Good News

Kamis, 06 November 2014

REFLEKSI BUKU “ASPEK-ASPEK KEKUDUSAN (ASPECTS OF HOLINESS)” J.C. Ryle


BY HENGKI WIJAYA
            J.C Ryle memulai bukunya dengan sub judul tentang dosa sebagai bagian pembahasan dari aspek-aspek kekudusan. Kita memperoleh beberapa manfaat praktis yang disodorkan oleh doktrin dosa yaitu: pandangan alkitabiah tentang dosa adalah obat penawar yang paling manjur melawan teologia liberal dan teologia modern. Kecenderungan teologi ini adalah menolak semua pernyataan dogmatis tentang kebenaran dan berusaha meyakinkan kita bahwa segala sesuatu adalah benar, semua orang adalah benar, dan pada akhirnya semua orang akan diselamatkan. Pandangan ini tentunya bertolak belakang dengan Alkitab yang berkata: “Karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah” (Roma 3:23). Pernyatan bahwa “tidak ada yang sempurna”, atau “berbuat salah itu manusiawi”, menyatakan kita mengakui akan universalitas dosa. Kita semua orang berdosa yang membutuhkan penebusan.[1] Alkitab juga menolak pandangan perfeksionisme tentang kesempurnaan tanpa dosa. Kesempurnaan memang merupakan tujuan dalam kehidupan orang Kristen. Kegagalan kita untuk mencapainya tidak dapat dipakai sebagai alasan bagi kita untuk berbuat dosa. Sebagai orang Kristen harus terus berusaha untuk mencapai panggilan kita yang mulia di dalam Kristus.

           Perbedaan pembenaran dan pengudusan yaitu: a) pembenaran ialah memperhitungkan seseorang sebagai orang benar demi Yesus Kristus. Pembenaran merupakan sesuatu yang dilakukan bagi orang percaya; b) pengudusan sesungguhnya ialah menjadikan seseorang benar di dalam dirinya oleh pekerjaan Roh Kudus. Pengudusan ialah sesuatu yang dikerjakan di dalam diri orang percaya.[2] Pembenaran merupakan tindakan Allah dimana melaluinya Dia mendeklarasikan orang berdosa yang tidak benar menjadi benar setelah Dia melimpahkan kepadanya kebenaran Kristus.
Kekudusan ialah berusaha menjadi serupa dengan Yesus, menjalani hidup beriman kepada Yesus, menimba dari padaNya damai sejahtera dan kekuatan setiap hari. Kekudusan ialah memiliki “pikiran Kristus” (1 Kor 2:16) dan dengan demikian “menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya” (Roma 8:29).[3] Pikiran Kristus menurut Paulus: “Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu” (Filipi 4:8). Orang yang kudus itu lemah lembut, penuh perhatian, sabar, bukan orang selalu “menuntut hak-hak mereka.” Dalam Alkitab diungkapkan secara mendalam dalam “kasih” (1 Kor 13) dan “buah Roh” (Galatia 5:22-23).
Orang Kristen harus melawan Iblis. Kita tidak boleh meragukan realitas Iblis. Ia hidup dan tidak pernah tidur. “iblis telah menuntut untuk menampi kamu seperti gandum” (Luk 22:31). Musuh ini harus dilawan setiap hari jika kita ingin selamat. Kita harus bisa menguasai diri dan berwaspada. “Lawanmu, si iblis, berjalan keliling sama seperti singa yang mengaum-aum dan mencari orang yang dapat ditelannya. Lawanlah dia dengan iman yang teguh… (1Ptr 5:8-9).[4] Iblis tidak memiliki kuasa lagi sejak Yesus membayarnya dengan darahNya, iblis hanya mengintimidasi pikiran kita. Oleh karena itu sangat penting pikiran kita ditujukan kepada Kristus. Yesus menegur murid-muridNya di Getsemani katanya, “Berjaga-jagalah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan: roh memang penurut, tetapi daging lemah" (Matius 26:41).
Alasan mengapa begitu banyak orang menjadi duniawi dan tidak kudus ialah karena mereka tidak mempunyai iman. Mereka tidak sungguh-sungguh berpikir bahwa apa yang Allah katakana itu benar. Bahkan ada banyak orang yang menyebut diri Kristen yang tidak pernah berpikir untuk melakukan apa yang dilakukan Musa. Musa menganggap penghinaan karena Kristus sebagai kekayaan yang lebih besar dari pada semua harta Mesir, sebab pandangannya ia arahkan kepada upah (Ibrani 11:26).
Lot sebagai peringatan merupakan pengajaran kepada kita bagaimana Lot “berlambat-lambat”. Hal itu terjadi karena Lot membaurkan diri dengan orang-orang yang tidak beriman, padahal tidak ada yang memaksanya untuk melakukan hal itu. Ia “berkemah di dekat Sodom” (Kej 13:12). Dan kali berikutnya kita membaca, dia sudah tinggal di Sodom (Kej 14:12). Jika kita membuat keputusan keliru seperti Lot dalam memilih tidak sesuai kehendak Allah. Pilihannya hanya didasarkan pada pandangan mata dan bukan iman seperti Abraham. Lot juga tidak melakukan hal yang bermanfaat bagi orang-oraqng Sodom dan keluarganya bahkan istrinya menjadi tiang garam karena masih mengingat tentang kekayaan dan kehidupan Sodom yang dibumi hanguskan oleh Allah.
Kita membaca bahwa “istri Lot… menoleh ke belakang, lalu menjadi tiang garam” (Kej 19:26). Apakah menoleh ke belakang sebagai dosa kecil? Begitulah yang dirasakan oleh sebagian orang. “Menoleh ke belakang” mengungkapkan karakter yang sebenarnya. Hal-hal yang kecil memperlihatkan dengan lebih baik keadaan hati kita daripada hal-hal besar. Satu pandangan mata bisa memperlihatkan keadaan hati seseorang. Karena itu, Yesus memperingatkan kepada kita tentang mata kita yang dapat menyesatkan dan membuat kita jatuh dalam dosa (Matius 5:28). Selain itu, menoleh ke belakang mengungkapkan ketidaktaatannya. Perintah malaikat sudah jelas, “Jangan menoleh ke belakang!” Istri Lot tidak menurut. Alkitab, Paulus katakan: “Saudara-saudara, aku sendiri tidak menganggap, bahwa aku telah menangkapnya, tetapi ini yang kulakukan: aku melupakan apa yang telah di belakangku (tidak menoleh ke belakang, penekanan ditambahkan) dan mengarahkan diri kepada apa yang di hadapanku” (Filipi 3:13).
Paulus telah menunjukkan kerendahan hatinya. Semakin kita rendah hati, semakin kita akan menyerupai Kristus, karena ada tertulis tentang Dia bahwa, “ Yesus telah mengosongkan diriNya sendiri… Ia telah merendahkan diriNya (Filipi 2:6-8). Yesus mengajarkan kita untuk mengikuti teladanNya karena “Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan (Matius 11:29b). “Siapa yang tidak mengasihi Tuhan, terkutuklah ia,” tulis Paulus (1 Kor 16:22) Yesus sendiri berkata kepada orang-orang Yahudi, “Jikalau Allah adalah Bapamu, kamu akan mengasihi Aku” (Yohanes 8:42). Yesus bertanya sebanyak tiga kali kepada Petrus muridNya, “Apakah engkau mengasihi Aku?” (Yohanes 21:15-17). “



[1] R.C. Sproul,  Kebenaran-Kebenaran Dasar Iman Kristen (Malang: SAAT, 2002), 189.
[2] J.C. Ryle, Aspek-Aspek Kekudusan (Surabaya: Momentum, 2003), 18.
[3] J.C. Ryle, 24.
[4] Ibid., 35.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar