MANUSIA: CIPTAAN MENURUT GAMBAR ALLAH
(Created
in God’s Image)
By
Hengki Wijaya
BAB 1
PENTINGNYA DOKTRIN MANUSIA
Banyak
pemikir telah memberikan beragam jawaban bagi pertanyaan “Apakah manusia itu?”, dan masing-masing memiliki
implikasi yang luas bagi pemikiran dan kehidupan. Bagaimana seseorang melihat
manusia memiliki arti penting di dalam menentukan program tindakannya. Tujuan
kaum Marxis berakar di dalam konsepsi Marx tentang manusia, begitu juga program
revolusi politik yang bukan berasal dari
seorang Marxis. Gerakan kaum feminis akhir-akhir ini juga berakar di dalam
pemahaman tertentu tentang pribadi manusia, khususnya mengenai hubungan antara
laki-laki dan perempuan.[1]
Kita
bisa membedakan tipe-tipe antropologi non-Kristen. Menurut antropologi idealistic, manusia pada dasarnya adalah
roh dan tubuh fisiknya merupakan
hal yang asing bagi natur sejatinya.
Menurut Plato, apa yang nyata pada manusia adalah intelektual atau rasiony,
yang dianggap merupakan percikan ilahi di dalam diri seseorang yang akan terus
bereksistensi bahkan setelah tubuhnya mati. Orang-orang yang menganut pandangan
ini mengajarkan kekalan jiwa tetapi menyangkal kebangkitan tubuh.[2]
Antropologi
non-Kristen lainnya adalah antropologi materialistic,
yang sangat berlawanan dengan pandangan di atas. MAnusia terdiri dari
unsur-unsur materi, sedangkan kehidupan mental, emosional dan rohnya hanya
merupakan produk sampingan dari struktur
materialnya. Manusia adalah bagian dari sebuah struktur sosial; kejahatan muncul
dari struktur itu dan bisa dihilangkan hanya dengan mengubah struktur itu.
Individu bukanlah penanggung jawab utama atas kejahatan yang ada, masyarakatlah
yang bertanggung jawab. Maka, tujuan Marxisme bukanlah keselamatan individu,
melainkan pencapaian masyarakat yang sempurna di masa yang akan datang.[3]
BAB
2 MANUSIA SEBAGAI PRIBADI YANG
DICIPTAKAN
Salah
satu presaposisi dasar dari pandangan Kristen tentang manusia adalah
kepercayaan kepada Allah sebagai Pencipta. Implikasi dari fakta penciptaan
adalah bahwa semua realitas ciptaan seutuhnya tergantung kepada Allah. Werner
Foerster mengatakan demkian: “Maka di dalam menjadi, berada dan musnah, semua
ciptaan sepenuhnya tergantung pada kehendak Sang Pencipta.”[4]
Manusia
adalah satu ciptaan sekaligus pribadi; ia adalah pribadi yang diciptakan. Menjadi
satu pribadi berarti memiliki bentuk kemandirian - bukan mutlak tetapi
relative. Menjadi ciptaan berarti Allah adalah Tukang Periuk dan kita adalah
tanah liat (Roma 9:21); menjadi pribadi berarti kitalah yang membentuk hidup
kita sesuai keputusan-keputusan kita (Galatia 6:7-8;bdg. Yosua 24:15; 2Korintus
5:20).[5]
Fakta
bahwa manusia merupakan ciptaan mengimplikasikan bahwa setelah ia jatuh ke
dalam dosa, hanya melalui campur tangan Allah yang berdaulat, ia bisa ditebus
dari dosa dan diselamatkan dari keadaannya yang telah jatuh. Tetapi karena
manusia juga merupakan satu pribadi, ia tetap harus percaya. Lebih lanjut dijelaskan karena manusia adalah
ciptaan, maka Allah Roh Kudus harus menguduskan mereka; karena manusia juga
adalah pribadi, mereka tetap bertanggungjawab di dalam pengudusan mereka. Kita
bertanggung jawab untuk “menyempurnakan kekudusan kita dalam takut akan Allah”
(2Korintus 7:1).[6]
Berdasarkan Filipi 2:12-13, Paulus menegaskan bahwa Allah-lah yang mengerjakan
di dalam kamu bak kemauan maupun pekerjaan. Kemauan dan pekerjaan menunjukkan
setia hal yang kita pikirkan atau kerjakan. Jadi, di sepanjang proses
pengudusan, Allah sendirilah yang terus-menerus bekerja dalam kita. Semakin
keras kita bekerja, semakin kita yakin bahwa Allah tengah bekerja di dalam
kita. Di dalam meguduskan kita, Allah memperlakukan kita sebagai pribadi
sekaligus ciptaan.[7]
BAB
3 GAMBAR ALLAH: AJARAN ALKITAB
Perjanjian
Lama dalam Kejadian 1:26 terdapat kata-kata yang penting: “menurut gambar dan
rupa Kita.” Kata yang diterjemahkan
sebagai gambar adalah tselem,
dan yang diterjemahkan sebagai rupa adalah demūth.
Di dalam bahasa Ibrani tak ada kata sambung di antara kedua ungkapan tersebut.
Baik Septuaginta maupunVulgata memasukkan kata dan, sehingga member kesan bahwa kedua hal tersebut berbeda. Kedua
kata itu memberitahukan kita bahwa manusia meresresentasikan Allah dan
menyerupai Dia dalam hal-hal tertentu.[8]
Manusia
yang telah jatuh ke dalam dosa tetap menyandang gambar Allah. Bahwasanya
orangtua pertama kita telah jatuh ke dalam dosa sudah tercatat dalam Kejadian
3; bahwa natur manusia telah rusak dikarenakan kejatuhan juga sudah secara
jelas dinyatakan dalam Kejadian 8:21, “Aku takkan mengutuk bumi ini lagi karena
manusia, sekalipun yang ditimbulkan hatinyaadalah jahat dari sejak kecilnya.” Dalam
Kejadian 9:6 tetap melarang pembunuhan karena manusia dijadikan menurut gambar
Allah. Artinya, manusia tetap menyandang gambar itu.[9] Allah
menjadikan manusia menurut gambar-Nya sesuai yang tercamtum dalam Perjanjian
Lama dan Perjanjian Baru. Perjanjian Baru mengajarkan bahwa Yesus Kristus
merupakan manusia sempurna – teladan tertinggi bagi kita. Dalam 2Korintus 4:4, Paulus
menulis tentang orang-orang yang “tidak
melihat cahaya Injil tentang kemuliaan kristus, yang adalah gambaran Allah.” Kata Yunani yang diterjemahkan sebagai
“gambar” adalah eikōn, yang setara
dengan kata Ibrani tselem. Dengan
kata lain, kemuliaan Allah dinyatakan di dalam wajah Kristus; ketika kita
melihat Kristus, kita melihat kemuliaan Allah.[10]
Dalam Kolose 3:9-10 (bdg. Efesus 4:22-24), Paulus menyatakan bahwa manusia lama
harus menjadi manusia baru yang “terus-menerus diperbarui untuk memperoleh pengetahuan
yang benar menurut gambar khaliknya.” Artinya manusia baru ini belum sempurna
dan harus secara progresif diperbarui oleh Roh Kudus.[11]
BAB 4 GAMBAR ALLAH: SURVEI HISTORIS
Di
sepanjang sejarah gereja, sejumlah jawaban representative yang diberikan oleh
para teolog Kristen dari abad kedua sampai saat ini: Pertama, Irenaeus (130-200 M) mengajarkanbahwa pada mulanya Allah
menciptakan manusia menurut gambar dan rupa-Nya.Tetapi, keserupaan manusia
dengan Allah telah hilang saat Kejatuhan, sedangkan gambar Allah tetap ada.
Irenaeus keliru dalam membedakan gambar
dan rupa, padahal keduanya sinonim. Kedua, Thomas Aquinas (1225-1274 M)
menganggap gambar Allah terutama di dalam kecerdasan atau rasio manusia. Hanya
makhluk cerdas yang bisa disebut gambar Allah. Thomas melihat gambar Allah
terdapat di dalam diri semua orang yang hidup saat ini, setelah Kejatuhan baik
ia orang percaya maupun tidak. Dalam hal ini Thomas mengikuti Irenaeus,
meskipun ia tidak membedakan gambar dan rupa Allah.[12]
Ketiga,
John Calvin (1509-1564) berpendapat bahwa gambar Allah terutama
terletak di dalam jiwa: “Meskipun kemuliaan
Allah terpancar dari manusia lahiriah, tak ada keraguan bahwa tempat
yang tepat dari gambar Allah adalah di dalam jiwanya.” Menurut Calvin bahwa manusia yang telah jatuh tetap memiliki
gambar Allah walaupun wujudnya rusak parah. Keempat,
Karl Barth (1886-1968) menyebut hubungan perjumpaan dalam Kejadian 1:27 sebagai gambar Allah
karena hubungan perjumpaan yang sama juga terjadi di antara Allah dan
manusia. Bahwa manusia diciptakan dengan
kapasitas untuk memiliki hubungan yang serupa dengan sesamanya, menunjukkan ia
diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Kelima,
Emil Brunner (1889-1966) berpendapat bahwa kasih merupakan inti pemahamannya
tentang manusia dan tujuan eksistensi manusia. Fakta bahwa manusia ‘dijadikan
menurut gambar Allah’ memiliki suatu arti sesuatu yang tak pernah hilang dari
manusia; bahkan ketika berdosa, ia tidak bisa kehilangan gambar Allah. Keenam, G.C. Berkouwer seperti halnya
Barth dan Brunner juga menolak pandangan bahwa gambar Allah terdapat di dalam
rasio manusia.[13]
BAB 5 GAMBAR ALLAH:
SUATU RINGKASAN TEOLOGIS
Berdasarkan
Alkitab, Herman Bavink mengatakan bahwa manusia tidak hanya menyandang atau memiliki gambar Allah, tetapi manusia adalah gambar Allah dan bahwa
gambar Allah mencakup manusia di dalam keseluruhan dirinya. Konsep tentang
manusia sebagai gambar dan rupa Allah memberitahukan kita bahwa
manusia diciptakan untuk mencerminkan dan
mewakili Allah. Pertama, manusia
harus mencerminkan Allah. Di dalam
diri manusia Allah menjadi kelihatan di bumi. Ciptaan lain memang bisa
menyatakan kemuliaan Allah, dan langit pun bisa, tetapi hanya di dalam
manusialah, Allah menjadi kelihatan. Kedua, manusia juga mewakili Allah. Sebagai duta-duta allah, kita tidak boleh
melakukan hal yang kita inginkan, melainkan apa yang Allah kehendaki. Melalui
kita, Allah mengerjakan maksud-Nya di bumi ini. Di dalam diri kita, orang lain
seharusnya bisa menjumpai Allah.[14]
Kristus
adalah “gambar Allah yang tidak kelihatan” (Kolose 1:15). Ketika kita melihat
kehidup Yesus kristus lebih dekat lagi maka: (1) Ia sepenuhnya terarah pada Allah. Ia pernah berkata, “Makanan-Ku ialah
melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya”
(Yohanes 4:34); (2) Kristus sepenuhnya
terarah pada sesama. Yesus pernah berkata, “Tidak ada kasih yag lebih besar
dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya”
(Yohanes 15:13); (3) Kristus berkuasa
atas alam. Dengan satu perintah Yesus meredakan badai yang mengancam para
murid di Danau Galilea. Dengan memandang kepada Yesus Kristus berarti kita
melihat gambar Allah yang sempurna.[15]
Pembaruan gambar Allah dalam diri manusia berarti manusia dimampukan untuk
terarah secara benar kepada Allah, terhadap sesama, dan mampu untuk berkuasa
dan memelihara ciptaan Allah secara benar. Pembaruan gambar Allah melalui
penebusan dan “lahir baru” sebagai tindakan Roh Kudus.[16]
[1] Anthony A. Hoekema. Manusia: Ciptaan Menurut Gambar Allah.Surabaya: Penerbit Momentum,
2003,1-3.
[2] Ibid,
3.
[3] Ibid
[4] Ibid, 7.
[5] Ibid,
8-9.
[6] Ibid, 10-12.
[7] Ibid,
12.
[8] Ibid, 16-18.
[9] Ibid, 22.
[10] Ibid, 27.
[11] Ibid,
32-33.
[12] Ibid, 43-47.
[13] Ibid, 54-76.
[14] Ibid,
85-87.
[15] Ibid,
94-95.
[16] Ibid, 110-112.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar