Good News

Kamis, 06 November 2014

REFLEKSI PILIHAN: BUKU “DISIPLIN ANUGERAH” Jerry Bridges

        By Hengki Wijaya


            Jerry Bridges menulis buku ini dan memberikan kesaksiannya. Dia berkata, “Salah satu aspek yang terasa lebih sulit bagi saya ketika menulis buku tentang anugerah dan kekudusan adalah kebutuhan terus menerus untuk memeriksa diri. Tujuannya supaya saya tidak menjadi seperti ahli Taurat dan orang Farisi yang disebut Yesus, “Mereka mengajarkannya tetapi tidak melakukannya “ (Matius 23:3). Memeriksa diri seringkali menyakitkan. Hanya Injillah yang membuat saya terus mengejar kekudusan, dan hanya jaminan anugerah-Nya di dalam Kristus yang memberi saya keberanian untuk menyampaikan apa yang sudah dan masih terus saya pelajari”. Salah satu ayat emas Jerry yang memberikan arahan dan motivasi, adalah Efesus
3:8: ”Kepadaku, yang paling hina di antara segala orang kudus, telah diberikan anugerah ini, untuk memberitakan kepada orang-orang bukan Yahudi kekayaan Kristus, yang tidak terduga itu.”
            Charles Spurgeon, pengkhotbah besar dari abad ke-19 setiap kali ia melangkah ke mimbar, ia berdoa dalam hati, “Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini” (Lukas 18:13). Doa semacam itu dapat dipanjatkan ketika Anda betul-betul sadar bahwa Anda membutuhkan campur tangan anugerah Allah dan pada saat yang sama Anda betul-betul sadar bahwa Anda sama sekali tidak layak mendapat anugerah itu. Tepatlah ajaran Yesus di bukit yaitu: “Berbahagialah orang yang miskin dihadapan Allah karena merekalah yang empunya Kerjaan Sorga” (Matius 5:3).
            “Sebab kasih Kristus menguasai kami” (2 Korintus 5:14). Ide di balik kata menguasai adalah menekan sedemikian rupa sehingga mendesak, yakni memaksa atau mendorong maju dengan mengerahkan tekanan moril yang kuat. Kenneth Wuest, dalam terjemahan Perjanjian barunya yang lugas, secara indah menangkap cita rasa kata menguasai yang Paulus gunakan di sini. Wuest menerjemahkan, “Sebab kasih Kristus (kepada saya) menekan saya dari segala pihak, mengarahkan saya ke satu tujuan dan menghalangi saya memikirkan tujuan lain, membungkus saya dalam kelemahlembutan, memberi saya suatu motif yang mendesak.”

Apakah dosa-dosa “sopan” ini? Ketika saya periksa hidup saya sendiri, satu dosa yang pertama muncul dalam pikiran adalah kecenderungan menghakimi sesama dan membicarakan mereka dengan sikap mengkritik di depan orang lain. Peringatan Yesus dalam Matius tentang semangat mengeritik: “Mengapakah engkau melihat serpihan kayu di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui?” Kita perlu belajar menahan diri untuk menghakimi orang lain dan menyerahkan penghakiman itu kepada Allah.
Rasul Paulus menulis, “Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun di mana perlu, supaya mereka mendengarnya, beroleh anugerah” (Efesus 4:29). Kata kotor mencakup setiap jenis ucapan yang cenderung menghancurkan orang lain, apakah dikatakan kepada atau tentang orang itu. Larangan Paulus terhadap ucapan negatif semacam itu bersifat mutlak: “Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun”. Jelaslah bahwa nasihat Paulus mencerminkan hidup kudus manusia baru yang dikehendaki Allah dan hal ini adalah salah satu cara untuk mengejar kekudusan Allah.
Ketika Anda membaca ayat-ayat Kitab Ulangan itu, satu hal menjadi jelas: pesan utamanya adalah ketaatan kepada Allah. Perhatikanlah bagaimana kata-kata seperti perintah, ketetapan, dan peraturan begitu menonjol (lihat Ulangan 1:2,6). Hal ini jelas bagaiman Allah menekankan kepada bangsa Israel untuk belajar ketaatan untuk mengasihi Allah. “Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu” (Ul 6:5).
            Jerry Bridges menyelidiki dari Matius 22:37 dan Ulangan 6:5 dan dia melihat bahwa intensitas dan ketulusan yang harus dia miliki dalam menaati Allah. Jika kita harus mengasihi Allah dengan segenap hati, jiwa dan akal budi, dan jika ketaatan merupakan bagian utama dari kasih semacam itu, maka kita harus menaati Dia dengan segenap hati, jiwa dan akal budi kita. Jerry mencoba menjelaskan ketaatan orang percaya dengan dua ilustrasi yaitu ketaatan “cruise control” dan mobil balap. Ketaatan “cruise control” adalah suatu ketaatan yang nyaman yang disesuaikan dengan ketaatan di sekitar kita. Begitu kita samapai pada tingkat ketaatan yang nyaman ini, kita menekan tombol “cruise control” dalam hati kita, beristirahat dan bersantai. Budaya Kristiani kita kemudian mengambil alih dan menjaga kita tetap bergerak pada tingkat kelakuan dapat diterima. Menurut pendapat penulis ketaatan jenis ini didasarkan pada pemahaman sendiri tentang standar ketaatan dan tidak seperti ketaatan yang Allah kehendaki kita lakukan dalam mengasihi Allah. Sebagai kontrasnya, pertimbangkanlah pengemudi mobil balap. Mereka tidak berpikir untuk memakai cruise control. Mereka tidak punya minat untuk berbaur dalam kecepatan yang sama dengan orang-orang di sekitar mereka. Mereka mengemudi dengan segenap hati, jiwa dan akal budi mereka dan ingin memenangkan pertandingan. Penulis mengutip kalimat Paulus, “Dan berlari-lari kepada tujuan untuk memperoleh hadiah, yaitu panggilan sorgawi dari Allah dalam Kristus Yesus” (Filipi 3:14). Kata “berlari-lari” dalam bahasa Inggris press (KJV) yang berarti terus berlari menuju tujuan walaupun ada tekanan, tantangan bahkan terjatuh sekali pun.
Hati nurani yang peka dan siaga terhadap dosa, khususnya dosa-dosa “sopan”  seperti kesombongan, senang mengeritik, kebencian, tidak puas, cepat marah, dan sejenisnya adalah keuntungan besar dalam mengejar kekudusan. Ia memampukan kita menyadari dosa-dosa yang tersembunyi dalam-dalam, di bawah tingkat perbuatan lahiriah. Penulis sependapat dengan perkataan James Fraser, “Sekali hati nurani disucikan , ia tidak lagi menyimpan tuduhan bersalah dan penghakiman terhadap dirinya. Jadi, ada dua cara untuk mendapatkan hati nurani yang baik. Pertama, tidak melakukan pelanggaran. Kedua, membuang kesalahan itu dengan memanfaatkan darah Yesus.” Kesimpulannya yaitu taat dan bertobat.
Jonathan Edwards, filsuf dan teolog besar dan pendeta juga pada masa colonial di Amerika, menyusun 70 ketetapan untuk mengatur disiplin rohani dan tingkah lakunya sendiri. Bicara tentang disiplin rohani! Ketetapan Edwards akan membuat kebanyakan disiplin kita hari ini seperti taman kanak-kanak rohani. Pada awal daftar ketetapannya ia menuliskan perkataan ini: “Menyadari bahwa saya tidak sanggup melakukan apa pun  tanpa pertolongan Allah, dengan rendah hati saya memohon Dia, oleh kasih karunia-Nya, untuk memampukan saya memegang ketetapan-ketetapan ini, sejauh mereka sejalan dengan kehendak-Nya, demi Kristus.” Edwards berdisiplin, tetapi ia juga bergantung kepada Allah. Kita semua mengenal sabda Yesus yang mashyur itu, “Di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa” (Yohanes 15:5).[1] Benar bahwa kita tidak berbuat apa-apa karena ranting tidak dapat berbuah tanpa ada batang dan batang itulah Yesus sendiri dan yang mengusahakannya adalah Bapa sendiri. Jadi, Injil Yohanes 15 adalah formasi rohani tentang disiplin anugerah.
Penulis Mazmur 119 mengajari kita tentang disiplin doa dalam mengejar kekudusan. Pemazmur menyimpan Firman Allah dalam hatinya. Ia menceritakan kepada orang lain, ia bergembira menaatinya, ia merenungkannya, ia bergemar karenanya dan ia tidak melupakannya. Pemazmur bukan saja seorang yang berdisiplin, ia juga seorang yang berdoa. Disiplinnya tidak membuat dial alai berdoa meminta Allah bekerja. Doanya tidak membuat dial alai bekerja. Ia mempraktikkan disiplin dan bergantung kepada Allah.
Membuat pilihan yang tepat untuk taat kepada Allah, bukannya kepada keinginan daging yang berdosa, memerlukan disiplin mematikan dosa. Hal ini menarik karena bukan hanya ada disiplin berdoa melainkan juga disiplin mematikan dosa. Jadi, kita melihat bahwa mematikan perbuatan-perbuatan tubuh diperlukan untuk membuat pilihan yang tepat. Perbuatan-perbuatan tubuh adalah tindakan-tindakan berdosa yang kita lakukan dalam pikiran, perbuatan dan perbuatan. Paulus berbicara lebih jelas lagi tentang perbuatan-perbuatan tersebut dalam Kolose 3:5, “Karena itu matikanlah dalam dirimu segala sesuatu yang duniawi, yaitu percabulan, kenajisan, hawa nafsu, nafsu jahat dan juga keserakahan, yang sama dengan penyembahan berhala.”
Mematikan suatu dosa berarti menaklukkan, menghilangkan kuasanya, memutuskan pola kebiasaan yang berkembang ketika kita terus menyerah kepada pencobaan dosa itu. Sasaran mematikan dosa adalah  melemahkan kebiasaan-kebiasaan dosa  sehingga kita membuat pilihan yang tepat. Ketaatan menyeluruh dalam setiap wilayah kehidupan kita adalah hakiki. Paulus berkata, “marilah kita menyucikan diri kita dari semua pencemaran jasmani dan rohani”            (2 Korintus 7:1).


[1] Jerry Bridges, Disiplin Anugerah Peran Allah dan Peran Kita dalam Mengejar Kekudusan (Bandung: NavPress Indonesia dan Penerbit Pionir Jaya, 2007), 154.
  


Tidak ada komentar:

Posting Komentar