BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pada tahun 60-an para teolog
radikal (kaum liberal) mulai bosan menggeluti tantangan intelektual dari para
pembela atheisme/kaum modernisme. Sudah saatnya kekristenan bertanggungjawab
melaksanakan tahap kedua dengan menggabungkan diri membela kaum miskin dan
tertindas. Hanya dengan cara demikianlah para teolog dapat membuktikan realitas
Tuhan yang nyata.1Dalam dekade terakhir ini banyak orang
membicarakan Teologi Pembebasan, bukan saja di Amerika Latin tempat asal
teologia ini, tetapi juga di Asia dan Afrika. Walaupun Teologi Pembebasan
timbul di mana-mana, namun yang secara “vokal” dan sistematis berbicara tentang Teologi
Pembebasan adalah yang berasal dari Amerika Latin. 2
Pokok
Masalah
Permasalahannya adalah apakah sebenarnya
Teologi Pembebasan itu dan bagaimana kita menanggapi teologi pembebasan yang
memberikan pengaruh terhadap kehidupan
kekristenan dan apakah sesuai dengan tinjauan Alkitab. Oleh
karena itu, penulisan ini secara khusus akan meninjau pandangan Gustavo
Gutierrez, yang merupakan pelopor dan pencetus dasar pemikiran teologi pembebasan.
Tujuan
Penulisan
Tujuan penulisan
“Analisa Biblika Terhadap Konsep Teologi Pembebasan Di Dalam Kekristenan”
adalah memberikan awasan terhadap pengaruh negatif Teologi Pembebasan kepada
setiap orang Kristen dan memahami Teologi Pembebasan ditinjau dari Alkitab
sebagai otoritas yang benar di dalam kekristenan masa kini.
BAB II
LATAR BELAKANG SEJARAH
Tokoh Pencetus Teologi Pembebasan
Gustavo Gutierrez
dilahirkan di Lima, Peru, pada tahun 1928, sebagai seorang messtizo, yakni
seorang keturunan Indian Amerika Latin, yang dianggap sebagai kalangan orang
yang tertindas di bangsanya. Memang Gutierrez juga berasal dari sebuah keluarga
yang relatif miskin. Pada tahun 1959, ia mendapatkan gelar Ph.D. dalam bidang teologi
dari Universitas Lyon di Perancis dan ditahbiskan menjadi imam. Karier
pelayanan Gutierrez diawali dengan melayani jemaat yang miskin di Lima dan
mengajar teologi serta ilmu-ilmu sosial di Universitas Katolik di sana.3
Namun, sejak kembali ke Peru, Gutierrez berhadapan kembali dengan realita
kemiskinan dan penderitaan masyarakat di sana. Ia merasa bahwa teologi yang
dipelajarinya di Eropa “kurang cocok” untuk situasi gereja dan masyarakat di
mana ia melayani. Karena itu, ia berusaha menemukan teologi yang tepat dan
relevan di tengah-tengah situasi yang sedemikian.4 Hal lain yang
memprihatinkan Gutierrez adalah sikap dan tindakan Gereja Katolik sebagai
gereja yang memiliki kekuasaan yang sangat besar di banyak negara. Dengan
kekuasaannya ini, Gutierrez melihat bahwa Gereja Katolik tidak “netral” di
dalam keterlibatannya dalam kancah sosial-politik tetapi lebih berpihak pada
sisi penindas.5
Gutierrez mendapat
pengaruh dari seorang Revolusione Argentina Che Guevara yang menganut paham
Marxisme. Meskipun dia tidak pernah menjadi seorang Marxisme, dia tidak
meragukan untuk menggunakan analisis sosial Marxixme dalam usahanya untuk mengerti keadaan buruk kemiskinan. Beliau adalah seorang pelayan yang memiliki
kedalaman spiritual.6
Pengertian Teologi Pembebasan
Teologi Pembebasan adalah
suatu pemikiran teologis yang muncul di Amerika Latin dan negara-negara dunia
ketiga yang lain, sekaligus merupakan suatu pendekatan baru yang radikal
terhadap tugas teologi dimana titik tolaknya mengacu pada pengalaman kaum
miskin dan perjuangan mereka untuk kebebasan, di mana Allah juga hadir di dalamnya.7
Jadi, teologi menurut Gutierrez, bukanlah suatu “teori yang transenden” yang
tanpa praksis,8 tetapi adalah suatu refleksi kritikal,9 dimana
teologi dapat menjawab tantangan zaman dengan segala permasalahan sosialnya.
Teologi Kristen bukan hanya mencari otensitas dasar iman Kristiani, tetapi
haruslah memiliki praksis sebagai wujud konkret penghayatan iman.10
Dari penjelasan di atas,
Teologi Pembebasan dapat dirumuskan secara singkat sebagai upaya-upaya untuk
merealisasikan pengajaran Alkitab mengenai pembebasan ke dalam praksis, suatu
teologi yang memerhatikan situasi dan penderitaan orang miskin. “Keadilan sosial dan solidaritas” dengan
orang miskin dianggap sebagai bagian utama amanat misi gereja.11
Konsep-konsep di dalam
Teologi Pembebasan tidak langsung muncul dalam waktu seketika dan pergerakan
teologi ini tidak terjadi begitu saja, tetapi ada penyebab-penyebab yang
menjadi akar munculnya Teologi Pembebasan. Pertama,
pada abad ke-16, seorang uskup berdarah Spanyol, Bartolome de Las Casas,
mengadakan perjuangan untuk membela kaum Indian yang menjadi korban penindasan
orang-orang Spanyol. Pembelaannya begitu gigih dan mengesankan sehingga para pelopor
Teologi Pembebasan belakangan memandangnya sebagai “Musa Teologi Pembebasan
Amerika Latin.” Las Casas memiliki pengaruh yang amat mendalam terhadap
Gutierrez dan amat mewarnai pandangan-pandangan teologisnya.12
Kedua,
munculnya peristiwa-peristiwa dan gerakan-gerakan religius serta sekuler pada
pertengahan abad ke-20, seperti Teologi Politik di Eropa dan Teologi Radikal di
Amerika Utara yang dicetuskan oleh J. B. Metz, Jurgen Moltmann dan Harvey Cox. Dalam
gagasan teologinya, Metz telah meletakkan beberapa dasar pemikiran yang kelak
menjadi metode bagi Teologi Pembebasan, khususnya pada peranan politik praksis
sebagai titik tolak refleksi teologis.13
Ketiga, kemudian muncul apa yang disebut sebagai konferensi para Uskup
Amerika Latin (CELAM II) yang menghasilkan dokumen Medellin (1968), yang inti
perumusannya berbunyi: “Demi panggilannya, Amerika Latin akan melaksanakan
kebebasannya apapun pengorbanan yang diberikan. Perintah Tuhan yang jelas untuk
menginjili orang-orang miskin harus membawa kita kepada distribusi
sumber-sumber dan personil apostolis yang secara efektif memberikan pilihan
kepada yang paling miskin dan sektor-sektor yang paling membutuhkan.”14
Keempat, situasi konkret di Amerika Latin.
Negara-negara di Amerika Latin telah menjadi korban kolonialisme, imperialisme
dan kerja sama multinasional. Hal ini terjadi karena adanya ketergantungan
ekonomis negara-negara Amerika Latin kepada Amerika Serikat (khususnya), yang
pada akhirnya banyak merugikan kepentingan Amerika Latin sehingga menimbulkan keresahan-keresahan
sosial.15 Dampak Teologi Pembebasan meluas ke benua lain dengan bangkitnya
Teologi Pembebasan di Asia, tentu tidak dapat dilepaskan dengan Teologi
Pembebasan yang lahir terlebih dahulu di Amerika Latin. Banyak teolog Asia,
membangun Teologi Pembebasannyadengan mengambil referensi dari Teologi
Pembebasan asal Amerika Latin. Dengan kata lain, semangat para teolog Amerika
Latin telah membangkitkan kesadaran para teolog Asia untuk menanggalkan pakaian
lama teologi asal Barat, dan mengenakan pakaian teologi asal Asia yang harus berurusan dengan persoalan
kemiskinan.16
BAB III
KONSEP TEOLOGI PEMBEBASAN
Metode Teologi Pembebasan
Pertama, Teologi
Pembebasan bertitik tolak dari situasi Amerika Latin. Teologi haruslah
secara intrinsik dihubungkan dengan situasi, budaya, dan sosial yang khusus.
Apa yang berkembang di suatu tempat, tidak dapat dipaksakan di tempat yang
lain, seperti halnya teologi di Amerika Latin yang muncul dari
kenyataan-kenyataan sosio politiknya yang unik, jelas tidak dapat diterapkan
secara “sama persis” di tempat yang lain.17 Jadi menurut teolog
pembebasan, teologi tidaklah terpisah dari konteks sosial dan kultural di mana
teologi itu berlangsung, atau situasi hidup dari masyarakat yang menjadi objek
dari teologi itu sendiri. Atau dengan kata lain, Teologi Pembebasan tidak
dilihat sebagai “teologi universal” tetapi teologi haruslah bersifat
kontekstual yaitu terjadi dan berlaku pada tempat dan waktu yang khusus dan
tertentu, tidak secara universal ataupun dijadikan patokan secara umum.18
Kedua, teologi sebagai refleksi
kritis di dalam komunitas. Menurut Gutierrez, teologi haruslah keluar dari
kehidupan iman yang berusaha “menjadi otentik dan sempurna”. Karena justru
kekristenan dapat menjadi otentik dan sempurna ketika ia memihak orang miskin
dan melibatkan diri kepada perjuangan untuk membebaskan mereka. Teologi seharusnya
menjadi refleksi kritis atas dirinya sendiri, dan atas kondisi-kondisi ekonomi,
sosial, dan budaya dari kehidupan dan pemikiran komunitas Kristen. Hanya dengan
demikian teologi dapat memberikan validitas terhadap realitas Amerika Latin dan
dunia ketiga. 19
Ketiga, menempatkan praksis
sebagai peran utama bagi pembebasan kaum tertindas. (1) Iman dihubungkan dengan transformasi
dunia.20 Gutierrez melihat ada beberapa faktor dalam pemahaman iman Kristen
yang sebenarnya mengacu ke praksis Teologi Pembebasan, yaitu:
a) belas kasihan sebagai pusat dari kehidupan kekristenan; b)
spiritualitas kekristenan yang semakin membaik dalam upayanya mensintesiskan antara
perenungan dan tindakan; c) manusia dilihat sebagai pendukung di dalam
perubahan sejarah; d) penekanan filosofis pada tindakan manusia sebagai titik
tolak bagi semua refleksi; e) penemuan ulang dimensi eskatologis di dalam
teologi yang memberikan peran utama kepada praksis historis. (2) Pengaruh
Marxisme.21 Gutierrez mengakui bahwa konsep praksisnya dipengaruhi
oleh pemikiran Marxis sehingga memang Teologi Pembebasan memilih Marxisme
sebagai satu alat untuk analisis sosial, dan menyatakan suatu kesatuan yang
esensi antara Marxisme dan kekristenan. Empat pilar Marxisme yang diadopsi oleh
Teologi Pembebasan adalah: a) analisis perjuangan kelas; b) mengutuk harta
milik/kekayaan pribadi; c) mendukung pemberontakan yang keras; d) “manusia
baru” menebus dirinya sendiri (menjadi juruselamat bagi dirinya sendiri).
Teologi Pembebasan juga menerapkan sepuluh dasar pemahaman Marxisme terhadap
iman Kristen, yang hasilnya adalah: a) tidak mengakui adanya kejatuhan; b)
menyangkal bahwa kematian merupakan akibat dari kejatuhan; c) menjadikan Allah
sebagai Marxis pertama; d) menjadikan Yesus sebagai pencipta subversi; e) tidak
mengindahkan karya penebusan; f) mengubah arti pertobatan (pertobatan ada dalam
bentuk pembebasan terhadap orang-orang miskin dan yang tertindas); g)
menyimpangkan makna kasih (disebut kasih jikalau terlibat dalam pemberontakan
dan perjuangan melawan penindas); h) memindahkan “perbuatan-perbuatan” Kristen
ke dalam praksis Marxisme; i) menundukkan gereja kepada mandat Marxis; j) tidak
memiliki doktrin eskatologis yang benar. (3) Teologi sebagai hasil aktivitas
pastoral. Titik tolak untuk refleksi teologi adalah kehadiran dan aktivitas
gereja di dalam dunia. Teologi adalah produk dari aktivitas pastoral, yang dimulai
dari pelayanan kasih.22 Ini adalah
kritikan atas gereja ditinjau dari sudut kemiskinan.
Gutierrez mengatakan,23
Kita
menemukan Tuhan dalam perjumpaan dengan sesama, khususnya mereka yang miskin,
tersisihkan, dan terperas. Suatu tindakan cinta terhadap mereka adalah tindakan
cinta terhadap Tuhan. . . . Meskipun demikian, sesama manusia bukan hanya
merupakan suatu kesempatan, sarana untuk menjadi lebih dekat dengan Tuhan. Kita
secara konkret mencintai sesama melulu demi mereka, dan bukan “demi cinta
terhadap Tuhan”.
Keempat, teologi sebagai “tindakan kedua.”
Teologi memainkan peranannya sebagai “tindakan kedua” yang mengikuti
praksis. Di dalam “tindakan pertama,” praksis, gereja dan orang-orang
Kristen seharusnya mengabdikan diri kepada pembaharuan masyarakat
dan berada di pihak orang miskin dan orang kulit hitam. Sedangkan
“tindakan kedua,” teologi, adalah hasil dari refleksi atas praksis yang
diwujudkan dalam pengajaran.24
Kelima, Teologi Pembebasan tidak mengenal Allah yang kudus, yang
menjawab dosa manusia dengan murka-Nya. Menurut teologi ini, Yesus Kristus
bukan Anak Allah, Tuhan, juruselamat dari dosa dan maut, yang dikirim oleh
Allah Bapa. Keselamatan hanya dilihat sebagai pembebasan dalam bidang politik,
ekonomi, dan kepercayaan Kristen dalam Teologi Pembebasan tidak lain daripada
motivasi revolusioner.25
Tinjauan Alkitab Teologi Pembebasan
Ada beberapa bagian
Alkitab yang sering dipakai oleh penganut Teologi Pembebasan sebagai landasan
pengajaran mereka yakni:26
1.
Kisah yang tercantum dalam Kitab Keluaran, takkala bani Israel
berada di tanah Mesir, Tuhan telah mendengarkan jeritan mereka, dan membebaskan
mereka dari perbudakan dan penderitaan.
2.
Nyanyian pujian Maria yang terdapat dalam Injil Lukas 1:46-55.
3.
Nubuat nabi Yesaya tentang pekerjaan Mesias dalam Lukas 4:18-19
(bdg. Yesaya 61:1-2). Gagasannya adalah Yesus itu mempunyai kuasa untuk membebaskan dari
ketakutan, penyakit dan kejahatan. Kristus sebagai pembebas.
4.
Penghakiman terakhir yang terdapat dalam Injil Matius 25:31-46,
dimana penghakiman Tuhan berdasarkan sikap seseorang terhadap orang-orang yang
menderita dan miskin.
BAB IV
ANALISA BIBLIKA TERHADAP KONSEP
TEOLOGI PEMBEBASAN
Gereja
Dalam Teologi Pembebasan Gustavo
Gutierrez:Deskripsi Dan Analisis Hermeneutikal
Pertama, Natur Gereja. (1)
keuniversalan gereja: (i) Sakramen keselamatan yang universal di dalam
sejarah. Bertentangan dengan ajaran Roma Katolik (Vatikan II) yang
berkembang saat itu, yang mengatakan bahwa di luar institusi gereja tidak ada
keselamatan, Gutierrez justru menekankan keselamatan yang universal.27
Gutierrez percaya bahwa seluruh dunia ada di bawah kasih karunia Allah yang
menyelamatkan. Karunia ilahi entah itu ditolak atau diterima diberikan kepada
semua orang, khususnya kepada orang-orang miskin. Setiap manusia tanpa kecuali
adalah Bait Allah. Akibatnya, kita dapat bertemu Allah di dalam perjumpaan kita
dengan manusia, khususnya di dalam orang-orang miskin. Kristus ada di dalam
sesama kita. Semua orang ada di dalam Kristus, jadi semuanya dipanggil untuk
bersekutu dengan Allah.28 (ii) Pemalingan
gereja kepada dunia. Di dalam analisis finalnya, menurut Gutierrez, tidak
ada perbedaan antara gereja dan dunia. Gereja tidak hanya hadir di dalam dunia,
tetapi adalah bagian dari dunia. Akibatnya, gereja harus berpaling kepada dunia
di mana Kristus dan Roh-Nya hadir dan aktif di dalamnya. Gereja haruslah
mengizinkan dirinya dihuni dan “diinjili” oleh dunia.29 Gereja harus
tidak mengijinkan kondisi kesenjangan miskin dan kaya berlangsung terus. Gereja
harus mendorong kepada dunia untuk
menjadi bagian dunia dan untuk keadilan sosial diwujudkan.30 Jadi
penekanan eklesiologi pembebasan bukanlah pada pemalingan dunia kepada gereja,
tetapi pemalingan gereja kepada dunia. Dengan kata lain, gereja seharusnya dijadikan
“Kristen” oleh dunia, khususnya oleh orang miskin.31
(2) Kesatuan gereja yang
terjadi melalui upaya untuk memperjuangkan keadilan. Gutierrez melihat apa
yang memisahkan manusia dengan manusia adalah ketidakadilan sosial. Perjuangan
kelas adalah suatu masalah yang tidak dapat disangkal. Adanya komunitas Kristen itu sendiri adalah
akibat dari konflik sosial ini. Jadi menurut Gutierrez, tidak mungkin berbicara
tentang keselamatan gereja tanpa terlibat di dalam situasi konkret yang
berlangsung di dalam dunia.32 Dengan melihat kenyataan bahwa gereja
itu hidup di dalam sistem yang tidak adil, maka kesatuan gereja tidak akan
terwujud tanpa kesatuan dunia dan kesatuan manusia yang dapat dicapai dengan
terciptanya keadilan untuk semua. Oleh karena itu gereja haruslah terlibat di
dalam perjuangan untuk menegakkan suatu masyarakat yang tidak berkelas dan
berjuang melawan penyebab-penyebab perpecahan antara manusia yang merupakan
satu-satunya cara di mana gereja dapat menjadi tanda kesatuan yang otentik.33
Kesimpulannya, menurut Gutierrez, penekanan utama gereja dalam perspektif
Teologi Pembebasan bukanlah pada naturnya tetapi pada misi gereja itu.
Kedua, Misi Gereja. Di
dalam perspektif Teologi Pembebasan, keselamatan itu dapat terwujud ketika
terjadi solidaritas dengan orang miskin di dalam perjuangan mereka, mengerti
penyebab-penyebab dari kemiskinan mereka dan mendukung serta mendorong
usaha-usaha yang dilakukan oleh rakyat untuk melepaskan diri dari penindasan.34
Dengan lebih tajam, Gutierrez menyatakan bahwa tujuan gereja tidak untuk menyelamatkan,
di dalam pengertian “menjanjikan sorga.” Karya keselamatan adalah suatu realita
yang terjadi dalam sejarah. Jadi perjuangan untuk masyarakat yang adil di dalam
hak-haknya merupakan bagian dari sejarah keselamatan.35 Jadi, misi
gereja mencakup: Pertama, Pemilihan terhadap orang miskin: adanya
sikap solidaritas dengan mereka yang tertindas. Bagi Teologi Pembebasan, kaum
miskin adalah kaum pilihan Allah yang istimewa. Di dalam situasi revolusi yang
ditandai oleh konflik dan perjuangan kelas, gereja haruslah memproyeksikan seluruh aktivitas dan tindakannya
dengan kaum yang tertindas karena di dalam sejarah Allah sendiri ada di pihak
orang miskin. Memang Allah mengasihi semua orang, tetapi Dia mengidentikkan dan
menyatakan diri-Nya sendiri kepada orang miskin dan berada di sisi mereka.36
Pemilihan Allah terhadap orang miskin ini jelas terlihat di dalam Perjanjian
Lama di mana Allah memihak orang miskin dan melindungi mereka dari
penindas-penindas. Sedangkan di dalam Perjanjian Baru, hal ini terlihat di
dalam inkarnasi Anak Allah di mana Dia mengidentikkan diri-Nya sendiri dengan
semua manusia, secara khusus terhadap orang miskin.37 Memandang
sikap Allah sendiri terhadap orang miskin, menurut Gutierrez, gereja haruslah
mengarahkan dirinya kepada yang tertindas dan menjadi miskin supaya dapat
mengambil bagian di dalam solidaritas dengan mereka yang menderita. Hanya
dengan berpartisipasi di dalam perjuangan mereka kita dapat mengerti
implikasi-implikasi pesan Injil dan membuatnya memiliki dampak di dalam
sejarah.38 Kedua, suara kenabian. Salah satu cara gereja supaya dapat memperjelas
posisinya sehubungan dengan isu-isu sosial adalah dengan pelayanan
kenabian, yang mencakup kritik atas ketidakberesan yang terjadi di
dalam masyarakat dan gereja.39 Karakteristik dari suara kenabian
bersifat:40 (a) global,
yaitu mencakup setiap situasi dan setiap struktur yang menekan dan
menindas hak-hak asasi manusia, dan yang bertentangan dengan
persaudaraan, keadilan dan kebebasan. (b) radikal,
karena reformasi dan pengembangan saja tidak cukup, tetapi perubahan
yang revolusioner dan radikal, itulah yang diperlukan. Jadi, gereja haruslah dapat
menyatakan, tanpa terkecuali, apa yang menjadi akar dari
ketidakadilan sosial. (c) praksiologis,
dimana kebenaran injil haruslah menjadi kebenaran yang dilakukan.
Suara ini tidak hanya tertuang dalam kata-kata atau teks, tetapi
adalah suatu tindakan.
Ketiga, memproklamirkan Kerajaan
Allah. Situasi ketidakadilan dan eksploitasi adalah bertentangan dengan
Kerajaan Allah. Dengan demikian, gereja seharusnya memproklamirkan adanya
pertentangan ini dan mendorong mereka yang terjerat dalam situasi ketidakadilan
dan yang menjadi korban eksploitasi untuk mencari kebebasan mereka sendiri.41
Jadi, kabar baik akan pembebasan haruslah mencakup secara struktural
masalah-masalah rasisme, ketidakadilan, kemiskinan dan perbedaan.42
Keempat, tindakan politik.43
Gutierrez menekankan sifat politik dari pelayanan Kristus. Kristus tidak
tergabung dalam gerakan orang Zelot Yahudi, namun Ia terus menerus melawan
pihak penguasa dan struktur-struktur kekuasaan politik pada zaman-Nya, di mana
Ia disalibkan juga oleh kuasa-kuasa politik tersebut. Kristus menyerang akar
ketidakadilan sosial, yang berarti bahwa Ia mengaitkan pembebasan masa kini
dengan sejarah keselamatan yang bersifat revolusioner, kekal dan universal.
Perkara-perkara politik tercakup di dalam kekekalan dan karya Kristus bersifat
politik justru karena menyelamatkan manusia.44 Meneladani sifat pelayanan
Kristus di atas, adalah tidak mungkin bagi gereja untuk hidup di dalam injil
jikalau terpisah dari keterlibatan politik, karena pesan injil itu sendiri
mempunyai dimensi politik yang tidak dapat dihindarkan. Lebih jauh situasi
ketidakadilan yang membuat berjuta-juta orang Amerika Latin menderita, menuntut
orang-orang Kristen untuk mewujudkan pembebasan dalam semua bentuknya.45 Dalam karya
klasiknya, A Theology of Liberation, Gustavo Gutierrez menekankan bahwa
program politis yang terkait dengan gerakan pembebasan harus berpusat pada
sebuah spiritualitas pembebasan. Gutierrez tentunya sadar akan bahaya-bahaya mengabsolutkan usaha-usaha politis yang menjadi favorit kita, yang karenanya menjadi sangat selektif
dalam menemukan tema-tema Kristen yang berguna untuk menyebarkan tujuan-tujuan yang
sudah kita sendiri tentukan. Untuk mengatasi kecenderungan sedemikian,
Gutierrez berpendapat bahwa hidup kekristenan harus dipenuhi dengan sebuah
pemahaman yang hidup tentang tahu berterima kasih (gratuitousness).
Persekutuan dengan Tuhan dan dengan semua (umat manusia) lebih dari segalanya
adalah sebuah pemberian. Partisipasi kita dalam ibadah, dia katakana adalah
sebuah kegiatan waktu luang, sebuah waktu yang terbuang, yang mengingatkan kita
bahwa Tuhan berada di luar kategori yang berguna dan yang tidak berguna. Dalam
persekutuan ibadah kita dengan Allah, Gutierrez mengatakan pada kita, kita
melihat ke depan ke sebuah masa depan indah saat kita mendengar, dia katakan
sebagaiundangan untuk berpartisipasi dalam sukacita eskatologis.46
Kelima, Teologi Pembebasan sebagai
Program Politik. Teologi Pembebasan
setuju dengan penjelasan Karl Marx, yang
mengatakan: sampai sekarang filsuf-filsuf
menerangkan dunia; tugas kita adalah mengubahnya. Marxisme dan prinsip
hermeneutiknya telah menjadi kekuatan yang mendorong dalam teologi ini. Dengan
demikian seluruh Kitab Suci tampak dalam terang konsep perjuangan kelas, yang
menuju penggulingan struktur-struktur sosial. Konsep agama harus dihancurkan
demi yang duniawi, yakni kemerdekaan manusia agar dia mampu mengkritik dan
mengubah dunia. Hidup sebagai manusia sekarang tercapai karena manusia membebaskan diri dan mencapai ketuhanan di dalam pengertian
diri sendiri.47
Teologi Pembebasan juga menentang developmentalisme yang terjadi di dunia
ketiga pada umumnya dan Amerika Latin khususnya. Mereka berpendapat bahwa
penanaman modal asing untuk “mengembangkan” dunia ketiga, memunyai banyak unsur
negatif. Apa yang dibutuhkan oleh negara-negara tersebut bukan “perkembangan”, tetapi
perubahan dasar sistem kemasyarakatan mereka. Untuk memeroleh kemerdekaan dan
pembebasan dari penderitaan, bila perlu mereka boleh memakai
kekerasan untuk menggulingkan penguasa yang menindas mereka.48 Hal ini juga didukung oleh pengajaran Teologi
Pengharapan, Jurgen Moltmann menyimpulkan bahwa panggilan Kristiani adalah
melibatkan umat manusia untuk mengkonfrontir dan mengubah kebobrokan yang ada
dalam masyarakat. Untuk itu umat Kristiani harus toleran dengan yang tertindas
dan teraniaya, dan memakai segala sarana yang tersedia, termasuk kalau
perlu “revolution with violence” yaitu
revolusi dengan kekerasan untuk perbaikan dunia. 49
Tinjauan Biblika Terhadap
Teologi Pembebasan
Berdasarkan penguraian tentang Teologi Pembebasan di atas, kita dapat
menyetujui kesimpulan yang diberikan oleh Segundo Galilea tentang empat
kecenderungan di dalam Teologi Pembebasan, yaitu:50 Pertama, menekankan ayat-ayat
Alkitab tentang pembebasan dan menerapkan konsep ini ke dalam masyarakat. Kedua,
berfokus pada sejarah dan budaya Amerika Latin (khususnya pada konteks sosial) sebagai
suatu titik tolak teologi mereka. Ketiga, mengkonfrontasikan perjuangan
kelas, ekonomi dan ideologi yang berbeda dengan iman Kristen. Keempat,
Teologi Pembebasan lebih merupakan ideologi (yaitu perpindahan dari masyarakat
ke teologi) yang ada di bawah pengaruh Marxisme. Dasar Alkitab yang menjadi
patokan bagi mereka, jelas tidak ditafsirkan secara benar (out of context). Mereka tidak “mengeluarkan” kebenaran firman Tuhan
itu untuk kemudian diterapkan ke dalam kehidupan dunia yang bermasyarakat ini,
tetapi mengambil konteks yang terjadi di dalam masyarakat dan
mencocokkannya atau
mengaitkannya dengan ayat-ayat Alkitab yang bagi mereka mendukung
konteks. Jelaslah bahwa titik tolak atau sumber dari teologi
seseorang akan sangat menentukan penguraian teologisnya. Jikalau titik
berangkat dari teologi seseorang sudah salah, maka seluruh penguraiannya juga salah. Begitu juga dengan Teologi Pembebasan, jelas seluruh
penguraian
teologisnya tidak sesuai dengan kebenaran firman Tuhan karena ia
tidak mendasarkan teologinya pada Alkitab meskipun ia memakai dukungan ayat
Alkitab tetapi mengandung penafsiran yang subjektif. Beberapa contoh:
mengajarkan keselamatan yang universal (bdk. Yoh. 3:16, 14:6); mengabaikan
hakekat gereja yang harus berbeda dengan dunia meskipun mereka harus berada di
dalam dan “masuk” ke dalam kehidupan ini, yang tujuannya untuk menjadi terang
(lih. Yoh. 17:14-19, 2Ptr. 2:9); mengajarkan bahwa kekristenan harus terlibat
dalam aksi politik, bahkan tindakan kekerasan jikalau itu untuk menciptakan
suatu masyarakat yang tidak berkelas, mengingat Yesus sendiri adalah pencipta
subversi. Jelas hal ini bertentangan dengan firman Tuhan. Ajaran kekristenan
adalah kasih yang tidak bersyarat dan tidak membalas (Mat. 5:38-48). Kristus sendiri
selalu menekankan bahwa Ia tidak menjadikan kerajaan-Nya di bumi sebagaimana
konsep dan pengharapan orang Israel (termasuk murid-murid Yesus), untuk
mengalahkan musuh-musuh bangsa Israel; Teologia Pembebasan juga menekankan
praksis sebagai satu-satunya jawaban terhadap masalah-masalah sosial, bukannya
pribadi dan karya Allah Tritunggal di dalam Alkitab. Namun demikian, kita juga
tidak dapat menutup mata akan sumbangsih positif dari Teologi Pembebasan, di
samping banyak hal pokok yang merupakan kelemahannya.
David Pan Purnomo
memberikan komentar terhadap pandangan Teologi Pembebasan sebagai berikut:51
1.
Teologi Pembebasan mengatakan bahwa Tuhan “pilih kasih” kepada orang miskin. Menurut pandangan kami,
istilah yang lebih tepat adalah Tuhan “membela” keadilan bagi orang yang miskin
dan tertindas. Gereja harus berbicara untuk keadilan dan perikemanusiaan.
Jangan menghina atau menindas orang miskin.
2.
Teologi Pembebasan terlalu mengidealisasikan atau
mendewa-dewakan orang miskin, seolah-olah hanya mereka yang akan mewarisi
Kerajaan Surga dan yang mengerti makna teologi. Kita mengetahui bahwa takkala Yesus Kristus masih hidup
dalam dunia, Ia selalu bergaul dengan rakyat jelata dan memerhatikan orang miskin,
tetapi Ia juga menyelamatkan Zakheus pemungut cukai yang kaya. Unsur yang
menyebabkan seseorang diselamatkan, bukan situasi keuangannya kaya atau miskin,
tetapi apakah ia beriman kepada Tuhan atau tidak (Yoh. 14:6;Kis. 4:12).
3.
Kalau dikatakan Injil Kristus
ditujukan bagi orang-orang yang miskin, hal ini memunyai dua arti, yaitu
miskin di dalam hal materi dan miskin di dalam kerohaniannya. Kalau mereka
merendahkan diri di hadapan Tuhan, mereka pun akan diselamatkan (Mat. 5:3).
4.
Sebaliknya Tuhan pun tidak pernah menjanjikan bahwa setiap orang
miskin pasti diselamatkan. Artinya di dalam Tuhan berlaku orang pilihan (predestinasi). Bahkan Tuhan mengatakan
jikalau hidup keagamaan mereka tidak lebih benar daripada hidup keagamaan
ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, mereka tidak akan masuk ke dalam
kerajaan Surga (Mat. 5:20).
5.
Banyak gereja telah dipengaruhi oleh Teologi Pembebasan. Di
Amerika Serikat misalnya, telah muncul Black
Theology dan Feminist Theology.
Kita mengakui bahwa teologi yang benar harus disertai dengan kelakuan yang
benar. Teori harus diimbangi dengan
praktek. “Praxis” orang Kristen adalah cara pemikiran dan penghidupan yang
sangat memengaruhi teologi dan hermeneutika gereja pada zaman ini.
Aspek yang merugikan dari
Teologi Pembebasan terlihat dari beberapa pengajaran doktrin teologi ini yang
menimbulkan pertanyaan dalam pikiran kita dimana mereka berpikiran dangkal
terhadap apa yang Alkitab telah tetapkan. Gerakan ini pertama kali ada
untuk menyerang ketidakadilan. Perhatian ini memusatkan secara lebih pada
semangat dan efektivitas kemanusiaan. Sama halnya manusia berbuat
ketidakadilan, sehingga mereka dapat mengoreksinya. Ada suatu penekanan kuat
pada kasih; kasih ditunjukkan di dalam seseorang yang menggapai keluar untuk membantu yang lain. Tanpa intervensi pada pihak
Mahakuasa,
kedaulatan Tuhan untuk mentransformasi
(transform) dan penebus, hal itu
mustahil untuk
masyarakat yang lebih baik. Penganut pembebasan mendasarkan
pandangannya pada pembebasan kemanusiaan manusia dalam konsep panteisme Allah.
Karena Allah ada dalam setiap pribadi, manusia mengusahakan mengakhiri
ketidakadilan yang pastinya sangat berhasil. Selain itu, Teologi Pembebasan
memberikan pandangan tentang dosa yang jauh dari defenisi dosa menurut Alkitab.
Alkitab mengajarkan bahwa dosa adalah kejahatan melawan kekudusan Allah;
ketidaktaatan terhadap hukum-Nya dan pemberontakan terhadap kehendak-Nya.
Menurut penganut pembebasan, dosa adalah menjadi harta dalam rupa kemiskinannya
orang lain; hal ini tidak merujuk pada
kegagalan pribadi sebagai suatu situsi sosial.
Penganut ini terus menerus berbicara tentang “struktur-struktur dosa
sosial” lebih daripada kelemahan moral secara individu. 52 Artinya
mengartikan dosa secara keseluruhan yang dipengaruhi oleh struktur sosial yang
berdosa dan bukan dosa secara individu seperti Alkitab katakan bahwa dosa
menjadi penghalang umat manusia berhubungan dengan Allah (Yesaya 59:2), dan
bukan kemiskinan membuat orang berdosa.
Mengenai
konsep keselamatan, Teologi Pembebasan telah dinodai oleh Pernyataan Vatikan II
dan akibat paham Katolik menunjuk ke arah universalisme. Manusia mungkin
diselamatakan apabila mereka membuka diri terhadap Allah, terlepas dari apakah
mereka mengetahui yang dilakukan atau tidak. Pandangan ini selanjutnya berpendapat
bahwa hidup adalah suatu ujian yang akan dihakimi berdasarkan kelakuan terhadap
sesama manusia. Alkitab tentunya mengajarkan bahwa pencurahan darah Kristus
adalah dasar untuk keselamatan manusia. Keselamatan melalui iman dan tidak
pernah melalui tindakan jasa atau usaha sendiri (meritorious actions).53 Alkitab berkata “Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan
oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah,itu bukan hasil
pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri”.54
Pandangan Alkitab tentang
Yesus Kristus adalah bahwa Dia adalah Allah yang datang sebagai daging
(manusia) dan mati untuk dosa-dosa umat manusia. Dia sedang mempersiapkan suatu
tempat di Surga bagi yang percaya kepada Yesus Kristus melalui iman kepada-Nya.
Panganut Pembebasan menyatakan Yesus Kristus sebagai “Liberator” dari
penindasan dan perbuatan dosa struktur-struktur sosial. Selain itu, Yesus
Kristus adalah pola dasar atau model untuk pembebasan.55 Artinya
kecendrungan untuk melihat Yesus Kristus sebagai “pembebas” daripada penebus
dosa umat manusia.
Menurut Teologi
Pembebasan Kristus adalah sosok yang mewakili perjuangan, kematian, dan pembelaan atau pembebasan. Diambil dari
penafsiran Alkitab, "Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah
mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia
telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan,
dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang
tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang" (Lukas
4:18-19). Tidak diragukan lagi ini
dibaca seperti sebuah manifesto sosial! Yesus sendiri hidup seperti orang miskin,
dalam kemiskinan material yang nyata, bukan
spiritual seseorang. Kriteria-Nya tentang hidup adalah memberikan
bantuan materi untuk sesama! Yesus
membuat permusuhan dengan mencela agama terorganisir dan ritual pada
masanya yang tidak berkomitmen untuk kasih terhadap sesama. Dia dieksekusi melalui
kepentingan otoritas pada masanya yang merasa terancam dalam organisasi
dan kekuasaan.56
Hal-hal positif yang ada,
yaitu: Pertama, menolak prinsip
tradisi Roma Katolik bahwa di luar institusi gereja tidak ada keselamatan
(terlepas dari pemahaman Gutierrez yang salah tentang keselamatan). Kedua,
pengakuan bahwa gereja tidak hanya
merupakan hirarki tetapi
secara total adalah umat Allah. Ketiga,
kritik menentang gereja di masa
yang lampau karena gereja ada di pihak penindas, dan menjadi kaya dan berkuasa di
tengah-tengah kemiskinan. Keempat,
panggilan kepada gereja untuk melakukan tindakan kasih sebagai wujud dari
teologi yang berdasarkan firman Tuhan.57 Kelima, secara keseluruhan Teologi Pembebasan memunyai nilai yang
tertentu dalam perkembangan teologi masa kini. Gereja-gereja Indonesia, baik di
Amerika Utara maupun di tanah air, menghadapi situasi dan kebutuhan yang
berbeda dengan gereja-gereja di Amerika Latin. Kita perlu memelajari teologi
yang kontemporer dan relevan dengan keadaan kita masing-masing, agar kita dapat
mengintegrasikan iman kita dalam doktrin yang benar.58
Keenam, aspek positif Teologi
Pembebasan (tanpa memerhatikan isi teologinya)
adalah teologi pendekatan universal. Tidak ada ruang dunia Kristen yang
tidak memunyai bentuk pembebasan. Apa
yang dimaksud dengan Teologi Pembebasan dapat membantu
kita untuk memberikan teologi kita sendiri bersifat
universal? Unsur rahasia itu adalah
suatu perhatian untuk situasi kemiskinan, penderitaan dan pengasingan. Leonardo
Boff berkata, “ Dasar Teologi Pembebasan adalah suatu nubuatan dan
komitmen persaudaraan terhadap hidup,
tujuan dan perjuangan ini . . . merendahkan dan membatasi manusia, suatu
komitmen untuk mengakhiri ketidakadilan suatu sejarah sosial.” 59
Ketujuh, kita banyak belajar dari Teologi
Pembebasan yaitu kebutuhan untuk teologi yang berdasarkan konteks. Teologi
tidak menjadi efektif kecuali jika diformulasikan untuk berfungsi dalam situasi
yang nyata dan spesifik. Karl Barth pernah berkata bahwa teologi terbaik adalah
berkreasi sesuatu dengan Alkitab pada satu tangan dan surat kabar pada tangan
yang lain!. Eksegeis harus berdasarkan suasana zaman (contemporary scene). Teologi Pembebasan melakukan hal ini dengan
baik.60
BAB V
KESIMPULAN
Teologi Pembebasan
Gutierrez bermula ketika ia melihat teologi dari gereja-gereja abad pertama
yang menekankan aspek-aspek rohani dari kehidupan Kristen, yang berpusat pada
dunia metafisik daripada tentang realita kehidupan di dunia. Jadi, teologi
Gutierrez merupakan reaksi menentang metode tradisional dalam berteologi.
Pada akhirnya, Gutierrez mengatakan
bahwa gereja tidak akan memiliki suatu teologi pembebasan yang otentik sampai
mereka yang tertindas mampu mengekspresikan diri mereka sendiri secara bebas
dan kreatif di dalam masyarakat sebagai manusia Allah. Namun, sebagaimana titik
tolak Teologi Pembebasan adalah konteks sosial di Amerika Latin,
maka teologi ini juga tidak dapat diterapkan secara utuh pada
konteks masyarakat dan kekristenan di Indonesia. Namun bentuk
teologi ini sudah memberikan sumbangsih di dalam bentuk kekristenan
yang injili. Sebagai contoh memahami injil sebagai berita pembebasan (Luk. 4:18-19).
Suatu misiologi yang “church oriented” mestinya sudah\ harus
digantikan dengan “world oriented,” tetapi yang tetap bersumber dan
bertujuan kepada Kerajaan Allah.60
Terlepas dari makna yang
terkandung didalamnya, Teologi Pembebasan mengingatkan kita untuk
menerapkan kebenaran firman Tuhan di dalam tindakan yang nyata.
Tidak hanya teori tetapi harus menyatakan perwujudan iman kepada
Kristus di dalam tindakan kasih kepada sesama sehingga Kristus
dipermuliakan (Mat. 5:13-16;Yak. 2:14-26). Dan sikap orang-orang Kristen
seharusnya juga tidak hanya dapat memberikan khotbah kepada
orang-orang yang tertindas dan dalam kesusahan, namun juga harus
mengulurkan tangan kasih sebagai perwujudan yang nyata dari firman
yang diberitakan. Selain itu, sikap kita menanggapi Teologi Pembebasan adalah
kita tetap berpegang teguh kepada Yesus Kristus, Tuhan yang menebus dosa umat
manusia dan hanya dalam Dia ada keselamatan (Yoh. 14:6; Kis. 4:12; Ef. 2:8-9).
1 Yulia Oeniyati Buffet. Teologia Kontemporer.Jakarta: Yayasan
Lembaga SABDA (YLSA),VERSI ELEKTRONIK (SABDA), 2006,23
2 A. A. Yewangoe. Implikasi Teologi Pembebasan Amerika Latin
Terhadap Misiologi dalam Mengupayakan Misi Gereja Yang Kontekstual (ed.
John Campbell-Nelson, et al.; Jakarta: Perhimpunan Sekolah-Sekolah Theologia di
Indonesia, 1995), 69.
3 Stanley J. Grenz, and
Roger E. Olson. 20thCentury Theology: God
& The World in a Transitional Age (Downers Grove: InterVarsity, 1992), 213.
4 Baskara T. Wardaya. Spiritualitas Pembebasan: Refleksi Atas Iman
Kristiani dan Praksis Pastoral (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 106.
5 Grenz, 216-217.
6 Hans Schwarz. Theology In A Global Context The Last Two
Handred Years (USA: William B. Eerdmans Publishing Company, Grand Raids,
Michigan/Cambridge, U.K., 2005), 484-485.
7 Gustavo Gutierrez, dikutip
oleh Grenz,211.
8 Gutierrez mengartikan
“praksis” sebagai segi-segi eksistensial dan aktif dari kehidupan Kristen.
Istilah praksis itu sendiri diadopsi dari Marxisme.
9 Disebut
refleksi kritikal karena menganalisa situasi Amerika Latin berdasarkan ilmu
pengetahuan manusia termasuk penafsiran sosiologis Marxis. Lebih
10 G. T. Tjahjoko. Teologia Pembebasan: Tinjauan Khusus
Terhadap Persepsi Gustavo Gutierrez
(Pelita Zaman November 1991),166.
11 Eta Linnemann. Teologi
Kontemporer lmu atau Praduga?. (Malang: Institut Injil Indonesia,1991), 196.
12 Gustavo
Gutierrez, dikutip oleh Grenz, 211.
13Grenz,
20th Century, 211; Evangelical Dictionary of Theology (ed.
Walter A. Elwell; Grand Rapids: Baker, 1985), 635.
14 Yewangoe,
72.
15 Elwell, 635; bdk. Yewangoe, “Implikasi” 71.
16 Stevril I. Lumintang.
Theologi Abu-Abu Pluralisme Agama (Malang:
Penerbit Gandum Mas, 2004), 375.
17 Grenz,
214-215.
18 Lane, Tony. Runtut Pijar: Sejarah Pemikiran Manusia.
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993,270.
19 Natalie. Evaluasi Kritis
Terhadap Doktrin Gereja
Dari Teologi Pembebasan (Malang: Jurnal SAAT,
2000), 184.
20 Ibid,185.
21 G.
Berghoef, dan L. DeKoster. Liberation
Theology: The Church’s Future Shock (Grand Rapids: Christian’s Library,
1984), 51, 59-69, 120.
22 Natalie, 186.
23 Ibid, 186.
24 Ibid, 186.
25 Linnemann, 201.
26 Purnomo, 7-8.
27 Natalie, 186.
28 Ibid, 186.
29 Ibid, 187.
30 David L. Smith. A
Handbookof Contemporary Theology. (Grand Rapids:bridgePoint Books, 1992), 218.
31 C. Nunez,. dan A. Emilio. Liberation Theology (Chicago: Moody, 1985), 245.
32 Natalie, 187.
33 Nunez, 249.
34 Grenz, 222.
35 Natalie, 188.
36
Ibid., 188.
37
Nunez, 255.
38 Natalie, 188.
39 Ibid, 188.
40 Nunez,
259. Teologi Pembebasan juga menggunakan suatu paradigma revolusi dari
nabi-nabi PL, yang pelayanannya tidak hanya menyatakan “masa yang akan datang”
(apokaliptik), tetapi juga melakukan reformasi-reformasi sosial.
41 Ibid, 184.
42 Natalie, 189.
43 Yewangoe,75.
44 Natalie, 189.
45 Nunez, 264-265.
46 Richard
J. Mouw. Dipilih untuk sebuah Misi
Global: Panggilan menuju Agenda Reformed yang Lebih Luas dalam Gustavo
Gutierrez. A Theology of Liberation: History, Politics and Salvation. Maryknoll:
Orbis Books, 1973,206–207 tersedia di http://www.calvin.edu/admin/cccs/rcc/chapters/Mouw_Bahasa.pdf diakses 8
November 2011.
47 Linnemann, 204-205.
48
Purnomo, 9.
49 Yakub B. Susabda. Teologi Modern II (Jakarta: Lembaga Reformed
Injili Indonesia, 1990), 136.
50 Natalie,
189-190.
51 Purnomo, 9,10.
52 Smith, 223-224.
53
Ibid, 224.
54
Alkitab Terjemahan Bahasa Indonesia. “Keselamatan” berdasarkan Efesus 2:8-9.
55 Smith, 224.
56 Marian
Hillar. Liberation
Theology:Religious Response To Social Problems. A Survey (Houston:Published in Humanism and Social Issues, 1993) ,42,43.
57 Natalie, 190.
58 Purnomo,
10.
59 Smith, 224.
60 Ibid, 224.
61 Yewangoe,
82.
DAFTAR PUSTAKA
AlkitabTerjemahan Baru. Jakarta:Lembaga
Alkitab Indonesia, 2004.
Buffet, Yulia Oeniyati. Teologia Kontemporer. Jakarta: Yayasan
Lembaga SABDA (YLSA),VERSI ELEKTRONIK (SABDA), 2006,23-24.
Elwell, Walter A. Evangelical
Dictionary of Theology. Grand Rapids: Baker, 1985.
Grenz, Stanley J., Roger E. Olson. 20th-Century
Theology: God & The World in a
Transitional Age . USA:Downers Grove, InterVarsity, 1992.
Hillar, Marian. Liberation Theology:Religious Response
To Social Problems. A Survey. Houston:Published in Humanism and Social Issues,
1993.
Lane, Tony. Runtut Pijar: Sejarah Pemikiran Manusia.Terj. Conny Item. Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1993.
Linnemann,
Eta. Teologi Kontemporer lmu atau Praduga?.
Malang: Institut Injil Indonesia,1991.
Lumintang,
Stevril I. Theologi Abu-Abu Pluralisme
Agama. Malang: Penerbit Gandum Mas, 2004.
Gutierrez,
Gustavo. A Theology of Liberation: History, Politics and Salvation .
Maryknoll: Orbis Books, 1973.
Mouw, Richard
J. Dipilih untuk sebuah Misi Global:
Panggilan menuju Agenda Reformed yang Lebih Luas dalam Gustavo
Gutierrez. A Theology of Liberation: History, Politics and Salvation. Maryknoll:
Orbis Books, 1973, 206–207. Diakses 8
November 2011 dari internet http://www.calvin.edu/admin/cccs/rcc/chapters/Mouw_Bahasa.pdf
Natalie. Evaluasi
Kritis Terhadap Doktrin
Gereja Dari Teologi Pembebasan. Malang: SAAT, Veritas:Jurnal Teologi dan Pelayanan,
Oktober 2000, 181-191.
Nunez, C. dan A.
Emilio. Liberation Theology . Chicago: Moody Press, 1985.
Purnomo, David Pan. Menjawab Pertanyaan-pertanyaan Kontemporer. Malang: Seminari
Alkitab Asia Tenggara, 1997.
Schwarz, Hans. Theology In A Global Context The Last Two Handred Years. USA:
William B. Eerdmans Publishing Company, Grand Raids, Michigan/Cambridge, U.K.,
2005.
Smith, David L. A Handbookof Contemporary Theology.
Grand Rapids:BridgePoint Books, 1992.
Susabda, Yakub B. Teologi
Modern II. Jakarta: Lembaga Reformed Injili Indonesia, 1990.
Yewangoe, A. A. Implikasi Teologi Pembebasan Amerika Latin
Terhadap Misiologi dalam Mengupayakan Misi Gereja Yang Kontekstual.
Jakarta: Perhimpunan Sekolah-Sekolah Theologia di Indonesia, 1995.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar