Good News

Senin, 20 Oktober 2014

Book Summary of Old Testament Theology (Gerhard F. Hasel)



TEOLOGI PERJANJIAN LAMA
 By Hengki Wijaya

I.       Permulaan dan Perkembangan Teologi Perjanjian Lama
 Sejak reformasi hingga masa Pencerahan, prinsip golongan Protestan  “sola scriptura” yaitu berdasarkan Alkitab saja,yang menjadi sorak peperangan dari gerakan Reformasi terhadap teologi skolastik dan tradisi kekuasaan gereja, memberikan sumber bagi perkembangan teologi Alkitabiah  berikutnya akibat gagasannya untuk menafsirkan sendiri Alkitab (sui ipsius interpres). Istilah “teologi Alkitabiah” dipakai dalam dua arti: (1) dapat berarti sebuah teologi yang ajaran-ajarannya ersumber pada Alkitab dan dasarnya adalah Alkitabnya atau (2) teologi yang dikandung oleh Alkitab itu sendiri. Arti kedua, istilah teologi Alkitabiah merupakan suatu disiplin teologis tertentu yang asal mula dan perkembangannya kita uraikan secara singkat.[1]

Pada zaman Pencerahan berkembang suatu cara pendekatan  penelaahan Alkitab yang baru samasekali  karena beberapa pengaruh. Yang pertama dan utama ialah reaksi rasionalisme terhadap supernaturalisme.  Sumbangan besar kedua ialah dikembangkannya suatu hermeneutik baru, yaitu metode peneliatian sejarah. Ketiga, terdapat penggunaan kritik sastra radikal terhadap Alkitab.[2] Dari zaman Pencerahan hingga zaman Teologi Dialektik, perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa disiplin baru yang berkaitan dengan sejarah ini kalah dan dikuasai oleh berbagai sistem  filsafat, lalu mengalami tantangan dari ilmu pengetahuan Alkitab yang konservatif dan akhirnya mati oleh pendekatan dari sudut  “sejarah agama-agama”. Pada pertengahan abad kesembilan belas sebuah reaksi konservatif  yang sangat kuat menentang pendekatan-pendekatan yang rasional dan filosofis terhadap teologi Perjanjian Lama muncul dari golongan yang menolak kesahihan pendekatan yang berdasarkan penelitian sejarah dan juga dari golongan yang berusaha memadukan suatu pendekatan historis moderat dengan penerimaan penyataan ilahi.[3]

II  Sekitar Masalah Metodologi
Dalam sebuah tinjauan yang luas tentang lima dasawarsa literature mengenai teologi Perjanjian Lama E. Würthwein menyimpulkan analisisnya yang tajam dalam suatu kalimat yang bijaksana, “Dewasa ini kita makin terpisah jauh dalam hal kesepakatan tentang konteks dan metode teologi Perjanjian Lama daripada keadaan kita lima puluh tahun yang lalu.”[4] Metode Didaktik-Dogmatik, metode tradisonal dalam mengorganisasikan teologi Perjanjian Lama ialah pendekatan yang dipinjam dari teologi  dogmatik (teologi sistematika) dan bagiannya (untuk pokok-pokok bahasannya) tentang Allah-Manusia-keselamatan atau Teologi-Antropologi-Soteriologi.[5]Metode Progresif-Genetis, bila dipandang dari sudut lingkungan pembahasan , fungsi, serta struktur  teologi Perjanjian Lama maka metode ini yang telah dipergunakan dengan aneka ragam cara. Chester K. Lehman mendefenisikan “metode teologi Alkitabiah” sebagai metode  yang  “ditetapkan pada umumnya oleh prinsip perkembangan historis.”[6]
Metode penggunaan contoh yang representative yang mewakili keseluruhan. Seorang perintis utama dalam bidang teologi Perjanjian Lama dan metodologinya di abad ini ialah W. Eichrodt. Eichrodt mampu melakukan penggunaan contoh yang representatif terhadap seluruh dunia pemikiran Perjanjian Lama dengan membuat perjanjian itu sebagai pusat Perjanjian Lama.[7] Metode diakronis, Von Rad berusaha  “menceritakan ulang” kerigma atau pengakuan Perjanjian Lama yang terungkap lewat metode sejarah tradisi diakronis.[8] Metode  “Pembentukan Tradisi”,  Harmuth Gese mendesak bahwa teologi Perjanjian Lama  “pada hakikatnya harus dipahami sebagai suatu proses perkembangan sejarah. Hanya dengan cara inilah teologi Perjanjian Lama mencapai kesatuan, dan hanya sesudah itulah masalah hubungan teologi Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dapat  dikemukakan.[9]


[1]  Gerhard F. Hasel. Teologi Perjanjian Lama. Malang: Penerbit Gandum Mas, 1992, 15-16.
[2]  Ibid, 18-19.
[3]  Ibid, 24-26.
[4]   Ibid, 43.
[5]   Ibid, 45.
[6]   Ibid, 48.
[7]   Ibid, 53-55.
[8]   Ibid, 73-77.
[9]   Ibid, 79.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar