BY HENGKI WIJAYA
J.C Ryle memulai bukunya dengan sub judul tentang dosa sebagai bagian
pembahasan dari aspek-aspek kekudusan. Kita memperoleh beberapa manfaat praktis
yang disodorkan oleh doktrin dosa yaitu: pandangan alkitabiah tentang dosa
adalah obat penawar yang paling manjur melawan teologia liberal dan teologia
modern. Kecenderungan teologi ini adalah menolak semua pernyataan dogmatis
tentang kebenaran dan berusaha meyakinkan kita bahwa segala sesuatu adalah benar,
semua orang adalah benar, dan pada akhirnya semua orang akan diselamatkan.
Pandangan ini tentunya bertolak belakang dengan Alkitab yang berkata: “Karena
semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah” (Roma
3:23). Pernyatan bahwa “tidak ada yang sempurna”, atau “berbuat salah itu manusiawi”,
menyatakan kita mengakui akan universalitas dosa. Kita semua orang berdosa yang
membutuhkan penebusan.[1]
Alkitab juga menolak pandangan perfeksionisme
tentang kesempurnaan tanpa dosa. Kesempurnaan memang merupakan tujuan dalam
kehidupan orang Kristen. Kegagalan kita untuk mencapainya tidak dapat dipakai
sebagai alasan bagi kita untuk berbuat dosa. Sebagai orang Kristen harus terus
berusaha untuk mencapai panggilan kita yang mulia di dalam Kristus.
Perbedaan
pembenaran dan pengudusan yaitu: a) pembenaran ialah memperhitungkan seseorang
sebagai orang benar demi Yesus Kristus. Pembenaran merupakan sesuatu yang
dilakukan bagi orang percaya; b) pengudusan sesungguhnya ialah menjadikan seseorang
benar di dalam dirinya oleh pekerjaan Roh Kudus. Pengudusan ialah sesuatu yang
dikerjakan di dalam diri orang percaya.[2]
Pembenaran merupakan tindakan Allah dimana melaluinya Dia mendeklarasikan orang
berdosa yang tidak benar menjadi benar setelah Dia melimpahkan kepadanya
kebenaran Kristus.
Kekudusan ialah
berusaha menjadi serupa dengan Yesus, menjalani hidup beriman kepada Yesus,
menimba dari padaNya damai sejahtera dan kekuatan setiap hari. Kekudusan ialah
memiliki “pikiran Kristus” (1 Kor 2:16) dan dengan demikian “menjadi serupa
dengan gambaran Anak-Nya” (Roma 8:29).[3]
Pikiran Kristus menurut Paulus: “Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang
benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis,
semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji,
pikirkanlah semuanya itu” (Filipi 4:8). Orang yang kudus itu lemah lembut,
penuh perhatian, sabar, bukan orang selalu “menuntut hak-hak mereka.” Dalam
Alkitab diungkapkan secara mendalam dalam “kasih” (1 Kor 13) dan “buah Roh”
(Galatia 5:22-23).
Orang Kristen
harus melawan Iblis. Kita tidak boleh meragukan realitas Iblis. Ia hidup dan
tidak pernah tidur. “iblis telah menuntut untuk menampi kamu seperti gandum”
(Luk 22:31). Musuh ini harus dilawan setiap hari jika kita ingin selamat. Kita
harus bisa menguasai diri dan berwaspada. “Lawanmu, si iblis, berjalan keliling
sama seperti singa yang mengaum-aum dan mencari orang yang dapat ditelannya.
Lawanlah dia dengan iman yang teguh… (1Ptr 5:8-9).[4] Iblis
tidak memiliki kuasa lagi sejak Yesus membayarnya dengan darahNya, iblis hanya
mengintimidasi pikiran kita. Oleh karena itu sangat penting pikiran kita
ditujukan kepada Kristus. Yesus menegur murid-muridNya di Getsemani katanya,
“Berjaga-jagalah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan:
roh memang penurut, tetapi daging lemah" (Matius 26:41).
Alasan mengapa
begitu banyak orang menjadi duniawi dan tidak kudus ialah karena mereka tidak
mempunyai iman. Mereka tidak sungguh-sungguh berpikir bahwa apa yang Allah
katakana itu benar. Bahkan ada banyak orang yang menyebut diri Kristen yang
tidak pernah berpikir untuk melakukan apa yang dilakukan Musa. Musa menganggap
penghinaan karena Kristus sebagai kekayaan yang lebih besar dari pada semua
harta Mesir, sebab pandangannya ia arahkan kepada upah (Ibrani 11:26).
Lot sebagai
peringatan merupakan pengajaran kepada kita bagaimana Lot “berlambat-lambat”.
Hal itu terjadi karena Lot membaurkan diri dengan orang-orang yang tidak
beriman, padahal tidak ada yang memaksanya untuk melakukan hal itu. Ia
“berkemah di dekat Sodom” (Kej 13:12). Dan kali berikutnya kita membaca, dia
sudah tinggal di Sodom (Kej 14:12). Jika kita membuat keputusan keliru seperti
Lot dalam memilih tidak sesuai kehendak Allah. Pilihannya hanya didasarkan pada
pandangan mata dan bukan iman seperti Abraham. Lot juga tidak melakukan hal
yang bermanfaat bagi orang-oraqng Sodom dan keluarganya bahkan istrinya menjadi
tiang garam karena masih mengingat tentang kekayaan dan kehidupan Sodom yang
dibumi hanguskan oleh Allah.
Kita membaca
bahwa “istri Lot… menoleh ke belakang, lalu menjadi tiang garam” (Kej 19:26).
Apakah menoleh ke belakang sebagai dosa kecil? Begitulah yang dirasakan oleh
sebagian orang. “Menoleh ke belakang” mengungkapkan karakter yang sebenarnya.
Hal-hal yang kecil memperlihatkan dengan lebih baik keadaan hati kita daripada
hal-hal besar. Satu pandangan mata bisa memperlihatkan keadaan hati seseorang.
Karena itu, Yesus memperingatkan kepada kita tentang mata kita yang dapat
menyesatkan dan membuat kita jatuh dalam dosa (Matius 5:28). Selain itu,
menoleh ke belakang mengungkapkan ketidaktaatannya. Perintah malaikat sudah
jelas, “Jangan menoleh ke belakang!” Istri Lot tidak menurut. Alkitab, Paulus
katakan: “Saudara-saudara, aku sendiri tidak menganggap, bahwa aku telah
menangkapnya, tetapi ini yang kulakukan: aku melupakan apa yang telah di belakangku (tidak menoleh ke belakang,
penekanan ditambahkan) dan mengarahkan diri kepada apa yang di hadapanku”
(Filipi 3:13).
Paulus telah
menunjukkan kerendahan hatinya. Semakin kita rendah hati, semakin kita akan
menyerupai Kristus, karena ada tertulis tentang Dia bahwa, “ Yesus telah
mengosongkan diriNya sendiri… Ia telah merendahkan diriNya (Filipi 2:6-8).
Yesus mengajarkan kita untuk mengikuti teladanNya karena “Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu
akan mendapat ketenangan (Matius 11:29b). “Siapa yang tidak mengasihi Tuhan,
terkutuklah ia,” tulis Paulus (1 Kor 16:22) Yesus sendiri berkata kepada
orang-orang Yahudi, “Jikalau Allah adalah Bapamu, kamu akan mengasihi Aku”
(Yohanes 8:42). Yesus bertanya sebanyak tiga kali kepada Petrus muridNya,
“Apakah engkau mengasihi Aku?” (Yohanes 21:15-17). “
Tidak ada komentar:
Posting Komentar