By Hengki Wijaya
Jerry
Bridges menulis buku ini dan memberikan kesaksiannya. Dia berkata, “Salah satu
aspek yang terasa lebih sulit bagi saya ketika menulis buku tentang anugerah
dan kekudusan adalah kebutuhan terus menerus untuk memeriksa diri. Tujuannya
supaya saya tidak menjadi seperti ahli Taurat dan orang Farisi yang disebut
Yesus, “Mereka mengajarkannya tetapi tidak melakukannya “ (Matius 23:3).
Memeriksa diri seringkali menyakitkan. Hanya Injillah yang membuat saya terus
mengejar kekudusan, dan hanya jaminan anugerah-Nya di dalam Kristus yang
memberi saya keberanian untuk menyampaikan apa yang sudah dan masih terus saya
pelajari”. Salah satu ayat emas Jerry yang memberikan arahan dan motivasi, adalah
Efesus
3:8: ”Kepadaku, yang paling hina di antara segala orang kudus, telah
diberikan anugerah ini, untuk memberitakan kepada orang-orang bukan Yahudi
kekayaan Kristus, yang tidak terduga itu.”
Charles
Spurgeon, pengkhotbah besar dari abad ke-19 setiap kali ia melangkah ke mimbar,
ia berdoa dalam hati, “Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini” (Lukas
18:13). Doa semacam itu dapat dipanjatkan ketika Anda betul-betul sadar bahwa
Anda membutuhkan campur tangan anugerah Allah dan pada saat yang sama Anda
betul-betul sadar bahwa Anda sama sekali tidak layak mendapat anugerah itu.
Tepatlah ajaran Yesus di bukit yaitu: “Berbahagialah orang yang miskin
dihadapan Allah karena merekalah yang empunya Kerjaan Sorga” (Matius 5:3).
“Sebab
kasih Kristus menguasai kami” (2 Korintus 5:14). Ide di balik kata menguasai adalah menekan sedemikian rupa
sehingga mendesak, yakni memaksa atau
mendorong maju dengan mengerahkan tekanan moril yang kuat. Kenneth Wuest, dalam
terjemahan Perjanjian barunya yang lugas, secara indah menangkap cita rasa kata
menguasai yang Paulus gunakan di
sini. Wuest menerjemahkan, “Sebab kasih Kristus (kepada saya) menekan saya dari
segala pihak, mengarahkan saya ke satu tujuan dan menghalangi saya memikirkan
tujuan lain, membungkus saya dalam kelemahlembutan, memberi saya suatu motif
yang mendesak.”
Apakah dosa-dosa
“sopan” ini? Ketika saya periksa hidup saya sendiri, satu dosa yang pertama
muncul dalam pikiran adalah kecenderungan menghakimi sesama dan membicarakan mereka
dengan sikap mengkritik di depan orang lain. Peringatan Yesus dalam Matius
tentang semangat mengeritik: “Mengapakah engkau melihat serpihan kayu di mata
saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui?” Kita perlu
belajar menahan diri untuk menghakimi orang lain dan menyerahkan penghakiman
itu kepada Allah.
Rasul Paulus
menulis, “Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah
perkataan yang baik untuk membangun di mana perlu, supaya mereka mendengarnya,
beroleh anugerah” (Efesus 4:29). Kata kotor
mencakup setiap jenis ucapan yang cenderung menghancurkan orang lain, apakah
dikatakan kepada atau tentang orang itu. Larangan Paulus terhadap ucapan
negatif semacam itu bersifat mutlak: “Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah perkataan
yang baik untuk membangun”. Jelaslah bahwa nasihat Paulus mencerminkan hidup
kudus manusia baru yang dikehendaki Allah dan hal ini adalah salah satu cara
untuk mengejar kekudusan Allah.
Ketika Anda
membaca ayat-ayat Kitab Ulangan itu, satu hal menjadi jelas: pesan utamanya
adalah ketaatan kepada Allah. Perhatikanlah bagaimana kata-kata seperti perintah, ketetapan, dan peraturan begitu menonjol (lihat Ulangan
1:2,6). Hal ini jelas bagaiman Allah menekankan kepada bangsa Israel untuk
belajar ketaatan untuk mengasihi Allah. “Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan
segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu” (Ul
6:5).
Jerry Bridges menyelidiki dari
Matius 22:37 dan Ulangan 6:5 dan dia melihat bahwa intensitas dan ketulusan
yang harus dia miliki dalam menaati
Allah. Jika kita harus mengasihi Allah dengan segenap hati, jiwa dan akal budi,
dan jika ketaatan merupakan bagian utama dari kasih semacam itu, maka kita
harus menaati Dia dengan segenap hati, jiwa dan akal budi kita. Jerry mencoba
menjelaskan ketaatan orang percaya dengan dua ilustrasi yaitu ketaatan “cruise
control” dan mobil balap. Ketaatan “cruise control” adalah suatu ketaatan yang
nyaman yang disesuaikan dengan ketaatan di sekitar kita. Begitu kita samapai
pada tingkat ketaatan yang nyaman ini, kita menekan tombol “cruise control” dalam hati kita,
beristirahat dan bersantai. Budaya Kristiani kita kemudian mengambil alih dan
menjaga kita tetap bergerak pada tingkat kelakuan dapat diterima. Menurut
pendapat penulis ketaatan jenis ini didasarkan pada pemahaman sendiri tentang
standar ketaatan dan tidak seperti ketaatan yang Allah kehendaki kita lakukan
dalam mengasihi Allah. Sebagai kontrasnya, pertimbangkanlah pengemudi mobil
balap. Mereka tidak berpikir untuk memakai cruise
control. Mereka tidak punya minat untuk berbaur dalam kecepatan yang sama
dengan orang-orang di sekitar mereka. Mereka mengemudi dengan segenap hati, jiwa
dan akal budi mereka dan ingin memenangkan pertandingan. Penulis mengutip
kalimat Paulus, “Dan berlari-lari kepada
tujuan untuk memperoleh hadiah, yaitu panggilan sorgawi dari Allah dalam
Kristus Yesus” (Filipi 3:14). Kata “berlari-lari” dalam bahasa Inggris press (KJV) yang berarti terus berlari
menuju tujuan walaupun ada tekanan, tantangan bahkan terjatuh sekali pun.
Hati nurani yang
peka dan siaga terhadap dosa, khususnya dosa-dosa “sopan” seperti kesombongan, senang mengeritik,
kebencian, tidak puas, cepat marah, dan sejenisnya adalah keuntungan besar
dalam mengejar kekudusan. Ia memampukan kita menyadari dosa-dosa yang
tersembunyi dalam-dalam, di bawah tingkat perbuatan lahiriah. Penulis
sependapat dengan perkataan James Fraser, “Sekali hati nurani disucikan , ia
tidak lagi menyimpan tuduhan bersalah dan penghakiman terhadap dirinya. Jadi,
ada dua cara untuk mendapatkan hati nurani yang baik. Pertama, tidak melakukan
pelanggaran. Kedua, membuang kesalahan itu dengan memanfaatkan darah Yesus.” Kesimpulannya
yaitu taat dan bertobat.
Jonathan
Edwards, filsuf dan teolog besar dan pendeta juga pada masa colonial di
Amerika, menyusun 70 ketetapan untuk mengatur disiplin rohani dan tingkah
lakunya sendiri. Bicara tentang disiplin rohani! Ketetapan Edwards akan membuat
kebanyakan disiplin kita hari ini seperti taman kanak-kanak rohani. Pada awal
daftar ketetapannya ia menuliskan perkataan ini: “Menyadari bahwa saya tidak
sanggup melakukan apa pun tanpa
pertolongan Allah, dengan rendah hati saya memohon Dia, oleh kasih karunia-Nya,
untuk memampukan saya memegang ketetapan-ketetapan ini, sejauh mereka sejalan
dengan kehendak-Nya, demi Kristus.” Edwards berdisiplin, tetapi ia juga
bergantung kepada Allah. Kita semua mengenal sabda Yesus yang mashyur itu, “Di
luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa” (Yohanes 15:5).[1] Benar
bahwa kita tidak berbuat apa-apa karena ranting tidak dapat berbuah tanpa ada
batang dan batang itulah Yesus sendiri dan yang mengusahakannya adalah Bapa
sendiri. Jadi, Injil Yohanes 15 adalah formasi rohani tentang disiplin
anugerah.
Penulis Mazmur
119 mengajari kita tentang disiplin doa dalam mengejar kekudusan. Pemazmur
menyimpan Firman Allah dalam hatinya. Ia menceritakan kepada orang lain, ia
bergembira menaatinya, ia merenungkannya, ia bergemar karenanya dan ia tidak
melupakannya. Pemazmur bukan saja seorang yang berdisiplin, ia juga seorang
yang berdoa. Disiplinnya tidak membuat dial alai berdoa meminta Allah bekerja.
Doanya tidak membuat dial alai bekerja. Ia mempraktikkan disiplin dan
bergantung kepada Allah.
Membuat pilihan
yang tepat untuk taat kepada Allah, bukannya kepada keinginan daging yang
berdosa, memerlukan disiplin mematikan dosa. Hal ini menarik karena bukan hanya
ada disiplin berdoa melainkan juga disiplin mematikan
dosa. Jadi, kita melihat bahwa mematikan perbuatan-perbuatan tubuh
diperlukan untuk membuat pilihan yang tepat. Perbuatan-perbuatan tubuh adalah
tindakan-tindakan berdosa yang kita lakukan dalam pikiran, perbuatan dan
perbuatan. Paulus berbicara lebih jelas lagi tentang perbuatan-perbuatan
tersebut dalam Kolose 3:5, “Karena itu matikanlah dalam dirimu segala sesuatu
yang duniawi, yaitu percabulan, kenajisan, hawa nafsu, nafsu jahat dan juga
keserakahan, yang sama dengan penyembahan berhala.”
Mematikan suatu
dosa berarti menaklukkan, menghilangkan
kuasanya, memutuskan pola kebiasaan yang berkembang ketika kita terus
menyerah kepada pencobaan dosa itu. Sasaran mematikan dosa adalah melemahkan kebiasaan-kebiasaan dosa sehingga kita membuat pilihan yang tepat.
Ketaatan menyeluruh dalam setiap
wilayah kehidupan kita adalah hakiki. Paulus berkata, “marilah kita menyucikan
diri kita dari semua pencemaran jasmani dan rohani” (2 Korintus 7:1).
[1] Jerry
Bridges, Disiplin Anugerah Peran Allah
dan Peran Kita dalam Mengejar Kekudusan (Bandung: NavPress Indonesia dan
Penerbit Pionir Jaya, 2007), 154.
[1] Jerry
Bridges, Disiplin Anugerah Peran Allah
dan Peran Kita dalam Mengejar Kekudusan (Bandung: NavPress Indonesia dan
Penerbit Pionir Jaya, 2007), 154.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar