Good News

Selasa, 11 November 2014

INTERAKSI BUKU COMMUNICATING FOR LIFE: CHRISTIAN STEWARDSHIP IN COMMUNITY AND MEDIA (Quentin J. Schultze)



INTERAKSI BUKU COMMUNICATING FOR LIFE: CHRISTIAN STEWARDSHIP
IN COMMUNITY AND MEDIA

Hengki Wijaya
Pemikiran Quentin tentang komunikasi untuk hidup telah disajikan dengan begitu menarik dengan melibatkan segala aspek kehidupan yang tidak terlepas dari dunia komunikasi dan penatalayanan Kristen. Dalam hal ini budaya setiap bangsa yang berbeda dalam komunikasi namun dalam penatalayanan Kristen tetap bersumber dari kebenaran Kristus. Quentin dengan lugas menggunakan beberapa pendapat para ahli komunikasi, pengguna komunikasi, kesaksian hidup, kehidupan sosial, media lisan dan tulisan serta kritikan seimbang dalam bukunya.[1]
Kata komunikasi berasal dari bahasa Latin communis, yang artinya berbagi, menjadikan umum, atau bahkan untuk “memiliki sebuah kepercayaan yang sama. Komunikasi memampukan kita mengembangkan pendidikan, teknik, bisnis, media dan setiap aspek  dari budaya manusia. Barangkali kemampuan ini merupakan bagian dari apa yang dinyatakan oleh Kitab Suci sebagai imago Dei (gambar Allah) di dalam diri kita (Kej 1:26-27).[2]  
Setiap budaya merupakan karya yang diciptakan bersama melalui empat tipe hubungan. Pertama, Allah merupakan rekan pencipta utama dalam komunikasi; kedua, kita turut menciptakan budaya bersama-sama dengan berkomunikasi dengan sesama kita; ketiga, kita turut bersama menciptakan budaya dengan berdialog dengan ciptaan; dan keempat, kita turut menciptakan budaya bersama dengan berkomunikasi dengan diri sendiri.[3] Dapat disimpulkan bahwa budaya tercipta karena adanya komunikasi Allah dengan manusia dan manusia dengan sesamanya seperti manusia berkomunikasi dengan dirinya sendiri.
Teori komunikasi kontemporer dipengaruhi oleh paham pascamodern, yang didasarkan pada ide filosofis bahwa manusia menggunakan simbol-simbol untuk masing-masing  menciptakan versi realita yang bersifat subjektif. Pemikiran pascamodern cenderung untuk membuat relatif  kebudayaan, komunitas, dan komunikasi yang ada, sebagai contoh berpendapat bahwa orang-orang akan menafsirkan foto tersebut secara berbeda dengan berjalannya waktu, dan bahwa tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui kebenaran yang ada di balik foto tersebut.[4] Setiap foto pastinya memiliki pesan inti dari  seorang fotografer dan dinilai secara objektif. Dengan alasan kepentingan tertentu penafsiran tersebut seringkali bertentangan dengan budaya dan menimbulkan kerancuan. Komunikasi tidak lagi didasarkan pada kebenaran Allah dan moralitas karena dinilai secara subjektif.
Santo Agustinus (354-430 M)[5] menjelaskan bagaimana gereja bisa menghadapi dengan kerancuan komunikasi, termasuk tafsiran Kitab Suci. Dalam beberapa hal, argumentasinya berlawanan dengan subjektivitas yang melengking dari paham pascamodern. Agustinus mengidentifikasikan tiga langkah penting untuk mengurangi kerancuan: (1) mengenal sang penulis; (2) mengenal teks, atau pesan dan (3) mengetahui konteks dari pesan tersebut. Dan ia menekankan pada pentingnya tafsiran bersama daripada tafsiran pribadi.[6]  Penulis setuju dengan maksud Agustinus. Dengan demikian kita dapat  mencegah eisegese yaitu menafsirkan Kitab Suci berdasarkan pemikiran sendiri dan tidak berdasarkan maksud penulis, teks dan konteksnya. Hal ini sangat berbahaya karena dapat menimbulkan penyesatan atau ajaran palsu. Agustinus mengajarkan apa yang kita kenal dengan eksegesis yaitu apa yang teks maksudkan kepada pendengarnya tanpa pemikiran penafsir yang subjektif.
Agustinus mengenali dua talenta komunikasi yang penting yaitu kemampuan untuk menangkap pesan dan keahlian untuk menyampaikannya. Ia berkata, sebagai contoh, bahwa hidup yang suci tidaklah cukup untuk membuat seorang hamba Tuhan bisa menjadi seorang pengkhotbah yang efektif. Agustinus juga mengatakan bahwa adalah lebih baik bagi para pengkhotbah yang berbvakat untuk membaca khotbah yang ditulis oleh orang lain daripada menyampaikan khotbah mereka sendiri yang mereka tulis dengan kurang baik.[7] Oleh karena itu perlunya keseimbangan  kecerdasan spiritual dan kecerdasan intelektual dalam hal ini kemampuan komunikasi yang efektif.
Kita melakukan dosa kelalaian (sins of omission) pada saat kita gagal mengkomunikasikan  apa dan kapan seharusnya kita komunikasikan. Seperti Adam dan Hawa yang bersembunyi dari Allah dan satu sama lain setelah memakan buah terlarang, kita menghindar dari sesama kita. Komunikasi kita juga menderita karena dosa perbuatan (sin of commission) karena penyalahgunaan secara sengaja terhadap talenta komunikasi kita. Komunikasi yang berdosa sering kali menghalangi shalom, memberikan sumbangsih pada kebencian, perang, perceraian, bunuh diri dan rasa kesepian. Rasul Yakobus secara tepat menyebutkan bahwa lidah manusia adalah “api, suatu dunia kejahatan dan mengambil tempat tempat di antara anggota-anggota tubuh kita sebagai sesuatu yang dapat menodai seluruh tubuh” (Yak 3:6).[8] Dosa kelalaian disebabkan oleh jawaban komunikasi yang pasif atau terdiam dan tidak bertanggung jawab, sementara dosa perbuatan disebabkan oleh komunikasi yang aktif dan tidak bertanggung jawab yang berdampak negatif. Benarlah bahwa dosa perbuatan mencerminkan keegoisan kita yang penuh kesombongan. Kita suka mendengarkan diri kita sendiri. Kita berbicara dengan cepat dan angkuh dan pembenaran diri.
Seorang teolog Lutheran Jerman Dietrich Bonhoeffer saat dipenjarakan oleh Nazi selama Perang Dunia II menemukan apa arti melayani. Mengingat kembali pertanyaan Kristus di Getsemani, “Tidakkah kamu sanggup berjaga-jaga satu jam dengan Aku?” (Mat 26:40), Bonhoeffer menyimpulkan bahwa pelayanan adalah pembalikan dari apa yang diharapkan oleh manusia yang religius terhadap Allah. Manusia dipanggil untuk berbagi penderitaan dengan Allah di tangan dunia yang tidak mengenalNya. Bukan tindakan religiuslah yang menjadikan seseorang Kristen, tetapi partisipasi dalam penderitaan Allah dalam dunia yang sekuler.[9] Artinya seorang Kristen harus siap menderita bagi Kristus dengan melayani sesama manusia sesuai dengan kehendak Allah.
Mobilitas ke bawah yang dimiliki Kristus harus menuntun kita untuk berkomunikasi secara rendah hati dengan mendengarkan dan menempatkan diri sejajar dengan sesama kita. Komunikasi yang rendah hati menolak argument-argumen yang membenarkan diri, kata-kata yang merendahkan yang dinyatakan dengan cerdik, dan debat-debat yang memukul lawan. Kerendahan hati mencakup interaksi yang responsif, sensitif, dan sabar. Bonhoeffer menulis dalam penjara, “Seseorang harus meninggalkan sepenuhnya upaya apa pun untuk meninggikan diri, terlepas dari apakah ia seorang kudus, atau pendosa yang bertobat atau pemimpin gereja.” Sebaliknya kita harus “meletakkan diri sepenuhnya ke dalam tangan Allah,… berjaga-jaga bersama Kristus di Getsemani.”[10]
“Janganlah kamu membuat berhala bagimu,… sebab Akulah TUHAN, Allahmu”.[11] Kebenaran inilah merupakan ungkapan Quentin ketika memberi bahasan tentang pemberhalaan media. Seorang ilmuwan Perancis Jacques Ellul menyimpulkan bahwa orang-orang dalam komunikasi industrialis memuja teknologi media. Mereka memiliki pemikiran yang menuntun mereka untuk menekankan nilai-nilai dari keefisienan dan mengontrol orang lain. Nilai-nilai seperti kasih, belas kasihan dan keterbukaan memiliki sedikit tempat dalam komunitas teknologi.[12]
Media popular, kemudian menjadi seperti sebuah “Alkitab” sekuler bagi budaya kontemporer. Media popular telah menciptakan mitos-mitos yang menjadi ancaman bagi iman Kristen. Dalam beberapa hal, “agama” media ini menantang iman Kristen. Televisi komersial dan tradisi iman Kristen, misalnya, bersaing secara budaya. Kita belajar dari iklan-iklan komersial bahwa kecantikan eksternal (penampilan) akan menentukan popularitas kita di mata orang lain, sedangkan Kitab Suci menekankan tentang lebih pentingnya apa yang ada dalam hati kita ( 1Sam 16:7). Sinetron-sinetron mengajarkan kepada kita berulang-ulang bahwa segala sesuatu akan berhasil pada akhirnya, sedangkan Amsal menekankan konsekuensi dari hikmat atau kebodohan kita. Kebenaran Alkitab merupakan sebuah “cerita akan apa yang telah Allah kerjakan.”[13] Tayangan media yang dijadikan konsumsi publik secara sadar telah mengisi pikiran kita dan mempengaruhi cara pandang kita dalam melihat karya Allah yang nyata. Dan melihat tayangan sinetron sebagai kenyataan hidup sementara perkara Allah diabaikan. Akibatnya pengaruh media secara tidak langsung mempengaruhi hati manusia dan dalam tindakan manusia itu sendiri. Sebagai murid Kristus, kita berbagi misi untuk mengkomunikasikan kebenaran dan kabar baik Yesus Kristus melalui media dan Allah sendiri juga memerintahkan manusia untuk berkuasa atas bumi, termasuk media karena kita diciptakan olehNya menurut gambar dan rupaNya (Kej 1:26).
Quentin menyebutnya sebagai media kenabian. Media kenabian secara benar menantang kepercayaan-kepercayaan sebuah budaya. Sepanjang sejarah, nabi-nabi yang takut akan Allah telah menantang kepercayaan suku yang salah. Seringkali nabi-nabi tersebut merupakan peneliti yang berani dan kuat dari budaya kontemporer.[14] Hal ini menurut penulis adalah suatu kemajuan gereja dalam mengantisipasi arus media utama. Hal ini karena Alkitab juga menuliskan bahwa gereja juga diperlengkapi dengan karunia nabi untuk pembangunan tubuh Kristus (Efesus 4:11).
Pemuridan yang radikal memanggil kita dari otoritas duniawi, dari kesetiaan semata-mata kepada organisasi-organisasi dan orang-orang di dalam dunia ini, dan memimpin kita untuk mendeklarasikan kesetiaan kita kepada Yesus Kristus.[15] Arti radikal disini adalah berbeda dengan dunia, dipisahkan dari dunia walaupun masih ada di dunia. Menjadi murid Kristus berarti murid yang radikal dalam kekudusan hidup dan pengabdian kepada Yesus Kristus hingga akhir.
Seorang teolog Lesslie Newbigin menyatakan bagaimana, seperti Yesus di padan gurun, kita terperangkap di antara realita yang bertentangan. “Masalah yang paling sering kita hadapi sebagai orang Kristen adalah bahasa. Karena sebagian besar awal hidup kita, melalui semua sistim yang diterima oleh pendidikan umum, kita telah dilatih untuk menggunakan sebuah bahasa yang mengklaim dapat masuk akal bagi dunia tanpa pertimbangan Allah.” Sementara itu, kita hanya meluangkan “satu atau dua jam setiap minggu” menggunakan bahasa Alkitab. Kita lupa bahwa “Firman yang berinkarnasi adalah Allah atas semua, bukan hanya gereja. Tidak ada dua dunia, satu kudus dan yang lainnya sekuler.”[16] Penulis mengilustrasikan  dari pemahaman sosiologi yang membagi dua kebutuhan jiwa yaitu rohani dan jasmani, misalnya hari Minggu untuk Tuhan dan lainnya untuk dunia tanpa bercampur dengan urusan rohani.


[1] Tanggapan penulis terhadap buku Communicating for Life: Christian Stewardship in Community and Media.
[2] Quentin J. Schultze . Berkomunikasi Untuk Hidup:Penatalayanan Kristen Dalam Komunitas Dan Media (Malang: SAAT, 2004), 16.
[3] Quentin J. Schultze . 19-20.
[4]  Ibid., 71.
[5]  Tahun yang dicantumkan dalam buku yaitu SM (Sebelum Masehi) keliru, seharusnya Masehi (M).
[6]  Quentin J. Schultze. 72.
[7]  Ibid., 75.
[8]  Ibid., 86-87.
[9]  Ibid., 115; Dietrich Bonhoeffer, Letters and Papers from Prison (New York: Macmillan, 1967), 189-190.
[10] Ibid.
[11] Terjemahan LAI  Kitab Imamat 26:1. Seringkali kita membuat berhala bagi komunitas dan diri kita sendiri misalnya dengan memberhalakan media dan memuja tayangan media dan “idola”  media.
[12]  Quentin J. Schultze, 138.
[13] Quentin J. Schultze,145-146.
[14] Ibid., 154.
[15] Ibid., 163.
[16] Ibid., 203; Lesslie Newbigin, Truth To Tell: The Gospel as Public Truth (Grand Rapids: Eerdmans, 1991), 49.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar