perbuat dengan mandate yang
diberikan Allah kepadamu, ketika Allah menjadikan engkau menurut gambar dan
rupa-Nya?
4.
Akhirnya dalam hubungan ini harus
ditekankan, bahwa Allah menciptakan manusia supaya manusia itu berbakti secara sukarela. Allah
memberiukan kebebasan memilih kepadanya.
Kedaulatan ilahi itu diserahkan kepada manusia secara sukarela di dalam kasih. Kebebasan itu termasuk hakikat manusia
dank arena itu termasuk inti Etika Kristen. Kata kebebasan menyatakan panggilan yang pertama dan hak tertinggi yang
diberikan oleh Allah kepada manusia.
Beberapa catatan
tentang asal dosa, dan hakikat dosa akan diterangkan secara khusus di bawah
ini.
a.
Asalnya dosa
Di
dalam agama-agama dan pandangan tentang dunia Kristen pada garis besarnya
terdapat jawaban-jawaban atas pertanyaan asalnya kejahatan sebagai berikut.
Menurut
agama Hindu dan berbagai aliran
mistik panteistis, sumber kejahatan itu harus dicari pada avidya, ketidaktahuan. Kejahatan itu hanya semu saja. Manusia buta
karena ketidaktahuan itu, menganggap itu, menganggap kejahatan sebagai
kenyataan. Akan tetapi sebenarnya kejahatan itu tidak ada. Pandangan agama Buddha mencari asalnya kejahatan
di dalam “tanha”, nafsu, keinginan, yang menggerakkan prioses Bhava. Dalam
pandangan evolusi biologis, asalnya
kejahatan itu dicari pada berasalnya kita
dari binatang. Menurut pandangan ini, kita masih mempunyai sisa-sisa sifat
yang buruk dari keturunan yang rendah. Tetapi lambat laun kita akan mengatasi
sisa-sisa kejahatan ini dalam pertumbuhan ke taraf yang lebih tinggi. Pandangan
tentang dunia yang dialektis materialis
mencari asalnya kejahatan di dalam keadaan social ekonomi. Jika system social
ekonomi berubah, maka manusia pun berubahlah.
Menurut
Alkitab, inisiatif (prakarsa) untuk berbuat dosa itu tidak keluar dari manusia,
tetapi dari iblis. Asalnya dosa itu terdapat di dunia iblis. Tetapi karena
kesalahan sendiri, manusia telah mengatakan ya
kepada dosa dan dengan demikian ia menjadi hamba dosa (Yoh 8:34). Karena
manusia ingin menjadi sama seperti Allah, iamenyerah kepada iblis, sehingga
sejak itu dosa keluar dari iblis dan
manusia bersama-sama.
b.
Hakikat dosa
Apakah hakikat dosa itu?.
Kata yang terbanyak dipergunakan ialah kata dalam bahasa Yunani hamartia (di dalam bahasa Ibrani chet atau chatta). Hamartia berarti: luncas (luput, tidak mengenai sasaran,
menyeleweng dari tujuan); seperti anak panah dapat tidak mengenai sasarannya,
begitulah pula manusia yang berdosa itu dapat tidak mencapai tujuannya. Kata hamartia itu diterjemahkan dengan dosa.
Pandangan
Alkitab tentang hakikat dosa adalah bahwa dosa itu tidak dimulai pada
kejasmanian, tetapi justru pada inti
manusia, di dalam hatinya, di dalam hubungannya dengan Allah. Jika hubungan di
situ diserang oleh kesombongan, maka jasmani pun diperalat oleh dosa. Sombong
mengakibatkan meluapnya hawa nafsu.
Jika hati tak jujur di hadapan Allah, maka badan kita pun disalahgunakan untuk cabul, kelahapan, loba akan uang, boros dan
sebagainya.
BAB
III MANUSIA DALAM KEBESARAN DAN
KESENGSARAANNYA
Di
dalam hidup manusia ada dua macam gejala yang ada di bawah kekuasaan dosa dan
yang paling jelas menggambarkan kebesaran
dan kesengsaraan manusia. Kedua gejala itu ialah rasa malu dan perasaan hati
(yang kedua ini kadang-kadang juga disebut: keinsafan batin, kata hati, suara
hati, suara batin, gerak hati, setahu hati dan sebagainya). Karena pentingnya
kedua gejala itu bagi Etika, maka dibawah ini akan dijelaskan tentang kedua hal
tersebut.
1.
Rasa
Malu
Rasa
malu adalah suatu perasaan badani yang mengingatkan kita kepada keadaan kita
yang telah “terkoyak-koyak”. Manusia berusaha menghindarkan diri dari
kesalahannya. Ia mencoba memungkiri dosanya, menyembunyikan dosanya,
membenarkan dosanya. Namun rasa malu itu
dengan tak sadar membuka kesalahannya. Rasa malu itu mengingatkan kita
bahwa kita ini diciptakan menurut gambar-Nya. Binatang dan iblis tidak memiliki
rasa malu, tetapi manusia mempunyainya. Apabila Tuhan melihat manusia di dalam
rasa malunya, sebagaimana Ia memandang Adam dan Hawa di taman Firdaus, maka
kesimpulan-Nya ialah: “Rasa malumu itu menunjuk kepada-Ku, bahwa engkau telah
mengkhianati Aku”.
2.
Suara
hati
Secara
etimologi istilah suara hati dipakai dalam Perjanjian Baru ialah suneidésis (Rm 2:15). Dalam bahasa Latin
“conscientia”, dan ini pun menjadi kata asal dari kata suara hati dalam bahasa
Inggris dan Perancis. Suneidésis (conscientia) artinya: setahu, dengan diketahui oleh. Yang
dimaksudkan ialah, bahwa di dalam manusia seolah-olah ada suatu instansi yang
bertindak sebagai saksi pendengaran telinga dan saksi pandangan mata dari
segala kelakuan kita, yang mengamat-amati kehidupan batin kita dan yang
mempertimbangkan kehidupan itu.
Istilah-istilah
yang lazim dipakai dalam bahasa Indonesia ialah bisikan hati, kata hati, rasa
hati, suara batin, keinsafan batin. Istilah yang khas adalah hati kecil. Suatu
“hati kecil”, yang mengamat-amati dan mempertimbangkan kelakuan kita. Suara
hati ialah suatu desakan, yang terdapat dalam batin tiap-tiap manusia, untuk
menimbang-nimbang kelakuannya. Ia menuduh kita. Bahkan, apabila kita berdaya
upaya untuk mematikan suara itu, maka nyaringlah suara hati itu. Tidak hanya
berbisik-bisik saja, tetapi kadang-kadang ia dapat merintih dan memanggik dan
berteriaqk dalam hati kita. Di dalam Alkitab, reaksi-reaksi suara hati ini kita
jumpai dengan terang pada tokoh-tokoh seperti Kain, Saul, Yudas Iskariot.
Mereka hanya mendengar suara hati dan tidak mau mendengarkan suara Allah,
Pengampun dan Penyayang. Batasan defenisi suara hati yang sudah tua, tetapi
masih terdapat dalam perpustakaan baru: Di
dalam suara hati, dengan tiada terlawan, manusia berhadapan dan bersoal-jawab
dengan dirinya sendiri, dan ia menjadi pembuat peraturan, hakim dan pembalas
terhadap perbuatannya sendiri (Index, Judex, Vindex).
Kewajiban
gereja Kristen pada umumnya dan Etika Kristen pada khususnya, untuk menyinarkan
terang Hukum Allah dan Injil di dalam hal ini. Agustinus pernah berkata, “Kita
gelisah di dalam hati kita sehingga kita menemukan ketenteraman di dalam
Allah.” Demikianlah pula dapat dikatakan: suara hati kita gelisah, sehingga
akhirnya takluk kepada Pembuat Hukum, Hakim dan Penolong tertinggi, yakni Allah
dan Bapa Yesus Kristus.
BAB
IV DIMANAKAH SUMBER PENGETAHUAN
TENTANG
NORMA-NORMA SUSILA?
Jika
kita di Indonesia ini mengajukan pertanyaan tentang norma-norma hidup, maka
diantara orang-orang muda dan orang-orang tua akan banyak yang menjawabnya
dengan:”Yang disebut baik ialah apa yang disuruhkan oleh adat istiadat kita!”
Kata adat berasal dari kata Arab:
“ada”, artinya kebiasaan, cara yang lazim, kelakuan yang telah biasa,
aturan-aturan yang lazim. Yang disebut adat istiadat ialah kumpulan peraturan
dan norma-norma hidup yang berlaku di dalam persekutuan suku tertentu.
Dapatkah
adat istiadat itu menjadi sumber pengetahuan, pengetahuan yang sesungguhnya
tentang yang baik dan jahat? Dipandang dari sudut iman Kristen, maka jawab
pertanyaan itu ialah: tidak! Apakah sebabnya? Pertama, karena di dalam kompleks adat istiadat kuno itu tidak
tampak batas-batas antara Tuhan dengan kosmos. Segala agama suku adalah naturalistis. Di dalam agama-agama itu
yang dikenal dan dimuliakan bukanlah Tuhan yang hidup, tetapi makhluklah yang dimuliakan. Kedua, adat istiadat itu tidak dapat
menjadi sumber pengetahuan tentang yang baikdan yang jahat, kerena adat
istiadat itu penuh takhyul dan guna-guna.
Oleh
sebab itu adat istiadat adalah suatu sumber yang keruh, dan dari sumber itu
kita tidak dapat tahu apa yang baik dan apa yang jahat itu. Disini kami tambahkan
tiga buah catatan. Pertama, haruslah kita akui dengan
bersyukur, bahwa di dalam adat istiadat bangsa-bangsa itu terdapat unsur-unsur
yang yang mengingatkan kita akan kehendak Tuhan yang suci. Paulus dalam Surat
Roma 2:14-16 menunujukkan bahwa bangsa-bangsa kafir, walaupun belum memunyai
pengetahuan tentang Hukum Taurat, tidak kehilangan sama sekali kesadaran akan
yang baik dan yang jahat. Isi Taurat atau “pekerjaan Hukum Taurat” tertulis di
dalam hatinya, dan suara hatinya bersaksi demikian dengan mempersalahkan dan
membenarkan. Kedua, hendaklah kita
perhatikan bahwa ada ada beberapa persekutuan yang beradat istiadat, dimana
pengaruh Hukum Taurat dan Injil telah tampak jelas sekali. Ketiga, hendaklah kita perhatikan bahwa pengaruh adat istiadat di
dalam persekutruan suku yang kuno itu makin lama makin berkurang. Perhubungan
di antara suku-suku makin bertambah.
Hubungan dengan peradaban dunia makin berlipat ganda. Makin banyak terjadi
percampuran “bentuk-bentuk kebudayaan”.
Ajaran
tentang hukum kodrat dan hukum susila
kodrati. Ajaran ini terdapat dalam berbagai bentuk. Di negeri Barat paham
“hukum kodrat” (jus natural) dan “hukum susila kodrati” (ethica naturalis)
mula-mula terdapat di dalam filsafat Yunani, khususnya dalam apa yang disebut
dengan Stoa. Menurut Stoa, budi (logos atau
ratio) dapat membaca dan merumuskan
peraturan-peraturan alam dari alam itu sendiri. Menurut mereka, kodrat manusia
itu baik, dan sesuai dengan kodratnya itu, manusia dapat berbuat yang baik, dan
dengan demikian cita-cita orang yang berhikmatdapat dibuat nyata. Menurut Stoa,
orang berhikmat yang sejati ialah orang yang berbuat baik dengan tidak tergerak
hatinya oleh perasaan apapun juga (apatheia
dan autarkeia). Berpangkal pada
pandangan-pandangan filsafat itu, maka golongan Stoa berusaha membentuk sebuah
susunan tentang hak dan kewajiban manusia (lex
naturalis dan ethica naturalis).
Filsafat
Thomas Aquino ini membedakan di dalam manusia suatu “kodrat” (alam) dan “kodrat
atas” (alam atas). Oleh sebab dosa, maka manusia telah kehilangan “kodrat atas”
itu. Hanya dengan sakramen-sakramen gerejani saja manusia dapat menerima
kembali “kodrat atas” itu. Tetapi menurut ajaran Thomas, “kodrat” manusia itu
tidak rusak sama sekali (radikal)
oleh dosa itu. Paulus berkata, bahwa kodrat manusia telah rusak sama sekali
oleh karena dosa, bahwa manusia telah “mati di dalam dosa dan kejahatan”, dan
lagi bahwa akal budi manusia telah rusak sedemikian rupa, hingga kodrat akal
budi itu sendiri menentang kebenaran Allah serta memperhambakan diri kepada
kebohongan, dan akibatnya ialah bahwa hati manusia menjadi gelap oleh sebab
pikiran-pikiran akal budinya.
Hukum
kodrat dalam arti yang lebih luas meliputi segala peraturan yang menurut ajaran
Thomisme, dibebankan kepada manusia oleh “hukum susila kodrati”. “Hukum kodrat
di dalam arti yang lebih luas” ini sama dengan “hukum susila kodrati”, dan di
dalam Thoisme hukum itu tidak hanya mengatur hubungan-hubungan antara manusia
dan manusia tetapi juga hubungan antara
manusia dan Tuhan dan antara manusia dengan dirinya sendiri. Keberatan kami
terhadap teori-teori Thomistis ini adalah bahwa pandangan Thomisme tentang kodrat
manusia adalah terlalu optimistis. Juga pandangannya tentang fungsi akal budi
adalah terlalu optimis. Kodrat kita telah rusak sampai pada dasar-dasarnya oleh
sebab dosa, dan akal budi kita merupakan suatu pedoman yang tak dapat
dipercaya, sehingga kita dapat tersesat, bila berlayar berdasarkan pedoman itu.
Mencari
“yang baik” berarti mencari Tuhan. Hanya Tuhanlah yang baik. Dan hanya Tuhanlah
yang tahu apa yang baik itu. Tuhan telah memberi jawaban atas pertanyaan apakah
yang baik itu. “Hai manusia, telah diberitahukan kepadamu apa yang baik. Dari
apakah yang dituntut Tuhan daripadamu…” (Mikha 6:8). Dan jawaban atas
pertanyaan apakah yang baik itu, hanya dapat diterima oleh manusia, apabila ia
mendengarkan Firman Tuhan. Bagaimanakah manusia dapat mengetahui kehendak
Tuhan? Tak dapat disangsikan bahwa rahasia pengetahuan ini terletak pada
pergaulannya dengan Tuhan yang menciptakan manusia menurut gambar-Nya. Ketika
manusia hanya mau menjadi gambar Allah saja dan tidak mau menjadi sama seperti
Allah, maka terdapatlah di antara Tuhan dan manusia suatu persekutuan yang
tidak terganggu, yang perjanjian yang erat suatu hubungan kasih, maka tahulah
ia akan kehendak ”Kekasihnya”, kehendak peserta di dalam perjanjian tadi.
Paulus
berkata bahwa Tuhan tetap menyatakan diri sebagai Pencipta kepada segala bangsa
pada segala zaman, juga kepada mereka yang tidak kenal Hukum Taurat dan
nabi-nabi. Dan Tuhan tetap bekerja terus di dalam hati manusia serta “menulis
pekerjaan Taurat di dalam hatinya“ (Rm 2:15; Rm 1:18,19). Di dalam firman Tuhan
dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, diberitahukan kepada kita, apa yang
baik itu. Bukan suara alam yang berkata di situ, bukan pula suara akal budi,
bukan suara perasaan, bukan suara bangsa kita, bukan pula suara golongan kita.
Yang bersuara di situ ialah Dia yang hanya baik semata-mata: Allah
(Mrk 10:18).
Gereja
Kristen dipanggil untuk menyususn suatu Etika
Kristen yang oikumenis. Gereja-gereja pun dipanggil untuk menyadari
bersama-sama, betapa tinggi dan dalam, panjang dan lebar perintah Tuhan yang
berlaku bagi segala bangsa di dalam tiap-tiap keadaan. Kita tidak hanya perlu
sadar secara oikumenis akan “faith and order” (iman dan tata tertib) gereja,
tetapi perlu juga sadar akan perlunya Etika
yang oikumenis. Masalah dunia yang termasuk juga di dalam Etika, seperti
pengaturan kelahiran, soal perang, soal perbedaan kulit dan lain-lain. Apabila gereja-gereja bekerja bersama-sama
untuk menyusun etika oikumenis ini,
maka buah hasilnya akan merupakan suatu sumbangan bagi pembentukan ukuran dan
norma kesusilaan.
BAB
V KEDUDUKAN DAN FUNGSI HUKUM TAURAT
DI
DALAM PENYATAAN ALLAH
Firman Allah, yang datang kepada kita di
dalam Perjanjian Lama dan Baru, harus dibagi dalam Hukum Taurat dan Injil (Law and Gospel). Di dalam Alkitab tidak
pernah Injil diberitakan tanpa Hukum Taurat, demikian pula sebaliknya. Seluruh
penyataan Allah adalah selalu rangkap dua. Di dalam Perjanjian Lama dan Baru,
Tuhan selalu berfirman dengan dua
perkataan yakni Hukum Taurat dan Injil, Injil dan Hukum Taurat, anugerah dan
perintah, keselamatan dan suruhan, memberi dan menugaskan.
Salah satu di antara pokok-pokok
pembicaraan yang diperdebatkan panjang lebar di dalam sejarah gereja dan
teologi, ialah masalah tentang hubungan antara Hukum Taurat dan Injil. Pertama, di dalam sejarah gereja,
apalagi pada abad-abad yang pertama, nisbah antara Hukum Taurat dan Injil kerapkali disamakan dengan nisbah antara
Perjanjian Lama dan Baru. Lalu Perjanjian Lama itu dipandang sebagai Kitab
Hukum Taurat dan Perjanjian Baru sebagai Kitab Injil. Gambaran ini bertentangan
dengan kenyataan. Barangsiapa memperhadapkan Perjanjian Lama dengan Perjanjian
Baru sebagai Hukum Taurat dan Injil. Kedua,
di dalam sejarah gereja dan teologi, hubungan antara Hukum Taurat dan Injil
kerapkali digambarkan sebagai anti tesis
yang mutlak. Di dalam teologi Lutheran kerapkali ditekankan anti tesis ini.
Luther berkata bahwa Hukum Taurat menimbulkanketakutan dan bahwa Hukum Taurat
adalah medium atau perantara murka Allah. Akan tetapi pandangan ini melupakan
satu hal, yakni jika kita hidup dari Anugerah Allah, maka kita tidak dapat
terlepas dari Hukum Taurat. Jadi Hukum
Taurat memang tidak merupakan syarat lagi untuk keselamatan kita, namun
menjadi norma untuk kehidupan syukuri
kita. Martin Luther sendiri telah menekankan hal itu berulang-ulang.
Ahli-ahli teologi Lutheran yang kemudian yang telah melupakannya. Ketiga, di dalam teologi Karl Barth,
tampak pandangan yang bertentangan sama sekali. Barth memandang Hukum Taurat
dan Injil itu bukanlah sebagai suatu anti
tesis, tetapi ia memandang Hukum Taurat sebagai bentuk Injil, yang berisikan anugerah. Keempat, H. Berkhof di dalam salah satu tulisannya: Crisis der middenorthodoxie, pernah
mengingatkan dengan tepat, bahwa apa yang dikatakan tentang hubungan antara
Hukum Taurat dan Injil dapat dirumuskan dengan rumus yang dipakai oleh konsili
Chalcedon untuk kedua “kodrat” atau tabiat Kristus, yaitu “tidak tercampur,
tidak berubah, tidak terpisah”. Hukum Taurat berkata, “Terkutuklah setiap orang
yang tiada tekun melakukan segala sesuatu yang tersurat di dalam Kitab Taurat”.
Injil berkata, “Kristus telah menebus kita dari kutuk hukum Taurat dengan jalan
menjadi kutuk karena kita, sebab ada tertulis: terkutuklah orang yang digantung
pada kayu salib!” (Galatia 3:13).
Para reformator, Luther dan Calvin
sungguh-sungguh fungsi-fungsi Hukum Taurat itu dan mereka berbicara tentang Triplex usus legis, artinya: tiga cara
mempergunakan Hukum Taurat. Ketiga fungsi Hukum Taurat itu diterangkan dengan
istilah-istilah yang berikut: 1) Usus
elenchticus (fungsi menginsafkan akan
kesalahan) yang disebut usus
paedagogicus; 2) usus normativus atau usus didacticus (Hukum Taurat itu memunyai
fungsi sebagai norma untuk hidup baru atau sebagai norma bersyukur) dan 3) Usus politicus atau usus civilis (fungsi Hukum taurat sebagai cermin yang mencerminkan
keadilan Tuhan di dalam masyarakat dan Negara.
BAB
VI HUKUM TAURAT DALAM BENTUK-BENTUK
HISTORISNYA
Tuhan adalah Allah yang hidup, yang
mengadakan hubungan yang nyata dengan manusia. Tuhan bukanlah suatu “prinsip
susila” yang tidak berpribadi. Tuhan bukanlah suatu “tata tertib dunia
kesusilaan” yang tidak berpribadi. Dalam Kitab mikha 6:8, disitu Nabi Mikha seolah-olah
berkata, “Tidak perlu Tuhan telah berfirman dan Ia tetap setia kepada
firman-Nya. Kata Nabi Yesaya, “Tidakkah diberitahukan kepadamu dari mulanya?”
(Yes 40:21b). Hal yang sama kita jumpai juga di dalam “Khotbah di Bukit”.
Ketika Yesus menerangkan Hukum Taurat, Ia bertolak dari Hukum Taurat Musa dan
berkata, “Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang bukan untuk meniadakannya,
melainkan untuk menggenapinya. Karena Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya selama
belum lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titik pun tidak akan
ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi” (Mat 5:17-18).
Di dalam Kitab Perjanjian Lama, Hukum
Taurat itu biasanya disebut “Tora”. Kata
Ibrani ini asalnya dari kata kerja hora
artinya mengajar, menunjukkan. Mengenai
isinya, terdapatlah terutama 3 golongan hukum-hukum dan perintah-perintah. Pertama: Dekalog atau Dasatitah, yakni Kesepuluh Titah Tuhan yang di dalam bahasa Ibrani
disebut “aseret had-d’barim”,
Kesepuluh Firman (dabar berarti
perkataan, titah atau firman, yaitu di dalam arti norma). Dasatitah itu harus dipandang sebagai ringkasan seluruh
Hukum Taurat. Kedua: misypatim, yakni
undang-undang hukum sipil, yang mengatur kehidupan umat Tuhan sebagai “warga
Negara” (peraturan-peraturan tentang janda dan yatim piatu, orang-orang miskin,
budak belian, orang-orang asing, orang sakit dan lain-lain). Ketiga: khuqqim, yakni undang-undang yang berisi
ketetapan-ketetapan tentang kebaktian
(ketetapan-ketetapan tentang bait suci, kurban-kurban, hari-hari raya).
Dasatitah itu adalah berhubungan
dengan perjanjian (berith). Keempat
titah yang pertama memberi penerangan
tentang hubungan kita dengan Sang Kepala Perjanjian, yaitu Tuhan Allah kita.
Keenam titah berikutnya memberi
penerangan tentang hubungan antara para anggota perjanjian itu. Di dalam titah
yang pertama, Tuhan melarang umat-Nya
untuk keselamatan hidup mereka sendiri mengadakan hubungan dengan
kekuasaan-kekuasaan dan allah lain. Titah yang kedua, Tuhan melarang manusia menyembah Dia “menurut cara sendiri”.
Manusia tidak boleh mencari sesuatu yang menggambarkan Yahweh, baik di langit
maupun di bumi ataupun di dalam air, sebab barangsiapa mencari atau membuat
patung untuk maksud itu, maka ia sebenarnya mencoba menguasai ke-Allahan Tuhan.
Titah ketiga, meperkenankan
anggota-anggota umat Tuhan memanggil nama Tuhan dengan kepercayaan serta
melarang menyalahgunakan nama Tuhan. Memanggil nama Tuhan dengan percaya
mendatangkan kebahagiaan. Titah keempat
memerintahkan adanya kerja dan istirahat yang silih berganti dengan teratur,
dengan irama yang tetap. Barangsiapa menyalahgunakan hari Sabat, maka ia
sebenarnya merampas waktu Tuhan; dan barangsiapa yang menguduskan hari Sabat
berarti di dalam hari Sabat itu semua hari lainnya diberkati.
Titah kelima, Tuhan menyatakan kekuasaan-Nya atas kehidupan keluarga, dan
kehidupan keluarga itu ditempatkan-Nya di bawah janji-janji dan
tuntutan-tuntutan-Nya. Di dalam titah yang keenam
Tuhan melindungi hidup manusia terhadap mengamuknya kebencian di dalam
pembunuhan. Titah ketujuh, Tuhan
melindungi perkawinan terhadap ketidaksetiaan yang menghebat di dalam
perceraian. Di dalam titah yang kedelapan
Tuhan melindungi milik manusia terhadap pencurian. Titah kesembilan Tuhan melindungi nama manusia terhadap saksi palsu yang
dapat merusak hidup. Dan titah kesepuluh Tuhan memberikan penerangan tentang
motif-motif yang menjadi dasar-dasar perbuatan kita dan Ia memanggil kita untuk
berjuang melawan segala keinginan yang tidak sah. Di dalam titah yang kesepuluh itu Tuhan, Allah kita menuntut hak atas inti
hidup kita, kehendak kita, pikiran kita, perasaan kita, keinginan kita dan hati
kita.
Kunci untuk mengetahui sikap Yesus
terhadap Hukum Taurat, pelaksanaan Hukum Taurat oleh orang yahudi dan
interpretasi Hukum Taurat oleh ahli-ahli kitab Taurat terletak pada rahasia
Yesus sebagai Mesias. Di dalam Yesus,
Injil telah menjadi nyata. Yesus sendirilah Injil itu. Di dalam Yesus. Hukum
Taurat telah digenapi dan oleh-Nya Huku7m Taurat itu telah digenapi pula di
dalam mereka yang ada di dalam-Nya.”Sebab Hukum Taurat diberikan oleh Musa,
tetapi kasih karunia dan kebenaran datang oleh Yesus kristus” (Yoh 1:17).
Di
dalam surat-surat Paulus seringkali dibicarakan tentang Hukum taurat. Tuhan
telah menyatakan kehendak-Nya kepada manusia. Walaupun Hukum Taurat itu baru
datang kepada manusia sesudah Tuhan memberikan janji-janji-Nya kepada Abraham
dan setelah diadakan-Nya perjanjian, namun di antara bangsa-bangsa terdapat
juga pengetahuan sedikit tentang Hukum Taurat. Tidak ada seorang pun yang
memenuhi tuntutan Hukum Taurat ini. “Tidak ada yang benar, seorang pun tidak”
(Rm 3:10). Baik orang Yahudi maupun orang Yunani, baik Israel maupun
bangsa-bangsa kafir lainnya sekaliannya sudah berbuat dosa dan sekaliannya
kehilangan kemuliaan dari Allah. Dari mengerjakan Hukum Taurat itu tidak ada
juga daging yang akan dibenarkan di hadapan Allah (Rm 3:11, 20). Akan tetapi,
yang menjadi Injil ialah bahwa “sekarang, tanpa hukum Taurat kebenaran Allah telah
dinyatakan” (Rm 3:21).
Yesus
Kristuslah tujuan hukum Taurat (Rm 10:4). Segala yang disebutkan dalam
perjanjian, janji-janji dan Hukum Taurat di dalam Perjanjian Lama, diarahkan
kepada-Nya. Kristus telah menjadi kutuk karena kita (Gal 3:13; 2 Kor 5:21). Segala
tuntutan Hukum Taurat telah dipenuhi-Nya. Apakah itu berarti bahwa kita kini
telah terlepas dari Hukum Taurat? Tidak. Barangsiapa hidup dari kasih Allah di
dalam Kristus, ia akan mengenal Hukum Taurat dan mengakuinya sebagai norma
untuk bersyukur. Seluruh kehidupan itu diteranginya dari sudut kasih setia, dari sudut anugerah. Tidak seorang pun ditariknya
kembali kepada kehidupan di bawah Hukum Taurat.
Yang
dibicarakan di dalam Surat Yakobus bukanlah seperti di dalam surat-surat Paulus
tentang hubungan antara iman dan Taurat, melainkan tentang iman dan perbuatan. Iman
yang hidup tentu ternyata di dalam
perbuatan. Kasih setia yang tidak mengubah hidup, bukanlah kasih setia. Di
dalam surat-surat Paulus tak pernah iman digambarkan sebagai sesuatu yang
membuat kita berpeluk tangan dan menganggur. Iman yang hidup dari anugerah,
iman itu bekerja oleh sebab kasih, demikian kata Paulus (Gal 5:6). Apa yang
disebut Rasul Yakobus “iman yang mati”, yaitu iman tanpa perbuatan, itu
tidak dibicarakan di dalam surat-surat Paulus. Iman yang sejati itu hidup dan
berbuat. Soal pokoknya bukanlah mendengar tanpa berbuat, tetapi mendengar dan berbuat. Firman sebagai yang telah datang kepada kita di dalam
Injil dan Hukum Taurat, haruslah meresap ke dalam hidup dan keadaan kita.
Firman itu mau menjadi bagian hidup kita yang tidak dapat terpisahkan lagi. Ia ingin dan harus menjelma di
dalam hidup kita. Seharusnya diubah menjadi perbuatan-perbuatan.
BAB
VII POKOK HUKUM TAURAT
Isi Injil dapat disimpulkan dalam satu
kalimat: Allah adalah kasih. Bukan
kita yang mengasihi Allah, tetapi Allahlah yang mengasihi kita dan kasih-Nya
tetap dicurahkan terus kepada kita. Kasihg-nya tak kunjung padam. Hukum Taurat
dapat juga disimpulkan dalam satu kalimat: di
dalam Hukum Taurat-Nya, Allah menuntut kasih: “Kasih itu adalah kegenapan
Hukum Taurat”. Allah menuntut apa yang diberikan-Nya, yakni kasih. Dalam Perjanjian Baru , Yesus
bertolak kembali dari perumusan itu, “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap
hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum
yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu,
ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum
inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi” (Mat 22:37-40).
Yesus berfirman: ada dua buah perintah. Tetapi kedua perintah itu merupakan
dwi-tunggal. Jika kita mengatakan bahwa kita mengasihi Allah, tetapi tidak
mengasihi sesama manusia , maka pada hakikatnya kita tidak mengasihi Allah.
Sebab Allah mengasihi manusia. Allah berkenan kepada manusia. Siapa mengasihi
Allah haruslah pula mengasihi manusia yang telah dijadikan menurut gambar-Nya.
Apakah artinya mengasihi Allah? Menurut Alkitab, artinya adalah membalas kasih
Allah kepada kita. “Kita mengasihi, karena Allah terlebih dahulu mengasihi
kita. Dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita”
(1 Yoh 4:19;1 Yoh 4:10). Mengasihi Allah berarti hidup dari kasih-Nya, yakni
dikuasai oleh anugerah Allah. Mengasihi Allah ialah menerima dan memberi lagi,
disayangi dan menyayangi. Tepat sekali peringatan Söe di dalam Ethieknya, bahwa jika usaha mengasihi
Allah itu menjadi tipis atau kabur, maka usaha mengasihi sesama manusia pun
menjadi tipis atau kabur juga. Ia bertanya, “Apakah kasih kepada sesama manusia
itu tumbuh sejak berkurangnya kasih kepada Allah dan bekunya usaha mengasihi
ini?”.
Apa yang dimaksud dengan kasih kepada
sesama manusia di dalam Alkitab, dapat kita lihat dari perumpamaan “Orang
Samaria yang Murah Hati” yang menaruh belas kasihan. Bertanyalah seorang ahli
Taurat, siapakah gerangan sesama manusianya itu. Ia menyangka dapat menjawab
sendiri pertanyaan itu. Jawabnya di dalam kehidupan sehari-hari adalah: “Aku memilih sesamaku manusianya itu. Sesamaku
manusia ialah: bangsaku sendiri dan di dalam lingkungan bangsa yang kuutamakan,
yakni orang dari golonganku sendiri”. Tetapi di dalam perumpamaan “Orang
Samaria yang Murah Hati” itu, Tuhan Yesus menyatakan bahwa bukanlah kita
sendiri yang menentukan, siapa yang menjadi sesama manusia kita. Allah juga
yang menentukan untuk siapa kita layak
menjadi sesama manusia. Sesama manusia ialah misalnya orang yang sedang
menderita kesukaran, yang ditempatkan Allah pada jalan hidup kita. Kita harus
menjadi sesama manusia orang itu demi kehendak Allah.
Ketika Paulus di dalam mimpinya
mendengar orang Makedonia berseru: “Datanglah dan tolonglah kami”, maka ia
mendengar seruan orang yang tergolong “orang yang terjauh”, jika dilihat dari
Asia Kecil. Paulus suka membatyasi kasih akan sesama manusia itu pada
golongan-golongan yang dikenalnya, bangsa-bangsa Sem dan orang-orang Asia
Kecil. Tetapi Allah sudah menjelaskan kepadanya pada malam itu, bahwa ia harus
pula menjadi sesama manusia bagi bangsa Eropa.
Kasihilah sesamamu manusia seperti
dirimu sendiri. “Kasih kepada diri sendiri yang sejati ialah patuh pada
perintah yang besar dan terutama” (Söe). Biji gandum menghasilkan buahnya, bila
ia mati tertanam dalam tanah. Kasih kepada diri sendiri yang sejati tumbuh
seimbang dengan kematian kasih kepada diri sendiri yang sia-sia. Barangsiapa
yang menyangkal diri sendiri, maka ia akan menemukan bahwa jalan penyangkalan
diri dan penyerahan diri kepada Yesus adalah jalan keselamatan, juga bagi hidup
kita sendiri.
BAB VIII PELAKSANAAN DAN PENGENAAN HUKUM
TAURAT
DALAM HIDUP ORANG BERIMAN
Kata
“kasuistik” berasal dari kata Latin casus,artinya
hal (peristiwa, perkara). Yang
dimaksudkan dengan kasuistik ialah usaha “mempergunakan hukum pada
bermacam-macam hal” dengan alasan dan cara-cara yang berdalil yang tertentu.
Soal pokok di dalam kasuistik ini tidak terletak pada pertanyaan: Bolehkah
manusia berbuat dosa?, tetapi terletak pada pertanyaan: “Sampai dimanakah manusia boleh ‘mendekati’ dosa itu?” Makin dekat
manusia kepada dosa, makin berbahayalah baginya, tetapi demikianlah kata
golongan Yesuit itu, ada berbagai soal yang berada di perbatasan, sehingga
tidak mungkin lagi menentukan dengan pasti, apakah suatu perbuatan tertentu itu
baik ataukah jahat.
Kasuistik
ini ditentang, terutama oleh Pascal, seorang ahli pikir Kristen yang termasyur,
di dalam tulisan-tulisannya yang terkenal, yakni “surat-surat yang menentang
golongan Yesuit” (Letter Provinciales
dan Letters contre les Jesuites).
Tuduhan Pascal terhadap kasuistik itu ialah, bahwa kasuistik itu mau mencari
kompromi antara perintah-perintah Tuhan dan praktik hidup yang berdosa. Tak
kurang hebatnya serangan Calvin terhadap kasuistik itu. Disebutnya kasuistik
itu suatu “jerat untuk mencekik jiwa manusia”. Ia mengatakan bahwa bahwa
kasuistik ini memperhambakan manusia kepada manusia. Ia mengatakan tentang
suatu kekuasaan yang sangat berbahaya, yang merugikan kemerdekaan di dalam
Kristus dan merugikan wibawa Kristus atas kehidupan manusia.
Berdasarkan
Alkitab keberatan-keberatan apakah yang harus diajukan terhadap kasuistik?
1)
Keberatan
terhadap segala macam kasuistik ialah bahwa yang ditekankan bukanlah
tuntutan-tuntutan Hukum Taurat yang terdalam,
yakni:kasih, belas kasihan dan kesetiaan, tetapi dosa senangtiasa dicari
secara lahiriah (Matius 23:23). Puritanisme misalnya, hanya sangat
memperhatikan soal-soal seperti bermain kartu, mengunjungi gedung kesenian,
dansa dan sebagainya, tetapi dosa yang menggerumit di dalm hati seperti:tanpa
kasih, kikir, bohong, tipu sangat sedikit atau sama sekali tidak digubris; 2) bahwa
yang diperhatikan hanya perbuatan hanyalah perbuatan lahir saja, bukan hati.
Kasuistik mematikan kemerdekaan rohani dan tanggung jawab perseorangan.
Kasuistik itu mengikat kita kepada wibawa seorang rabi, imam, kepala adat,
pendeta, paus atau siapapun juga, tetapi tidak menempatkan diri kita di hadirat
Tuhan dan tidak mendidik kita mengambil keputusan di hadirat-Nya; 3) Kasuistik menganggap
Hukum Taurat sebagai semacam semacam kitab pegangan untuk mencari pemecahan
soal-soal kesusilaan kita. Kasuistik lupa bahwa hukum Taurat itu merupakan
kenyataan kehendak Tuhan.
Dengan menolak
kasuistik sebagai pemecahan semu, maka perlu dikemukan jalan yang ditunjukkan
Alkitab yaitu: a) pimpinan Roh Kudus.
Yesus berkata bahwa Roh Kudus akan mengambil yang Dia punya, dan akan
menunjukkan kepada kita jalan kebenaran yang sepenuhnya. Roh Kudus membuat
actual Injil dan Hukum Taurat yang dinyatakan kepada kita dalam Yesus Kristus.
Ia melanjutkan pekerjaan Yesus. Roh Kudus itu pun mengikutkan kita di dalam
pelaksanaan perintah-perintah Tuhan; b) Mencari
kehendak Allah:Roma 12:2, “…sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak
Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna?” Kata dokimadzein dalam bahasa Yunani berarti
dapat membedakan, menguji, menyelidiki, mengupas, menganalisis dan memilih. Roh
Kudus menggerakkan kita supaya berdoa
di dalam mencari kehendak Tuhan. Ia menghendaki supaya kita mempergunakan akal
kita, supaya kita memperhatikan dan mengamat-mengamati keadaan dengan seksama,
supaya kita mencari dan menyelidiki kehendak Tuhan dengan perasaan yang halus dan tajam; c) bantuan dari pihak “persekutuan segala orang kudus”. Di dalam
mencari kehendak Tuhan, orang Kristen pun dipanggil untuk saling menolong; d) mengambil keputusan menurut keinsafan batin
di hadirat Allah. Kita sekalian dipanggil supaya mengambil keputusan
dihadapan Tuhan menurut suara hati yang
bersih (Roma 14:5).
BAB IX
HIDUP BARU
Sumber-sumber hidup baru
diantaranya adalah: a) Pembenaran oleh
iman (justification sola fide). Bahwa manusia tidak dapat dibenarkan
dengan melakukan tuntutan Taurat; b) Pengudusan
(sanctification) hidup kita oleh Tuhan Yesus dan Roh Kudus.
Kristus telah diberikan kepada kita dan menjadi pengudusan kita. Dalam Yohanes
15 misalnya kita jumpai firman Tuhan Yesus kepada murid-murid-Nya sebagai
berikut: “Kamu memang sudah bersih karena firman yang telah Kukatakan kepadamu”
(Yoh 15:3). Pengudusan bukanlah hasil daya upaya manusia, tetapi dari permulaan
sampai akhirnya pengudusan itu adalah pekerjaan Yesus Kristus dan Roh Kudus.
Kepada anak-anak Allah, yang di dunia ini sedang dalam perjalanan hidupnya,
diberikan doa berkat rasuli sebagai bekalnya, yakni: “Kasih karunia Tuhan Yesus Kristus, dan kasih Allah dan persekutuan Roh
Kudus menyertai kamu sekalian” (2
Kor 13:13). Tanpa kasih karunia, tanpa kasih, tanpa persekutuan, tak mungkinlah
hidup baru itu!
Beberapa
aliran dalam gereja Kristen beranggapan, bahwa kesempurnaan dan keadaan tak
berdosa sama sekali itu sudah dapat dicapai di dalam batas-batas kehidupan di
dunia ini. Aliran ini disebut perfeksionisme
(artinya sempurna). Ada juga aliran-aliran yang bertendensi perfeksionisme,
walaupun tendensi itu tidak menguasai
seluruhnya, misalnya Metodisme.
Ayat-ayat dari Alkitab yang biasanya dikutip dalam kitab-kitab perfeksionistis
itu ialah:
1.
Pada
Galatia 6:15 Paulus berkata bahwa orang yang ada di dalam Kristus adalah suatu
“ciptaan baru”, yang lama sudah lampau.
2.
Tuhan
Yesus berfirman bahwa orang yang telah dimerdekakan oleh kebenaran, bukan lagi
seorang budak atau hamba, tetapi sungguh-sungguh merdeka (Yoh 8).
3.
Yesus
telah mengajukan tuntutan-Nya: Haruslah kamu sempurna seperti Bapamu yang di
sorga adalah sempurna (Mat 5:48).
4.
Paulus
mengadakan perbedaan antara orang yang masih muda, belum matang, belum sempurna
(1 Kor 2:6). Dalam surat Ibrani diadakan perbedaan antara orang yang masih “kanak-kanak”.
Menurut
Bonhoeffer, kompromi adalah sikap manusia yang menyesuaikan diri dengan dosa.
“Perfeksionisme berbuat seolah-olah akhir zaman telah tiba”. Kompromi menyerah
kepada keadaan dan kehilangan kerinduan akan hal yang masih akan datang, yakni:
kesempurnaan. Perfeksionisme tidak melihat kenyataan dosa. Kompromi tidak
melihat kenyataan “pekerjaan Kristus dan Roh Kudus”. Apabila kita
sungguh-sungguh hidup dari kasih karunia, maka kita tentu akan menolak baik
kompromi maupun perfeksionisme atau radikalisme. Dan berdoalah kitakepada Roh
Kudus: “Tuhan akan menyelesaikannya bagiku” (Mzm 138:8) dan “Yesus yang membawa
iman kita itu kepada kesempurnaan” (Ibr 12:2).
Kata
“tobat”terdapat dalam berbagai agama dan ibadat. Dalam agama Buddha kerapkali
dikatakan tentang tobat, tentang berpaling.
Barangsiapa berbalik , maka Buddha
telah bangun, bertobat, telah dapat “melihat”. Jadi, di
dalam agama Buddha, tobat itu berpaling dari kehidupan dunia dan menuju
nirwana. Di dalam agama Islam tawba adalah
berpaling dari dosa dan berjalan kebali kepada Tuhan. Di dalam agama Islam, tawba itu dipandang sebagai suatu
perbuatan yang berpahala. Makanya tawba
berarti: tidak lagi memikirkan siapapun
juga, kecuali Tuhan saja dan tertenggelam di dalam-Nya. Di dalam filsafat
Yunani, tobat (metanoia dan catharsis) berarti bahwa manusia
membersihkan batinnya dari segala keinginannya. Manusia haruslah membalikkan
batinnya, mengubah diri, membersihkan diri agar dengan demikian ia dapat mencapai
perdamaian dan kekebalan (Yunani: ataraxia;
Inggris: non-attachment). Haruslah
ia berbalik dari kebodohan kepada hikmat yang sejati, yang telah mencapai
kekebalan, tidak lagi memerlukan tobat, demikian pandangan filsafat Yunani.
Dalam Kitab
Perjanjian Lama terdengar panggilan atau seruan untuk bertobat, terutama pada
nabi-nabi Israel. Kata Ibrani untuk tobat ialah syub, artinya membalikkan diri, memalingkan diri, kembali. Istilah
yang plastis ini melukiskan di dalam angan-angan kita seorang manusia yang
berjalan kea rah yang salah. Pada suatu saat, jalannya terhenti oleh sesuatu,
lalu berbaliklah ia, kemudian melanjutkan perjalanannya kea rah yang benar.
Jadi tobat ialah suatu perubahan yang radikaldi dalam sikap kita terhadap
Tuhan.Apabila kita bertanya kepada nabi-nabi, “Siapakah yang mengerjakan
tobat?”, maka jawab mereka serempak: “Tuhanlah
yang mengerjakannya. Anugerah-Nya yang mengerjakannya, kasih-Nya,
setia-Nya, belas kasihan-Nya yang menggerakkan kita kepada tobat”.
Akan tetapi dalam
kitab Perjanjian Baru kita lihat, bahwa pada Yohanes Pembaptis dan Yesus, kata
tobat itu memunyai lagi arti yang dalam seperti yang terdapat pada nabi-nabi
Israel. Dalam KItab Perjanjian Baru terdapat dua kata Yunani untuk kata tobat
itu. Kedua kata itu saling melengkapi. Kata yang paling banyak dipakai ialah: metanoia,artinya: berubah di dalam.
Berkehendak, bertujuan, berkeinginan dan bercita-cita lain daripada dulu. Kata
lainnya ialah: epistrophe artinya
berbalik dan juga berkelakuan lain
daripada dulu si dalam praktik kehidupan. Metanoia adalah pemberian dan panggilan juga. Panggilan
kepada tobat barulah dapat dipahami dan ditaati di mana pemberian (yang berupa
tobat itu) diterima secara kanak-kanak menerimanya.
Apakah sebenarnya
yang dimaksudkan Paulus dengan kematian atau mematikan atau menanggalkan
manusia lama? Mematikan manusia lama adalah pertama-tama
dengan tulus hati menyesali dosa. Barangsiapa hanya menyesal karena
dosanya, ia tidak menyesal dengan sungguh hati. Menyesal dengan sungguh hati
dan dengan tulus hati ialah menyesali dosa itu sendiri dan menyesali
pelanggaran terhadap kasih dan kesetiaan Tuhan. Yang mengherankan dalam Mazmur
51, penyesalan dosa ini ialah bahwa unsure yang terdalam bukanlah takut akan hukuman, bukan pula takut akan akibat-akibat
dosa itu, bukan pula takut akan merosotnya derajatnya di mata manusia, tetapi
yang menyebabkan kepedihan hatinya sedalam itu ialah bahwa ia telah merusak
hubungannya dengan Tuhan (Mzm 51:6). Gejala kedua
dari kematian manusia lama ialah: pengakuan
dosa. Dimana Yesus mengerjakan penyesalan yang sungguh-sungguh di dalam
hati kita, maka di situlah pula penyesalan itu diikuti oleh pengakuan dosa. Pengakuan
dosa si anak yang hilang barulah sungguh-sungguh dan dengan tulus hati, ketika
tangan ayahnya memeluknya dan setelah diberinya cium pengampunan (Luk 15).
Tidak seorang pun yang dapat bersikeras dan bersitegang leher, setelah ia
mengenal pengampunan itu. Bagi bapa yang menerima kembali anak-anaknya yang
hilang, akan terbukalah banyak hati dan mulut untuk mengucapkan pengakuan
dosa.Hal yang ketiga dari kematian manusia
lama ialah “membenci dan menjauhkan diri
dari dosa”. Tobat dengan
sungguh-sungguh adalah selalu bersamaan dengan dan disertai oleh “membenci dan
menjauhkan diri dari dosa”. Bertobat dengan sungguh hati tidak berarti menyerah
saja kepada dosa, tetapi bergumul, berjuang mati-matian, berperang melawan dosa
dengan kesadaran bahwa Yesus adalah Pemenang. Membenci dan menolak dosa ini
berlangsung terus sampai akhir hidup kita.
Tobat tidak
hanya terdiri dari kematian manusia lama dan “pembunuhan” tabiat kita yang lama secara aktif, tetapi juga dari “kebangkitan manusia baru.” Di dalam
Katekismus Heidelberg berdasarkan Alkitab, bunyinya: “Itulah kesukaan
sepenuhnya dalam Allah karena Kristus serta kasih dan keinginan akan hidup
menurut kehendak Allah dan bermuat amalan”. Di dalam Alkitab setiap kali
seolah-olah terdengarlah suara reveil (tanda harus bangun): Bangunlah!
Tanggalkan pakaian tua, pakaian dosa itu! Kenakanlah manusia baru. Dengan
kekuatan kebangkitan Kristus (Efesus 4:22-24).
BAB X SEGI-SEGI HIDUP BARU
Di dalam sejarah
Etika Kristen hidup baru itu sering dirumuskan dengan mengikut Kristus. Perumusan ini sangat penting, karena ada dua
macam sebab. Pertama, karena di dalam perumusan ini hubungan yang erat antara
hidup baru dan Yesus Kristus kelihatan sangat jelas. Di dalam berbagai
perumusan tentang hidup baru dan Taurat. Di dalam perumusan “mengikut Kristus”
diterangkan hubungan antara Yesus dan hidup baru. Dialah pokok anggur dan kita
ranting-rantingnya (Yoh 15). Barangsiapa mengikuti Kristus, maka yang diikuti
ialah Dia yang dibuang dan disalibkan
oleh dunia.
Menurut
Perjanjian Lama, istilah “mengikut” dengan jelas dalam pergumulan antara Nabi
Elia dengan nabi-nabi Baal di Bukit Karmel (1 Raj 18). Di situ bangsa Israel
disuruh memilih: “Berapa lama lagi kamu berlaku timpang dan bercabang hati?
Kalau Tuhan itu Allah, ikutlah Dia, dan kalau Baal, ikutlah dia.” Di dalam
Perjanjian Baru, “ikutlah Aku”, itulah panggilan yang dipakai oleh Yesus untuk mengumpulkan murid-murid-Nya.
Panggilan itu tidak berarti, bahwa Yesus meminta murid-murid-Nya supaya mereka
meniru-niru Dia, tetapi supaya mereka menyerahkan diri kepada-Nya dan berjalan
di jalan yang ditempuh-Nya (Markus 8:34-35). Segala yang diajarkan Alkitab
kepada kita tentang mengikut Kristus itu oleh Martin Luther disimpulkan dalam
rumus singkat bahasa Latin, sebagai berikut: Non imitation fecit filios, sed filiatio fecit imitators. Artinya:
“Mengikut Kristus tidak membuat kita menjadi anak-anak Allah, tetapi
diterimanya kita menjadi anak-anak itulah yang membuat kita menjadi
pengikut-pengikut Kristus”.
Segi-segi yang
diterangkan di dalam istilah “mengikut Kristus” ini ialah: 1) Kehidupan Kristen
ialah hidup di bawah anugerah kekuasaan Yesus Tuhan yang disalibkan dan bangkit
kembali dari mati; 2) kehidupan yang memunyai tanda-tanda “penyangkalan diri”
dan “mengangkat salib”; 3) kehidupan Kristen membuat kita menjadi “orang asing”
di dunia ini karena kita mengikut Yesus. “Karena kewargaan kita adalah di dalm
sorga, dan dari situ juga kita menantikan Tuhan Yesus Kristus sebagai
Juruselamat” (Filipi 3:20; Ibrani 11); 4) Barangsiap mengikut Yesus, ia ikut
pula di dalam sengsara Yesus Kristus; 5) Yesus Kristus bukan hanya menjadi
Pembebas dan Pendamai bagi mereka yang mengikut-Nya, tetapi Ia pun menjadi teladan
bagi mereka.
Sesungguhnya
Kristus telah membebaskan kita dari kutuk Taurat; itu tidak berarti bahwa
Taurat telah kehilangan segala artinya di dalam hidup orang-orang beriman.
Anugerah Yesus Kristus menimbulkan suatu keajaiban, suatu mukjizat, yakni: bahwa
anugerah, yang membebaskan kita dari ancaman dan kutuk, menggerakkan kita juga
kepada ketaatan dengan sukarela kepada perintah-perintah Tuhan. Paulus
menguraikan tentang kebebasan, maka ditulisnyalah: “Jika demikian, apakah yang
hendak kita katakan? Bolehkah kita
bertekun dalam dosa, supaya bertambah kasih karunia itu?. Sekali-kali tidak!
Bukankah kita telah mati bagi dosa, bagaimanakah kita masih dapat hidup di
dalamnya?” (Roma 6:1-2). Kristus telah membebaskan kita dari kutuk hukum Taurat
“supaya tuntutan hukum Taurat digenapi di dalam kita, yang tidak hidup menurut
daging, tetapi menurut Roh” (Roma 8:4). Anugerah itu tidak meniadakan
(membatalkan) hukum Taurat, tetapi Taurat itu diteguhkannya. Oleh anugerah itu
terjadilah ketaatan sukarela kepada hukum Taurat.
Ringkasan
tentang soal kebebasan Kristen di dalam praktik hidup. “Segala sesuatu itu
halal”. Ya segala sesuatu! Segala sesuatu yang sesuai di dalam lingkungan
kekuasaan Yesus, yang anugerah-Nya boleh kita terima menjadi pangkal hidup
kita. “Segala sesuatu itu halal”, ya, tetapi haruslah kita ingat kepada sesama
manusia dan kepada pembangunan jemaat. “Segala sesuatu itu halal”, ya, tapi
penggunaan kebebasan itu haruslah diuji dan diawasi oleh kasih sebagai norma
yang diperintahkan oleh Tuhan kepada kita, agar kita jangan menjadi batu
sandungan bagi sesama manusia.
Dalam Kitab
Perjanjian Baru, hidup baru itu kerap kali digambarkan sebagai perjuangan. Kadang-kadang diumpamakan
juga dengan gelanggang perlombaan, di
mana pelari harus menguji kekuatannya dengan berlari di gelanggang yang berupa
tanah pasir dan harus belajar bertahan hingga akhirnya memperoleh karangan
bunga sebagai tanda kemenangan (Ibr 12:1,2). Paulus mempergunakan perumpamaan
yang sama pula ketika dibangkitkannya semangat Timotius, katanya:
“Bertandinglah dalam pertandingan iman yang benar” (1 Tim 6:12). Timotius
dibangkitkannya kepada “pertandingan yang benar” (agona to kalon). Demikian pula Paulus menerangkan bahwa ia telah
mengakhiri pertandingan yang benar
dan telah menerima mahkota kebenaran tanda kemenangan (2 Tim 4:7).
Kehidupan Kristen
merupakan suatu perjuangan sampai saat meninggal dunia, sebab manusia yang
telah mulai dengan hidup baru selalu mengalami perlawanan, daya-daya yang menahannya kuasa rohani musuh. Daya-daya
penahan dan kuasa-kuasa rohani musuh manakah yang melawan hidup baru itu? Pertama, Alkitab mengarahkan perhatian
kita kepada perlawanan yang timbul dari
tabiat kita sendiri yang fasik itu. Kedua, Alkitab megarahkan perhatian
kita kepada dunia. “Dunia” itu hendak
menggoda kita, supaya kita jangan lagi setia kepada Kristus. Ketiga, kekuasaan rohani yang disebutkan
oleh Alkitab ialah kekuasaan si jahat.
Dalam bahasa
Yunani, yakni bahasa asli yang dipakai untuk Kitab Perjanjian Baru, pada
pokoknya terdapat tiga macam kata
untuk kata kasih itu, yakni: “Erao” (yang ada hubungannya dengan eros), philein dan agapan (kata agape ditafsirkan dari agapan itu). Daslam bahasa Yunani kata Erao dan Eros itu mula-mula berarti kasih,
di dalam arti birahi, cinta birahi, cinta yang disertai hawa nafsu, asamara.
Dalam mitologi Yunani “eros” itu diperdewakan dan dipuja dalam keadaan mabuk
nafsu. Kata yang kedua ialah “philein” yang artinya adalah kasih antara
orangtua dan anaknya, antara kawan dan kawan, antara teman sekerja dan teman
sekerja lainnya. Kata yang ketiga adalah “agapan”. Mengandung arti : kasih yang
memilih seseorang, kasih yang setia antara manusia dan manusia.
Pertama-tama, kasih di dalam bentuk perikemanusiaan yang sejati. Dalam
Alkitab bentuk kasih itu digambarkan dengan cara mengharukan di waktu kunjungan
Yesus kepada orang sakit selama 38 tahun di Betesda (Yoh 5:1-18). Kedua, kasih dalam bentuk belas kasihan. Belas kasihan yang
disertai perbuatan, yang dilakukan di dalam praktik, belas kasihan terhadap
kesengsaraan sesama manusia. Contoh klasik yang menyaksikan hal itu ialah perumpamaan
“orang Samaria yang Murah hati” dan cara Yesus bergaul dengan orang banyak. Ketiga, bentuk kasih yang lain ialah kesabaran, lembut hati, mengasihi musuh,
kesediaan melayani, kesediaan memberi pengorbanan. “Dan sekali pun aku
membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku
untuk dibakar, tetapi jika aku tidak memunyai kasih, sedikit pun tidak ada
faedahnya bagiku” ( 1 Kor 13:3).
Dalam Kitab
Perjanjian Lama, terutama dalam pemberitaan nabi-nabi , umat Tuhan
dibangkitkan, digerakkan supaya berpengharapan, supaya menanti-nantikan dengan kerinduan
akan pertolonan Tuhan. “Berbahagialah orang yang menaruh kepercayaannya
kepada Tuhan, yang tidak berpaling kepada orang-orang angkuh” (Mzm 40:5). Paulus berkata: “Setiap orang yang menaruh
pengharapan itu kepada-Nya, menyucikan diri sama seperti Dia yang adalah
suci" (1 Yoh 3:3). Alasan pengharapan Kristen itu mengeluarkan daya yang
membarukan ialah: Pertama, karena
pengharapan Kristen mengandung kepastian,
bahwa dunia baru sungguh-sungguh datang. Kedua,
pengharapan itu memenuhi hati kitadengan kegembiraan.Ketiga,
pengharapan itu menempatkan kita dibawah disiplin
Kerajaan yang akan datang (1 Kor 15:32-34). Keempat,
pengharapan kepada Yesus membuat kita dapat membedakan
mana yang berharga dan mana yang baik, mana yang akan berlalu dan mana yang
tetap (Luk 12:20). Kelima, pengharapan
kepada Yesus itu keluar daya yang membersihkan, memurnikan, menguduskan, oleh
sebab orang mulai dengan membersihkan
diri sendiri (1 Yoh 3:3).
BAB XI TUJUAN
HIDUP BARU
Dalam semua agama disebutkan bahwa tujuan
akhir yang dituju oleh hidup adalah menuruti ketentuan-ketentuan atau
peraturan-peraturan agama itu masing-masing. Preisker berkata di dalam bukunya,
Das Ethos des Urchristentums, bahwa
Etika Kristen adalah terutama “telos-ethos”, artinya suatu etika yang diarahkan
kepada “telos”, kepada tujuan tertentu, kepada suatu akhir tertentu yang juga
menjadi pemenuhannya. Kebanyakan buku
tentang Etika falsafi memuat tiga bagian. Bagian pertama: ajaran tentang kewajiban-kewajiban (Pflichtenlehre). Dalam bagian
ini dibicarakan soal:”Apakah yang harus kami perbuat?”. Bagian kedua: ajaran tentang kebajikan (Tugendlehre).
Dalam bagian ini diuraikan soal “Bagaimanakah aku dapat melakukan kewajibanku
itu?”. Bagian ketiga: ajaran tentang
nilai-nilai rohani (Güterlehre). Dalam bagian ini diterangkan soal: “Untuk
apa aku harus berbuat itu? Apakah tujuan-tujuan kesusilaan yang kita tuntut?”.
Para rabi dalam
agama Yahudi Rabinik mengajarkan bahwa “telos” kehidupan di dunia terletak pada
pembaruan pemerintahan Yahweh atas kerajaan duniawi dengan seorang Mesias
duniawi sebagai kepala Kerajaan. Di dalam kerajaan Mesias duniawi, orang Yahudi
dan orang Kafir akan memelihara kita Tora (Taurat). Oleh sebab itu, berita yang
dibawah oleh Yesus tentang hubungan antara perbuatan manusia dan tujuan Allah
mengenai hidup manusia, serta berita yang disiarkan Yesus tentang isi tujuan Allah dengan hidup manusia,
membangkitkan amarah para ahli Taurat dan murid-murid mereka. Sebab mengenai
hal itu, apa yang diajarkan para rabid an apa yang tertulis di dalam Injil
adalah amat dalam bedanya.
Di Indonesia
pengaruh Hindu amat besar karena meninggalkan bekas di dalam kebudayaan
Indonesia, mudahlah dilihat itu dalam praktik kehidupan sehari-sehari. Pandangan
agama Hindu tentang tujuan hidup ialah terdapat beberapa tujuan yang hendak
dicapai yaitu pertama,kama yakni
kenikmatan , kesenanganan. Kedua, artha yaitu usaha untuk mendapat harta benda dan
kekuasaan, kehormatan di dalam masyarakat, pangkat setinggi mungkin,
hubungan-hubungan dan kawan-kawan yang banyak. Ketiga, dhrma yakni kesesuaian dengan hukum, keselarasan,
keberaturan, keseimbangan, pengekangan diri. Tujuan yang tertinggi, moksha, yakni kelepasan, kebebasan. Tujuan
tertinggi haruslah terangkat lepas dari penitisan berantai (penjelmaan,
perpindahan jiwa).
Dalam agama
Buddha tujuan tertinggi ialah Vimutti,
yakni pembebasan dari reinkarnasi (samsara) berantai, penjelmaan atau
perpindahan jiwa. Pemusnahan (nirodha)
penjelmaan berabttaiitu pula berarti pula pemusnahan karma (atau kamma),
artinya pemusnahan segala perbuatan
manusia dan hukum pembalasan yang menguasai perbuatan-perbuatan itu. Isi
Vimutti ialah: Nirvana yang
digambarkan sebagai pemusnahan kehidupan sebagai makhluk dengan segala
nafsunya:”Musnah kelahiran, sempurna kelakuan yang suci, terpenuhi kewajiban,
berakhir kehidupan di dunia ini”.
Dalam pandangan
Islam tujuan hidup di dunia ialah kehidupan di Firdaus (Arab: Firdaws) yang sering disebut juga dengan
kata Arab:janna, artinya taman atau jannat Eden, taman Eden. Di dalam
tulisan-tulisan ahli-ahli teologi Muslim yang kemudian ada kelihatan berbagai
corak etis dan mistik dalam gambaran-gambaran tentang Firdaus itu. Terutama
dalam salah satu tulisan Ghazali yang bernama “Mutiara berharga dariilmu
pengetahuan tentang dunia akhirat”, corak-corak etis dan mistik diuraikan lebih
lanjut. Ia menulis tentang tempat nabi-nabi dan malaikat-mailakat Firdaus,
demikian tentang takhta Tuhan. Artinya, diuraikan tentang pergaulan dengan
rasul-rasul dan nabi-nabi di Firdaus. Ditegaskan tentang kedudukan terpenting yang
diambil oleh kitab Quran asli di dalam Firdaus. Dan terutama memandang Tuhan
secara rohani diuraikan sebagai puncak kehidupan di Firdaus. Berpuasa,
melakukan Shalat, naik haji dan lain-lain, dipandang sebagai perbuatan yang
berpahala, yang dapat diterima sebagai penebus dosa dan yang membawa hak
memperoleh Firdaus.
Menurut Marx dan
Lenin, bapa-bapa komunisme dunia, sejarah ialah suatu kejadian yang penuh arti.
Di dalam sejarah itu terlaksanalah suatu rencana. Sejarah itu akan bermuara
pada suatu Negara bahagia duniawi, ialah Negara bahagia yang masyarakatnya
tidak berkelas. Di dalam masyarakat yang akan datang itu tidak aka nada lagi
majikan dan buruh. Tidak ada lagi krisis di dalam dunia ekonomi. “Segala sesuatu
datang dari kerja dan pekerja, oleh kerja dan pekerja dan kepada kerja dan
pekerja”. Itulah semboyan Komunisme. Dan apabila kita tanyakan, apakah arti
hidup para pekerja yang belum melihat Negara bahagia itu, maka jawabnya ialah:
“Mereka telah tertabur bagaikan pupuk di lading kemudian hari. Itulah arti
mereka untuk kemudian hari”. Pekerjaan dan hidup mereka merupakan persiapan
untuk negara yang bahagia, tetapi mereka sendiri belum pernah dan tidak akan
pernah mengenyam kenikmatan dalam negara bahagia itu.
Berita yang
dibawa oleh Alkitab ialah bahwa tujuan hidup manusia terletak dalam Kerajaan
Allah. Kerajaan Allah itu telah datang
di dalam Yesus Kristus. Dialah Kepala Kerajaan itu; keadaan-Nya sebagai Kepala
masih tersembunyi. Ia menerima orang beriman, karena anugerah-Nya, dalam
Kerajaan-Nya dan makin dekat Kerjaan itu kepada kesempurnaannya, makin
banyaklah yang Ia terima. Kata Yunani untuk kata sempurna itu ialah teleios,
dari kata telos, artinya: maksud
Tuhan dengan hidup manusia akan terpenuhi. Di dalam Alkitab kerapkali
dijanjikan kepada orang beriman, bahwa mereka akan menjadi sempurna (Matius
5:48; Yoh 17:23; 1 Kor 13:10; Kol 1:28. Janji
itu akan dipenuhi. Mereka akan
menjadi sama seperti Kristus. Mereka akan menjadi sama seperti Kristus. Mereka
akan menjadi segambar dengan Dia ( 1 Yoh 3). Mereka akan menjadi cemerlang tanpa
cacat atau kerut sedikit pun (Ef 5:27). Dan jika kita tanyakan apakah isi hidup yang sempurna itu, maka jawab
Alkitab ialah bahwa kita akan mengasihi
Allah di dalam kesempurnaan dan mengasihi sesama manusia kita di dalam
kesempurnaan. Jadi, tujuan hidup baru bukanlah penghapusan hidup, tetapi
kasih yang kekal. Ketaatan bebas yang kekal, persekutruan yang kekal antara
Allah dan manusia. Di dalam Kerajaan Allah hubungan Taurat akan terpenuhi,
terpenuhi selamanya. Itulah tujuan hidup menurut apa yang tercantum dalam
Alkitab.
Hubungan antara
Allah dan manusia tak akan lenyap, sebagaimana diajarkan dalam agama Buddha.
Manusia tidak melebur di dalam keilahan, sebagaimana diajarkan oleh agama Hindu.
Kehidupan dalam langit baru dan bumi baru bukanlah suatu kehidupan tanpa
kekudusan seperti kehidupan dalam “taman sari” duniawi. Bukan pula suatu Negara
bahagia yang penuh dengan dosa, penyakit dan maut. Tetapi dunia baru yang akan
datang itu adlah suatu dunia, dimana hubungan antara Allah dan manusia telah
menjadi baik untuk selama-lamanya, yaitu hubungan di dalam kasih dan kebenaran
, dimana hukum Taurat Tuhan, hukum kasih itu memenuhi seluruh kehidupan.
Untuk siapakah
Kerajaan Allah itu? Kepada siapakah kekayaan Kerajaan Allah itu diberikan?
Berkali-kali Alkitab berkata kepada kita, bahwa Kerajaan Allah itu diberikan
kepada orang yang miskin di hadapan
Allah, orang-orang berdosa, peminta-minta anugerah yang sama sekali tak dapat
menyatakan haknya atas Kerajaan Allah (matius 5:1-5). Kekayaan Kerajaan Allah
tidak diletakkan ke dalam tangan para pekerja yang menuntut upahnya, tetapi ke
dalam tangan anak-anak yang gembira
keheran-heranan dan yang mau hidup hanya dari anugerah saja (Luk 18:17). Apakah
maksud ancaman dan pemberitaan hukuman-hukuman itu adalah untuk membawa kita
kembali ke bawah kuk hukum Taurat? Apakah maksudnya adalah untuk membuat kita
takut? Tidak. Semua pemberitaan hukuman hanyalah satu maksudnya, yakni untuk
membawa kita kembali kepada kasih setia Tuhan
Yesus Kristus, untuk memimpin kita kembali kepada Injil Tuhan dan Taurat Tuhan,
kembali kepada iman dan tobat. Maksudnya, untuk menyerukan kepada kita:
“Biarkanlah dirimu dibersihkan, ialah dikuduskan oleh Darah dan Roh Yesus” (bnd
1 Kor 6:1). Untuk mengatakan kepada kita: “Marilah dan minumlah air tanpa
bayaran (Yes 55). “Ambillah air kehidupan itu dengan Cuma-Cuma” (Why 22:17).
Sangat memberkati
BalasHapusLuar biasa ... thanks for sharing.
BalasHapusAnda mengingatkan saya ketika saya mengajar Etika Kristen di PGAK tahun 1980-an. Ringkasan ini mirip dengan milik saya, hanya waktu itu saya tulis dengan tulisan tangan. Anda luar biasa. Tks
BalasHapus