Hengki Wijaya
Pendahuluan
Latar Belakang
Pada tahun 60-an para teolog radikal (kaum liberal) mulai bosan
menggeluti tantangan intelektual dari para pembela atheisme/kaum modernisme.
Sudah saatnya kekristenan bertanggungjawab melaksanakan tahap kedua dengan
menggabungkan diri membela kaum miskin dan tertindas. Hanya dengan cara
demikianlah para teolog dapat membuktikan realitas Tuhan yang nyata.[1] Dalam dekade terakhir ini banyak orang
membicarakan Teologi Pembebasan, bukan saja di Amerika Latin tempat asal
teologia ini, tetapi juga di Asia dan Afrika. Walaupun Teologi Pembebasan
timbul di mana-mana, namun yang secara “vokal” dan sistematis berbicara tentang Teologi Pembebasan adalah yang berasal dari Amerika Latin. [2]
Pokok Masalah
Permasalahannya
adalah apakah sebenarnya Teologi Pembebasan itu dan bagaimana kita menanggapi
teologi pembebasan yang memberikan pengaruh terhadap kehidupan kekristenan dan apakah sesuai
dengan tinjauan Alkitab. Oleh karena itu, penulisan
ini secara khusus akan meninjau pandangan Gustavo Gutierrez, yang merupakan
pelopor dan pencetus dasar pemikiran teologi pembebasan.
Tujuan Penulisan
Tujuan
penulisan “Analisa Biblika Terhadap Konsep Teologi Pembebasan Di Dalam
Kekristenan” adalah memberikan awasan terhadap pengaruh negatif Teologi Pembebasan
kepada setiap orang Kristen dan memahami Teologi Pembebasan ditinjau dari
Alkitab sebagai otoritas yang benar di dalam kekristenan masa kini.
Latar Belakang Sejarah
Tokoh Pencetus Teologi
Pembebasan
Gustavo Gutierrez dilahirkan di Lima, Peru, pada tahun 1928, sebagai
seorang messtizo, yakni seorang keturunan Indian Amerika Latin, yang dianggap
sebagai kalangan orang yang tertindas di bangsanya. Memang Gutierrez juga
berasal dari sebuah keluarga yang relatif miskin. Pada tahun 1959, ia
mendapatkan gelar Ph.D. dalam bidang teologi dari Universitas Lyon di Perancis
dan ditahbiskan menjadi imam. Karier pelayanan Gutierrez diawali dengan melayani
jemaat yang miskin di Lima dan mengajar teologi serta ilmu-ilmu sosial di
Universitas Katolik di sana.[3] Namun, sejak kembali ke
Peru, Gutierrez berhadapan kembali dengan realita kemiskinan dan penderitaan
masyarakat di sana. Ia merasa bahwa teologi yang dipelajarinya di Eropa “kurang
cocok” untuk situasi gereja dan masyarakat di mana ia melayani. Karena itu, ia
berusaha menemukan teologi yang tepat dan relevan di tengah-tengah situasi yang
sedemikian.[4]
Hal lain yang memprihatinkan Gutierrez adalah sikap dan tindakan Gereja
Katolik sebagai gereja yang memiliki kekuasaan yang sangat besar di banyak
negara. Dengan kekuasaannya ini, Gutierrez melihat bahwa Gereja Katolik tidak
“netral” di dalam keterlibatannya dalam kancah sosial-politik tetapi lebih berpihak
pada sisi penindas.[5]
Gutierrez mendapat pengaruh dari seorang Revolusione Argentina Che
Guevara yang menganut paham Marxisme. Meskipun dia tidak pernah menjadi seorang
Marxisme, dia tidak meragukan untuk menggunakan analisis sosial Marxixme dalam
usahanya untuk mengerti keadaan buruk
kemiskinan. Beliau adalah seorang
pelayan yang memiliki kedalaman spiritual.[6]
Pengertian Teologi
Pembebasan
Teologi Pembebasan adalah suatu pemikiran teologis yang muncul di
Amerika Latin dan negara-negara dunia ketiga yang lain, sekaligus merupakan
suatu pendekatan baru yang radikal terhadap tugas teologi dimana titik tolaknya
mengacu pada pengalaman kaum miskin dan perjuangan mereka untuk kebebasan, di
mana Allah juga hadir di dalamnya.[7] Jadi, teologi menurut Gutierrez,
bukanlah suatu “teori yang transenden” yang tanpa praksis,[8] tetapi adalah suatu
refleksi kritikal,[9]dimana
teologi dapat menjawab tantangan zaman dengan segala permasalahan sosialnya.
Teologi Kristen bukan hanya mencari otensitas dasar iman Kristiani, tetapi
haruslah memiliki praksis sebagai wujud konkret penghayatan iman.[10]
Dari penjelasan di atas, Teologi Pembebasan dapat dirumuskan
secara singkat sebagai upaya-upaya untuk merealisasikan pengajaran Alkitab mengenai
pembebasan ke dalam praksis, suatu teologi yang memerhatikan situasi dan
penderitaan orang miskin. “Keadilan
sosial dan solidaritas” dengan orang miskin dianggap sebagai bagian utama
amanat misi gereja.[11]
Konsep-konsep di dalam Teologi Pembebasan tidak langsung muncul
dalam waktu seketika dan pergerakan teologi ini tidak terjadi begitu saja,
tetapi ada penyebab-penyebab yang menjadi akar munculnya Teologi Pembebasan.
Pertama, pada abad ke-16, seorang uskup berdarah
Spanyol, Bartolome de Las Casas, mengadakan perjuangan untuk membela kaum
Indian yang menjadi korban penindasan orang-orang Spanyol. Pembelaannya begitu
gigih dan mengesankan sehingga para pelopor Teologi Pembebasan belakangan
memandangnya sebagai “Musa Teologi Pembebasan Amerika Latin.” Las Casas memiliki
pengaruh yang amat mendalam terhadap Gutierrez dan amat mewarnai
pandangan-pandangan teologisnya.[12]
Kedua, munculnya peristiwa-peristiwa dan gerakan-gerakan religius
serta sekuler pada pertengahan abad ke-20, seperti Teologi Politik di Eropa dan
Teologi Radikal di Amerika Utara yang dicetuskan oleh J. B. Metz, Jurgen
Moltmann dan Harvey Cox. Dalam gagasan teologinya, Metz telah meletakkan
beberapa dasar pemikiran yang kelak menjadi metode bagi Teologi Pembebasan,
khususnya pada peranan politik praksis sebagai titik tolak refleksi teologis.[13]
Ketiga, kemudian muncul apa yang disebut sebagai
konferensi para Uskup Amerika Latin (CELAM II) yang menghasilkan dokumen
Medellin (1968), yang inti perumusannya berbunyi: “Demi panggilannya, Amerika
Latin akan melaksanakan kebebasannya apapun pengorbanan yang diberikan.
Perintah Tuhan yang jelas untuk menginjili orang-orang miskin harus membawa
kita kepada distribusi sumber-sumber dan personil apostolis yang secara efektif
memberikan pilihan kepada yang paling miskin dan sektor-sektor yang paling
membutuhkan.”[14]
Keempat, situasi konkret di Amerika Latin.
Negara-negara di Amerika Latin telah menjadi korban kolonialisme, imperialisme
dan kerja sama multinasional. Hal ini terjadi karena adanya ketergantungan
ekonomis negara-negara Amerika Latin kepada Amerika Serikat (khususnya), yang
pada akhirnya banyak merugikan kepentingan Amerika Latin sehingga menimbulkan
keresahan-keresahan sosial.[15] Dampak Teologi Pembebasan
meluas ke benua lain dengan bangkitnya Teologi Pembebasan di Asia, tentu tidak
dapat dilepaskan dengan Teologi Pembebasan yang lahir terlebih dahulu di
Amerika Latin. Banyak teolog Asia, membangun Teologi Pembebasannyadengan
mengambil referensi dari Teologi Pembebasan asal Amerika Latin. Dengan kata
lain, semangat para teolog Amerika Latin telah membangkitkan kesadaran para
teolog Asia untuk menanggalkan pakaian lama teologi asal Barat, dan mengenakan
pakaian teologi asal Asia yang harus
berurusan dengan persoalan kemiskinan.[16]
Konsep Teologi Pembebasan
Metode Teologi Pembebasan
Pertama, Teologi
Pembebasan bertitik tolak dari situasi Amerika Latin. Teologi haruslah
secara intrinsik dihubungkan dengan situasi, budaya, dan sosial yang khusus.
Apa yang berkembang di suatu tempat, tidak dapat dipaksakan di tempat yang
lain, seperti halnya teologi di Amerika Latin yang muncul dari
kenyataan-kenyataan sosio politiknya yang unik, jelas tidak dapat diterapkan
secara “sama persis” di tempat yang lain.[17] Jadi menurut teolog
pembebasan, teologi tidaklah terpisah dari konteks sosial dan kultural di mana
teologi itu berlangsung, atau situasi hidup dari masyarakat yang menjadi objek
dari teologi itu sendiri. Atau dengan kata lain, Teologi Pembebasan tidak
dilihat sebagai “teologi universal” tetapi teologi haruslah bersifat
kontekstual yaitu terjadi dan berlaku pada tempat dan waktu yang khusus dan
tertentu, tidak secara universal ataupun dijadikan patokan secara umum.[18]
Kedua, teologi
sebagai refleksi kritis di dalam komunitas. Menurut Gutierrez, teologi haruslah
keluar dari kehidupan iman yang berusaha “menjadi otentik dan sempurna”. Karena
justru kekristenan dapat menjadi otentik dan sempurna ketika ia memihak orang
miskin dan melibatkan diri kepada perjuangan untuk membebaskan mereka. Teologi
seharusnya menjadi refleksi kritis atas dirinya sendiri, dan atas
kondisi-kondisi ekonomi, sosial, dan budaya dari kehidupan dan pemikiran
komunitas Kristen. Hanya dengan demikian teologi dapat memberikan validitas
terhadap realitas Amerika Latin dan dunia ketiga. [19]
Ketiga, menempatkan
praksis sebagai peran utama bagi pembebasan kaum tertindas. (1) Iman
dihubungkan dengan transformasi dunia.[20] Gutierrez melihat ada
beberapa faktor dalam pemahaman iman Kristen yang sebenarnya
mengacu ke praksis Teologi Pembebasan, yaitu:
a) belas kasihan sebagai pusat dari kehidupan
kekristenan; b) spiritualitas kekristenan yang semakin membaik dalam upayanya
mensintesiskan antara perenungan dan tindakan; c) manusia dilihat sebagai
pendukung di dalam perubahan sejarah; d) penekanan filosofis pada tindakan manusia
sebagai titik tolak bagi semua refleksi; e) penemuan ulang dimensi eskatologis
di dalam teologi yang memberikan peran utama kepada praksis historis. (2)
Pengaruh Marxisme.[21] Gutierrez
mengakui bahwa konsep praksisnya dipengaruhi oleh pemikiran Marxis sehingga memang
Teologi Pembebasan memilih Marxisme sebagai satu alat untuk analisis sosial,
dan menyatakan suatu kesatuan yang esensi antara Marxisme dan kekristenan.
Empat pilar Marxisme yang diadopsi oleh Teologi Pembebasan adalah: a) analisis
perjuangan kelas; b) mengutuk harta milik/kekayaan pribadi; c) mendukung
pemberontakan yang keras; d) “manusia baru” menebus dirinya sendiri (menjadi
juruselamat bagi dirinya sendiri). Teologi Pembebasan juga menerapkan sepuluh
dasar pemahaman Marxisme terhadap iman Kristen, yang hasilnya adalah: a) tidak
mengakui adanya kejatuhan; b) menyangkal bahwa kematian merupakan akibat dari
kejatuhan; c) menjadikan Allah sebagai Marxis pertama; d) menjadikan Yesus
sebagai pencipta subversi; e) tidak mengindahkan karya penebusan; f) mengubah
arti pertobatan (pertobatan ada dalam bentuk pembebasan terhadap orang-orang
miskin dan yang tertindas); g) menyimpangkan makna kasih (disebut kasih jikalau
terlibat dalam pemberontakan dan perjuangan melawan penindas); h) memindahkan
“perbuatan-perbuatan” Kristen ke dalam praksis Marxisme; i) menundukkan gereja
kepada mandat Marxis; j) tidak memiliki doktrin eskatologis yang benar. (3)
Teologi sebagai hasil aktivitas pastoral. Titik tolak untuk refleksi teologi
adalah kehadiran dan aktivitas gereja di dalam dunia. Teologi adalah produk dari
aktivitas pastoral, yang dimulai
dari pelayanan kasih.[22] Ini adalah kritikan atas
gereja ditinjau dari sudut kemiskinan.
Gutierrez mengatakan,[23]
Kita menemukan Tuhan dalam perjumpaan dengan
sesama, khususnya mereka yang miskin, tersisihkan, dan terperas. Suatu tindakan
cinta terhadap mereka adalah tindakan cinta terhadap Tuhan. . . . Meskipun
demikian, sesama manusia bukan hanya merupakan suatu kesempatan, sarana untuk
menjadi lebih dekat dengan Tuhan. Kita secara konkret mencintai sesama melulu
demi mereka, dan bukan “demi cinta terhadap Tuhan”.
Keempat, teologi sebagai “tindakan kedua.” Teologi
memainkan peranannya sebagai “tindakan kedua” yang mengikuti
praksis. Di dalam “tindakan pertama,” praksis, gereja dan
orang-orang Kristen seharusnya mengabdikan diri kepada pembaharuan
masyarakat dan berada di pihak orang miskin dan orang kulit hitam.
Sedangkan “tindakan kedua,” teologi, adalah hasil dari refleksi atas praksis
yang diwujudkan dalam pengajaran.[24]
Kelima, Teologi Pembebasan tidak mengenal Allah yang
kudus, yang menjawab dosa manusia dengan murka-Nya. Menurut teologi ini, Yesus
Kristus bukan Anak Allah, Tuhan, juruselamat dari dosa dan maut, yang dikirim
oleh Allah Bapa. Keselamatan hanya dilihat sebagai pembebasan dalam bidang
politik, ekonomi, dan kepercayaan Kristen dalam Teologi Pembebasan tidak lain
daripada motivasi revolusioner.[25]
Tinjauan Alkitab Teologi
Pembebasan
Ada beberapa bagian Alkitab yang sering dipakai oleh penganut
Teologi Pembebasan sebagai landasan pengajaran mereka yakni:[26]
1.
Kisah yang tercantum dalam
Kitab Keluaran, takkala bani Israel berada di tanah Mesir, Tuhan telah
mendengarkan jeritan mereka, dan membebaskan mereka dari perbudakan dan
penderitaan.
2.
Nyanyian pujian Maria
yang terdapat dalam Injil Lukas 1:46-55.
3.
Nubuat nabi Yesaya
tentang pekerjaan Mesias dalam Lukas 4:18-19 (bdg. Yesaya 61:1-2). Gagasannya adalah Yesus itu
mempunyai kuasa untuk membebaskan dari ketakutan, penyakit dan kejahatan.
Kristus sebagai pembebas.
4.
Penghakiman terakhir yang
terdapat dalam Injil Matius 25:31-46, dimana penghakiman Tuhan berdasarkan
sikap seseorang terhadap orang-orang yang menderita dan miskin.
Analisa
Biblika Terhadap Konsep Teologi Pembebasan
Gereja Dalam Teologi
Pembebasan Gustavo Gutierrez:Deskripsi Dan Analisis Hermeneutikal
Pertama, Natur Gereja. (1) keuniversalan gereja: (i) Sakramen
keselamatan yang universal di dalam sejarah. Bertentangan dengan ajaran
Roma Katolik (Vatikan II) yang berkembang saat itu, yang mengatakan bahwa di
luar institusi gereja tidak ada keselamatan, Gutierrez justru menekankan
keselamatan yang universal.[27] Gutierrez percaya bahwa
seluruh dunia ada di bawah kasih karunia Allah yang menyelamatkan. Karunia
ilahi entah itu ditolak atau diterima diberikan kepada semua orang, khususnya
kepada orang-orang miskin. Setiap manusia tanpa kecuali adalah Bait Allah.
Akibatnya, kita dapat bertemu Allah di dalam perjumpaan kita dengan manusia, khususnya
di dalam orang-orang miskin. Kristus ada di dalam sesama kita. Semua orang ada
di dalam Kristus, jadi semuanya dipanggil untuk bersekutu dengan Allah.[28] (ii) Pemalingan gereja kepada dunia. Di dalam analisis finalnya, menurut
Gutierrez, tidak ada perbedaan antara gereja dan dunia. Gereja tidak hanya
hadir di dalam dunia, tetapi adalah bagian dari dunia. Akibatnya, gereja harus
berpaling kepada dunia di mana Kristus dan Roh-Nya hadir dan aktif di dalamnya.
Gereja haruslah mengizinkan dirinya dihuni dan “diinjili” oleh dunia.[29] Gereja harus tidak mengijinkan kondisi kesenjangan
miskin dan kaya berlangsung terus. Gereja
harus mendorong kepada dunia untuk menjadi bagian dunia dan untuk
keadilan sosial diwujudkan.[30] Jadi penekanan eklesiologi pembebasan bukanlah
pada pemalingan dunia kepada gereja, tetapi pemalingan gereja kepada dunia. Dengan
kata lain, gereja seharusnya dijadikan “Kristen” oleh dunia,
khususnya oleh orang miskin.[31] (2) Kesatuan
gereja yang terjadi melalui upaya untuk memperjuangkan keadilan. Gutierrez
melihat apa yang memisahkan manusia dengan manusia adalah ketidakadilan sosial.
Perjuangan kelas adalah suatu masalah yang tidak dapat disangkal. Adanya komunitas Kristen itu sendiri adalah
akibat dari konflik sosial ini. Jadi menurut Gutierrez, tidak mungkin berbicara
tentang keselamatan gereja tanpa terlibat di dalam situasi konkret yang
berlangsung di dalam dunia.[32] Dengan melihat kenyataan
bahwa gereja itu hidup di dalam sistem yang tidak adil, maka kesatuan gereja
tidak akan terwujud tanpa kesatuan dunia dan kesatuan manusia yang dapat
dicapai dengan terciptanya keadilan untuk semua. Oleh karena itu gereja
haruslah terlibat di dalam perjuangan untuk menegakkan suatu masyarakat yang
tidak berkelas dan berjuang melawan penyebab-penyebab perpecahan antara manusia
yang merupakan satu-satunya cara di mana gereja dapat menjadi tanda kesatuan
yang otentik.[33]
Kesimpulannya, menurut Gutierrez, penekanan utama gereja dalam perspektif
Teologi Pembebasan bukanlah pada naturnya tetapi pada misi gereja itu.
Kedua, Misi Gereja. Di dalam perspektif Teologi
Pembebasan, keselamatan itu dapat terwujud ketika terjadi solidaritas dengan
orang miskin di dalam perjuangan mereka, mengerti penyebab-penyebab dari kemiskinan
mereka dan mendukung serta mendorong usaha-usaha yang dilakukan oleh rakyat
untuk melepaskan diri dari penindasan.[34] Dengan lebih tajam,
Gutierrez menyatakan bahwa tujuan gereja tidak untuk menyelamatkan, di dalam
pengertian “menjanjikan sorga.” Karya keselamatan adalah suatu realita yang
terjadi dalam sejarah. Jadi perjuangan untuk masyarakat yang adil di dalam
hak-haknya merupakan bagian dari sejarah keselamatan.[35] Jadi, misi gereja
mencakup: Pertama, Pemilihan terhadap orang miskin: adanya
sikap solidaritas dengan mereka yang tertindas. Bagi Teologi Pembebasan, kaum
miskin adalah kaum pilihan Allah yang istimewa. Di dalam situasi revolusi yang
ditandai oleh konflik dan perjuangan kelas,
gereja haruslah memproyeksikan seluruh aktivitas dan tindakannya dengan kaum
yang tertindas karena di dalam sejarah Allah sendiri ada di pihak orang miskin.
Memang Allah mengasihi semua orang, tetapi Dia mengidentikkan dan menyatakan diri-Nya
sendiri kepada orang miskin dan berada di sisi mereka.[36] Pemilihan Allah terhadap
orang miskin ini jelas terlihat di dalam Perjanjian Lama di mana Allah memihak
orang miskin dan melindungi mereka dari penindas-penindas. Sedangkan di dalam
Perjanjian Baru, hal ini terlihat di dalam inkarnasi Anak Allah di mana Dia
mengidentikkan diri-Nya sendiri dengan semua manusia, secara khusus terhadap
orang miskin.[37]
Memandang sikap Allah sendiri terhadap orang miskin, menurut Gutierrez,
gereja haruslah mengarahkan dirinya kepada yang tertindas dan menjadi miskin
supaya dapat mengambil bagian di dalam solidaritas dengan mereka yang
menderita. Hanya dengan berpartisipasi di dalam perjuangan mereka kita dapat
mengerti implikasi-implikasi pesan Injil dan membuatnya memiliki dampak di
dalam sejarah.[38]
Kedua, suara kenabian.
Salah satu cara gereja supaya dapat memperjelas posisinya sehubungan
dengan isu-isu sosial adalah dengan pelayanan kenabian, yang
mencakup kritik atas ketidakberesan yang terjadi di dalam masyarakat
dan gereja.[39]
Karakteristik dari suara kenabian bersifat:[40] (a) global, yaitu mencakup setiap situasi
dan setiap struktur yang menekan dan menindas hak-hak asasi manusia,
dan yang bertentangan dengan persaudaraan, keadilan dan kebebasan.
(b) radikal, karena
reformasi dan pengembangan saja tidak cukup, tetapi perubahan yang
revolusioner dan radikal, itulah yang diperlukan. Jadi, gereja haruslah dapat
menyatakan, tanpa terkecuali, apa yang menjadi akar dari
ketidakadilan sosial. (c) praksiologis,
dimana kebenaran injil haruslah menjadi kebenaran yang dilakukan.
Suara ini tidak hanya tertuang dalam kata-kata atau teks, tetapi
adalah suatu tindakan.
Ketiga, memproklamirkan Kerajaan Allah. Situasi
ketidakadilan dan eksploitasi adalah bertentangan dengan Kerajaan Allah. Dengan
demikian, gereja seharusnya memproklamirkan adanya pertentangan ini dan
mendorong mereka yang terjerat dalam situasi ketidakadilan dan yang menjadi
korban eksploitasi untuk mencari kebebasan mereka sendiri.[41] Jadi, kabar baik akan
pembebasan haruslah mencakup secara struktural masalah-masalah rasisme,
ketidakadilan, kemiskinan dan perbedaan.[42]
Keempat, tindakan politik.[43] Gutierrez menekankan
sifat politik dari pelayanan Kristus. Kristus tidak tergabung dalam gerakan orang
Zelot Yahudi, namun Ia terus menerus melawan pihak penguasa dan
struktur-struktur kekuasaan politik pada zaman-Nya, di mana Ia disalibkan juga
oleh kuasa-kuasa politik tersebut. Kristus menyerang akar ketidakadilan sosial,
yang berarti bahwa Ia mengaitkan pembebasan masa kini dengan sejarah
keselamatan yang bersifat revolusioner, kekal dan universal. Perkara-perkara
politik tercakup di dalam kekekalan dan karya Kristus bersifat politik justru
karena menyelamatkan manusia.[44] Meneladani
sifat pelayanan Kristus di atas, adalah tidak mungkin bagi gereja untuk hidup
di dalam injil jikalau terpisah dari keterlibatan politik, karena pesan injil
itu sendiri mempunyai dimensi politik yang tidak dapat dihindarkan. Lebih jauh
situasi ketidakadilan yang membuat berjuta-juta orang Amerika Latin menderita,
menuntut orang-orang Kristen untuk mewujudkan pembebasan dalam semua bentuknya.[45] Dalam karya klasiknya, A Theology of Liberation,
Gustavo Gutierrez menekankan bahwa program politis yang terkait dengan gerakan
pembebasan harus berpusat pada sebuah spiritualitas pembebasan. Gutierrez
tentunya sadar akan bahaya-bahaya
mengabsolutkan usaha-usaha
politis yang menjadi favorit kita, yang karenanya menjadi sangat selektif dalam
menemukan tema-tema Kristen yang berguna untuk
menyebarkan tujuan-tujuan yang
sudah kita sendiri tentukan. Untuk mengatasi kecenderungan sedemikian,
Gutierrez berpendapat bahwa hidup kekristenan harus dipenuhi dengan sebuah
pemahaman yang hidup tentang tahu berterima kasih (gratuitousness).
Persekutuan dengan Tuhan dan dengan semua (umat manusia) lebih dari segalanya
adalah sebuah pemberian. Partisipasi kita dalam ibadah, dia katakana adalah
sebuah kegiatan waktu luang, sebuah waktu yang terbuang, yang mengingatkan kita
bahwa Tuhan berada di luar kategori yang berguna dan yang tidak berguna. Dalam
persekutuan ibadah kita dengan Allah, Gutierrez mengatakan pada kita, kita
melihat ke depan ke sebuah masa depan indah saat kita mendengar, dia katakan
sebagaiundangan untuk berpartisipasi dalam sukacita eskatologis.[46]
Kelima, Teologi Pembebasan sebagai Program Politik. Teologi Pembebasan setuju dengan penjelasan Karl Marx, yang mengatakan: sampai
sekarang filsuf-filsuf menerangkan
dunia; tugas kita adalah mengubahnya. Marxisme dan prinsip hermeneutiknya telah
menjadi kekuatan yang mendorong dalam teologi ini. Dengan demikian seluruh
Kitab Suci tampak dalam terang konsep perjuangan kelas, yang menuju penggulingan
struktur-struktur sosial. Konsep agama harus dihancurkan demi yang duniawi,
yakni kemerdekaan manusia agar dia mampu mengkritik dan mengubah dunia. Hidup
sebagai manusia sekarang tercapai karena
manusia membebaskan diri dan mencapai
ketuhanan di dalam pengertian diri sendiri.[47]
Teologi
Pembebasan juga menentang developmentalisme
yang terjadi di dunia ketiga pada umumnya dan Amerika Latin khususnya. Mereka
berpendapat bahwa penanaman modal asing untuk “mengembangkan” dunia ketiga,
memunyai banyak unsur negatif. Apa yang dibutuhkan oleh negara-negara tersebut
bukan “perkembangan”, tetapi perubahan dasar sistem kemasyarakatan mereka.
Untuk memeroleh kemerdekaan dan pembebasan dari penderitaan, bila perlu mereka
boleh memakai kekerasan untuk menggulingkan penguasa yang menindas mereka.[48] Hal ini juga didukung oleh pengajaran Teologi
Pengharapan, Jurgen Moltmann menyimpulkan bahwa panggilan Kristiani adalah
melibatkan umat manusia untuk mengkonfrontir dan mengubah kebobrokan yang ada
dalam masyarakat. Untuk itu umat Kristiani harus toleran dengan yang tertindas
dan teraniaya, dan memakai segala sarana yang tersedia, termasuk kalau
perlu “revolution with violence” yaitu
revolusi dengan kekerasan untuk perbaikan dunia.[49]
Tinjauan Biblika Terhadap Teologi Pembebasan
Berdasarkan penguraian tentang Teologi Pembebasan di atas, kita dapat
menyetujui kesimpulan yang diberikan oleh Segundo Galilea tentang empat
kecenderungan di dalam Teologi Pembebasan, yaitu:[50]
Pertama,
menekankan ayat-ayat Alkitab tentang pembebasan dan menerapkan konsep ini ke
dalam masyarakat. Kedua, berfokus pada sejarah dan budaya Amerika Latin
(khususnya pada konteks sosial) sebagai suatu titik tolak teologi mereka. Ketiga,
mengkonfrontasikan perjuangan kelas, ekonomi dan ideologi yang berbeda dengan
iman Kristen. Keempat, Teologi Pembebasan lebih merupakan ideologi (yaitu perpindahan
dari masyarakat ke teologi) yang ada di bawah pengaruh Marxisme. Dasar Alkitab
yang menjadi patokan bagi mereka, jelas tidak ditafsirkan secara benar (out of context). Mereka tidak
“mengeluarkan” kebenaran firman Tuhan itu untuk kemudian diterapkan ke dalam kehidupan
dunia yang bermasyarakat ini, tetapi mengambil
konteks yang terjadi di dalam masyarakat dan
mencocokkannya atau mengaitkannya dengan
ayat-ayat Alkitab yang bagi mereka mendukung
konteks. Jelaslah bahwa
titik tolak atau sumber dari teologi seseorang akan sangat menentukan
penguraian teologisnya. Jikalau titik berangkat dari teologi seseorang sudah
salah, maka seluruh penguraiannya juga
salah. Begitu juga dengan Teologi Pembebasan,
jelas seluruh penguraian teologisnya tidak sesuai dengan
kebenaran firman Tuhan karena ia tidak mendasarkan teologinya pada Alkitab
meskipun ia memakai dukungan ayat Alkitab tetapi mengandung penafsiran yang
subjektif. Beberapa contoh: mengajarkan keselamatan yang universal (bdk. Yoh.
3:16, 14:6); mengabaikan hakekat gereja yang harus berbeda dengan dunia
meskipun mereka harus berada di dalam dan “masuk” ke dalam kehidupan ini, yang
tujuannya untuk menjadi terang (lih. Yoh. 17:14-19, 2Ptr. 2:9); mengajarkan
bahwa kekristenan harus terlibat dalam aksi politik, bahkan tindakan kekerasan
jikalau itu untuk menciptakan suatu masyarakat yang tidak berkelas, mengingat
Yesus sendiri adalah pencipta subversi. Jelas hal ini bertentangan dengan
firman Tuhan. Ajaran kekristenan adalah kasih yang tidak bersyarat dan tidak
membalas (Mat. 5:38-48). Kristus sendiri selalu menekankan bahwa Ia tidak
menjadikan kerajaan-Nya di bumi sebagaimana konsep dan pengharapan orang Israel
(termasuk murid-murid Yesus), untuk mengalahkan musuh-musuh bangsa Israel; Teologia
Pembebasan juga menekankan praksis sebagai satu-satunya jawaban terhadap
masalah-masalah sosial, bukannya pribadi dan karya Allah Tritunggal di dalam
Alkitab. Namun demikian, kita juga tidak dapat menutup mata akan sumbangsih
positif dari Teologi Pembebasan, di samping banyak hal pokok yang merupakan
kelemahannya.
David Pan Purnomo memberikan komentar terhadap pandangan Teologi
Pembebasan sebagai berikut:[51]
1. Teologi Pembebasan
mengatakan bahwa Tuhan “pilih kasih”
kepada orang miskin. Menurut pandangan kami, istilah yang lebih tepat
adalah Tuhan “membela” keadilan bagi orang yang miskin dan tertindas. Gereja
harus berbicara untuk keadilan dan perikemanusiaan. Jangan menghina atau
menindas orang miskin.
2. Teologi Pembebasan
terlalu mengidealisasikan atau mendewa-dewakan orang miskin, seolah-olah hanya
mereka yang akan mewarisi Kerajaan Surga
dan yang mengerti makna
teologi. Kita mengetahui
bahwa takkala Yesus Kristus masih hidup dalam dunia, Ia selalu bergaul dengan
rakyat jelata dan memerhatikan orang miskin, tetapi Ia juga menyelamatkan
Zakheus pemungut cukai yang kaya. Unsur yang menyebabkan seseorang
diselamatkan, bukan situasi keuangannya kaya atau miskin, tetapi apakah ia
beriman kepada Tuhan atau tidak (Yoh. 14:6;Kis. 4:12).
3.
Kalau dikatakan Injil
Kristus ditujukan bagi orang-orang yang
miskin, hal ini memunyai dua arti, yaitu miskin di dalam hal materi dan miskin
di dalam kerohaniannya. Kalau mereka merendahkan diri di hadapan Tuhan, mereka
pun akan diselamatkan (Mat. 5:3).
4. Sebaliknya Tuhan pun
tidak pernah menjanjikan bahwa setiap orang miskin pasti diselamatkan. Artinya
di dalam Tuhan berlaku orang pilihan (predestinasi).
Bahkan Tuhan mengatakan jikalau hidup keagamaan mereka tidak lebih benar
daripada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, mereka tidak
akan masuk ke dalam kerajaan Surga (Mat. 5:20).
5.
Banyak gereja telah
dipengaruhi oleh Teologi Pembebasan. Di Amerika Serikat misalnya, telah muncul Black Theology dan Feminist Theology. Kita mengakui bahwa teologi yang benar harus
disertai dengan kelakuan yang benar.
Teori harus diimbangi dengan praktek. “Praxis” orang Kristen adalah cara
pemikiran dan penghidupan yang sangat memengaruhi teologi dan hermeneutika
gereja pada zaman ini.
Aspek yang merugikan dari Teologi Pembebasan terlihat dari
beberapa pengajaran doktrin teologi ini yang menimbulkan pertanyaan dalam
pikiran kita dimana mereka berpikiran dangkal terhadap apa yang Alkitab telah
tetapkan. Gerakan ini pertama kali
ada untuk menyerang ketidakadilan. Perhatian ini memusatkan secara lebih pada
semangat dan efektivitas kemanusiaan. Sama halnya manusia berbuat
ketidakadilan, sehingga mereka dapat mengoreksinya. Ada suatu penekanan kuat
pada kasih; kasih ditunjukkan di dalam seseorang yang menggapai keluar untuk membantu yang lain. Tanpa intervensi pada pihak Mahakuasa,
kedaulatan Tuhan untuk mentransformasi
(transform) dan penebus, hal itu mustahil untuk masyarakat yang lebih
baik. Penganut pembebasan mendasarkan pandangannya pada pembebasan kemanusiaan
manusia dalam konsep panteisme Allah. Karena Allah ada dalam setiap pribadi,
manusia mengusahakan mengakhiri ketidakadilan yang pastinya sangat berhasil.
Selain itu, Teologi Pembebasan memberikan pandangan tentang dosa yang jauh dari
defenisi dosa menurut Alkitab. Alkitab mengajarkan bahwa dosa adalah kejahatan
melawan kekudusan Allah; ketidaktaatan terhadap hukum-Nya dan pemberontakan
terhadap kehendak-Nya. Menurut penganut pembebasan, dosa adalah menjadi harta
dalam rupa kemiskinannya orang lain; hal ini tidak merujuk pada kegagalan pribadi sebagai suatu situsi sosial. Penganut ini terus menerus berbicara tentang
“struktur-struktur dosa sosial” lebih daripada kelemahan moral secara individu.[52]Artinya mengartikan dosa
secara keseluruhan yang dipengaruhi oleh struktur sosial yang berdosa dan bukan
dosa secara individu seperti Alkitab katakan bahwa dosa menjadi penghalang umat
manusia berhubungan dengan Allah (Yesaya 59:2), dan bukan kemiskinan membuat
orang berdosa.
Mengenai konsep keselamatan, Teologi Pembebasan telah
dinodai oleh Pernyataan Vatikan II dan akibat paham Katolik menunjuk ke arah
universalisme. Manusia mungkin diselamatakan apabila mereka membuka diri
terhadap Allah, terlepas dari apakah mereka mengetahui yang dilakukan atau
tidak. Pandangan ini selanjutnya berpendapat bahwa hidup adalah suatu ujian
yang akan dihakimi berdasarkan kelakuan terhadap sesama manusia. Alkitab
tentunya mengajarkan bahwa pencurahan darah Kristus adalah dasar untuk
keselamatan manusia. Keselamatan melalui iman dan tidak pernah melalui tindakan
jasa atau usaha sendiri (meritorious
actions).[53]
Alkitab berkata “Sebab karena kasih
karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian
Allah,itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri”.[54]
Pandangan Alkitab tentang Yesus Kristus adalah bahwa Dia adalah
Allah yang datang sebagai daging (manusia) dan mati untuk dosa-dosa umat
manusia. Dia sedang mempersiapkan suatu tempat di Surga bagi yang percaya
kepada Yesus Kristus melalui iman kepada-Nya. Panganut Pembebasan menyatakan
Yesus Kristus sebagai “Liberator” dari penindasan dan perbuatan dosa
struktur-struktur sosial. Selain itu, Yesus Kristus adalah pola dasar atau
model untuk pembebasan.[55] Artinya kecendrungan
untuk melihat Yesus Kristus sebagai “pembebas” daripada penebus dosa umat
manusia.
Menurut Teologi Pembebasan Kristus adalah sosok yang
mewakili perjuangan, kematian, dan
pembelaan atau pembebasan. Diambil dari penafsiran Alkitab, "Roh
Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar
baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan
pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta,
untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat
Tuhan telah datang" (Lukas 4:18-19).
Tidak diragukan lagi ini dibaca seperti sebuah manifesto sosial! Yesus
sendiri hidup seperti orang miskin, dalam kemiskinan material yang nyata, bukan
spiritual seseorang. Kriteria-Nya tentang hidup adalah memberikan bantuan materi
untuk sesama! Yesus membuat permusuhan dengan
mencela agama terorganisir dan ritual
pada masanya yang tidak berkomitmen untuk kasih terhadap sesama. Dia dieksekusi
melalui kepentingan otoritas pada masanya yang merasa terancam dalam organisasi
dan kekuasaan.[56]
Hal-hal positif yang ada, yaitu: Pertama, menolak prinsip tradisi Roma Katolik bahwa di luar
institusi gereja tidak ada keselamatan (terlepas dari pemahaman Gutierrez yang salah
tentang keselamatan). Kedua, pengakuan bahwa gereja
tidak hanya merupakan
hirarki tetapi
secara total adalah umat
Allah. Ketiga, kritik menentang
gereja di masa yang
lampau karena gereja ada di pihak penindas, dan
menjadi kaya dan berkuasa di tengah-tengah kemiskinan. Keempat, panggilan kepada gereja untuk melakukan tindakan kasih sebagai
wujud dari teologi yang berdasarkan firman Tuhan.[57] Kelima, secara keseluruhan Teologi Pembebasan memunyai nilai yang
tertentu dalam perkembangan teologi masa kini. Gereja-gereja Indonesia, baik di
Amerika Utara maupun di tanah air, menghadapi situasi dan kebutuhan yang
berbeda dengan gereja-gereja di Amerika Latin. Kita perlu memelajari teologi
yang kontemporer dan relevan dengan keadaan kita masing-masing, agar kita dapat
mengintegrasikan iman kita dalam doktrin yang benar. [58]
Keenam, aspek positif Teologi Pembebasan (tanpa memerhatikan isi
teologinya) adalah teologi pendekatan
universal. Tidak ada ruang dunia Kristen yang tidak memunyai bentuk pembebasan.
Apa yang dimaksud dengan Teologi
Pembebasan dapat membantu
kita untuk memberikan teologi kita sendiri bersifat
universal? Unsur rahasia itu adalah
suatu perhatian untuk situasi kemiskinan, penderitaan dan pengasingan. Leonardo
Boff berkata, “ Dasar Teologi Pembebasan adalah suatu nubuatan dan
komitmen persaudaraan terhadap hidup,
tujuan dan perjuangan ini . . . merendahkan dan membatasi manusia, suatu
komitmen untuk mengakhiri ketidakadilan suatu sejarah sosial.”[59]
Ketujuh, kita banyak belajar dari Teologi Pembebasan
yaitu kebutuhan untuk teologi yang berdasarkan konteks. Teologi tidak menjadi
efektif kecuali jika diformulasikan untuk berfungsi dalam situasi yang nyata
dan spesifik. Karl Barth pernah berkata bahwa teologi terbaik adalah berkreasi sesuatu
dengan Alkitab pada satu tangan dan surat kabar pada tangan yang lain!.
Eksegeis harus berdasarkan suasana zaman (contemporary
scene). Teologi Pembebasan melakukan hal ini dengan baik.[60]
Kesimpulan
Teologi Pembebasan Gutierrez bermula ketika ia melihat teologi
dari gereja-gereja abad pertama yang menekankan aspek-aspek rohani dari
kehidupan Kristen, yang berpusat pada dunia metafisik daripada tentang realita kehidupan
di dunia. Jadi, teologi Gutierrez merupakan reaksi menentang metode tradisional
dalam berteologi.
Pada akhirnya, Gutierrez mengatakan bahwa gereja tidak akan
memiliki suatu teologi pembebasan yang otentik sampai mereka yang tertindas
mampu mengekspresikan diri mereka sendiri secara bebas dan kreatif di dalam
masyarakat sebagai manusia Allah. Namun, sebagaimana titik tolak Teologi
Pembebasan adalah konteks sosial di Amerika Latin, maka teologi ini
juga tidak dapat diterapkan secara utuh pada konteks masyarakat dan
kekristenan di Indonesia. Namun bentuk teologi ini sudah memberikan
sumbangsih di dalam bentuk kekristenan yang injili. Sebagai contoh memahami
injil sebagai berita pembebasan (Luk. 4:18-19). Suatu misiologi yang
“church oriented” mestinya sudah harus digantikan dengan “world oriented,”
tetapi yang tetap bersumber dan bertujuan kepada Kerajaan Allah.[61]
Terlepas dari makna yang terkandung didalamnya, Teologi Pembebasan
mengingatkan kita untuk menerapkan kebenaran firman Tuhan di dalam
tindakan yang nyata. Tidak hanya teori tetapi harus menyatakan
perwujudan iman kepada Kristus di dalam tindakan kasih kepada sesama
sehingga Kristus dipermuliakan (Mat. 5:13-16;Yak. 2:14-26). Dan sikap orang-orang
Kristen seharusnya juga tidak hanya dapat memberikan khotbah kepada
orang-orang yang tertindas dan dalam kesusahan, namun juga harus
mengulurkan tangan kasih sebagai perwujudan yang nyata dari firman
yang diberitakan. Selain itu, sikap kita menanggapi Teologi Pembebasan adalah
kita tetap berpegang teguh kepada Yesus Kristus, Tuhan yang menebus dosa umat
manusia dan hanya dalam Dia ada keselamatan (Yoh. 14:6; Kis. 4:12; Ef. 2:8-9).
Daftar
Pustaka
AlkitabTerjemahan
Baru. Jakarta:Lembaga Alkitab Indonesia, 2004.
Buffet,
Yulia Oeniyati. Teologia Kontemporer.
Jakarta: Yayasan Lembaga SABDA (YLSA),VERSI ELEKTRONIK (SABDA), 2006,23-24.
Elwell, Walter A. Evangelical Dictionary of Theology.
Grand Rapids: Baker, 1985.
Grenz, Stanley J., and Roger
E. Olson. 20th-Century Theology: God & The World in a Transitional Age . USA:Downers Grove,
InterVarsity, 1992.
Hillar, Marian. Liberation Theology:Religious Response
To Social Problems. A Survey. Houston:Published in Humanism and Social Issues, 1993.
Lane,
Tony. Runtut Pijar: Sejarah Pemikiran
Manusia.Terj. Conny Item. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993,268-271.
Linnemann, Eta. Teologi Kontemporer lmu atau Praduga?. Malang: Institut Injil
Indonesia,1991,196-205.
Lumintang, Stevril I. Theologi Abu-Abu Pluralisme Agama.
Malang: Penerbit Gandum Mas, 2004.
Gutierrez, Gustavo. A Theology of
Liberation: History, Politics and Salvation . Maryknoll: Orbis Books, 1973.
Mouw, Richard J. Dipilih
untuk sebuah Misi Global: Panggilan menuju Agenda Reformed yang Lebih Luas dalam
Gustavo Gutierrez. A Theology of
Liberation: History, Politics and Salvation. Maryknoll: Orbis Books, 1973,
206–207. Diakses 8 November 2011 dari
internet http://www.calvin.edu/admin/cccs/rcc/chapters/Mouw_Bahasa.pdf
Natalie.
Evaluasi Kritis
Terhadap Doktrin Gereja
Dari Teologi Pembebasan. Malang: SAAT, Veritas:Jurnal Teologi dan Pelayanan,
Oktober 2000, 181-191.
Nunez, C. and A. Emilio. Liberation Theology . Chicago: Moody
Press, 1985.
Purnomo,
David Pan. Menjawab Pertanyaan-pertanyaan
Kontemporer. Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara, 1997, 7-10.
Schwarz,
Hans. Theology In A Global Context The
Last Two Handred Years. USA: William B. Eerdmans Publishing Company, Grand
Raids, Michigan/Cambridge, U.K., 2005.
Smith, David L. A
Handbookof Contemporary Theology. Grand Rapids:BridgePoint Books, 1992.
Susabda, Yakub B. Teologi Modern II. Jakarta: Lembaga
Reformed Injili Indonesia, 1990.
Yewangoe, A. A. Implikasi
Teologi Pembebasan Amerika Latin Terhadap Misiologi dalam Mengupayakan Misi
Gereja Yang Kontekstual. Jakarta: Perhimpunan Sekolah-Sekolah Theologia di
Indonesia, 1995.
[1] Yulia Oeniyati Buffet. Teologia Kontemporer (Jakarta: Yayasan
Lembaga SABDA (YLSA),VERSI ELEKTRONIK (SABDA), 2006), 23.
[2] A. A. Yewangoe. Implikasi
Teologi Pembebasan Amerika Latin Terhadap Misiologi dalam Mengupayakan Misi
Gereja Yang Kontekstual (ed. John Campbell-Nelson, et al.; Jakarta:
Perhimpunan Sekolah-Sekolah Theologia di Indonesia, 1995), 69.
[3] Stanley J. Grenz and Roger E. Olson. 20thCentury Theology: God & The World in
a Transitional Age (Downers Grove: InterVarsity, 1992) 213.
[4] Baskara T. Wardaya. Spiritualitas Pembebasan: Refleksi Atas Iman
Kristiani dan Praksis Pastoral (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 106.
[5] Grenz, 216-217.
[6] Hans Schwarz. Theology In A Global Context The Last Two Handred Years (USA:
William B. Eerdmans Publishing Company, Grand Raids, Michigan/Cambridge, U.K.,
2005), 484-485.
[7] Gustavo Gutierrez,
dikutip oleh Grenz,211.
[8] Gutierrez mengartikan
“praksis” sebagai segi-segi eksistensial dan aktif dari kehidupan Kristen.
Istilah praksis itu sendiri diadopsi dari Marxisme.
[9] Disebut refleksi kritikal karena menganalisa situasi Amerika
Latin berdasarkan ilmu pengetahuan manusia termasuk penafsiran sosiologis
Marxis.
[10] G. T. Tjahjoko. Teologia Pembebasan: Tinjauan Khusus
Terhadap Persepsi Gustavo Gutierrez (Pelita Zaman November 1991), 166.
[11] Eta Linnemann. Teologi Kontemporer lmu atau Praduga? (Malang: Institut Injil Indonesia,1991),
196.
[12] Gustavo Gutierrez,
dikutip oleh Grenz, 211.
[13] Grenz, 20th Century 211;
Evangelical Dictionary of Theology (ed. Walter A. Elwell; Grand Rapids: Baker,
1985) 635.
[14] Yewangoe, 72.
[15] Elwell,
635.
[16] Stevril I. Lumintang. Theologi Abu-Abu Pluralisme Agama (Malang:
Penerbit Gandum Mas, 2004), 375.
[17] Grenz, 214-215.
[18] Tony Lane. Runtut Pijar: Sejarah Pemikiran Manusia (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1993), 270.
[19] Natalie.
Evaluasi Kritis
Terhadap Doktrin Gereja
Dari Teologi Pembebasan. Malang: Jurnal SAAT, 2000), 184.
[20] Ibid,185
[21] G. Berghoef, and L.
DeKoster. Liberation Theology: The
Church’s Future Shock (Grand Rapids: Christian’s Library, 1984), 51, 59-69,
120.
[22] Natalie, 186.
[23] Ibid., 186.
[24] Ibid., 186.
[25] Linnemann, 201.
[26] Purnomo, 7,8.
[27] Natalie, 186.
[28] Ibid, 186.
[29] Ibid, 187.
[30] David L. Smith. A
Handbookof Contemporary Theology Grand Rapids:Bridge Point Books, 1992),
218.
[31] C. Nunez, and A. Emilio. Liberation
Theology (Chicago: Moody, 1985), 245.
[32] Natalie, 187.
[33] Nunez, 249.
[34] Grenz, 222.
[35] Natalie, 188.
[36] Ibid., 188.
[37] Nunez, 255.
[38] Natalie, 188.
[39] Ibid., 188.
[40] Nunez, Liberation 259.
Teologi Pembebasan juga menggunakan suatu paradigma revolusi dari nabi-nabi PL,
yang pelayanannya tidak hanya menyatakan “masa yang akan datang” (apokaliptik),
tetapi juga melakukan reformasi-reformasi sosial.
[41] Ibid,
184.
[42] Natalie,
189.
[43] Yewangoe,75.
[44] Natalie, 189.
[45] Nunez,
264,265.
[46] Richard J. Mouw.
Dipilih untuk sebuah Misi Global:
Panggilan menuju Agenda Reformed yang Lebih Luas dalam Gustavo Gutierrez. A Theology of
Liberation: History, Politics and Salvation (Maryknoll: Orbis Books, 1973)
,206,207, tersedia di http://www.calvin.edu/admin/cccs/rcc/chapters/Mouw_Bahasa.pdf diakses 8 November 2011.
[47] Linnemann, 204,205.
[48] Purnomo, 9.
[49] Yakub B. Susabda. Teologi Modern II (Jakarta: Lembaga
Reformed Injili Indonesia, 1990), 136.
[50] Natalie, 189-190.
[51]
Purnomo, 9,10.
[52] Smith, 223-224.
[53] Ibid, 224.
[54] Alkitab Terjemahan Bahasa
Indonesia. “Keselamatan” berdasarkan Efesus 2:8-9.
[55] Smith, 224.
[56]
Marian Hillar. Liberation Theology:Religious Response To Social
Problems. A Survey.
(Houston:Published in Humanism and Social Issues, 1993) ,42,43.
[57] Natalie, 190.
[58] Purnomo, 10.
[59] Smith, 224.
[60] Ibid, 224.
[61] Yewangoe, 82.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar