Good News

Jumat, 24 Oktober 2014

Pandangan-pandangan tentang Kemiskinan dan Kelaparan

By Hengki Wijaya dkk


Menurut Ideologi Konservatif
Umumnya kaum konservatif melihat masalah kemiskinan sebagai kesalahan pada orang miskin sendiri.  Mereka cenderung menilai positif struktur sosial yang sudah ada, maka orang-orang yang miskin dianggap sebagai orang yang gagal menyesuaikan diri dalam tata sosial yang ada atau bahkan menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang diharapkan dan yang sudah disetujui masyarakat.  Kaum konservatif senang menyebarluaskan contoh-contoh orang yang berhasil naik jenjang.  Kaum konservatif tidak  memandang kemiskinan sebagai masalah yang serius dan percaya bahwa kemiskinan akan terselesaikan dengan sendirinya.[1] Kaum konservatif dalam memandang kemiskinan sebagai suatu kesalahan dan kebodohan bagi orang yang miskin dan terkesan pasif atau tidak peduli kepada orang miskin.


Menurut Ideologi Liberal
Kaum liberal memandang kemiskinan sebagai masalah yang serius, karenanya harus dipecahkan.  Masalah kemiskinan dapat diselesaikan dalam struktur politik, ekonomi uang sudah ada.  Ada kepercayaan kuat kaum liberal, bahwa orang miskin pasti dapat mengatasi kemiskinan mereka asal mereka mendapat kesempatan berusaha yang memadai. Untuk mengatasi kemiskinan mereka mengusulkan diperbaikinya pelayanan-pelayanan bagi kaum miskin, membuka kesempatan-kesempatan kerja baru, membangun perumahan dan menyebarluaskan pendidikan.  Menurut kaum liberal agar orang miskin terbebaskan dari kultur kemiskinan  perlu diadakan perubahan-perubahan terhadap lingkungan dan situasi mereka.[2]
Allah ternyata tidak mengabaikan kebutuhan jasmani manusia. Ketika Yesus melayani di dunia, Ia melakukan banyak tindakan sosial, misalnya menyembuhkan penyakit (Mat 4:23;9:35;10:1) dan memberi makan orang banyak (Mat 14:14-21;Mrk 6:34-44). Dia juga memperhatikan orang yang ditolak oleh masyarakat, misalnya orang kusta (Mat 8:1-3; Luk 17:12-14), pemungut cukai dan orang berdosa (Luk 15:1-2). Ajaran dan tindakan Yesus ini diikuti oleh para rasul. Paulus secara khusus berusaha membantu orang-orang kudus di Yerusalem yang mengalami kekurangan (Rom 15:25; 2Kor 8:1-8) dan para janda yang tidak memiliki keluarga sebagai penyokong kehidupan (1Tim 5:3-10). Tindakan sosial di atas sangat berbeda dengan program Injil Sosial (kaum Kristen Liberalisme). Yesus tidak memakai cara-cara sekuler untuk mengubah situasi sosial pada jaman-Nya. Dia hanya memberi teladan tentang apa yang harus dilakukan manusia terhadap sesamanya. Baik Yesus maupun para rasul tidak melakukan tindakan revolusioner untuk mengubah tatanan sosial waktu itu, walaupun sikap ini tidak berarti bahwa mereka setuju dengan apa yang terjadi.[3]

Menurut Kisah Penciptaan

Menurut Teologi Pembebasan
           Menurut Leonardo Boff, teolog pembebasan bahwa kemiskinan di antara orang banyak muncul karena persoalan ketidakadilan yang besar, bersamaan dengan kegagalan di dalam solidaritas dan persekutuan. Kemiskinan bersemi dari ketamakan yang terkekang dari sebagian individu dan negara.[4]  Teolog pembebasan lainnya bernama Gutierrez mengatakan bahwa gereja tidak akan memiliki suatu teologi pembebasan yang otentik sampai mereka yang tertindas mampu mengekspresikan diri mereka sendiri secara bebas dan kreatif di dalam masyarakat sebagai manusia Allah. Gutierrez juga setuju dengan James H. Cone yang di dalam Teologi Hitamnya menulis bahwa teologi berhenti menjadi teologi Injil ketika ia gagal untuk muncul dari komunita yang tertindas.[5] Terlepas dari makna yang terkandung didalamnya, Teologi Pembebasan mengingatkan kita untuk menerapkan kebenaran firman Tuhan di dalam tindakan yang nyata. Tidak hanya teori tetapi harus menyatakan perwujudan iman kepada Kristus di dalam tindakan kasih kepada sesama sehingga Kristus dipermuliakan (Mat. 5:13-16; Yak. 2:14-26). Dan orang-orang Kristen seharusnya juga tidak hanya dapat memberikan khotbah kepada orang-orang yang tertindas dan dalam kesusahan namun juga harus mengulurkan tangan kasih sebagai perwujudan yang nyata dari firman yang diberitakan.[6]
Hal yang mendesak yang perlu dilakukan adalah menegaskan ulang keberpihakan kepada orang miskin, yang jumlahnya banyak sekali, yang diekploitasi dan “disembelih” oleh sekelompok kecil spesies yang sama. Mengawali keberpihakan kepada orang miskin kita memerlukan suatu etika, yaitu belarasa (solidaritas) dan prinsip tanggung jawab. Etika ini dimuarakan pada tindakan untuk mempertahankan dan mempromosikan hidup, yang dimulai terhadap orang-orang yang paling terancam.[7]

Menurut Teologi Feminis

Pandangan Alkitab tentang Kemiskinan dan Kelaparan

Perjanjian Lama
          Yesus menggenapi perkataan Yesaya yang berbicara mengenai Allah: “Sebab Engkau menjadi tempat pengungsian bagi orang lemah, tempat pengungsian bagi orang miskin dalam kesesakannya” (Yes 25:4). Pembebasan orang lemah dan orang miskin dari ketamakan orang kuat yang Yesus lakukan ini berpararel dengan tema kunci tindakan pelepasan oleh Allah dalam kitab Yesaya dimulai dengan penghukuman atas ketidakadilan yang timbul dari keserakahan: “Para pemimpinmu adalah pemberontak dan bersekongkol dengan pencuri. Semuanya suka menerima suap dan mengejar sogok. Mereka tidak membela hak anak-anak yatim, dan perkara janda-janda tidak sampai kepada mereka” (Yesaya 1:23). Inilah adalah Firman Allah. Yesus mengajarkan bahwa Allah sangat peduli terhadap orang miskin dan orang yang tidak berdaya. Ia tidak hanya mengajarkannya, tetapi Ia melakukannya juga. Yesus memberi makan orang yang miskin dan yang lapar dan mengajar para murid untuk berbagi dengan orang-orang yang sedang membutuhkan. Ia membawa jalan pembebasan. Kerajaan itu dimulai dalam Yesus.[8]
Perjanjian Baru
Pembebasan orang miskin dari pemerasan oleh pihak kuat dan dari kebutuhan mereka merupakan sebuah tema sentral dari khotbah Yohanes Pembaptis. Yohanes menyatakan, “Barangsiapa mempunyai dua helai baju, hendaklah ia membaginya dengan yang tidak punya, dan barangsiapa mempunyai makanan, hendaklah ia berbuat juga demikian. “Ia berkata kepada para pemungut cukai, “Jangan menagih lebih banyak dari pada yang ditentukan bagimu,” dan kepada para prajurit, “Jangan merampas dan jangan memeras dan cukupkanlah dirimu dengan gajimu” (Luk 3:1-14; Mrk 3:1-10). Yohanes menjalani sebagian besar kehidupannya di padang gurun. Yesus memuji dia sebagai nabi Allah dan menyatakan suatu kontras, “orang yang berpakaian indah dan yang hidup mewah, tempatnya di istanan raja” (Luk 7:24-30).[9]
          Yesus membela perihal memberi makan kepada orang lapar pada hari Sabat, dengan mengutip Hosea 6:6 dan berkata kepada orang-orang Farisi, “Jika memang kamu mengerti maksud Firman ini: Yang kukehendaki ialah belas kasihan dan bukan persembahan, tentu kamu tidak menghukum orang yang tidak bersalah” (Mat 12:1-8;Mrk 2:23-28;Luk 6:1-5). Tindakan kemurahan terhadap orang yang lapar merupakan tindakan keadilan kovenan dalam Perjanjian Lama. Dalam tulisan tentang serangan simbolis Yesus di Bait Suci, Matius mengutip Yeremia 7, yang menyerukan agar bersungguh-bersungguh memperlakukan orang asing, yatim piatu, dan janda dengan adil (Yer 7:5-8).[10]
Pelayanan sosial yang paling disoroti untuk mendapat perhatian adalah masalah kemiskinan yaitu terjadinya kesenjangan antara si kaya dan si miskin yang terlalu dalam. Dalam pengajaran-Nya, Yesus mengejutkan orang kaya dengan perkataan-Nya mengenai berbagi atau memberi. Kepada orang muda yang kaya yang datang bertanya mengenai hidup yang kekal, Yesus berkata ia harus menjual semua miliknya yang banyak itu dan memberikan semua kekayaannya kepada kaum miskin. Ketika orang muda kaya itu berpaling dengan sedih, Yesus menambahkan komentar yang masih menggegerkan semua orang kaya: ”Sebab lebih mudah seekor unta masuk melalui lubang jarum daripada seorang kaya”. Namun, ada pula orang kaya lainnya seperti Zakheus menanggapinya dalam ketaatan pertobatan, ia memberikan setengah miliknya kepada kaum miskin (Lukas 19:2-10). Kepada mereka yang tidak memberi makan kepada yang lapar dan pakaian kepada yang telanjang, Ia berkata, “enyahlah ke dalam api yang kekal…“ (Matius 25:31-46). Yesus menghadirkan tantangan radikal kepada tatanan yang makmur tapi tidak peduli.[11] Namun, ada pendapat berbeda bahwa Injil Matius 25:31-46 tidak bisa ditafsirkan untuk kepentingan sosial. Pengajaran tentang penerapan nilai-nilai sosial iman Kristen berdasarkan Matius 25:31-46 jelas adalah suatu upaya eisegesis yang memaksa bagian ini untuk berbicara tentang hal-hal yang tidak dimaksudkannya. Kesetiaan terhadap konteks telah dilalaikan sehingga selera dan kesan pembaca, bukan pokok pikiran penulisnya, yang menentukan makna dari teks Alkitab.[12] Menurut penulis perikop Matius 25:31-46 mengajarkan kasih Kristus secara menyeluruh tidak hanya untuk pelayanan sosial tetapi yang teruma adalah mengasihi Tuhan yang memberi dampak positif untuk kepentingan sosial (Matius 22:37-40).
Penting sekali untuk memahami ajaran Yesus bahwa Kerajaan Mesianik-Nya khusus untuk orang miskin (Lukas 6:20-21). Ketika Yohanes Pembaptis bertanya apakah Ia Mesias itu, Yesus menunjuk pada kenyataan bahwa Ia menyembuhkan yang sakit  dan memberitakan Injil Kerajaan kepada kaum miskin (Lukas 7:21-22). Amanat Yesus yang pertama di sinagoge di Nazaret memuat pernyataan yang sama tentang pemberitaan kepada kaum miskin (Lukas 4:18). Injil adalah kabar luar biasa bagi kaum miskin karena persekutuan Kerajaan Yesus yang baru merangkul kaum miskin, menyambut mereka ke dalam persekutuan mereka, dan berbagi dalam hal ekonomi sehingga, dalam kata-kata Kitab Kisah Para Rasul, “tidak ada lagi orang miskin di antara mereka” (Kisah Para Rasul 2:44).[13]
Kerajaan Yesus jelas holistik dalam segala hal. Syukur kepada Allah bahwa Ia membawa pengampunan dari Allah dan penyucian pribadi serta batin dalam kekuasaan Roh. Tapi Ia juga menantang dan mentransformasi tatanan sosial. Ini tidak berarti bahwa kita harus mengatakan bahwa Kerajaan telah datang jika keadilan terdapat dalam masyarakat sekuler. Kabar Baik Kerajaan menghindarkan gereja untuk tidak selalu asyik dengan dirinya sendiri. Howard Snyder mengatakan hal itu dengan tajam: “Orang-orang gereja berpikir tentang bagaimana menarik orang masuk ke gereja; orang-orang Kerajaan berpikir tentang bagaimana membawa gereja ke dalam dunia. Orang-orang gereja khawatir bahwa dunia mungkin mengubah gereja; orang-orang Kerajaan bekerja untuk melihat gereja mengubah dunia.[14]
Kehidupan dalam pelayanan holistik Paulus dalam pelayanan sosial yang menyentuh aspek jasmani dibuktikan, “kelaparan terjadi menimpa seluruh dunia hal itu terjadi jaman Klaudius lalu Paulus memutuskan untuk mengumpulkan dana sumbangan dengan kemampuan masing-masing untuk membantu dan menolong mereka yang kelaparan” (Kisah Para Rasul 11:28-29).
Pelayanan sosial terdapat dalam rangkaian pengajaran yang Maha Agung, Tuhan Yesus pernah mengatakan, “Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya kerajaan Sorga”. Orang yang miskin namun berbahagia. Tulisan Eka Darmaputera yang sangat menyegarkan memberi ulasan yang sederhana untuk membantu memahami perkataan agung Tuhan Yesus ini.[15] Orang yang miskin itu adalah mereka yang memang miskin secara ekonomi. Pola dunia memberikan ruang dan tempat hanya bagi orang berpunya. Fasilitas atau hak untuk diperlakukan secara adil, terhormat dan manusiawi kerap menjadi milik ekslusif orang yang kaya dan berkuasa. Bukan untuk orang miskin.[16]
Orang yang miskin di sini juga adalah mereka yang ‘miskin’ di segala bidang kehidupan. Termasuk orang-orang yang barangkali tidak miskin secara ekonomi, tetapi tertindas secara politik atau kultural. Mereka juga diperhatikan Allah. Orang yang miskin ketiga adalah mereka yang tidak memiliki apa-apa yang dapat dibanggakan. ‘miskin’ berarti mereka yang hak-haknya tidak diperdulikan. ‘Miskin’ adalah kelompok yang karena kemiskinannya menjadi objek untuk diperah atau diperas, dibodohi dan diperdaya.[17]
Kerajaan dunia tidak memberikan ruang bagi mereka yang miskin, namun Allah memperhatikan mereka, bahkan mereka memiliki Kerajaan Allah. Pesan ini hendak mengatakan agar si miskin bangkit, dan tidak hanya berhenti merenungi nasib. Sebaliknya, mereka harus bangkit karena Allah di pihak mereka. Sekaligus ini adalah peringatan keras bagi orang kaya untuk mulai menghargai dan mengasihi mereka, si miskin sebagai sesama. Tidak lagi menginjak, tidak lagi mengeksplotasi, tetapi bertindak adil kepada mereka, karena Allah pun mengasihi mereka.[18]
Glen H. Stassen dan David P. Gushee juga menyatakan hal senada. Menurut pandangan mereka, Yesus mengajarkan baahwa mereka yang miskin secara rohani, mereka yang berdoa dengan rendah hati tanpa mengklaim diri lebih baik daripada orang lain, adalah orang-orang yang berpartisipasi dalam pemerintahan Allah. Namun perlu diperhatikan bahwa fokus dari orang yang miskin dalam roh atau miskin di hadapan Allah bukan terletak pada kerendahan hatinya atau kebajikannya sendiri, tetapi anugerah dan belas kasihan Allah. Allah itu kasih, dan Allah mengetahui bahwa orang-orang yang berkuasa sering memakai kekuasaan itu untuk menjaga hak-hak istimewa mereka sendiri dan mencari lebih banyak kekuasaan. Yesus menggenapi Yesaya 61:1-2, membawa kabar baik kepada orang-orang miskin (Matius 5:3-5;11:5;Lukas 4:16-21;7:22). Ia merangkul orang-orang yang terbuang secara sosial dan religius.[19]
Selain kemiskinan secara jasmani juga terjadi kemiskinan spiritual. Sebagai orang Kristen, kita sering memungkiri dan tidak memperdulikan kemiskinan spiritual ini. Namun kemiskinan ini nampak jelas dalam dua hal. Pertama, sebagai orang beribadah kita menolak kuasa-Nya (2 Timotius 3:5). Kedua, kebenaran yang kita saksikan dan pahami secara intelektual, tidak kita laksanakan dengan sungguh-sungguh karena menuntut pengorbanan, maka kekristenan kurang tampak dalam tingkah laku dan kehidupan kita sehari-hari. Seharusnya kebenaran yang bersifat kreatif, menerangi hati kita serta mengtransformasikan pikiran dan tindakan. Kita harus berpartisipasi pada kebenaran untuk dapat menghayati kuasanya, tetapi hal itu hanya terjadi apabila kita melakukan dengan taat apa yang kita ketahui dan menyelaraskan kehendak kita dengan komitmen kepada Tuhan Yesus Kristus. Pada hakekatnya harus diakui, kita menolak perintah Kristus untuk bertobat (Markus 1:15). Kita mengertaskan hati terhadap suara Tuhan (Ibrani 3:7-8) sehingga kita tidak mengalami pembaharuan serta dinamika Roh Kudus. Akibatnya kita lalai terhadap panggilan hidup “di dalam Kristus” dan “di dalam dunia”, sehingga pembangunan Kerajaan Allah dan pembangunan negara menjadi terlantar.[20]
Tentu tidak boleh dilupakan bagaiman perhatian para Rasul pada masa gereja mula-mula terhadap pelayanan belas kasihan pada ‘si miskin’. Ketika jumlah murid-murid semakin bertambah, perhatian pelayanan belas kasihan kepada janda-janda dalam jemaat mula terabaikan, disebabkan konsentrasi para rasul pada pemberitaan dan pengajaran. Menyiasati terbengkalainya pelayanan istimewa ini, maka dipilihlah tujuh orang diaken pertama dalam gereja yang fokus pelayanannya adalah pelayanan pemerhatian terhadap kebutuhan sehari-hari para janda yang memang membutuhkan perhatian (Kisah 6:1-7). Ini bukti bahwa gereja memilkiki peranan penting dalam masalah kemiskinan yang pelik ini. Pelayanan diakonia adalah peran serta gereja yang sangat terlihat nyata dalam masyarakat.[21]

Tanggung Jawab Kristen terhadap Kemiskinan dan Kelaparan
Sidang Raya VII berpesan antara lain:” Gereja disuruh ke dalam dunia untuk memberitakan Injil Yesus Kristus. Injil adalah berita kesukaan mengenai pertobatan dan pembaruan yang tersedia bagi manusia (Markus 1:1-15) serta kebebasan, keadilan, kebenaran, dan kesejahteraan yang dikehendaki Tuhan untuk dunia (Lukas 4:8-21). Kita terpanggil turut serta secara bertanggung jawab dalam usaha membebaskan manusia dari penderitaannya yang disebabkan oleh keterbelakangan, kemiskinan, penyakit, ketakutan, dan ketidakpastian hukum.[22]



[1] JB. Banawiratma, SJ., editor. Kemiskinan dan Pembebasan (Yogyakarta: Kanisius, 1987) 17-18.
[2] Ibid, 18-19.
[3]Yakub Tri Handoko, Injil Sosial (Surabaya:Sekolah Alkitab Malam GKKA Tenggilis, 28 Mei 2007) tersedia di www.gkri-exodus.org/image.../APO%2007%20Injil%20Sosial.pdf diakses tanggal 07 November 2012.
[4] Ranto G. Simamora, Misis Kemanusiaan Dan Globalisasi Teologi Misi dalamKonteks Globalisasi di Indonesia (Bandung: Ink Media, 2006), 105; Leonardo Boff, Passion of Christ, Passion of the World:The Fact, Their Interpretation, and Their meaning, Yesterday and Today (Maryknoll, New York:Orbiss Books, 1987), 118.
[5] Natalie, Evaluasi KritisTerhadap Doktrin Gereja Dari Teologi Pembebasan (Mallang: Jurnal Veritas SAAT Malang, Oktober 2000), 191.

[6] Ibid., 191.
[7] Ranto G. Simamora, 107.
[8] Glenn H. Stassendan David P. Gushee, Etika Kerajaan Mengikut Yesus dalam Konteks Masa Kini (Surabaya: Penerbit Momentum), 465.
[9]Glenn H. Stassendan David P. Gushee, 462-463.
[10] Glenn H. Stassendan David P. Gushee, Etika Kerajaan Mengikut Yesus dalam Konteks Masa Kini (Surabaya: Penerbit Momentum), 464.
[12] Jon Hendri Foh ,Orang Miskin Adalah Saudara Kristus! Benarkah Matius 25:31-46  berbicara tentang kepedulian sosial terhadap orang yang kekurangan? tersedia diwww.gkagloria.or.id/artikel/a07.php  diakses tanggal 11 April 2012.
[13]  Ron Sider, “Bagaimana Jika Injil Adalah Kabar Baik?” dalam Misi Menurut Perspektif Alkitab, 113-114.
[14]  Ibid., 120.                                                                                                                                   
[15] Eka Darmaputera, Khotbah Yesus di Bukit: Sebuah Uraian Populer (Yogyakarta:Gloria Graffa,2002), 26-31.
[16] Cathryne B. Nainggolan, Masalah Kemiskinan dan Kepedulian Gereja (Bandung: Jurnal Teologi STULOS Volume 10 Nomor 1 April 2011), 146.
[17] Ibid., 147.
[18] Ibid., 147.
[19] Glen H. Stassen dan David P. Gushee, Etika Kerajaan:Mengikuti Yesus dalam Konteks Masa Kini (Surabaya:Momentum, 2008), 27-28.
[21] Cathryne B. Nainggolan, Masalah Kemiskinan dan Kepedulian Gereja (Bandung: Jurnal Teologi STULOS Volume 10 Nomor 1 April 2011),153.
[22]  Ranto G. Simamora, Misis Kemanusiaan Dan Globalisasi Teologi Misi dalamKonteks Globalisasi di Indonesia (Bandung: Ink Media, 2006), 69;  Notulen Sidang Raya VII Dewan Gereja-gereja di Indonesia, 18-28 April 1971, di Pematang Siantar, 93-94.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar