INTERAKSI BUKU COMMUNICATING FOR LIFE: CHRISTIAN
STEWARDSHIP
IN COMMUNITY AND MEDIA
Hengki Wijaya
Pemikiran Quentin tentang komunikasi
untuk hidup telah disajikan dengan begitu menarik dengan melibatkan segala
aspek kehidupan yang tidak terlepas dari dunia komunikasi dan penatalayanan
Kristen. Dalam hal ini budaya setiap bangsa yang berbeda dalam komunikasi namun
dalam penatalayanan Kristen tetap bersumber dari kebenaran Kristus. Quentin
dengan lugas menggunakan beberapa pendapat para ahli komunikasi, pengguna
komunikasi, kesaksian hidup, kehidupan sosial, media lisan dan tulisan serta
kritikan seimbang dalam bukunya.[1]
Kata komunikasi berasal dari bahasa Latin communis, yang artinya berbagi, menjadikan umum, atau bahkan untuk
“memiliki sebuah kepercayaan yang sama. Komunikasi memampukan kita
mengembangkan pendidikan, teknik, bisnis, media dan setiap aspek dari budaya manusia. Barangkali kemampuan ini
merupakan bagian dari apa yang dinyatakan oleh Kitab Suci sebagai imago Dei (gambar Allah) di dalam diri
kita (Kej 1:26-27).[2]
Setiap budaya merupakan karya yang diciptakan bersama melalui empat tipe
hubungan. Pertama, Allah merupakan rekan pencipta utama dalam komunikasi;
kedua, kita turut menciptakan budaya bersama-sama dengan berkomunikasi dengan sesama
kita; ketiga, kita turut bersama menciptakan budaya dengan berdialog dengan
ciptaan; dan keempat, kita turut menciptakan budaya bersama dengan
berkomunikasi dengan diri sendiri.[3] Dapat
disimpulkan bahwa budaya tercipta karena adanya komunikasi Allah dengan manusia
dan manusia dengan sesamanya seperti manusia berkomunikasi dengan dirinya
sendiri.
Teori komunikasi kontemporer dipengaruhi oleh paham pascamodern, yang
didasarkan pada ide filosofis bahwa manusia menggunakan simbol-simbol untuk
masing-masing menciptakan versi realita
yang bersifat subjektif. Pemikiran pascamodern cenderung untuk membuat
relatif kebudayaan, komunitas, dan
komunikasi yang ada, sebagai contoh berpendapat bahwa orang-orang akan
menafsirkan foto tersebut secara berbeda dengan berjalannya waktu, dan bahwa
tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui kebenaran yang ada di balik foto
tersebut.[4] Setiap
foto pastinya memiliki pesan inti dari
seorang fotografer dan dinilai secara objektif. Dengan alasan
kepentingan tertentu penafsiran tersebut seringkali bertentangan dengan budaya
dan menimbulkan kerancuan. Komunikasi tidak lagi didasarkan pada kebenaran
Allah dan moralitas karena dinilai secara subjektif.
Santo Agustinus (354-430 M)[5]
menjelaskan bagaimana gereja bisa menghadapi dengan kerancuan komunikasi,
termasuk tafsiran Kitab Suci. Dalam beberapa hal, argumentasinya berlawanan
dengan subjektivitas yang melengking dari paham pascamodern. Agustinus
mengidentifikasikan tiga langkah penting untuk mengurangi kerancuan: (1)
mengenal sang penulis; (2) mengenal teks, atau pesan dan (3) mengetahui konteks dari pesan tersebut. Dan ia
menekankan pada pentingnya tafsiran bersama daripada tafsiran pribadi.[6] Penulis setuju dengan maksud Agustinus.
Dengan demikian kita dapat mencegah
eisegese yaitu menafsirkan Kitab Suci berdasarkan pemikiran sendiri dan tidak
berdasarkan maksud penulis, teks dan konteksnya. Hal ini sangat berbahaya
karena dapat menimbulkan penyesatan atau ajaran palsu. Agustinus mengajarkan
apa yang kita kenal dengan eksegesis yaitu apa yang teks maksudkan kepada
pendengarnya tanpa pemikiran penafsir yang subjektif.
Agustinus mengenali dua talenta komunikasi yang penting yaitu kemampuan
untuk menangkap pesan dan keahlian untuk menyampaikannya. Ia berkata, sebagai
contoh, bahwa hidup yang suci tidaklah cukup untuk membuat seorang hamba Tuhan
bisa menjadi seorang pengkhotbah yang efektif. Agustinus juga mengatakan bahwa
adalah lebih baik bagi para pengkhotbah yang berbvakat untuk membaca khotbah
yang ditulis oleh orang lain daripada menyampaikan khotbah mereka sendiri yang
mereka tulis dengan kurang baik.[7] Oleh
karena itu perlunya keseimbangan
kecerdasan spiritual dan kecerdasan intelektual dalam hal ini kemampuan
komunikasi yang efektif.
Kita melakukan dosa kelalaian (sins
of omission) pada saat kita gagal mengkomunikasikan apa dan kapan seharusnya kita komunikasikan. Seperti
Adam dan Hawa yang bersembunyi dari Allah dan satu sama lain setelah memakan
buah terlarang, kita menghindar dari sesama kita. Komunikasi kita juga
menderita karena dosa perbuatan (sin of
commission) karena penyalahgunaan secara sengaja terhadap talenta
komunikasi kita. Komunikasi yang berdosa sering kali menghalangi shalom,
memberikan sumbangsih pada kebencian, perang, perceraian, bunuh diri dan rasa
kesepian. Rasul Yakobus secara tepat menyebutkan bahwa lidah manusia adalah
“api, suatu dunia kejahatan dan mengambil tempat tempat di antara
anggota-anggota tubuh kita sebagai sesuatu yang dapat menodai seluruh tubuh”
(Yak 3:6).[8] Dosa
kelalaian disebabkan oleh jawaban komunikasi yang pasif atau terdiam dan tidak
bertanggung jawab, sementara dosa perbuatan disebabkan oleh komunikasi yang
aktif dan tidak bertanggung jawab yang berdampak negatif. Benarlah bahwa dosa
perbuatan mencerminkan keegoisan kita yang penuh kesombongan. Kita suka
mendengarkan diri kita sendiri. Kita berbicara dengan cepat dan angkuh dan
pembenaran diri.
Seorang teolog Lutheran Jerman Dietrich Bonhoeffer saat dipenjarakan
oleh Nazi selama Perang Dunia II menemukan apa arti melayani. Mengingat kembali
pertanyaan Kristus di Getsemani, “Tidakkah kamu sanggup berjaga-jaga satu jam
dengan Aku?” (Mat 26:40), Bonhoeffer menyimpulkan bahwa pelayanan adalah
pembalikan dari apa yang diharapkan oleh manusia yang religius terhadap Allah.
Manusia dipanggil untuk berbagi penderitaan dengan Allah di tangan dunia yang
tidak mengenalNya. Bukan tindakan religiuslah yang menjadikan seseorang
Kristen, tetapi partisipasi dalam penderitaan Allah dalam dunia yang sekuler.[9]
Artinya seorang Kristen harus siap menderita bagi Kristus dengan melayani
sesama manusia sesuai dengan kehendak Allah.
Mobilitas ke bawah yang dimiliki Kristus harus menuntun kita untuk
berkomunikasi secara rendah hati dengan mendengarkan dan menempatkan diri
sejajar dengan sesama kita. Komunikasi yang rendah hati menolak
argument-argumen yang membenarkan diri, kata-kata yang merendahkan yang
dinyatakan dengan cerdik, dan debat-debat yang memukul lawan. Kerendahan hati
mencakup interaksi yang responsif, sensitif, dan sabar. Bonhoeffer menulis
dalam penjara, “Seseorang harus meninggalkan sepenuhnya upaya apa pun untuk
meninggikan diri, terlepas dari apakah ia seorang kudus, atau pendosa yang
bertobat atau pemimpin gereja.” Sebaliknya kita harus “meletakkan diri
sepenuhnya ke dalam tangan Allah,… berjaga-jaga bersama Kristus di Getsemani.”[10]
“Janganlah kamu membuat berhala
bagimu,… sebab Akulah TUHAN, Allahmu”.[11]
Kebenaran inilah merupakan ungkapan Quentin ketika memberi bahasan tentang
pemberhalaan media. Seorang ilmuwan Perancis Jacques Ellul menyimpulkan bahwa
orang-orang dalam komunikasi industrialis memuja teknologi media. Mereka
memiliki pemikiran yang menuntun mereka untuk menekankan nilai-nilai dari
keefisienan dan mengontrol orang lain. Nilai-nilai seperti kasih, belas kasihan
dan keterbukaan memiliki sedikit tempat dalam komunitas teknologi.[12]
Media popular, kemudian menjadi seperti sebuah “Alkitab” sekuler bagi
budaya kontemporer. Media popular telah menciptakan mitos-mitos yang menjadi
ancaman bagi iman Kristen. Dalam beberapa hal, “agama” media ini menantang iman
Kristen. Televisi komersial dan tradisi iman Kristen, misalnya, bersaing secara
budaya. Kita belajar dari iklan-iklan komersial bahwa kecantikan eksternal
(penampilan) akan menentukan popularitas kita di mata orang lain, sedangkan
Kitab Suci menekankan tentang lebih pentingnya apa yang ada dalam hati kita (
1Sam 16:7). Sinetron-sinetron mengajarkan kepada kita berulang-ulang bahwa
segala sesuatu akan berhasil pada akhirnya, sedangkan Amsal menekankan
konsekuensi dari hikmat atau kebodohan kita. Kebenaran Alkitab merupakan sebuah
“cerita akan apa yang telah Allah kerjakan.”[13]
Tayangan media yang dijadikan konsumsi publik secara sadar telah mengisi
pikiran kita dan mempengaruhi cara pandang kita dalam melihat karya Allah yang
nyata. Dan melihat tayangan sinetron sebagai kenyataan hidup sementara perkara
Allah diabaikan. Akibatnya pengaruh media secara tidak langsung mempengaruhi
hati manusia dan dalam tindakan manusia itu sendiri. Sebagai murid Kristus,
kita berbagi misi untuk mengkomunikasikan kebenaran dan kabar baik Yesus
Kristus melalui media dan Allah sendiri juga memerintahkan manusia untuk
berkuasa atas bumi, termasuk media karena kita diciptakan olehNya menurut
gambar dan rupaNya (Kej 1:26).
Quentin menyebutnya sebagai media
kenabian. Media kenabian secara benar menantang kepercayaan-kepercayaan
sebuah budaya. Sepanjang sejarah, nabi-nabi yang takut akan Allah telah
menantang kepercayaan suku yang salah. Seringkali nabi-nabi tersebut merupakan
peneliti yang berani dan kuat dari budaya kontemporer.[14] Hal
ini menurut penulis adalah suatu kemajuan gereja dalam mengantisipasi arus
media utama. Hal ini karena Alkitab juga menuliskan bahwa gereja juga
diperlengkapi dengan karunia nabi untuk pembangunan tubuh Kristus (Efesus
4:11).
Pemuridan yang radikal memanggil kita dari otoritas duniawi, dari kesetiaan semata-mata kepada
organisasi-organisasi dan orang-orang di dalam dunia ini, dan memimpin kita
untuk mendeklarasikan kesetiaan kita kepada Yesus Kristus.[15] Arti
radikal disini adalah berbeda dengan dunia, dipisahkan dari dunia walaupun
masih ada di dunia. Menjadi murid Kristus berarti murid yang radikal dalam
kekudusan hidup dan pengabdian kepada Yesus Kristus hingga akhir.
Seorang teolog Lesslie Newbigin menyatakan bagaimana, seperti Yesus di
padan gurun, kita terperangkap di antara realita yang bertentangan. “Masalah
yang paling sering kita hadapi sebagai orang Kristen adalah bahasa. Karena
sebagian besar awal hidup kita, melalui semua sistim yang diterima oleh
pendidikan umum, kita telah dilatih untuk menggunakan sebuah bahasa yang
mengklaim dapat masuk akal bagi dunia tanpa pertimbangan Allah.” Sementara itu,
kita hanya meluangkan “satu atau dua jam setiap minggu” menggunakan bahasa
Alkitab. Kita lupa bahwa “Firman yang berinkarnasi adalah Allah atas semua,
bukan hanya gereja. Tidak ada dua dunia, satu kudus dan yang lainnya sekuler.”[16]
Penulis mengilustrasikan dari pemahaman
sosiologi yang membagi dua kebutuhan jiwa yaitu rohani dan jasmani, misalnya
hari Minggu untuk Tuhan dan lainnya untuk dunia tanpa bercampur dengan urusan
rohani.
[1] Tanggapan
penulis terhadap buku Communicating for
Life: Christian Stewardship in Community and Media.
[2] Quentin J. Schultze . Berkomunikasi
Untuk Hidup:Penatalayanan Kristen Dalam Komunitas Dan Media (Malang: SAAT, 2004), 16.
[9] Ibid., 115; Dietrich Bonhoeffer, Letters and Papers from Prison (New York: Macmillan, 1967),
189-190.
[11] Terjemahan
LAI Kitab Imamat 26:1. Seringkali kita
membuat berhala bagi komunitas dan diri kita sendiri misalnya dengan
memberhalakan media dan memuja tayangan media dan “idola” media.
[16] Ibid.,
203; Lesslie Newbigin, Truth To Tell: The
Gospel as Public Truth (Grand Rapids: Eerdmans, 1991), 49.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar