Good News

Senin, 20 Oktober 2014

Summary: Created in God’s Image (Anthony Hoekema)



MANUSIA: CIPTAAN MENURUT GAMBAR ALLAH
(Created in God’s Image)

By Hengki Wijaya

BAB  1  PENTINGNYA DOKTRIN  MANUSIA

Banyak pemikir telah memberikan beragam jawaban bagi pertanyaan “Apakah  manusia itu?”, dan masing-masing memiliki implikasi yang luas bagi pemikiran dan kehidupan. Bagaimana seseorang melihat manusia memiliki arti penting di dalam menentukan program tindakannya. Tujuan kaum Marxis berakar di dalam konsepsi Marx tentang manusia, begitu juga program revolusi politik  yang bukan berasal dari seorang Marxis. Gerakan kaum feminis akhir-akhir ini juga berakar di dalam pemahaman tertentu tentang pribadi manusia, khususnya mengenai hubungan antara laki-laki dan perempuan.[1]

Kita bisa membedakan tipe-tipe antropologi non-Kristen. Menurut antropologi idealistic, manusia pada dasarnya adalah roh dan tubuh  fisiknya merupakan hal  yang asing bagi natur sejatinya. Menurut Plato, apa yang nyata pada manusia adalah intelektual atau rasiony, yang dianggap merupakan percikan ilahi di dalam diri seseorang yang akan terus bereksistensi bahkan setelah tubuhnya mati. Orang-orang yang menganut pandangan ini mengajarkan kekalan jiwa tetapi menyangkal kebangkitan tubuh.[2]
Antropologi non-Kristen lainnya adalah antropologi materialistic, yang sangat berlawanan dengan pandangan di atas. MAnusia terdiri dari unsur-unsur materi, sedangkan kehidupan mental, emosional dan rohnya hanya merupakan produk  sampingan dari struktur materialnya. Manusia adalah bagian dari sebuah struktur sosial; kejahatan muncul dari struktur itu dan bisa dihilangkan hanya dengan mengubah struktur itu. Individu bukanlah penanggung jawab utama atas kejahatan yang ada, masyarakatlah yang bertanggung jawab. Maka, tujuan Marxisme bukanlah keselamatan individu, melainkan pencapaian masyarakat yang sempurna di masa yang akan datang.[3]
BAB 2  MANUSIA SEBAGAI PRIBADI YANG DICIPTAKAN
Salah satu presaposisi dasar dari pandangan Kristen tentang manusia adalah kepercayaan kepada Allah sebagai Pencipta. Implikasi dari fakta penciptaan adalah bahwa semua realitas ciptaan seutuhnya tergantung kepada Allah. Werner Foerster mengatakan demkian: “Maka di dalam menjadi, berada dan musnah, semua ciptaan sepenuhnya tergantung pada kehendak Sang Pencipta.”[4]
Manusia adalah satu ciptaan sekaligus pribadi; ia adalah pribadi yang diciptakan. Menjadi satu pribadi berarti memiliki bentuk kemandirian - bukan mutlak tetapi relative. Menjadi ciptaan berarti Allah adalah Tukang Periuk dan kita adalah tanah liat (Roma 9:21); menjadi pribadi berarti kitalah yang membentuk hidup kita sesuai keputusan-keputusan kita (Galatia 6:7-8;bdg. Yosua 24:15; 2Korintus 5:20).[5]
Fakta bahwa manusia merupakan ciptaan mengimplikasikan bahwa setelah ia jatuh ke dalam dosa, hanya melalui campur tangan Allah yang berdaulat, ia bisa ditebus dari dosa dan diselamatkan dari keadaannya yang telah jatuh. Tetapi karena manusia juga merupakan satu pribadi, ia tetap harus percaya.  Lebih lanjut dijelaskan karena manusia adalah ciptaan, maka Allah Roh Kudus harus menguduskan mereka; karena manusia juga adalah pribadi, mereka tetap bertanggungjawab di dalam pengudusan mereka. Kita bertanggung jawab untuk “menyempurnakan kekudusan kita dalam takut akan Allah” (2Korintus 7:1).[6] Berdasarkan Filipi 2:12-13, Paulus menegaskan bahwa Allah-lah yang mengerjakan di dalam kamu bak kemauan maupun pekerjaan. Kemauan dan pekerjaan menunjukkan setia hal yang kita pikirkan atau kerjakan. Jadi, di sepanjang proses pengudusan, Allah sendirilah yang terus-menerus bekerja dalam kita. Semakin keras kita bekerja, semakin kita yakin bahwa Allah tengah bekerja di dalam kita. Di dalam meguduskan kita, Allah memperlakukan kita sebagai pribadi sekaligus  ciptaan.[7]
BAB 3  GAMBAR ALLAH: AJARAN ALKITAB
Perjanjian Lama dalam Kejadian 1:26 terdapat kata-kata yang penting: “menurut gambar dan rupa Kita.”  Kata yang diterjemahkan sebagai gambar  adalah tselem, dan yang diterjemahkan sebagai rupa  adalah demūth. Di dalam bahasa Ibrani tak ada kata sambung di antara kedua ungkapan tersebut. Baik Septuaginta maupunVulgata memasukkan kata dan, sehingga member kesan bahwa kedua hal tersebut berbeda. Kedua kata itu memberitahukan kita bahwa manusia meresresentasikan Allah dan menyerupai Dia dalam hal-hal tertentu.[8]
Manusia yang telah jatuh ke dalam dosa tetap menyandang gambar Allah. Bahwasanya orangtua pertama kita telah jatuh ke dalam dosa sudah tercatat dalam Kejadian 3; bahwa natur manusia telah rusak dikarenakan kejatuhan juga sudah secara jelas dinyatakan dalam Kejadian 8:21, “Aku takkan mengutuk bumi ini lagi karena manusia, sekalipun yang ditimbulkan hatinyaadalah jahat dari sejak kecilnya.” Dalam Kejadian 9:6 tetap melarang pembunuhan karena manusia dijadikan menurut gambar Allah. Artinya, manusia tetap menyandang gambar itu.[9] Allah menjadikan manusia menurut gambar-Nya sesuai yang tercamtum dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Perjanjian Baru mengajarkan bahwa Yesus Kristus merupakan manusia sempurna – teladan tertinggi bagi kita. Dalam 2Korintus 4:4, Paulus menulis tentang orang-orang  yang “tidak melihat cahaya Injil tentang kemuliaan kristus, yang adalah gambaran Allah.”  Kata Yunani yang diterjemahkan sebagai “gambar” adalah eikōn, yang setara dengan kata Ibrani tselem. Dengan kata lain, kemuliaan Allah dinyatakan di dalam wajah Kristus; ketika kita melihat Kristus, kita melihat kemuliaan Allah.[10] Dalam Kolose 3:9-10 (bdg. Efesus 4:22-24), Paulus menyatakan bahwa manusia lama harus menjadi manusia baru yang “terus-menerus diperbarui untuk memperoleh pengetahuan yang benar menurut gambar khaliknya.” Artinya manusia baru ini belum sempurna dan harus secara progresif diperbarui oleh Roh Kudus.[11]
BAB 4  GAMBAR ALLAH: SURVEI HISTORIS
Di sepanjang sejarah gereja, sejumlah jawaban representative yang diberikan oleh para teolog Kristen dari abad kedua sampai saat ini: Pertama, Irenaeus (130-200 M) mengajarkanbahwa pada mulanya Allah menciptakan manusia menurut gambar dan rupa-Nya.Tetapi, keserupaan manusia dengan Allah telah hilang saat Kejatuhan, sedangkan gambar Allah tetap ada. Irenaeus keliru dalam membedakan gambar dan rupa, padahal keduanya sinonim. Kedua, Thomas Aquinas (1225-1274 M) menganggap gambar Allah terutama di dalam kecerdasan atau rasio manusia. Hanya makhluk cerdas yang bisa disebut gambar Allah. Thomas melihat gambar Allah terdapat di dalam diri semua orang yang hidup saat ini, setelah Kejatuhan baik ia orang percaya maupun tidak. Dalam hal ini Thomas mengikuti Irenaeus, meskipun ia tidak membedakan gambar dan rupa Allah.[12]
Ketiga, John  Calvin (1509-1564)  berpendapat bahwa gambar Allah terutama terletak di dalam jiwa: “Meskipun kemuliaan  Allah terpancar dari manusia lahiriah, tak ada keraguan bahwa tempat yang tepat dari gambar Allah adalah di dalam jiwanya.” Menurut Calvin  bahwa manusia yang telah jatuh tetap memiliki gambar Allah walaupun wujudnya rusak parah. Keempat, Karl Barth (1886-1968) menyebut hubungan perjumpaan  dalam Kejadian 1:27 sebagai gambar Allah karena hubungan perjumpaan yang sama juga terjadi di antara Allah dan manusia.  Bahwa manusia diciptakan dengan kapasitas untuk memiliki hubungan yang serupa dengan sesamanya, menunjukkan ia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Kelima, Emil Brunner (1889-1966) berpendapat bahwa kasih merupakan inti pemahamannya tentang manusia dan tujuan eksistensi manusia. Fakta bahwa manusia ‘dijadikan menurut gambar Allah’ memiliki suatu arti sesuatu yang tak pernah hilang dari manusia; bahkan ketika berdosa, ia tidak bisa kehilangan gambar Allah. Keenam, G.C. Berkouwer seperti halnya Barth dan Brunner juga menolak pandangan bahwa gambar Allah terdapat di dalam rasio manusia.[13]
BAB 5 GAMBAR ALLAH: SUATU RINGKASAN TEOLOGIS
Berdasarkan Alkitab, Herman Bavink mengatakan bahwa manusia tidak hanya menyandang atau memiliki gambar Allah, tetapi manusia adalah gambar Allah dan bahwa gambar Allah mencakup manusia di dalam keseluruhan dirinya. Konsep tentang manusia sebagai gambar dan rupa Allah memberitahukan kita bahwa manusia diciptakan untuk mencerminkan dan mewakili Allah. Pertama, manusia harus mencerminkan Allah. Di dalam diri manusia Allah menjadi kelihatan di bumi. Ciptaan lain memang bisa menyatakan kemuliaan Allah, dan langit pun bisa, tetapi hanya di dalam manusialah, Allah menjadi kelihatan. Kedua, manusia juga mewakili Allah.  Sebagai duta-duta allah, kita tidak boleh melakukan hal yang kita inginkan, melainkan apa yang Allah kehendaki. Melalui kita, Allah mengerjakan maksud-Nya di bumi ini. Di dalam diri kita, orang lain seharusnya bisa menjumpai Allah.[14]
Kristus adalah “gambar Allah yang tidak kelihatan” (Kolose 1:15). Ketika kita melihat kehidup Yesus kristus lebih dekat lagi maka: (1) Ia sepenuhnya terarah pada Allah. Ia pernah berkata, “Makanan-Ku ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya” (Yohanes 4:34); (2) Kristus sepenuhnya terarah pada sesama. Yesus pernah berkata, “Tidak ada kasih yag lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya” (Yohanes 15:13); (3) Kristus berkuasa atas alam. Dengan satu perintah Yesus meredakan badai yang mengancam para murid di Danau Galilea. Dengan memandang kepada Yesus Kristus berarti kita melihat gambar Allah yang sempurna.[15] Pembaruan gambar Allah dalam diri manusia berarti manusia dimampukan untuk terarah secara benar kepada Allah, terhadap sesama, dan mampu untuk berkuasa dan memelihara ciptaan Allah secara benar. Pembaruan gambar Allah melalui penebusan dan “lahir baru” sebagai tindakan Roh Kudus.[16]



[1]  Anthony A. Hoekema. Manusia: Ciptaan Menurut Gambar Allah.Surabaya: Penerbit Momentum, 2003,1-3.
[2]  Ibid, 3.
[3]  Ibid
[4]  Ibid, 7.
[5]  Ibid, 8-9.
[6]  Ibid, 10-12.
[7]  Ibid, 12.
[8]    Ibid, 16-18.
[9]    Ibid, 22.
[10]   Ibid, 27.
[11]   Ibid, 32-33.
[12] Ibid, 43-47.
[13] Ibid, 54-76.
[14]  Ibid, 85-87.
[15]  Ibid, 94-95.
[16]  Ibid, 110-112.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar