Review By : Hengki
Wijaya
Judul Buku : Worship The Ultimate Priority (Prioritas
Utama dalam Penyembahan)
Penulis :
John MacArthur
Penerbit :
Chicago, Moody Publisher, 1983,2012 (Bandung:Klam Hidup, 2001)
Buku ini adalah buku yang
sudah direvisi (2012) sejak pertama kali dicetak tahun 1983 (saat itu saya
masih umur tiga tahun). Ajakan pemazmur dalam Mazmur 95:6-7, “Marilah kita sujud menyembah Dia, berlutut di hadapan TUHAN, pencipta
kita. Sebab Dialah Allah kita, kita umat yang dipelihara-Nya, seperti domba
gembalaan-Nya.“
Dalam Perjanjian Lama, penyembahan meliputi seluruh hidup; penyembahan
adalah pusat perhatian umat Allah. Contohnya, Kemah Suci direncanakan dan
diatur untuk menekankan prioritas dari penyembahan. Kemah Suci direncanakan
hanya untuk penyembahan, tempat Allah bertemu dengan umat-Nya. Dalam Kemah Suci
tidak ada tempat duduk. Orang Israel tidak pergi ke sana untuk mengikuti
kebaktian, dan mereka tidak ke sana untuk mencari hiburan. Mereka pergi ke sana
untuk menyembah Allah. [1] Hal
yang menarik adalah penulis juga menjelaskan penyembahan yang salah di hadapan
Allah dituliskan dalam Imamat 10 ketika anak-anak Harun mempersembahkan “api
yang asing.” Ketika Saul memutuskan untuk merebut peranan Samuel menjadi
seorang imam. Ia menyimpang dari metode penyembahan yang ditentukan Allah, dan
akhirnya ia harus turun dari takhtanya
(I Samuel 13:8-14). Dalam II Samuel 6 melukiskan cara-cara yang dipakai
Uza dalam ketidaktaatan kepada cara yang telah ditetapkan Allah mengizinkan
tabut itu diangkut dengan sebuah kereta,
walaupun itu sebuah kereta baru. Ketika lembu-lembu penarik kereta itu
tergelincir di tengah jalan, kereta itu hampir terguling. Uza, yang dilatih
seumur hidupnya untuk melindungi tabut Perjanjian, mengulurkan tangannya untuk
mencegah tabut jatuh dari kereta. Uza memegangnya dan Allah pun membunuhnya.[2]
Tata cara penyembahan kepada Allah tidak berdasarkan pemikiran manusia meskipun
terlihat baik dan benar, tetapi didasarkan aturan dan perintah Allah yang memunyai
penyembahan itu sendiri.
Dalam bab dua edisi revisi merupakan tambahan yang tidak ditemukan pada buku sebelumnya. Bab itu judulnya: How Shall We Then Worship? Penulis menjawabnya bagaimana seharusnya menyembah. Penyembahan yang Alkitabiah (Sola Scriptura). Penyembahan yang sejati adalah suatu respon kepada kebenaran kudus. Ini adalah gairah karena hal ini bangkit dari kasih kita untuk Allah. Tetapi untuk menjadi penyembah benar maka harus bangkit dari pemahaman yang benar tentang Firman-Nya, kebenaran-Nya, kemurahan-Nya, sifat-Nya. Penyembahan benar menyatakan Allah sebagaimana Dia telah menyatakan diri-Nya di dalam Firman-Nya. Kita mengenal Dia dari Kitab Suci, misalnya bahwa hanya Dia kudus secara sempurna, Mahakuasa, Mahatahu, Mahahadir terpancar dari semua kebaikan, kemurahan, kebenaran, hikmat, kuasa, dan keselamatan. Penyembahan diartikan kemuliaan bagi Dia. Hal ini berarti pujian bagi Dia untuk menyatakan Dia, apa yang telah Dia lakukan dan Dia izinkan terjadi. Hal ini seharusnya menjadi respon kepada kebenaran yang Dia nyatakan tentang diri-Nya. [3]
Dalam bab dua edisi revisi merupakan tambahan yang tidak ditemukan pada buku sebelumnya. Bab itu judulnya: How Shall We Then Worship? Penulis menjawabnya bagaimana seharusnya menyembah. Penyembahan yang Alkitabiah (Sola Scriptura). Penyembahan yang sejati adalah suatu respon kepada kebenaran kudus. Ini adalah gairah karena hal ini bangkit dari kasih kita untuk Allah. Tetapi untuk menjadi penyembah benar maka harus bangkit dari pemahaman yang benar tentang Firman-Nya, kebenaran-Nya, kemurahan-Nya, sifat-Nya. Penyembahan benar menyatakan Allah sebagaimana Dia telah menyatakan diri-Nya di dalam Firman-Nya. Kita mengenal Dia dari Kitab Suci, misalnya bahwa hanya Dia kudus secara sempurna, Mahakuasa, Mahatahu, Mahahadir terpancar dari semua kebaikan, kemurahan, kebenaran, hikmat, kuasa, dan keselamatan. Penyembahan diartikan kemuliaan bagi Dia. Hal ini berarti pujian bagi Dia untuk menyatakan Dia, apa yang telah Dia lakukan dan Dia izinkan terjadi. Hal ini seharusnya menjadi respon kepada kebenaran yang Dia nyatakan tentang diri-Nya. [3]
Penulis menyatakan bahwa penyembahan bukanlah masalah pilihan. Semua
makhluk ciptaan Tuhan bertanggung jawab untuk menyembah-Nya. “Bahkan
maksud terutama dalam penebusan kita bukanlah supaya kita menerima sesuatu,
melainkan supaya Allah dapat menerima penyembahan sehingga hidup kita
dapat memuliakan Dia.”
Penyembahan yang dapat diterima menuntut pengenalan akan Allah. Sasaran penyembahan kita harus benar bila kita ingin penyembahan kita dapat diterima. Maka buku ini memberikan banyak penjelasan mengenai doktrin Allah. Mulai dari keberadaan Allah, juga sifat dan karakter Allah dijelaskan : Allah Mahakuasa yang tidak berubah, Allah Yang Mahahadir dan Mahatahu dam Allah Yang Maha Kudus.
Penyembahan yang dapat diterima menuntut pengenalan akan Allah. Sasaran penyembahan kita harus benar bila kita ingin penyembahan kita dapat diterima. Maka buku ini memberikan banyak penjelasan mengenai doktrin Allah. Mulai dari keberadaan Allah, juga sifat dan karakter Allah dijelaskan : Allah Mahakuasa yang tidak berubah, Allah Yang Mahahadir dan Mahatahu dam Allah Yang Maha Kudus.
Dalam beberapa bab selanjutnya, penulis membahas percakapan Yesus dengan
perempuan Samaria yang tercantum dalam Injil Yohanes 4. Yesus
menyebut perempuan Samaria melakukan penyembahan dalam ketidaktahuan. “Kamu
menyembah apa yang tidak kamu kenal” (ayat 22). Apa yang terjadi pada ayat
selanjutnya, penyembahan yang terjadi di Gunung Gerizim adalah bidat yang bersemangat. Penyembahan yang
dilakukan di Yerusalem adalah ajaran
ortodoks yang mati dan gersang.
Yerusalem memiliki kebenaran, tetapi tidak memiliki roh. Gerizim memiliki roh
tetapi tidak memiliki kebenaran. Yesus mengecam kedua cara penyembahan tersebut
ketika Ia berkata, “Allah itu Roh dan barangsiapa menyembah Dia, harus
menyembah-Nya dalam roh dan kebenaran” (Yoh. 4:24).[4]
Saya sependapat dengan kutipan MacArthur dari buku The Existence and Attributes of God, karangan Stephen Charnock.
Charnock menulis,
Tanpa hati, penyembahan bukanlah penyembahan; penyembahan tersebut adalah
sebuah permainan sandiwara; sebuah peran yang dimainkan tanpa menjadi orang
yang sesungguhnya kita mainkan: seorang munafik, dalam arti kata itu, adalah
seorang pemain sandiwara… Kita mungkin dikatakan sungguh-sungguh menyembah
Allah walaupun kita tidak sempurna; tetapi kita tidak dapat dikatakan menyembah
Dia, bila kita tidak tulus.[5]
Hal itu benar sekali. Kita mungkin menyembah dengan tidak sempurna, tetapi
kita tidak dapat menyembah dengan tidak tulus. Ketika kita datang menyembah
Allah, penyembahan kita haruslah berasal dari dalam lubuk hati kita. Mula-mula
diri kita harus diserahkan kepada Roh
Kudus. Kedua, bila kita ingin menyembah dalam roh, maka pikiran kita harus dipusatkan kepada Allah. Penyembahan
adalah luapan dari pikiran yang diperbarui oleh kebenaran Allah. Ketiga, kita harus memunyai hati yang tidak
bercabang. Tanpa hati yang bulat, penyembahan tidaklah mungkin terjadi.
Kita harus fokus kepada Dia yaitu takut akan Dia. Keempat, kita harus penuh penyesalan.[6]
Kita datang kepada Allah dimana semua dosa telah diselesaikan yaitu kita
menerima pengampunan dosa dari pengakuan hati kita. Sebab Dia adalah Allah yang
menyelidiki batin apakah ditemukan kebenaran di dalamnya.
Tiga bab terakhir membahas tujuan penyembahan yang adalah untuk memuliakan
Allah. Mengapa kita harus memuliakan Dia? Karena kita adalah ciptaan-Nya dan
karena Allah menciptakan segala sesuatu untuk memuliakan nama-Nya, seperti
teladan dari Yesus ketika datang ke dunia sebagai Juruselamat tetap memuliakan
Allah Bapa dengan memancarkan sifat-sifat-Nya (1 Petrus 2:21).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar