Good News

Jumat, 31 Oktober 2014

Pendahuluan: Dasar Teologi yang Teguh (Dr. Daniel Ronda, STT Jaffray)



Mengapa Belajar Teologi?
          Banyak pertanyaan yang diajukan orang Kristen yang tulus dengan mengatakan, untuk apa belajar teologi? Pertanyaan ini diajukan mengingat seringkali mimbar khotbah banyak berisi kajian teologis masa lalu dengan argumen teolog tempo dulu sehingga membuat jemaat bingung. Padahal teologi secara sederhana dipahami sebagai pokok-pokok iman sehingga perlu diketahui dan dipercayai setiap orang yang mengaku dirinya Kristen. Itu sebabnya tempat teologi bukan hanya di sekolah teologi, tetapi juga di gereja. Ada beberapa sebab mengapa semua orang perlu belajar teologi:
          Pertama, bahwa setiap orang percaya adalah teolog. Bahwa setiap orang yang mencari jawab atas pertanyaan tentang sesuatu yang mutlak/tertinggi, dia sedang berteologi.  Misalnya, seorang yang mencari jawaban atas pertanyaan tentang eksistensi Allah dan bagaimana hubungan manusia dengan Tuhan adalah seorang teolog.[1] Atau ketika seseorang bertanya apa arti hidup, dari mana asal dirinya, apa tujuan hidupnya, dan ke mana hidup itu bermuara, maka dia sedang melakukan aktivitas teologi di mana pertanyaan itu diajukannya dengan mencari jawaban di Alkitab.
          Kedua, teologi adalah bagian yang sangat mendasar dalam pemuridan (Mat. 28:20). Bila teologi didefinisikan sebagai studi secara sistematis terhadap apa yang seluruh Alkitab ajarkan tentang berbagai topik, maka tugas dari setiap teolog adalah untuk mengikuti perintah Kristus yaitu memuridkan dengan “Ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu” (Mat. 28:20). Jadi dalam memuridkan ada pengajaran dan dalam pengajaran dilakukan dengan menguraikan makna firman Tuhan dengan memberikan fondasinya. Itu adalah aktivitas teologi.
          Ketiga, belajar teologi menyenangkan Allah. Yesus memberikan perintah yang terbesar dengan mengutip Shema dari Ulangan 6:5 yang menyatakan, “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu” (Mrk. 12:30; Mat. 22:37; Luk. 10:27). Setiap orang percaya mengasihi Allah dengan pikirannya melalui perenungan akan kebenaran tentang siapakah Allah (God’s attributes) dan apa yang telah Dia perbuat (God’s actions).  Jadi, dalam mengasihi Allah ada aspek kognitif yang terlibat, dan inilah pentingnya belajar teologi. Tuhan amat senang jika umatNya belajar teologi dengan hati, jiwa dan akal serta bergantung akan Tuhan.
Keempat, teologi menyiapkan isi dari iman kita. Setiap orang pasti memercayai sesuatu. Yang membedakannya adalah apakah objek dari kepercayaan atau imannya itu.  Iman di dalam Alkitab memiliki satu objek yaitu Allah sendiri.  Teologi pada sisi lain adalah apa yang kita percayai tentang Allah. Iman adalah percaya kepada Allah dan komitmen untuk mengizinkan Allah memimpin dan memerintah kita. Dengan memiliki pengetahuan tentang Allah yang didapat lewat pembelajaran teologi, maka ini merupakan dasar untuk bertumbuh dalam kepercayaan di dalam Allah dan memiliki komitmen yang sungguh kepada-Nya.
Kelima, teologi menyiapkan pedoman untuk etika Kristen. Alister McGrath pernah menulis, “Ethics Rest Upon Doctrine.”[2] Maksudnya adalah teologi harus menjadi dasar dalam melaksanakan prinsip-prinsip bagi tingkah laku orang percaya. Sebagai contoh dalam tulisan-tulisan Paulus, di mana dia selalu memberikan dasar teologis dahulu (indicatives) dan sesudah itu baru ada perintah (imperatives).  Contoh, dalam Roma 6 berisi pernyataan-pernyataan (ayat 1-10) dan kemudian diikuti oleh beberapa perintah (ayat 11-14). Disadari bahwa etika yang solid dan benar adalah karena memiliki fondasi teologi yang baik. Ketika seseorang tidak memiliki fondasi teologis yang kuat, maka dipastikan etika mereka bersifat humanis dan hanya menjaga masyarakat sipil yang baik tapi mengalami kegamangan soal kegunaan dari memelihara etika yang baik.



[1] Lihat bahasan Stanley J. Grenz and Roger E. Olson, Who Needs Theology (Downers Grove, IL: InterVarsity, 1996), 13-15.
[2] Alister McGrath, Understanding Doctrine: Its Purpose and Relevance for Today (London: Hodder & Stoughton, 1990), 90-98.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar