Menurut
Ideologi Konservatif
Umumnya kaum
konservatif melihat masalah kemiskinan sebagai kesalahan pada orang miskin
sendiri. Mereka cenderung menilai
positif struktur sosial yang sudah ada, maka orang-orang yang miskin dianggap
sebagai orang yang gagal menyesuaikan diri dalam tata sosial yang ada atau
bahkan menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang diharapkan dan yang sudah
disetujui masyarakat. Kaum konservatif
senang menyebarluaskan contoh-contoh orang yang berhasil naik jenjang. Kaum konservatif tidak memandang kemiskinan sebagai masalah yang
serius dan percaya bahwa kemiskinan akan terselesaikan dengan sendirinya.[1] Kaum
konservatif dalam memandang kemiskinan sebagai suatu kesalahan dan kebodohan
bagi orang yang miskin dan terkesan pasif atau tidak peduli kepada orang
miskin.
Menurut
Ideologi Liberal
Kaum liberal
memandang kemiskinan sebagai masalah yang serius, karenanya harus
dipecahkan. Masalah kemiskinan dapat diselesaikan
dalam struktur politik, ekonomi uang sudah ada.
Ada kepercayaan kuat kaum liberal, bahwa orang miskin pasti dapat
mengatasi kemiskinan mereka asal mereka mendapat kesempatan berusaha yang
memadai. Untuk mengatasi kemiskinan mereka mengusulkan diperbaikinya
pelayanan-pelayanan bagi kaum miskin, membuka kesempatan-kesempatan kerja baru,
membangun perumahan dan menyebarluaskan pendidikan. Menurut kaum liberal agar orang miskin
terbebaskan dari kultur kemiskinan perlu
diadakan perubahan-perubahan terhadap lingkungan dan situasi mereka.[2]
Allah ternyata tidak mengabaikan
kebutuhan jasmani manusia. Ketika Yesus melayani di dunia, Ia melakukan banyak
tindakan sosial, misalnya menyembuhkan penyakit (Mat 4:23;9:35;10:1) dan memberi
makan orang banyak (Mat 14:14-21;Mrk 6:34-44). Dia juga memperhatikan orang
yang ditolak oleh masyarakat, misalnya orang kusta (Mat 8:1-3; Luk 17:12-14),
pemungut cukai dan orang berdosa (Luk 15:1-2). Ajaran dan tindakan Yesus ini
diikuti oleh para rasul. Paulus secara khusus berusaha membantu orang-orang
kudus di Yerusalem yang mengalami kekurangan (Rom 15:25; 2Kor 8:1-8) dan para
janda yang tidak memiliki keluarga sebagai penyokong kehidupan (1Tim 5:3-10).
Tindakan sosial di atas sangat berbeda dengan program Injil Sosial (kaum
Kristen Liberalisme). Yesus tidak memakai cara-cara sekuler untuk mengubah
situasi sosial pada jaman-Nya. Dia hanya memberi teladan tentang apa yang harus
dilakukan manusia terhadap sesamanya. Baik Yesus maupun para rasul tidak
melakukan tindakan revolusioner untuk mengubah tatanan sosial waktu itu,
walaupun sikap ini tidak berarti bahwa mereka setuju dengan apa yang terjadi.[3]
Menurut Kisah
Penciptaan
Menurut Teologi Pembebasan
Menurut Leonardo
Boff, teolog pembebasan bahwa kemiskinan di antara orang banyak muncul karena
persoalan ketidakadilan yang besar, bersamaan dengan kegagalan di dalam
solidaritas dan persekutuan. Kemiskinan bersemi dari ketamakan yang terkekang
dari sebagian individu dan negara.[4] Teolog pembebasan lainnya bernama Gutierrez mengatakan bahwa gereja tidak akan memiliki
suatu teologi pembebasan yang otentik sampai mereka yang tertindas mampu
mengekspresikan diri mereka sendiri secara bebas dan kreatif di dalam
masyarakat sebagai manusia Allah. Gutierrez juga setuju dengan James H. Cone
yang di dalam Teologi Hitamnya menulis bahwa teologi berhenti menjadi teologi Injil
ketika ia gagal untuk muncul dari komunita yang tertindas.[5]
Terlepas dari makna yang terkandung didalamnya, Teologi Pembebasan mengingatkan
kita untuk menerapkan kebenaran firman Tuhan di dalam tindakan yang nyata.
Tidak hanya teori tetapi harus menyatakan perwujudan iman kepada Kristus di
dalam tindakan kasih kepada sesama sehingga Kristus dipermuliakan (Mat.
5:13-16; Yak. 2:14-26). Dan orang-orang Kristen seharusnya juga tidak hanya
dapat memberikan khotbah kepada orang-orang yang tertindas dan dalam kesusahan
namun juga harus mengulurkan tangan kasih sebagai perwujudan yang nyata dari
firman yang diberitakan.[6]
Hal
yang mendesak yang perlu dilakukan adalah menegaskan ulang keberpihakan kepada
orang miskin, yang jumlahnya banyak sekali, yang diekploitasi dan “disembelih”
oleh sekelompok kecil spesies yang sama. Mengawali keberpihakan kepada orang miskin
kita memerlukan suatu etika, yaitu belarasa (solidaritas) dan prinsip tanggung
jawab. Etika ini dimuarakan pada tindakan untuk mempertahankan dan
mempromosikan hidup, yang dimulai terhadap orang-orang yang paling terancam.[7]
Menurut Teologi Feminis
Pandangan Alkitab tentang Kemiskinan dan Kelaparan
Perjanjian Lama
Yesus
menggenapi perkataan Yesaya yang berbicara mengenai Allah: “Sebab Engkau
menjadi tempat pengungsian bagi orang lemah, tempat pengungsian bagi orang
miskin dalam kesesakannya” (Yes 25:4). Pembebasan orang lemah dan orang miskin
dari ketamakan orang kuat yang Yesus lakukan ini berpararel dengan tema kunci
tindakan pelepasan oleh Allah dalam kitab Yesaya dimulai dengan penghukuman
atas ketidakadilan yang timbul dari keserakahan: “Para pemimpinmu adalah
pemberontak dan bersekongkol dengan pencuri. Semuanya suka menerima suap dan
mengejar sogok. Mereka tidak membela hak anak-anak yatim, dan perkara
janda-janda tidak sampai kepada mereka” (Yesaya 1:23). Inilah adalah Firman
Allah. Yesus mengajarkan bahwa Allah sangat peduli terhadap orang miskin dan
orang yang tidak berdaya. Ia tidak hanya mengajarkannya, tetapi Ia melakukannya
juga. Yesus memberi makan orang yang miskin dan yang lapar dan mengajar para
murid untuk berbagi dengan orang-orang yang sedang membutuhkan. Ia membawa
jalan pembebasan. Kerajaan itu dimulai dalam Yesus.[8]
Perjanjian Baru
Pembebasan orang miskin dari pemerasan
oleh pihak kuat dan dari kebutuhan mereka merupakan sebuah tema sentral dari
khotbah Yohanes Pembaptis. Yohanes menyatakan, “Barangsiapa mempunyai dua helai
baju, hendaklah ia membaginya dengan yang tidak punya, dan barangsiapa
mempunyai makanan, hendaklah ia berbuat juga demikian. “Ia berkata kepada para
pemungut cukai, “Jangan menagih lebih banyak dari pada yang ditentukan bagimu,”
dan kepada para prajurit, “Jangan merampas dan jangan memeras dan cukupkanlah
dirimu dengan gajimu” (Luk 3:1-14; Mrk 3:1-10). Yohanes menjalani sebagian
besar kehidupannya di padang gurun. Yesus memuji dia sebagai nabi Allah dan
menyatakan suatu kontras, “orang yang berpakaian indah dan yang hidup mewah,
tempatnya di istanan raja” (Luk 7:24-30).[9]
Yesus
membela perihal memberi makan kepada orang lapar pada hari Sabat, dengan
mengutip Hosea 6:6 dan berkata kepada orang-orang Farisi, “Jika memang kamu
mengerti maksud Firman ini: Yang kukehendaki ialah belas kasihan dan bukan
persembahan, tentu kamu tidak menghukum orang yang tidak bersalah” (Mat
12:1-8;Mrk 2:23-28;Luk 6:1-5). Tindakan kemurahan terhadap orang yang lapar
merupakan tindakan keadilan kovenan dalam Perjanjian Lama. Dalam tulisan
tentang serangan simbolis Yesus di Bait Suci, Matius mengutip Yeremia 7, yang
menyerukan agar bersungguh-bersungguh memperlakukan orang asing, yatim piatu,
dan janda dengan adil (Yer 7:5-8).[10]
Pelayanan
sosial yang paling disoroti untuk mendapat perhatian adalah masalah kemiskinan
yaitu terjadinya kesenjangan antara si kaya dan si miskin yang terlalu dalam.
Dalam pengajaran-Nya, Yesus mengejutkan orang kaya dengan perkataan-Nya
mengenai berbagi atau memberi. Kepada orang muda yang kaya yang datang bertanya
mengenai hidup yang kekal, Yesus berkata ia harus menjual semua miliknya yang
banyak itu dan memberikan semua kekayaannya kepada kaum miskin. Ketika orang
muda kaya itu berpaling dengan sedih, Yesus menambahkan komentar yang masih
menggegerkan semua orang kaya: ”Sebab lebih mudah seekor unta masuk melalui
lubang jarum daripada seorang kaya”. Namun, ada pula orang kaya lainnya seperti
Zakheus menanggapinya dalam ketaatan pertobatan, ia memberikan setengah miliknya
kepada kaum miskin (Lukas 19:2-10). Kepada mereka yang tidak memberi makan
kepada yang lapar dan pakaian kepada yang telanjang, Ia berkata, “enyahlah ke
dalam api yang kekal…“ (Matius 25:31-46). Yesus menghadirkan tantangan radikal
kepada tatanan yang makmur tapi tidak peduli.[11]
Namun, ada pendapat berbeda bahwa Injil Matius 25:31-46 tidak bisa ditafsirkan untuk kepentingan
sosial. Pengajaran tentang penerapan nilai-nilai sosial iman Kristen
berdasarkan Matius 25:31-46 jelas adalah suatu upaya eisegesis yang memaksa
bagian ini untuk berbicara tentang hal-hal yang tidak dimaksudkannya. Kesetiaan
terhadap konteks telah dilalaikan sehingga selera dan kesan pembaca, bukan
pokok pikiran penulisnya, yang menentukan makna dari teks Alkitab.[12]
Menurut penulis perikop Matius 25:31-46 mengajarkan kasih Kristus secara
menyeluruh tidak hanya untuk pelayanan sosial tetapi yang teruma adalah
mengasihi Tuhan yang memberi dampak positif untuk kepentingan sosial (Matius
22:37-40).
Penting
sekali untuk memahami ajaran Yesus bahwa Kerajaan Mesianik-Nya khusus untuk
orang miskin (Lukas 6:20-21). Ketika Yohanes Pembaptis bertanya apakah Ia
Mesias itu, Yesus menunjuk pada kenyataan bahwa Ia menyembuhkan yang sakit dan memberitakan Injil Kerajaan kepada kaum
miskin (Lukas 7:21-22). Amanat Yesus yang pertama di sinagoge di Nazaret memuat
pernyataan yang sama tentang pemberitaan kepada kaum miskin (Lukas 4:18). Injil
adalah kabar luar biasa bagi kaum miskin karena persekutuan Kerajaan Yesus yang
baru merangkul kaum miskin, menyambut mereka ke dalam persekutuan mereka, dan
berbagi dalam hal ekonomi sehingga, dalam kata-kata Kitab Kisah Para Rasul,
“tidak ada lagi orang miskin di antara mereka” (Kisah Para Rasul 2:44).[13]
Kerajaan
Yesus jelas holistik dalam segala hal. Syukur kepada Allah bahwa Ia membawa
pengampunan dari Allah dan penyucian pribadi serta batin dalam kekuasaan Roh.
Tapi Ia juga menantang dan mentransformasi tatanan sosial. Ini tidak berarti bahwa kita harus
mengatakan bahwa Kerajaan telah datang jika keadilan terdapat dalam masyarakat
sekuler. Kabar Baik Kerajaan menghindarkan gereja untuk tidak selalu asyik
dengan dirinya sendiri. Howard Snyder mengatakan hal itu dengan tajam:
“Orang-orang gereja berpikir tentang bagaimana menarik orang masuk ke gereja;
orang-orang Kerajaan berpikir tentang bagaimana membawa gereja ke dalam dunia.
Orang-orang gereja khawatir bahwa dunia mungkin mengubah gereja; orang-orang
Kerajaan bekerja untuk melihat gereja mengubah dunia.[14]
Kehidupan dalam pelayanan holistik
Paulus dalam pelayanan sosial yang menyentuh aspek jasmani dibuktikan,
“kelaparan terjadi menimpa seluruh dunia hal itu terjadi jaman Klaudius lalu
Paulus memutuskan untuk mengumpulkan dana sumbangan dengan kemampuan
masing-masing untuk membantu dan menolong mereka yang kelaparan” (Kisah Para
Rasul 11:28-29).
Pelayanan sosial terdapat dalam
rangkaian pengajaran yang Maha Agung, Tuhan Yesus pernah mengatakan,
“Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang
empunya kerajaan Sorga”. Orang yang miskin namun berbahagia. Tulisan Eka
Darmaputera yang sangat menyegarkan memberi ulasan yang sederhana untuk
membantu memahami perkataan agung Tuhan Yesus ini.[15] Orang
yang miskin itu adalah mereka yang memang miskin secara ekonomi. Pola dunia
memberikan ruang dan tempat hanya bagi orang berpunya. Fasilitas atau hak untuk
diperlakukan secara adil, terhormat dan manusiawi kerap menjadi milik ekslusif
orang yang kaya dan berkuasa. Bukan untuk orang miskin.[16]
Orang yang miskin di sini juga adalah
mereka yang ‘miskin’ di segala bidang kehidupan. Termasuk orang-orang yang
barangkali tidak miskin secara ekonomi, tetapi tertindas secara politik atau
kultural. Mereka juga diperhatikan Allah. Orang yang miskin ketiga adalah
mereka yang tidak memiliki apa-apa yang dapat dibanggakan. ‘miskin’ berarti
mereka yang hak-haknya tidak diperdulikan. ‘Miskin’ adalah kelompok yang karena
kemiskinannya menjadi objek untuk diperah atau diperas, dibodohi dan diperdaya.[17]
Kerajaan dunia tidak memberikan ruang
bagi mereka yang miskin, namun Allah memperhatikan mereka, bahkan mereka
memiliki Kerajaan Allah. Pesan ini hendak mengatakan agar si miskin bangkit,
dan tidak hanya berhenti merenungi nasib. Sebaliknya, mereka harus bangkit
karena Allah di pihak mereka. Sekaligus ini adalah peringatan keras bagi orang
kaya untuk mulai menghargai dan mengasihi mereka, si miskin sebagai sesama.
Tidak lagi menginjak, tidak lagi mengeksplotasi, tetapi bertindak adil kepada
mereka, karena Allah pun mengasihi mereka.[18]
Glen H. Stassen dan David P. Gushee juga
menyatakan hal senada. Menurut pandangan mereka, Yesus mengajarkan baahwa
mereka yang miskin secara rohani, mereka yang berdoa dengan rendah hati tanpa
mengklaim diri lebih baik daripada orang lain, adalah orang-orang yang
berpartisipasi dalam pemerintahan Allah. Namun perlu diperhatikan bahwa fokus
dari orang yang miskin dalam roh atau miskin di hadapan Allah bukan terletak
pada kerendahan hatinya atau kebajikannya sendiri, tetapi anugerah dan belas
kasihan Allah. Allah itu kasih, dan Allah mengetahui bahwa orang-orang yang
berkuasa sering memakai kekuasaan itu untuk menjaga hak-hak istimewa mereka
sendiri dan mencari lebih banyak kekuasaan. Yesus menggenapi Yesaya 61:1-2,
membawa kabar baik kepada orang-orang miskin (Matius 5:3-5;11:5;Lukas
4:16-21;7:22). Ia merangkul orang-orang yang terbuang secara sosial dan
religius.[19]
Selain kemiskinan secara jasmani juga
terjadi kemiskinan spiritual. Sebagai orang Kristen, kita sering memungkiri dan
tidak memperdulikan kemiskinan spiritual ini. Namun kemiskinan ini nampak jelas
dalam dua hal. Pertama, sebagai orang beribadah kita menolak kuasa-Nya (2 Timotius
3:5). Kedua, kebenaran yang kita saksikan dan pahami secara intelektual, tidak
kita laksanakan dengan sungguh-sungguh karena menuntut pengorbanan, maka kekristenan
kurang tampak dalam tingkah laku dan kehidupan kita sehari-hari. Seharusnya
kebenaran yang bersifat kreatif, menerangi hati kita serta mengtransformasikan
pikiran dan tindakan. Kita harus berpartisipasi pada kebenaran untuk dapat
menghayati kuasanya, tetapi hal itu hanya terjadi apabila kita melakukan dengan
taat apa yang kita ketahui dan menyelaraskan kehendak kita dengan komitmen
kepada Tuhan Yesus Kristus. Pada hakekatnya harus diakui, kita menolak perintah
Kristus untuk bertobat (Markus 1:15). Kita mengertaskan hati terhadap suara
Tuhan (Ibrani 3:7-8) sehingga kita tidak mengalami pembaharuan serta dinamika
Roh Kudus. Akibatnya kita lalai terhadap panggilan hidup “di dalam Kristus” dan
“di dalam dunia”, sehingga pembangunan Kerajaan Allah dan pembangunan negara
menjadi terlantar.[20]
Tentu tidak boleh dilupakan bagaiman
perhatian para Rasul pada masa gereja mula-mula terhadap pelayanan belas
kasihan pada ‘si miskin’. Ketika jumlah murid-murid semakin bertambah,
perhatian pelayanan belas kasihan kepada janda-janda dalam jemaat mula
terabaikan, disebabkan konsentrasi para rasul pada pemberitaan dan pengajaran.
Menyiasati terbengkalainya pelayanan istimewa ini, maka dipilihlah tujuh orang
diaken pertama dalam gereja yang fokus pelayanannya adalah pelayanan
pemerhatian terhadap kebutuhan sehari-hari para janda yang memang membutuhkan
perhatian (Kisah 6:1-7). Ini bukti bahwa gereja memilkiki peranan penting dalam
masalah kemiskinan yang pelik ini. Pelayanan diakonia adalah peran serta gereja
yang sangat terlihat nyata dalam masyarakat.[21]
Tanggung Jawab
Kristen terhadap Kemiskinan dan Kelaparan
Sidang Raya VII berpesan antara lain:”
Gereja disuruh ke dalam dunia untuk memberitakan Injil Yesus Kristus. Injil
adalah berita kesukaan mengenai pertobatan dan pembaruan yang tersedia bagi
manusia (Markus 1:1-15) serta kebebasan, keadilan, kebenaran, dan kesejahteraan
yang dikehendaki Tuhan untuk dunia (Lukas 4:8-21). Kita terpanggil turut serta
secara bertanggung jawab dalam usaha membebaskan manusia dari penderitaannya
yang disebabkan oleh keterbelakangan, kemiskinan, penyakit, ketakutan, dan
ketidakpastian hukum.[22]
[1] JB.
Banawiratma, SJ., editor. Kemiskinan dan
Pembebasan (Yogyakarta: Kanisius, 1987) 17-18.
[2] Ibid, 18-19.
[3]Yakub Tri
Handoko, Injil Sosial (Surabaya:Sekolah Alkitab Malam GKKA Tenggilis, 28 Mei
2007) tersedia di www.gkri-exodus.org/image.../APO%2007%20Injil%20Sosial.pdf diakses tanggal
07 November 2012.
[4] Ranto G. Simamora, Misis Kemanusiaan Dan Globalisasi Teologi
Misi dalamKonteks Globalisasi di Indonesia (Bandung: Ink Media, 2006), 105;
Leonardo Boff, Passion of Christ, Passion
of the World:The Fact, Their Interpretation, and Their meaning, Yesterday and
Today (Maryknoll, New York:Orbiss Books, 1987), 118.
[5] Natalie, Evaluasi KritisTerhadap Doktrin Gereja Dari Teologi Pembebasan (Mallang:
Jurnal Veritas SAAT Malang, Oktober 2000), 191.
[6] Ibid., 191.
[7] Ranto G. Simamora, 107.
[8] Glenn H. Stassendan David P.
Gushee, Etika Kerajaan Mengikut Yesus
dalam Konteks Masa Kini (Surabaya: Penerbit Momentum), 465.
[9]Glenn H. Stassendan David P.
Gushee, 462-463.
[10] Glenn H. Stassendan David P.
Gushee, Etika Kerajaan Mengikut Yesus
dalam Konteks Masa Kini (Surabaya: Penerbit Momentum), 464.
[11] Ron Sider, “Bagaimana Jika Injil
Adalah Kabar Baik?” dalam Misi Menurut Perspektif Alkitab (Jakarta:Yayasan Komunikasi Bina
Kasih, 2007), 113.
[12] Jon Hendri Foh ,Orang Miskin Adalah Saudara Kristus! Benarkah
Matius 25:31-46 berbicara tentang
kepedulian sosial terhadap orang yang kekurangan? tersedia diwww.gkagloria.or.id/artikel/a07.php diakses
tanggal 11 April 2012.
[13]
Ron Sider, “Bagaimana Jika Injil Adalah Kabar Baik?” dalam Misi Menurut Perspektif Alkitab, 113-114.
[14]
Ibid., 120.
[15] Eka Darmaputera, Khotbah Yesus di Bukit: Sebuah Uraian
Populer (Yogyakarta:Gloria Graffa,2002), 26-31.
[16] Cathryne B. Nainggolan, Masalah Kemiskinan dan Kepedulian Gereja
(Bandung: Jurnal Teologi STULOS Volume 10 Nomor 1 April 2011), 146.
[17] Ibid., 147.
[18] Ibid., 147.
[19] Glen H. Stassen dan David P.
Gushee, Etika Kerajaan:Mengikuti Yesus
dalam Konteks Masa Kini (Surabaya:Momentum, 2008), 27-28.
[20]Dorothy Irene Marx, “Usul Gereja
Berteologi Masa Kini” dalam Menuju
Tahun 2000:Tantangan Gereja di Indonesia
(Bandung: Pusat Literatur EUANGELION, 1990),139.
[21] Cathryne B. Nainggolan, Masalah Kemiskinan dan Kepedulian Gereja (Bandung:
Jurnal Teologi STULOS Volume 10 Nomor 1 April 2011),153.
[22] Ranto G. Simamora, Misis Kemanusiaan Dan Globalisasi Teologi Misi dalamKonteks Globalisasi
di Indonesia (Bandung: Ink Media, 2006), 69; Notulen Sidang Raya VII
Dewan Gereja-gereja di Indonesia, 18-28 April 1971, di Pematang Siantar, 93-94.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar