Good News

Senin, 15 Desember 2014

Worship The Ultimate Priority (Prioritas Utama dalam Penyembahan)- John MacArthur



Review By    : Hengki Wijaya
Judul Buku                  : Worship The Ultimate Priority (Prioritas Utama dalam Penyembahan)
Penulis                         : John MacArthur
Penerbit                       : Chicago, Moody Publisher, 1983,2012 (Bandung:Klam Hidup, 2001)

Buku ini adalah buku yang sudah direvisi (2012) sejak pertama kali dicetak tahun 1983 (saat itu saya masih umur tiga tahun). Ajakan pemazmur dalam Mazmur 95:6-7, “Marilah kita sujud menyembah Dia, berlutut di hadapan TUHAN, pencipta kita. Sebab Dialah Allah kita, kita umat yang dipelihara-Nya, seperti domba gembalaan-Nya.“

Dalam Perjanjian Lama, penyembahan meliputi seluruh hidup; penyembahan adalah pusat perhatian umat Allah. Contohnya, Kemah Suci direncanakan dan diatur untuk menekankan prioritas dari penyembahan. Kemah Suci direncanakan hanya untuk penyembahan, tempat Allah bertemu dengan umat-Nya. Dalam Kemah Suci tidak ada tempat duduk. Orang Israel tidak pergi ke sana untuk mengikuti kebaktian, dan mereka tidak ke sana untuk mencari hiburan. Mereka pergi ke sana untuk menyembah Allah. [1] Hal yang menarik adalah penulis juga menjelaskan penyembahan yang salah di hadapan Allah dituliskan dalam Imamat 10 ketika anak-anak Harun mempersembahkan “api yang asing.” Ketika Saul memutuskan untuk merebut peranan Samuel menjadi seorang imam. Ia menyimpang dari metode penyembahan yang ditentukan Allah, dan akhirnya ia harus turun dari takhtanya        (I Samuel 13:8-14). Dalam II Samuel 6 melukiskan cara-cara yang dipakai Uza dalam ketidaktaatan kepada cara yang telah ditetapkan Allah mengizinkan tabut itu  diangkut dengan sebuah kereta, walaupun itu sebuah kereta baru. Ketika lembu-lembu penarik kereta itu tergelincir di tengah jalan, kereta itu hampir terguling. Uza, yang dilatih seumur hidupnya untuk melindungi tabut Perjanjian, mengulurkan tangannya untuk mencegah tabut jatuh dari kereta. Uza memegangnya dan Allah pun membunuhnya.[2] Tata cara penyembahan kepada Allah tidak berdasarkan pemikiran manusia meskipun terlihat baik dan benar, tetapi didasarkan aturan dan perintah Allah yang memunyai penyembahan itu sendiri.
          Dalam bab dua edisi revisi merupakan tambahan yang tidak ditemukan pada buku sebelumnya. Bab itu judulnya: How Shall We Then Worship? Penulis menjawabnya bagaimana seharusnya menyembah. Penyembahan yang Alkitabiah (Sola Scriptura). Penyembahan yang sejati adalah suatu respon kepada kebenaran kudus. Ini adalah gairah karena hal ini bangkit dari kasih kita untuk Allah. Tetapi untuk menjadi penyembah benar maka harus bangkit dari pemahaman yang benar tentang Firman-Nya, kebenaran-Nya, kemurahan-Nya, sifat-Nya. Penyembahan benar menyatakan Allah sebagaimana Dia telah menyatakan diri-Nya di dalam Firman-Nya. Kita mengenal Dia dari Kitab Suci, misalnya bahwa hanya Dia kudus secara sempurna, Mahakuasa, Mahatahu, Mahahadir terpancar dari semua kebaikan, kemurahan, kebenaran, hikmat, kuasa, dan keselamatan. Penyembahan diartikan kemuliaan bagi Dia. Hal ini berarti pujian bagi Dia untuk menyatakan Dia, apa yang telah Dia lakukan dan Dia izinkan terjadi. Hal ini seharusnya menjadi respon kepada kebenaran yang Dia nyatakan tentang diri-Nya. [3]
Penulis menyatakan bahwa penyembahan bukanlah masalah pilihan. Semua makhluk ciptaan Tuhan bertanggung jawab untuk menyembah-Nya. “Bahkan maksud terutama dalam penebusan kita bukanlah supaya kita menerima sesuatu, melainkan supaya Allah dapat menerima penyembahan sehingga hidup kita dapat memuliakan Dia.”
Penyembahan yang dapat diterima menuntut pengenalan akan Allah. Sasaran penyembahan kita harus benar bila kita ingin penyembahan kita dapat diterima. Maka buku ini memberikan banyak penjelasan mengenai doktrin Allah. Mulai dari keberadaan Allah, juga sifat dan
karakter Allah dijelaskan : Allah Mahakuasa yang tidak berubah, Allah Yang Mahahadir dan Mahatahu dam Allah Yang Maha Kudus.
Dalam beberapa bab selanjutnya, penulis membahas percakapan Yesus dengan perempuan Samaria yang tercantum dalam Injil Yohanes 4. Yesus menyebut perempuan Samaria melakukan penyembahan dalam ketidaktahuan. “Kamu menyembah apa yang tidak kamu kenal” (ayat 22). Apa yang terjadi pada ayat selanjutnya, penyembahan yang terjadi di Gunung Gerizim adalah bidat yang bersemangat. Penyembahan yang dilakukan di Yerusalem adalah ajaran ortodoks yang mati dan gersang. Yerusalem memiliki kebenaran, tetapi tidak memiliki roh. Gerizim memiliki roh tetapi tidak memiliki kebenaran. Yesus mengecam kedua cara penyembahan tersebut ketika Ia berkata, “Allah itu Roh dan barangsiapa menyembah Dia, harus menyembah-Nya dalam roh dan kebenaran” (Yoh. 4:24).[4] Saya sependapat dengan kutipan MacArthur dari buku The Existence and Attributes of God, karangan Stephen Charnock. Charnock menulis,

Tanpa hati, penyembahan bukanlah penyembahan; penyembahan tersebut adalah sebuah permainan sandiwara; sebuah peran yang dimainkan tanpa menjadi orang yang sesungguhnya kita mainkan: seorang munafik, dalam arti kata itu, adalah seorang pemain sandiwara… Kita mungkin dikatakan sungguh-sungguh menyembah Allah walaupun kita tidak sempurna; tetapi kita tidak dapat dikatakan menyembah Dia, bila kita tidak tulus.[5]

Hal itu benar sekali. Kita mungkin menyembah dengan tidak sempurna, tetapi kita tidak dapat menyembah dengan tidak tulus. Ketika kita datang menyembah Allah, penyembahan kita haruslah berasal dari dalam lubuk hati kita. Mula-mula diri kita harus diserahkan kepada Roh Kudus. Kedua, bila kita ingin menyembah dalam roh, maka pikiran kita harus dipusatkan kepada Allah. Penyembahan adalah luapan dari pikiran yang diperbarui oleh kebenaran Allah. Ketiga, kita harus memunyai hati yang tidak bercabang. Tanpa hati yang bulat, penyembahan tidaklah mungkin terjadi. Kita harus fokus kepada Dia yaitu takut akan Dia. Keempat, kita harus penuh penyesalan.[6] Kita datang kepada Allah dimana semua dosa telah diselesaikan yaitu kita menerima pengampunan dosa dari pengakuan hati kita. Sebab Dia adalah Allah yang menyelidiki batin apakah ditemukan kebenaran di dalamnya.
Tiga bab terakhir membahas tujuan penyembahan yang adalah untuk memuliakan Allah. Mengapa kita harus memuliakan Dia? Karena kita adalah ciptaan-Nya dan karena Allah menciptakan segala sesuatu untuk memuliakan nama-Nya, seperti teladan dari Yesus ketika datang ke dunia sebagai Juruselamat tetap memuliakan Allah Bapa dengan memancarkan sifat-sifat-Nya (1 Petrus 2:21).


[1] John MacArthur, Worship The Ultimate Priority (Chicago:Moody Publisher, 2012), 15-16.
[2] John MacArthur, Worship The Ultimate Priority, 17-19.
[3] John MacArthur, Worship The Ultimate Priority, 37.
[4]  John MacArthur, Worship The Ultimate Priority, 153-154.
[5]  John MacArthur, Worship The Ultimate Priority, 156.
[6] Ibid., 157-159.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar