Good News

Minggu, 02 November 2014

Interaksi Bacaan Teologi Perjanjian Baru Jilid 1 (George E. Ladd)



Judul Buku                              : Teologi Perjanjian Baru Jilid 1
Pengarang                              : George Eldon Ladd
Halaman                                  : 414 halaman
By Hengki Wijaya
Teologi Perjanjian Baru Jilid I terdiri atas dua bagian yaitu penjelasan tentang Injil sinopsis dan Injil keempat yaitu Injil Yohanes yang berbeda dengan  ketiga Injil lainnya. Dimulai dari sejarah perkembangan teologi Perjanjian Baru yaitu pandangan gereja abad pertengahan hingga pandangan teologi Amerika abad ke-19 yang berkembang sesuai dengan jaman dan situasi yang mempengaruhinya. Yang menarik adalah pandangan Bultmann yang berpandangan bahwa iman gereja menambahkan mitologi dalam sejarah Yesus yang sebenarnya.[1] Saya menentang pendapat Rudolf Bultmann yang terkenal dengan proses demythologization (membuang segala unsure yang bersifat mitos)[2] karena merendahkan otoritas Perjanjian Baru dan tidak mempercayai bahwa Perjanjian Baru diilhamkan oleh Roh Kudus. Saya setuju kisah Yesus adalah fakta sejarah dan bukan mitos (memakai cerita atau dongeng).

Seringkali timbul pertanyaan mengapa studi Teologi Alkitab dibatasi hanya 66 kitab (kanon), padahal ada juga tulisan-tulisan lain yang non-kanonis. Tulisan kanonis berbicara banyak tentang sejarah penebusan dibandingkan yang non kanonis. Tulisan kanonis menjelaskan tindakan Allah di dalam sejarah keselamatan manusia, sedangkan non kanonis hanya berfokus kepada Israel dan masa depannya.[3] Saya berpendapat otoritas 66 kanon harus dipertahankan, namun dalam studi teologi kita perlu mendapat bantuan sejarah dari tulisan-tulisan non kanonis seperti Qumran, tulisan sejarah Yahudi dan deuterokanonika yang diyakini umat Katolik untuk semakin memperkuat otoritas Alkitab.
Tafsiran-tafsiran tentang kerajaan Allah terdapat dalam beberapa bentuk yang berbeda-beda. Dari Agustinus sampai para reformator bahwa Kerajaan Allah disamakan dengan gereja telah dianggap keliru bahkan dikalangan Katolik. Gereja adalah umat dari Kerajaan itu, tetapi tidak dapat disamakan dengan ge(aat ini dan akan disempurnakan di masa yang akan datang. Namun, dalam pemaparan G.E. Ladd tidak menjelaskan perbedaan Kerajaan Allah dan Kerajaan Sorga karena kedua kata tersebut adalah sama dalam artinya. Menurutnya ungkapan “Kerajaan Sorga” adalah idiomatik Semitik, di mana sorga sebagai pengganti nama Illahi.[4] Hanya Injil Matius yang menyebut Kerajaan Sorga dalam Matius 12:28;19:24;21:31,43, Matius memakai istilah KerajaanAllah. [5]Lain halnya dengan tokoh kaum dispensasional, C.I. Scofield yang membedakan antara Kerajaan Allah dan Kerajaan Sorga. Pandangan Dispensasionalisme melihat arti “Kerajaan Allah” dan “Kerajaan Sorga” dalam Injil Sinoptik sebagai dua istilah yang berbeda. Di atas telah dijelaskan bahwa Kerajaan Allah meluputi dua aspek atau penjelasan, yaitu Kerajaan Allah yang bersifat universal yang meliputi seluruh alam semesta dan segala sesuatu yang ada sejak dahulu kala di bawah pemerintahan langsung Allah dan Kerajaan Allah yang bersifat Theocratic yaitu pemerintahan Allah yang terbatas di bumi ini melalui mediator manusia yang mula-mula Adam dijadikan mediatornya dan oleh karena Adam jatuh ke dalam dosa theocratic digantikan dengan satanocratic. Ada janji dari Allah yang unconditional bahwa Ia akan menetapkan kembali Kerajaan Theocratic melalui Mediator-Nya, yaitu Adam kedua, Kristus di bumi ini.[6]
Etika kerajaan memberi  penekanan baru atas kebenaran hati. Beberapa ilustrasi prinsip Yesus bertentangan dengan Perjanjian Lama sebagaimana yang ditafsirkan dalam ajaran para rabi. Tekanan utama adalah karakter batiniah yang mendasari perilaku.Hukum Taurat mengutuk pembunuhan: Yesus mengutuk amarah sebagai dosa (Mat. 5:21-26). Undang-undang mengatur hal-hal yang berkenaan dengan kelakuan yang dapat dikendalikan; sedangkan amarah tidak termasuk perilaku lahiriah, melainkan sikap dan karakter batiniah.[7]  Saya berpendapat bahwa ajaran Yesus adalah ajaran karakter, bukan ajaran hukum.Yesus mengajarkan bahwa apa yang keluar dari hati itulah yang menajiskan karena dari hatilah dapat timbul dosa (Markus 7:18-23). Hal inilah yang dikatakan oleh Paulus dengan “sunat hati” (Kolose 2:11-13). Ajaran Yesus menggenapi Taurat dengan lebih mendalam lagi dalam implementasinya dalam hati manusia.
Arti “Anak Allah” dapat dipakai dalam empat cara yaitu: 1) Ciptaan Allah boleh disebut anak Allah dalam pengertian asal usulnya (Lukas 1:35);2) ungkapan anak Allah dapat dipakai untuk melukiskan hubungan manusia dengan Allah sebagai objek pemeliharaan kasih-Nya yang khusus; 3) Anak Allah adalah mesianik; raja keturunan Daud itu disebut Anak Allah (2 Sam. 7:14); 4) Anak Allah dalam arti teologis. Dalam pewahyuan Perjanjian Baru dan teologi Kristen sesudahnya, “Anak Allah” mempunyai makna yang lebih tinggi; Yesus adalah Anak Allah sebab Ia adalah Allah dan memiliki sifat ilahi.[8]  Berdasarkan Injil Yohanes 19:7,  Jawab orang-orang Yahudi itu kepadanya: "Kami mempunyai hukum dan menurut hukum itu Ia harus mati, sebab Ia menganggap diri-Nya sebagai Anak Allah". Penjelasan Ladd yaitu sebagai Anak Allah, Yesus itu bukan sekedar orang yang terpilih yang berdedikasi; Ia ikut mengambil bagian dalam keilahiannya. Yohanes mengaskannya dalam “Firman itu adalah Allah” (Yoh. 1:1) dan ungkapan “Akulah” menunjukkan bahwa Yesus adalah Anak Allah. Akhirnya kita dapat mengerti bahwa konsep “Anak Allah” ditentang oleh orang-orang Yahudi yang begitu taat dengan konsep monoteisme yang berbeda dengan pandangan Yesus mengakui dirinya adalah Anak Manusia yang juga Anak Allah sebagai penggenapan Taurat termasuk konsep Anak Allah menurut orang Yahudi.
Pengalaman Salib mengenai penderitaan dan kematian Yesus menyiratkan makna yang jauh lebih mendalam tentang proses kematian-Nya daripada kematian jasmani, bagaimana pun menakutkannya. Ketiga Injil Sinoptis menghubungkan doa yang mengerikan di Getsemani dengan Bapa-Nya agar menyingkirkannya “cawan ini” dari pada-Nya (Markus 14:36). Lukas menambahkan bahwa Ia ada dalam ketakutan yang luar biasa sehingga, “Peluhnya menjadi seperti titik-titik darah yang bertetesan ke tanah” (Lukas 22:44).[9] Saya berpendapat bahwa sebagai manusia, Yesus menunjukkan ketergantungan-Nya kepada Bapa. Yesus tidak takut pada kematian karena dari semula Dia telah mengatakan bahwa bagaimana Dia mati dan akan bangkit dari kematian. Akhirnya Yesus menang atas jiwanya dan berdoa lagi kepada Bapa untuk menggenapi kehendak Bapa-Nya. Hati Yesus pada saat di Getsemani seperti anggur yang lagi “diperas” karena dosa-dosa manusia yang menderita di kayu salib yang tidak harus ditanggung-Nya. Hal ini juga terjadi juga pada hati kita yang telah diterangi dengan Roh Kudus yang apabila berbuat dosa maka hati kita menjadi gelisah karena Roh Allah berduka atas perbuatan kita.
Penjelasan Ladd dalam bukunya Teologi Perjanjian Baru jilid 1 tentang Roh Kudus didasarkan pada perbedaaan pandangan helenistik, Perjanjian Lama dan keempat Injil tidak mencantumkan secara detil tentang pengajaran Yesus tentang hujat kepada Roh Kudus. Namun, secara khusus membahas ungkapan unik tentang paraclete atau “penolong” dalam kitab Injil Yohanes. Yang menarik “penolong” Secara keseluruhan George E. Ladd membahas teologinya dengan sumber-sumber sejarah Alkitab, sejarah Yudaisme, helenistik dan ajaran Bapa gereja mula-mula.


[1]  George Eldon Ladd, Teologi Perjanjian Baru Jilid 1 (Bandung:Kalam Hidup, 2010),24.
[2]  Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 3 (Jakarta:BPK Gunung Mulia),352.
[3]  Ladd, 37.
[4]  Eddy Peter Purwanto, Teologi Perjanjian Versus Dispensasionalisme (Tangerang: STTI Philadelfia,2004),63.
[5]  George Eldon Ladd, Injil Kerajaan (Malang: Penerbit Gandum Mas,1994),37.
[6]  Purwanto, 63.
[7]  Ladd, Teologi Perjanjian Baru Jilid 1, 169.
[8]  Ibid.,, 211-212.
[9] Ibid., 253.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar