Good News

Senin, 20 Oktober 2014

ANALISA BIBLIKA TERHADAP KONSEP TEOLOGI PEMBEBASAN DI DALAM KEKRISTENAN




Hengki Wijaya

Pendahuluan

Latar Belakang
Pada tahun 60-an para teolog radikal (kaum liberal) mulai bosan menggeluti tantangan intelektual dari para pembela atheisme/kaum modernisme. Sudah saatnya kekristenan bertanggungjawab melaksanakan tahap kedua dengan menggabungkan diri membela kaum miskin dan tertindas. Hanya dengan cara demikianlah para teolog dapat membuktikan realitas Tuhan yang nyata.[1] Dalam dekade terakhir ini banyak orang membicarakan Teologi Pembebasan, bukan saja di Amerika Latin tempat asal teologia ini, tetapi juga di Asia dan Afrika. Walaupun Teologi Pembebasan timbul di mana-mana, namun yang secara “vokal” dan sistematis berbicara tentang Teologi Pembebasan adalah yang berasal dari Amerika Latin. [2]
Pokok Masalah
Permasalahannya adalah apakah sebenarnya Teologi Pembebasan itu dan bagaimana kita menanggapi teologi pembebasan yang memberikan pengaruh terhadap  kehidupan kekristenan dan apakah sesuai dengan tinjauan Alkitab. Oleh karena itu, penulisan ini secara khusus akan meninjau pandangan Gustavo Gutierrez, yang merupakan pelopor dan pencetus dasar pemikiran teologi pembebasan.
Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan “Analisa Biblika Terhadap Konsep Teologi Pembebasan Di Dalam Kekristenan” adalah memberikan awasan terhadap pengaruh negatif Teologi Pembebasan kepada setiap orang Kristen dan memahami Teologi Pembebasan ditinjau dari Alkitab sebagai otoritas yang benar di dalam kekristenan masa kini.


Latar Belakang Sejarah

Tokoh Pencetus Teologi Pembebasan
Gustavo Gutierrez dilahirkan di Lima, Peru, pada tahun 1928, sebagai seorang messtizo, yakni seorang keturunan Indian Amerika Latin, yang dianggap sebagai kalangan orang yang tertindas di bangsanya. Memang Gutierrez juga berasal dari sebuah keluarga yang relatif miskin. Pada tahun 1959, ia mendapatkan gelar Ph.D. dalam bidang teologi dari Universitas Lyon di Perancis dan ditahbiskan menjadi imam. Karier pelayanan Gutierrez diawali dengan melayani jemaat yang miskin di Lima dan mengajar teologi serta ilmu-ilmu sosial di Universitas Katolik di sana.[3] Namun, sejak kembali ke Peru, Gutierrez berhadapan kembali dengan realita kemiskinan dan penderitaan masyarakat di sana. Ia merasa bahwa teologi yang dipelajarinya di Eropa “kurang cocok” untuk situasi gereja dan masyarakat di mana ia melayani. Karena itu, ia berusaha menemukan teologi yang tepat dan relevan di tengah-tengah situasi yang sedemikian.[4] Hal lain yang memprihatinkan Gutierrez adalah sikap dan tindakan Gereja Katolik sebagai gereja yang memiliki kekuasaan yang sangat besar di banyak negara. Dengan kekuasaannya ini, Gutierrez melihat bahwa Gereja Katolik tidak “netral” di dalam keterlibatannya dalam kancah sosial-politik tetapi lebih berpihak pada sisi penindas.[5]
Gutierrez mendapat pengaruh dari seorang Revolusione Argentina Che Guevara yang menganut paham Marxisme. Meskipun dia tidak pernah menjadi seorang Marxisme, dia tidak meragukan untuk menggunakan analisis sosial Marxixme dalam usahanya untuk  mengerti keadaan buruk kemiskinan.  Beliau adalah seorang pelayan yang memiliki kedalaman spiritual.[6]

Pengertian Teologi Pembebasan
Teologi Pembebasan adalah suatu pemikiran teologis yang muncul di Amerika Latin dan negara-negara dunia ketiga yang lain, sekaligus merupakan suatu pendekatan baru yang radikal terhadap tugas teologi dimana titik tolaknya mengacu pada pengalaman kaum miskin dan perjuangan mereka untuk kebebasan, di mana Allah juga hadir di dalamnya.[7] Jadi, teologi menurut Gutierrez, bukanlah suatu “teori yang transenden” yang tanpa praksis,[8] tetapi adalah suatu refleksi kritikal,[9]dimana teologi dapat menjawab tantangan zaman dengan segala permasalahan sosialnya. Teologi Kristen bukan hanya mencari otensitas dasar iman Kristiani, tetapi haruslah memiliki praksis sebagai wujud konkret penghayatan iman.[10]
Dari penjelasan di atas, Teologi Pembebasan dapat dirumuskan secara singkat sebagai upaya-upaya untuk merealisasikan pengajaran Alkitab mengenai pembebasan ke dalam praksis, suatu teologi yang memerhatikan situasi dan penderitaan orang miskin.  “Keadilan sosial dan solidaritas” dengan orang miskin dianggap sebagai bagian utama amanat misi gereja.[11]
Konsep-konsep di dalam Teologi Pembebasan tidak langsung muncul dalam waktu seketika dan pergerakan teologi ini tidak terjadi begitu saja, tetapi ada penyebab-penyebab yang menjadi akar munculnya Teologi Pembebasan.
Pertama, pada abad ke-16, seorang uskup berdarah Spanyol, Bartolome de Las Casas, mengadakan perjuangan untuk membela kaum Indian yang menjadi korban penindasan orang-orang Spanyol. Pembelaannya begitu gigih dan mengesankan sehingga para pelopor Teologi Pembebasan belakangan memandangnya sebagai “Musa Teologi Pembebasan Amerika Latin.” Las Casas memiliki pengaruh yang amat mendalam terhadap Gutierrez dan amat mewarnai pandangan-pandangan teologisnya.[12]  
 Kedua, munculnya peristiwa-peristiwa dan gerakan-gerakan religius serta sekuler pada pertengahan abad ke-20, seperti Teologi Politik di Eropa dan Teologi Radikal di Amerika Utara yang dicetuskan oleh J. B. Metz, Jurgen Moltmann dan Harvey Cox. Dalam gagasan teologinya, Metz telah meletakkan beberapa dasar pemikiran yang kelak menjadi metode bagi Teologi Pembebasan, khususnya pada peranan politik praksis sebagai titik tolak refleksi teologis.[13]
Ketiga, kemudian muncul apa yang disebut sebagai konferensi para Uskup Amerika Latin (CELAM II) yang menghasilkan dokumen Medellin (1968), yang inti perumusannya berbunyi: “Demi panggilannya, Amerika Latin akan melaksanakan kebebasannya apapun pengorbanan yang diberikan. Perintah Tuhan yang jelas untuk menginjili orang-orang miskin harus membawa kita kepada distribusi sumber-sumber dan personil apostolis yang secara efektif memberikan pilihan kepada yang paling miskin dan sektor-sektor yang paling membutuhkan.”[14]
Keempat, situasi konkret di Amerika Latin. Negara-negara di Amerika Latin telah menjadi korban kolonialisme, imperialisme dan kerja sama multinasional. Hal ini terjadi karena adanya ketergantungan ekonomis negara-negara Amerika Latin kepada Amerika Serikat (khususnya), yang pada akhirnya banyak merugikan kepentingan Amerika Latin sehingga menimbulkan keresahan-keresahan sosial.[15] Dampak Teologi Pembebasan meluas ke benua lain dengan bangkitnya Teologi Pembebasan di Asia, tentu tidak dapat dilepaskan dengan Teologi Pembebasan yang lahir terlebih dahulu di Amerika Latin. Banyak teolog Asia, membangun Teologi Pembebasannyadengan mengambil referensi dari Teologi Pembebasan asal Amerika Latin. Dengan kata lain, semangat para teolog Amerika Latin telah membangkitkan kesadaran para teolog Asia untuk menanggalkan pakaian lama teologi asal Barat, dan mengenakan pakaian teologi asal  Asia yang harus berurusan dengan persoalan kemiskinan.[16]

Konsep Teologi Pembebasan

Metode Teologi Pembebasan
Pertama, Teologi Pembebasan bertitik tolak dari situasi Amerika Latin. Teologi haruslah secara intrinsik dihubungkan dengan situasi, budaya, dan sosial yang khusus. Apa yang berkembang di suatu tempat, tidak dapat dipaksakan di tempat yang lain, seperti halnya teologi di Amerika Latin yang muncul dari kenyataan-kenyataan sosio politiknya yang unik, jelas tidak dapat diterapkan secara “sama persis” di tempat yang lain.[17] Jadi menurut teolog pembebasan, teologi tidaklah terpisah dari konteks sosial dan kultural di mana teologi itu berlangsung, atau situasi hidup dari masyarakat yang menjadi objek dari teologi itu sendiri. Atau dengan kata lain, Teologi Pembebasan tidak dilihat sebagai “teologi universal” tetapi teologi haruslah bersifat kontekstual yaitu terjadi dan berlaku pada tempat dan waktu yang khusus dan tertentu, tidak secara universal ataupun dijadikan patokan secara umum.[18]
Kedua, teologi sebagai refleksi kritis di dalam komunitas. Menurut Gutierrez, teologi haruslah keluar dari kehidupan iman yang berusaha “menjadi otentik dan sempurna”. Karena justru kekristenan dapat menjadi otentik dan sempurna ketika ia memihak orang miskin dan melibatkan diri kepada perjuangan untuk membebaskan mereka. Teologi seharusnya menjadi refleksi kritis atas dirinya sendiri, dan atas kondisi-kondisi ekonomi, sosial, dan budaya dari kehidupan dan pemikiran komunitas Kristen. Hanya dengan demikian teologi dapat memberikan validitas terhadap realitas Amerika Latin dan dunia ketiga. [19]
Ketiga, menempatkan praksis sebagai peran utama bagi pembebasan kaum tertindas. (1) Iman dihubungkan dengan transformasi dunia.[20] Gutierrez melihat ada beberapa faktor dalam pemahaman  iman  Kristen  yang  sebenarnya mengacu  ke praksis  Teologi  Pembebasan,  yaitu:
a) belas kasihan sebagai pusat dari kehidupan kekristenan; b) spiritualitas kekristenan yang semakin membaik dalam upayanya mensintesiskan antara perenungan dan tindakan; c) manusia dilihat sebagai pendukung di dalam perubahan sejarah; d) penekanan filosofis pada tindakan manusia sebagai titik tolak bagi semua refleksi; e) penemuan ulang dimensi eskatologis di dalam teologi yang memberikan peran utama kepada praksis historis. (2) Pengaruh Marxisme.[21] Gutierrez mengakui bahwa konsep praksisnya dipengaruhi oleh pemikiran Marxis sehingga memang Teologi Pembebasan memilih Marxisme sebagai satu alat untuk analisis sosial, dan menyatakan suatu kesatuan yang esensi antara Marxisme dan kekristenan. Empat pilar Marxisme yang diadopsi oleh Teologi Pembebasan adalah: a) analisis perjuangan kelas; b) mengutuk harta milik/kekayaan pribadi; c) mendukung pemberontakan yang keras; d) “manusia baru” menebus dirinya sendiri (menjadi juruselamat bagi dirinya sendiri). Teologi Pembebasan juga menerapkan sepuluh dasar pemahaman Marxisme terhadap iman Kristen, yang hasilnya adalah: a) tidak mengakui adanya kejatuhan; b) menyangkal bahwa kematian merupakan akibat dari kejatuhan; c) menjadikan Allah sebagai Marxis pertama; d) menjadikan Yesus sebagai pencipta subversi; e) tidak mengindahkan karya penebusan; f) mengubah arti pertobatan (pertobatan ada dalam bentuk pembebasan terhadap orang-orang miskin dan yang tertindas); g) menyimpangkan makna kasih (disebut kasih jikalau terlibat dalam pemberontakan dan perjuangan melawan penindas); h) memindahkan “perbuatan-perbuatan” Kristen ke dalam praksis Marxisme; i) menundukkan gereja kepada mandat Marxis; j) tidak memiliki doktrin eskatologis yang benar. (3) Teologi sebagai hasil aktivitas pastoral. Titik tolak untuk refleksi teologi adalah kehadiran dan aktivitas gereja di dalam dunia. Teologi adalah produk dari  aktivitas  pastoral,  yang  dimulai  dari  pelayanan kasih.[22] Ini adalah kritikan atas gereja ditinjau dari sudut kemiskinan.
Gutierrez mengatakan,[23]
Kita menemukan Tuhan dalam perjumpaan dengan sesama, khususnya mereka yang miskin, tersisihkan, dan terperas. Suatu tindakan cinta terhadap mereka adalah tindakan cinta terhadap Tuhan. . . . Meskipun demikian, sesama manusia bukan hanya merupakan suatu kesempatan, sarana untuk menjadi lebih dekat dengan Tuhan. Kita secara konkret mencintai sesama melulu demi mereka, dan bukan “demi cinta terhadap Tuhan”.

Keempat, teologi sebagai “tindakan kedua.” Teologi memainkan peranannya sebagai “tindakan kedua” yang mengikuti praksis. Di dalam “tindakan pertama,” praksis, gereja dan orang-orang Kristen seharusnya mengabdikan diri kepada pembaharuan masyarakat dan berada di pihak orang miskin dan orang kulit hitam. Sedangkan “tindakan kedua,” teologi, adalah hasil dari refleksi atas praksis yang diwujudkan dalam pengajaran.[24]
Kelima, Teologi Pembebasan tidak mengenal Allah yang kudus, yang menjawab dosa manusia dengan murka-Nya. Menurut teologi ini, Yesus Kristus bukan Anak Allah, Tuhan, juruselamat dari dosa dan maut, yang dikirim oleh Allah Bapa. Keselamatan hanya dilihat sebagai pembebasan dalam bidang politik, ekonomi, dan kepercayaan Kristen dalam Teologi Pembebasan tidak lain daripada motivasi revolusioner.[25]

Tinjauan Alkitab Teologi Pembebasan
Ada beberapa bagian Alkitab yang sering dipakai oleh penganut Teologi Pembebasan sebagai landasan pengajaran mereka yakni:[26]
1.        Kisah yang tercantum dalam Kitab Keluaran, takkala bani Israel berada di tanah Mesir, Tuhan telah mendengarkan jeritan mereka, dan membebaskan mereka dari perbudakan dan penderitaan.
2.       Nyanyian pujian Maria yang terdapat dalam Injil Lukas 1:46-55.
3.       Nubuat nabi Yesaya tentang pekerjaan Mesias dalam Lukas 4:18-19 (bdg. Yesaya 61:1-2). Gagasannya adalah Yesus itu mempunyai kuasa untuk membebaskan dari ketakutan, penyakit dan kejahatan. Kristus sebagai pembebas.
4.      Penghakiman terakhir yang terdapat dalam Injil Matius 25:31-46, dimana penghakiman Tuhan berdasarkan sikap seseorang terhadap orang-orang yang menderita dan miskin.

Analisa Biblika Terhadap Konsep Teologi Pembebasan
Gereja Dalam Teologi  Pembebasan  Gustavo  Gutierrez:Deskripsi Dan  Analisis Hermeneutikal
Pertama, Natur Gereja. (1) keuniversalan gereja: (i) Sakramen keselamatan yang universal di dalam sejarah. Bertentangan dengan ajaran Roma Katolik (Vatikan II) yang berkembang saat itu, yang mengatakan bahwa di luar institusi gereja tidak ada keselamatan, Gutierrez justru menekankan keselamatan yang universal.[27] Gutierrez percaya bahwa seluruh dunia ada di bawah kasih karunia Allah yang menyelamatkan. Karunia ilahi entah itu ditolak atau diterima diberikan kepada semua orang, khususnya kepada orang-orang miskin. Setiap manusia tanpa kecuali adalah Bait Allah. Akibatnya, kita dapat bertemu Allah di dalam perjumpaan kita dengan manusia, khususnya di dalam orang-orang miskin. Kristus ada di dalam sesama kita. Semua orang ada di dalam Kristus, jadi semuanya dipanggil untuk bersekutu dengan Allah.[28] (ii) Pemalingan gereja kepada dunia. Di dalam analisis finalnya, menurut Gutierrez, tidak ada perbedaan antara gereja dan dunia. Gereja tidak hanya hadir di dalam dunia, tetapi adalah bagian dari dunia. Akibatnya, gereja harus berpaling kepada dunia di mana Kristus dan Roh-Nya hadir dan aktif di dalamnya. Gereja haruslah mengizinkan dirinya dihuni dan “diinjili” oleh dunia.[29] Gereja harus tidak mengijinkan kondisi kesenjangan miskin dan kaya berlangsung terus. Gereja  harus mendorong kepada dunia untuk menjadi bagian dunia dan untuk keadilan sosial  diwujudkan.[30] Jadi penekanan eklesiologi pembebasan bukanlah pada pemalingan dunia kepada gereja, tetapi pemalingan gereja kepada dunia. Dengan kata lain, gereja seharusnya dijadikan “Kristen”  oleh  dunia, khususnya oleh  orang  miskin.[31]  (2) Kesatuan gereja yang terjadi melalui upaya untuk memperjuangkan keadilan. Gutierrez melihat apa yang memisahkan manusia dengan manusia adalah ketidakadilan sosial. Perjuangan kelas adalah suatu masalah yang tidak dapat disangkal.  Adanya komunitas Kristen itu sendiri adalah akibat dari konflik sosial ini. Jadi menurut Gutierrez, tidak mungkin berbicara tentang keselamatan gereja tanpa terlibat di dalam situasi konkret yang berlangsung di dalam dunia.[32] Dengan melihat kenyataan bahwa gereja itu hidup di dalam sistem yang tidak adil, maka kesatuan gereja tidak akan terwujud tanpa kesatuan dunia dan kesatuan manusia yang dapat dicapai dengan terciptanya keadilan untuk semua. Oleh karena itu gereja haruslah terlibat di dalam perjuangan untuk menegakkan suatu masyarakat yang tidak berkelas dan berjuang melawan penyebab-penyebab perpecahan antara manusia yang merupakan satu-satunya cara di mana gereja dapat menjadi tanda kesatuan yang otentik.[33] Kesimpulannya, menurut Gutierrez, penekanan utama gereja dalam perspektif Teologi Pembebasan bukanlah pada naturnya tetapi pada misi gereja itu.
Kedua, Misi Gereja. Di dalam perspektif Teologi Pembebasan, keselamatan itu dapat terwujud ketika terjadi solidaritas dengan orang miskin di dalam perjuangan mereka, mengerti penyebab-penyebab dari kemiskinan mereka dan mendukung serta mendorong usaha-usaha yang dilakukan oleh rakyat untuk melepaskan diri dari penindasan.[34] Dengan lebih tajam, Gutierrez menyatakan bahwa tujuan gereja tidak untuk menyelamatkan, di dalam pengertian “menjanjikan sorga.” Karya keselamatan adalah suatu realita yang terjadi dalam sejarah. Jadi perjuangan untuk masyarakat yang adil di dalam hak-haknya merupakan bagian dari sejarah keselamatan.[35] Jadi, misi gereja mencakup: Pertama, Pemilihan terhadap orang miskin: adanya sikap solidaritas dengan mereka yang tertindas. Bagi Teologi Pembebasan, kaum miskin adalah kaum pilihan Allah yang istimewa. Di dalam situasi revolusi yang ditandai oleh konflik dan perjuangan  kelas, gereja haruslah memproyeksikan seluruh aktivitas dan tindakannya dengan kaum yang tertindas karena di dalam sejarah Allah sendiri ada di pihak orang miskin. Memang Allah mengasihi semua orang, tetapi Dia mengidentikkan dan menyatakan diri-Nya sendiri kepada orang miskin dan berada di sisi mereka.[36] Pemilihan Allah terhadap orang miskin ini jelas terlihat di dalam Perjanjian Lama di mana Allah memihak orang miskin dan melindungi mereka dari penindas-penindas. Sedangkan di dalam Perjanjian Baru, hal ini terlihat di dalam inkarnasi Anak Allah di mana Dia mengidentikkan diri-Nya sendiri dengan semua manusia, secara khusus terhadap orang miskin.[37] Memandang sikap Allah sendiri terhadap orang miskin, menurut Gutierrez, gereja haruslah mengarahkan dirinya kepada yang tertindas dan menjadi miskin supaya dapat mengambil bagian di dalam solidaritas dengan mereka yang menderita. Hanya dengan berpartisipasi di dalam perjuangan mereka kita dapat mengerti implikasi-implikasi pesan Injil dan membuatnya memiliki dampak di dalam sejarah.[38]  Kedua, suara kenabian. Salah satu cara gereja supaya dapat memperjelas posisinya sehubungan dengan isu-isu sosial adalah dengan pelayanan kenabian, yang mencakup kritik atas ketidakberesan yang terjadi di dalam masyarakat dan gereja.[39] Karakteristik dari suara kenabian bersifat:[40] (a) global, yaitu mencakup setiap situasi dan setiap struktur yang menekan dan menindas hak-hak asasi manusia, dan yang bertentangan dengan persaudaraan, keadilan dan kebebasan. (b) radikal, karena reformasi dan pengembangan saja tidak cukup, tetapi perubahan yang revolusioner dan radikal, itulah yang diperlukan.  Jadi, gereja haruslah dapat menyatakan, tanpa terkecuali, apa yang menjadi akar dari ketidakadilan sosial. (c) praksiologis, dimana kebenaran injil haruslah menjadi kebenaran yang dilakukan. Suara ini tidak hanya tertuang dalam kata-kata atau teks, tetapi adalah suatu tindakan.
Ketiga, memproklamirkan Kerajaan Allah. Situasi ketidakadilan dan eksploitasi adalah bertentangan dengan Kerajaan Allah. Dengan demikian, gereja seharusnya memproklamirkan adanya pertentangan ini dan mendorong mereka yang terjerat dalam situasi ketidakadilan dan yang menjadi korban eksploitasi untuk mencari kebebasan mereka sendiri.[41] Jadi, kabar baik akan pembebasan haruslah mencakup secara struktural masalah-masalah rasisme, ketidakadilan, kemiskinan dan perbedaan.[42]
Keempat, tindakan politik.[43] Gutierrez menekankan sifat politik dari pelayanan Kristus. Kristus tidak tergabung dalam gerakan orang Zelot Yahudi, namun Ia terus menerus melawan pihak penguasa dan struktur-struktur kekuasaan politik pada zaman-Nya, di mana Ia disalibkan juga oleh kuasa-kuasa politik tersebut. Kristus menyerang akar ketidakadilan sosial, yang berarti bahwa Ia mengaitkan pembebasan masa kini dengan sejarah keselamatan yang bersifat revolusioner, kekal dan universal. Perkara-perkara politik tercakup di dalam kekekalan dan karya Kristus bersifat politik justru karena menyelamatkan manusia.[44] Meneladani sifat pelayanan Kristus di atas, adalah tidak mungkin bagi gereja untuk hidup di dalam injil jikalau terpisah dari keterlibatan politik, karena pesan injil itu sendiri mempunyai dimensi politik yang tidak dapat dihindarkan. Lebih jauh situasi ketidakadilan yang membuat berjuta-juta orang Amerika Latin menderita, menuntut orang-orang Kristen untuk mewujudkan pembebasan dalam semua bentuknya.[45] Dalam karya klasiknya, A Theology of Liberation, Gustavo Gutierrez menekankan bahwa program politis yang terkait dengan gerakan pembebasan harus berpusat pada sebuah spiritualitas pembebasan. Gutierrez tentunya sadar akan bahaya-bahaya  mengabsolutkan  usaha-usaha politis yang  menjadi favorit kita,  yang karenanya menjadi sangat selektif dalam menemukan tema-tema Kristen yang berguna untuk  menyebarkan  tujuan-tujuan yang sudah kita sendiri tentukan. Untuk mengatasi kecenderungan sedemikian, Gutierrez berpendapat bahwa hidup kekristenan harus dipenuhi dengan sebuah pemahaman yang hidup tentang tahu berterima kasih (gratuitousness). Persekutuan dengan Tuhan dan dengan semua (umat manusia) lebih dari segalanya adalah sebuah pemberian. Partisipasi kita dalam ibadah, dia katakana adalah sebuah kegiatan waktu luang, sebuah waktu yang terbuang, yang mengingatkan kita bahwa Tuhan berada di luar kategori yang berguna dan yang tidak berguna. Dalam persekutuan ibadah kita dengan Allah, Gutierrez mengatakan pada kita, kita melihat ke depan ke sebuah masa depan indah saat kita mendengar, dia katakan sebagaiundangan untuk berpartisipasi dalam sukacita eskatologis.[46]
Kelima, Teologi Pembebasan sebagai Program Politik. Teologi Pembebasan setuju dengan  penjelasan Karl Marx, yang mengatakan: sampai sekarang filsuf-filsuf  menerangkan dunia; tugas kita adalah mengubahnya. Marxisme dan prinsip hermeneutiknya telah menjadi kekuatan yang mendorong dalam teologi ini. Dengan demikian seluruh Kitab Suci tampak dalam terang konsep perjuangan kelas, yang menuju penggulingan struktur-struktur sosial. Konsep agama harus dihancurkan demi yang duniawi, yakni kemerdekaan manusia agar dia mampu mengkritik dan mengubah dunia. Hidup sebagai manusia sekarang tercapai  karena manusia membebaskan diri  dan mencapai ketuhanan di dalam pengertian diri sendiri.[47]
Teologi Pembebasan juga menentang developmentalisme yang terjadi di dunia ketiga pada umumnya dan Amerika Latin khususnya. Mereka berpendapat bahwa penanaman modal asing untuk “mengembangkan” dunia ketiga, memunyai banyak unsur negatif. Apa yang dibutuhkan oleh negara-negara tersebut bukan “perkembangan”, tetapi perubahan dasar sistem kemasyarakatan mereka. Untuk memeroleh kemerdekaan dan pembebasan dari penderitaan, bila perlu mereka boleh memakai kekerasan untuk menggulingkan penguasa yang menindas mereka.[48]  Hal ini juga didukung oleh pengajaran Teologi Pengharapan, Jurgen Moltmann menyimpulkan bahwa panggilan Kristiani adalah melibatkan umat manusia untuk mengkonfrontir dan mengubah kebobrokan yang ada dalam masyarakat. Untuk itu umat Kristiani harus toleran dengan yang tertindas dan teraniaya, dan memakai segala sarana yang tersedia, termasuk kalau perlu  “revolution with violence” yaitu revolusi dengan kekerasan untuk perbaikan dunia.[49]

Tinjauan Biblika Terhadap Teologi Pembebasan
Berdasarkan penguraian tentang Teologi Pembebasan di atas, kita dapat menyetujui kesimpulan yang diberikan oleh Segundo Galilea tentang empat kecenderungan di dalam Teologi Pembebasan, yaitu:[50]
Pertama, menekankan ayat-ayat Alkitab tentang pembebasan dan menerapkan konsep ini ke dalam masyarakat. Kedua, berfokus pada sejarah dan budaya Amerika Latin (khususnya pada konteks sosial) sebagai suatu titik tolak teologi mereka. Ketiga, mengkonfrontasikan perjuangan kelas, ekonomi dan ideologi yang berbeda dengan iman Kristen. Keempat, Teologi Pembebasan lebih merupakan ideologi (yaitu perpindahan dari masyarakat ke teologi) yang ada di bawah pengaruh Marxisme. Dasar Alkitab yang menjadi patokan bagi mereka, jelas tidak ditafsirkan secara benar (out of context). Mereka tidak “mengeluarkan” kebenaran firman Tuhan itu untuk kemudian diterapkan ke dalam kehidupan dunia yang bermasyarakat ini, tetapi  mengambil  konteks  yang terjadi di dalam masyarakat dan mencocokkannya  atau mengaitkannya dengan ayat-ayat  Alkitab  yang bagi mereka mendukung
konteks. Jelaslah bahwa titik tolak atau sumber dari teologi seseorang akan sangat menentukan penguraian teologisnya. Jikalau titik berangkat dari teologi seseorang sudah salah, maka  seluruh penguraiannya juga salah.  Begitu juga dengan Teologi  Pembebasan,  jelas   seluruh  penguraian teologisnya tidak sesuai dengan kebenaran firman Tuhan karena ia tidak mendasarkan teologinya pada Alkitab meskipun ia memakai dukungan ayat Alkitab tetapi mengandung penafsiran yang subjektif. Beberapa contoh: mengajarkan keselamatan yang universal (bdk. Yoh. 3:16, 14:6); mengabaikan hakekat gereja yang harus berbeda dengan dunia meskipun mereka harus berada di dalam dan “masuk” ke dalam kehidupan ini, yang tujuannya untuk menjadi terang (lih. Yoh. 17:14-19, 2Ptr. 2:9); mengajarkan bahwa kekristenan harus terlibat dalam aksi politik, bahkan tindakan kekerasan jikalau itu untuk menciptakan suatu masyarakat yang tidak berkelas, mengingat Yesus sendiri adalah pencipta subversi. Jelas hal ini bertentangan dengan firman Tuhan. Ajaran kekristenan adalah kasih yang tidak bersyarat dan tidak membalas (Mat. 5:38-48). Kristus sendiri selalu menekankan bahwa Ia tidak menjadikan kerajaan-Nya di bumi sebagaimana konsep dan pengharapan orang Israel (termasuk murid-murid Yesus), untuk mengalahkan musuh-musuh bangsa Israel; Teologia Pembebasan juga menekankan praksis sebagai satu-satunya jawaban terhadap masalah-masalah sosial, bukannya pribadi dan karya Allah Tritunggal di dalam Alkitab. Namun demikian, kita juga tidak dapat menutup mata akan sumbangsih positif dari Teologi Pembebasan, di samping banyak hal pokok yang merupakan kelemahannya.
David Pan Purnomo memberikan komentar terhadap pandangan Teologi Pembebasan sebagai berikut:[51]
1.   Teologi Pembebasan mengatakan bahwa Tuhan “pilih kasih”  kepada orang miskin. Menurut pandangan kami, istilah yang lebih tepat adalah Tuhan “membela” keadilan bagi orang yang miskin dan tertindas. Gereja harus berbicara untuk keadilan dan perikemanusiaan. Jangan menghina atau menindas orang miskin.
2.   Teologi Pembebasan terlalu mengidealisasikan atau mendewa-dewakan orang miskin, seolah-olah hanya mereka yang akan mewarisi Kerajaan  Surga dan yang  mengerti makna
teologi. Kita mengetahui bahwa takkala Yesus Kristus masih hidup dalam dunia, Ia selalu bergaul dengan rakyat jelata dan memerhatikan orang miskin, tetapi Ia juga menyelamatkan Zakheus pemungut cukai yang kaya. Unsur yang menyebabkan seseorang diselamatkan, bukan situasi keuangannya kaya atau miskin, tetapi apakah ia beriman kepada Tuhan atau tidak (Yoh. 14:6;Kis. 4:12).
3.       Kalau dikatakan Injil Kristus  ditujukan bagi orang-orang yang miskin, hal ini memunyai dua arti, yaitu miskin di dalam hal materi dan miskin di dalam kerohaniannya. Kalau mereka merendahkan diri di hadapan Tuhan, mereka pun akan diselamatkan (Mat. 5:3).
4.   Sebaliknya Tuhan pun tidak pernah menjanjikan bahwa setiap orang miskin pasti diselamatkan. Artinya di dalam Tuhan berlaku orang pilihan (predestinasi). Bahkan Tuhan mengatakan jikalau hidup keagamaan mereka tidak lebih benar daripada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, mereka tidak akan masuk ke dalam kerajaan Surga (Mat. 5:20).
5.       Banyak gereja telah dipengaruhi oleh Teologi Pembebasan. Di Amerika Serikat misalnya, telah muncul Black Theology dan Feminist Theology. Kita mengakui bahwa teologi yang benar harus disertai dengan kelakuan yang benar.  Teori harus diimbangi dengan praktek. “Praxis” orang Kristen adalah cara pemikiran dan penghidupan yang sangat memengaruhi teologi dan hermeneutika gereja pada zaman ini.
Aspek yang merugikan dari Teologi Pembebasan terlihat dari beberapa pengajaran doktrin teologi ini yang menimbulkan pertanyaan dalam pikiran kita dimana mereka berpikiran dangkal terhadap apa yang Alkitab telah tetapkan. Gerakan ini pertama kali ada untuk menyerang ketidakadilan. Perhatian ini memusatkan secara lebih pada semangat dan efektivitas kemanusiaan. Sama halnya manusia berbuat ketidakadilan, sehingga mereka dapat mengoreksinya. Ada suatu penekanan kuat pada kasih; kasih ditunjukkan di dalam seseorang yang menggapai keluar  untuk membantu yang  lain. Tanpa  intervensi  pada  pihak  Mahakuasa, kedaulatan  Tuhan   untuk  mentransformasi (transform)  dan  penebus,  hal itu mustahil untuk masyarakat yang lebih baik. Penganut pembebasan mendasarkan pandangannya pada pembebasan kemanusiaan manusia dalam konsep panteisme Allah. Karena Allah ada dalam setiap pribadi, manusia mengusahakan mengakhiri ketidakadilan yang pastinya sangat berhasil. Selain itu, Teologi Pembebasan memberikan pandangan tentang dosa yang jauh dari defenisi dosa menurut Alkitab. Alkitab mengajarkan bahwa dosa adalah kejahatan melawan kekudusan Allah; ketidaktaatan terhadap hukum-Nya dan pemberontakan terhadap kehendak-Nya. Menurut penganut pembebasan, dosa adalah menjadi harta dalam rupa kemiskinannya orang lain; hal ini tidak merujuk  pada kegagalan pribadi sebagai suatu situsi sosial.  Penganut ini terus menerus berbicara tentang “struktur-struktur dosa sosial” lebih daripada kelemahan moral secara individu.[52]Artinya mengartikan dosa secara keseluruhan yang dipengaruhi oleh struktur sosial yang berdosa dan bukan dosa secara individu seperti Alkitab katakan bahwa dosa menjadi penghalang umat manusia berhubungan dengan Allah (Yesaya 59:2), dan bukan kemiskinan membuat orang berdosa.
Mengenai konsep keselamatan, Teologi Pembebasan telah dinodai oleh Pernyataan Vatikan II dan akibat paham Katolik menunjuk ke arah universalisme. Manusia mungkin diselamatakan apabila mereka membuka diri terhadap Allah, terlepas dari apakah mereka mengetahui yang dilakukan atau tidak. Pandangan ini selanjutnya berpendapat bahwa hidup adalah suatu ujian yang akan dihakimi berdasarkan kelakuan terhadap sesama manusia. Alkitab tentunya mengajarkan bahwa pencurahan darah Kristus adalah dasar untuk keselamatan manusia. Keselamatan melalui iman dan tidak pernah melalui tindakan jasa atau usaha sendiri (meritorious actions).[53] Alkitab berkata “Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah,itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri”.[54]
Pandangan Alkitab tentang Yesus Kristus adalah bahwa Dia adalah Allah yang datang sebagai daging (manusia) dan mati untuk dosa-dosa umat manusia. Dia sedang mempersiapkan suatu tempat di Surga bagi yang percaya kepada Yesus Kristus melalui iman kepada-Nya. Panganut Pembebasan menyatakan Yesus Kristus sebagai “Liberator” dari penindasan dan perbuatan dosa struktur-struktur sosial. Selain itu, Yesus Kristus adalah pola dasar atau model untuk pembebasan.[55] Artinya kecendrungan untuk melihat Yesus Kristus sebagai “pembebas” daripada penebus dosa umat manusia.
Menurut Teologi Pembebasan Kristus adalah sosok yang mewakili perjuangan, kematian, dan  pembelaan atau pembebasan. Diambil dari penafsiran Alkitab,  "Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang" (Lukas 4:18-19).  Tidak diragukan lagi ini dibaca seperti sebuah manifesto sosial! Yesus sendiri hidup seperti orang miskin, dalam kemiskinan material yang nyata, bukan spiritual seseorang. Kriteria-Nya tentang hidup adalah memberikan bantuan materi untuk sesama! Yesus membuat permusuhan  dengan  mencela agama terorganisir dan ritual pada masanya yang tidak berkomitmen untuk kasih terhadap sesama. Dia dieksekusi melalui kepentingan otoritas pada masanya yang merasa terancam dalam organisasi dan  kekuasaan.[56]
Hal-hal positif yang ada, yaitu: Pertama, menolak prinsip tradisi Roma Katolik bahwa di luar institusi gereja tidak ada keselamatan (terlepas dari pemahaman Gutierrez yang salah tentang keselamatan).  Kedua, pengakuan  bahwa  gereja  tidak  hanya  merupakan  hirarki tetapi
secara total adalah umat Allah.  Ketiga,  kritik menentang gereja  di  masa  yang  lampau  karena gereja ada di pihak penindas, dan menjadi kaya dan berkuasa di tengah-tengah kemiskinan. Keempat, panggilan kepada gereja untuk melakukan tindakan kasih sebagai wujud dari teologi yang berdasarkan firman Tuhan.[57] Kelima, secara keseluruhan Teologi Pembebasan memunyai nilai yang tertentu dalam perkembangan teologi masa kini. Gereja-gereja Indonesia, baik di Amerika Utara maupun di tanah air, menghadapi situasi dan kebutuhan yang berbeda dengan gereja-gereja di Amerika Latin. Kita perlu memelajari teologi yang kontemporer dan relevan dengan keadaan kita masing-masing, agar kita dapat mengintegrasikan iman kita dalam doktrin yang benar. [58]
Keenam, aspek positif  Teologi Pembebasan (tanpa memerhatikan isi teologinya)  adalah teologi pendekatan universal. Tidak ada ruang dunia Kristen yang tidak memunyai bentuk pembebasan.   Apa yang dimaksud  dengan  Teologi  Pembebasan  dapat  membantu  kita  untuk memberikan teologi kita sendiri bersifat universal?  Unsur rahasia itu adalah suatu perhatian untuk situasi kemiskinan, penderitaan dan pengasingan. Leonardo Boff berkata, “ Dasar Teologi Pembebasan adalah suatu nubuatan dan komitmen  persaudaraan terhadap hidup, tujuan dan perjuangan ini . . . merendahkan dan membatasi manusia, suatu komitmen untuk mengakhiri ketidakadilan suatu sejarah sosial.”[59]
Ketujuh, kita banyak belajar dari Teologi Pembebasan yaitu kebutuhan untuk teologi yang berdasarkan konteks. Teologi tidak menjadi efektif kecuali jika diformulasikan untuk berfungsi dalam situasi yang nyata dan spesifik. Karl Barth pernah berkata bahwa teologi terbaik adalah berkreasi sesuatu dengan Alkitab pada satu tangan dan surat kabar pada tangan yang lain!. Eksegeis harus berdasarkan suasana zaman (contemporary scene). Teologi Pembebasan melakukan hal ini dengan baik.[60]

Kesimpulan

Teologi Pembebasan Gutierrez bermula ketika ia melihat teologi dari gereja-gereja abad pertama yang menekankan aspek-aspek rohani dari kehidupan Kristen, yang berpusat pada dunia metafisik daripada tentang realita kehidupan di dunia. Jadi, teologi Gutierrez merupakan reaksi menentang metode tradisional dalam berteologi.
Pada akhirnya, Gutierrez mengatakan bahwa gereja tidak akan memiliki suatu teologi pembebasan yang otentik sampai mereka yang tertindas mampu mengekspresikan diri mereka sendiri secara bebas dan kreatif di dalam masyarakat sebagai manusia Allah. Namun, sebagaimana titik tolak Teologi Pembebasan adalah konteks sosial di Amerika Latin, maka teologi ini juga tidak dapat diterapkan secara utuh pada konteks masyarakat dan kekristenan di Indonesia. Namun bentuk teologi ini sudah memberikan sumbangsih di dalam bentuk kekristenan yang injili. Sebagai contoh memahami injil sebagai berita pembebasan (Luk. 4:18-19). Suatu misiologi yang “church oriented” mestinya sudah harus digantikan dengan “world oriented,” tetapi yang tetap bersumber dan bertujuan kepada Kerajaan Allah.[61]
Terlepas dari makna yang terkandung didalamnya, Teologi Pembebasan mengingatkan kita untuk menerapkan kebenaran firman Tuhan di dalam tindakan yang nyata. Tidak hanya teori tetapi harus menyatakan perwujudan iman kepada Kristus di dalam tindakan kasih kepada sesama sehingga Kristus dipermuliakan (Mat. 5:13-16;Yak. 2:14-26). Dan sikap orang-orang Kristen seharusnya juga tidak hanya dapat memberikan khotbah kepada orang-orang yang tertindas dan dalam kesusahan, namun juga harus mengulurkan tangan kasih sebagai perwujudan yang nyata dari firman yang diberitakan. Selain itu, sikap kita menanggapi Teologi Pembebasan adalah kita tetap berpegang teguh kepada Yesus Kristus, Tuhan yang menebus dosa umat manusia dan hanya dalam Dia ada keselamatan (Yoh. 14:6; Kis. 4:12; Ef. 2:8-9).


  Daftar Pustaka

AlkitabTerjemahan Baru. Jakarta:Lembaga Alkitab Indonesia, 2004.
Buffet, Yulia Oeniyati. Teologia Kontemporer. Jakarta: Yayasan Lembaga SABDA (YLSA),VERSI ELEKTRONIK (SABDA), 2006,23-24.
Elwell,  Walter A. Evangelical Dictionary of Theology. Grand Rapids: Baker, 1985.
Grenz,  Stanley J., and Roger E. Olson.  20th-Century Theology: God & The World in  a Transitional Age . USA:Downers Grove, InterVarsity, 1992.
Hillar, Marian.  Liberation  Theology:Religious  Response  To Social  Problems. A Survey. Houston:Published in Humanism and Social Issues, 1993.
Lane, Tony. Runtut Pijar: Sejarah Pemikiran Manusia.Terj. Conny Item. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993,268-271.
Linnemann, Eta. Teologi Kontemporer lmu atau Praduga?. Malang: Institut Injil Indonesia,1991,196-205.
Lumintang, Stevril I. Theologi Abu-Abu Pluralisme Agama. Malang: Penerbit Gandum Mas, 2004.
Gutierrez, Gustavo. A Theology of Liberation: History, Politics and Salvation . Maryknoll: Orbis Books, 1973.
Mouw, Richard J. Dipilih untuk sebuah Misi Global: Panggilan menuju Agenda Reformed yang Lebih Luas dalam Gustavo Gutierrez. A Theology of Liberation: History, Politics and Salvation. Maryknoll: Orbis Books, 1973, 206–207.  Diakses 8 November 2011 dari internet http://www.calvin.edu/admin/cccs/rcc/chapters/Mouw_Bahasa.pdf
Natalie. Evaluasi  Kritis  Terhadap  Doktrin  Gereja  Dari  Teologi Pembebasan. Malang: SAAT, Veritas:Jurnal Teologi dan Pelayanan, Oktober 2000, 181-191.
Nunez, C. and A. Emilio.  Liberation Theology . Chicago: Moody Press, 1985.
Purnomo, David Pan. Menjawab Pertanyaan-pertanyaan Kontemporer. Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara, 1997, 7-10.
Schwarz, Hans. Theology In A Global Context The Last Two Handred Years. USA: William B. Eerdmans Publishing Company, Grand Raids, Michigan/Cambridge, U.K., 2005.
Smith, David L. A Handbookof Contemporary Theology. Grand Rapids:BridgePoint Books, 1992.
Susabda,  Yakub B. Teologi Modern II. Jakarta: Lembaga Reformed Injili Indonesia, 1990.
Yewangoe, A. A. Implikasi Teologi Pembebasan Amerika Latin Terhadap Misiologi dalam Mengupayakan Misi Gereja Yang Kontekstual. Jakarta: Perhimpunan Sekolah-Sekolah Theologia di Indonesia, 1995.



[1] Yulia Oeniyati Buffet. Teologia Kontemporer (Jakarta: Yayasan Lembaga SABDA (YLSA),VERSI ELEKTRONIK (SABDA), 2006), 23.
[2] A. A. Yewangoe. Implikasi Teologi Pembebasan Amerika Latin Terhadap Misiologi dalam Mengupayakan Misi Gereja Yang Kontekstual (ed. John Campbell-Nelson, et al.; Jakarta: Perhimpunan Sekolah-Sekolah Theologia di Indonesia, 1995), 69.

[3] Stanley J.  Grenz and Roger E. Olson. 20thCentury Theology: God & The World in a Transitional Age (Downers Grove: InterVarsity, 1992) 213.
[4] Baskara T. Wardaya. Spiritualitas Pembebasan: Refleksi Atas Iman Kristiani dan Praksis Pastoral (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 106.
[5] Grenz, 216-217.
[6] Hans Schwarz. Theology In A Global Context The Last Two Handred Years (USA: William B. Eerdmans Publishing Company, Grand Raids, Michigan/Cambridge, U.K., 2005), 484-485.
[7] Gustavo Gutierrez, dikutip oleh  Grenz,211.
[8] Gutierrez mengartikan “praksis” sebagai segi-segi eksistensial dan aktif dari kehidupan Kristen. Istilah praksis itu sendiri diadopsi dari Marxisme.
[9] Disebut refleksi kritikal karena menganalisa situasi Amerika Latin berdasarkan ilmu pengetahuan manusia termasuk penafsiran sosiologis Marxis.
[10] G. T. Tjahjoko. Teologia Pembebasan: Tinjauan Khusus Terhadap Persepsi Gustavo Gutierrez (Pelita Zaman November 1991), 166.
[11] Eta Linnemann. Teologi Kontemporer lmu atau Praduga? (Malang: Institut Injil Indonesia,1991), 196.
[12] Gustavo Gutierrez, dikutip oleh  Grenz, 211.

[13] Grenz, 20th Century 211; Evangelical Dictionary of Theology (ed. Walter A. Elwell; Grand Rapids: Baker, 1985) 635.
[14] Yewangoe, 72.
[15]  Elwell,  635.
[16] Stevril I. Lumintang. Theologi Abu-Abu Pluralisme Agama (Malang: Penerbit Gandum Mas, 2004), 375.
 [17] Grenz, 214-215.
[18] Tony Lane. Runtut Pijar: Sejarah Pemikiran Manusia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), 270.
[19] Natalie. Evaluasi  Kritis  Terhadap  Doktrin  Gereja  Dari  Teologi Pembebasan. Malang: Jurnal SAAT, 2000), 184.
[20] Ibid,185
[21] G. Berghoef, and L. DeKoster. Liberation Theology: The Church’s Future Shock (Grand Rapids: Christian’s Library, 1984), 51, 59-69, 120.
 [22] Natalie, 186.
[23]  Ibid., 186.
[24]  Ibid., 186.
[25] Linnemann, 201.
[26] Purnomo, 7,8.
[27] Natalie, 186.
[28] Ibid, 186.
[29] Ibid, 187.
[30] David L. Smith.  A Handbookof Contemporary Theology Grand Rapids:Bridge Point Books, 1992), 218.
[31]  C. Nunez, and  A. Emilio. Liberation Theology (Chicago: Moody, 1985), 245.
[32] Natalie, 187.
[33] Nunez, 249.
[34] Grenz, 222.
[35] Natalie, 188.
[36] Ibid., 188.
[37] Nunez, 255.
[38] Natalie, 188.
[39] Ibid., 188.
[40] Nunez, Liberation 259. Teologi Pembebasan juga menggunakan suatu paradigma revolusi dari nabi-nabi PL, yang pelayanannya tidak hanya menyatakan “masa yang akan datang” (apokaliptik), tetapi juga melakukan reformasi-reformasi sosial.

[41] Ibid, 184.
[42] Natalie, 189.
[43] Yewangoe,75.
[44] Natalie, 189.
[45] Nunez, 264,265.
[46] Richard J. Mouw. Dipilih untuk sebuah Misi Global: Panggilan menuju Agenda Reformed yang Lebih Luas dalam Gustavo Gutierrez. A Theology of Liberation: History, Politics and Salvation (Maryknoll: Orbis Books, 1973) ,206,207, tersedia di  http://www.calvin.edu/admin/cccs/rcc/chapters/Mouw_Bahasa.pdf diakses 8 November 2011.
[47] Linnemann, 204,205.
[48] Purnomo, 9.
[49] Yakub B. Susabda. Teologi Modern II (Jakarta: Lembaga Reformed Injili Indonesia, 1990), 136.
 [50] Natalie, 189-190.
 [51] Purnomo, 9,10.
 [52] Smith, 223-224.
[53] Ibid, 224.
[54] Alkitab Terjemahan Bahasa Indonesia. “Keselamatan” berdasarkan Efesus 2:8-9.
[55] Smith, 224.
[56] Marian Hillar. Liberation Theology:Religious Response To Social Problems. A Survey. (Houston:Published in Humanism and Social Issues, 1993) ,42,43.
[57] Natalie, 190.
[58] Purnomo, 10.
[59] Smith, 224.
[60] Ibid, 224.
[61]  Yewangoe, 82.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar