Good News

Kamis, 06 November 2014

New Testament Biblical Analysis Of Business Ethics Under The Gospel Of Matthew 5: 3-12 by Hengki Wijaya



ANALISA BIBLIKA PERJANJIAN BARU TERHADAP ETIKA BISNIS BERDASARKAN INJIL MATIUS 5:3-12

Hengki Wijaya
sttjaffray@yahoo.com

ABSTRAK
Adapun tujuan penulisan ini adalah: Pertama, untuk mengetahui tentang pandangan etika bisnis berdasarkan  studi biblika Perjanjian Baru terhadap etika bisnis dalam Injil Matius 5:3-12.  Kedua, melalui tinjauan biblika akan memberikan pemahaman yang benar tentang etika bisnis Kristiani yang berdasarkan etika Kerajaan Allah. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian pustaka (Library Search) yakni pengumpulan data dari Alkitab, buku-buku Kristiani, tafsiran dan bahan internet yang berhubungan dengan judul penulisan.
Ucapan Bahagia Yesus itu melukiskan potret seutuhnya dari seorang murid Yesus. Karakter Kristus yang harus dimiliki seorang pelaku bisnis adalah mengandalkan Tuhan dalam membangun bisnisnya, mengakui dosa dan kejahatan serta meninggalkannya. Ini membuat ia lemah lembut dalam semua hubungannya dengan pihak lain, sebab kejujuran dan keikhlasan dalam berbisnis, ia haus dan lapar akan kebenaran serta rindu untuk bertumbuh dalam kepenuhan Kristus. Dalam hubungannya dengan sesama, ia memiliki kemurahan hati kepada mereka yang remuk oleh kejahatan dan dosa. Kesungguhan hatinya terbaca bagi semua orang dalam segala perilakunya dan ia suka berdamai dan mengampuni. Namun orang tidak berterima kasih atas usaha-usahanya, malahan memusuhi, memfitnah, menghina dia karena kebenaran  yang dibelanya dalam Kristus. Kata Kunci: Biblika, Perjanjian Baru, Etika Bisnis, Injil Matius 5:3-12
 Analysis Biblical of New Testament about Ethics of Business according to  
The Gospel of Matthew 5:3-12
Using This book/article must be given by permission from author (Hengki Wijaya)

Hengki wijaya
hengki_lily@yahoo.com
Sekolah Tinggi Theologia Jaffray
sttjaffray@yahoo.com


Abstract

Objective of this article is First, to know about the ethics of business opinion according to Biblical study of  New Testament to the ethics of business within The Gospel of Matthew 5:3-12. Second, through Biblical evaluation will give the right understanding about Christian of  Business ethics according to Ethics of Kingdom of  God. Research method is used by library searchwith collecting encode from Bible, Christian books,commentaries and encode from internet that related with the title of article.
The Beautitudes of  Jesus show the whole portrait from a disciple of Jesus. Christ character that must be owned by a businessman is the man that trustet  the God in building his business, confessing sins and evil and also leave it. This making to be meek in all relationship with others, cause of sincerity and honesty in business relationship. He which do hunger and thirst after righteousness and also desire to grow up in Christ fullness. In relationship with others, he have merciful to them which broken by sin and evil.He have a pure heart is showed by all people of all his behavior and he would like to be peacemaker and give forgiveness.But people do not thank  for his efforts, but they insult, slandered and persecute him because righteousness that trusted in God.



Keywords: Biblical,New Testament,ethics of business,The Gospel of Matthew 5:3-12

BAB I
PENDAHULUAN
Menurut kata orang, bukan hanya politik, tetapi juga ekonomi dan bisnis bukanlah untuk orang-orang jujur, saleh dan bermoral. Pada hakekatnya, begitu kata mereka, ekonomi dan bisnis itu kotor. Sebab itu, tinggalkanlah moralitas Anda di rumah, bila Anda ingin menjadi pedagang atau usahawan yang berhasil! Simpanlah agama Anda untuk hari Minggu, sebab untuk hari-hari Senin sampai Sabtu, ajaran agama tidak berlaku!.[1]
Seorang teman berkata bahwa bisnis itu buta etika, buta segala-galanya kecuali uang. Dengan kata lain dia mengatakan bahwa bisnis adalah sebuah dunia tersendiri yang terlepas dari nilai-nilai dan norma-norma kecuali peraturan yang berlaku saat itu, di tempat itu. Apa yang dilarang oleh peraturan, boleh jadi menjadi legal di waktu mendatang sehingga etika tidak lebih dari seperangkat peraturan yang dapat berubah tergantung situasi.[2] Selain itu, untuk pertumbuhan bisnis yang pesat seperti tender proyek-proyek yang sarat dengan korupsi, kolusi dan nepotisme yang tidak hanya melanda bangsa Indonesia bahkan juga dunia secara universal. Pertanyaannya adalah apa yang terjadi dengan etika bisnis sebagai standar untuk pengambilan keputusan etis dan bagaimana peranan agama sebagai keyakinan yang mengajarkan takut akan Tuhan? Ataukah mungkin penduduk dunia sudah kehilangan Tuhan dan menjadi tidak memiliki etika dan moral demi memuaskan hawa nafsu dan egoisme semata dan sudah dibutakan oleh ilah-ilah zaman ini (harta, kuasa dan mencintai diri sendiri). Seperti yang dikatakan Firman Tuhan, “Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah   menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka (I Timotius 6:10).
Masalah-masalah diatas menjadi dilema etis yang bisa diartikan sebagai pilhan yang tidak diinginkan ataupun tidak menyenangkan sehubungan dengan prinsip atau praktik moral. Kelihatannya di satu sisi etika bisnis itu baik, namun kenyataan sangat bertolak belakang dengan penerapan dalam dunia bisnis itu sendiri. Oleh karena itu, praktik bisnis harus dikembalikan berdasarkan ajaran agama, moral dan ketentuan hukum yang berlaku. Saat ini penulis berusaha menganalisa Alkitab Perjanjian Baru tentang etika bisnis Kristiani melalui pengajaran Yesus Kristus dan surat-surat Rasul Paulus. Bertitik tolak dari latar belakang masalah diatas maka rumusan masalah yang dikaji adalah: Pertama, defenisi etika dan etika bisnis berdasarkan beberapa pandangan dan tinjauan biblika itu sendiri. Kedua, menemukan prinsip etika bisnis yang terdapat dalam Perjanjian Baru melalui pengajaran Yesus Kristus dan pandangan Paulus.
Adapun tujuan penulisan ini adalah: Pertama, untuk mengetahui tentang pandangan etika bisnis berdasarkan  studi biblika Perjanjian Baru terhadap etika bisnis berdasarkan Injil Matius 5:3-12.  Kedua, melalui tinjauan biblika akan memberikan pemahaman yang benar tentang etika bisnis Kristiani yang berdasarkan etika Kerajaan Allah. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian pustaka (Library Search) yakni pengumpulan data dari Alkitab, buku-buku Kristiani dan tafsiran dan bahan internet yang berhubungan dengan judul penulisan.

BAB II
KAJIAN TEORITIS ETIKA BISNIS
Definisi Etika dan Etika Bisnis
Istilah “etika” berasal dari kata ethos dalam bahasa Yunani yang artinya pemukiman, perilaku, kebiasaan.  Sedangkan ēthos berarti kesusilaan, perasaan batin, kecenderungan batin. Demikian juga dengan ēthikos berarti kesusilaan, perasaan batin, kecenderungan hati yang membuat seseorang melakukan perbuatan.[3] Franz Magnis-Suseno mendefenisikan etika adalah usaha manusia untuk memakai akal budi daya pikirnya untuk memecahkan masalah bagaimana ia harus hidup kalau ia mau menjadi baik. Etika adalah pemikiran sistematis tentang moralitas.[4] Singkatnya, etika adalah suatu komitmen untuk melakukan apa yang benar dan menghindari apa yang tidak benar.
Beberapa pengertian etika bisnis adalah sebagai berikut: [5]
·            Etika bisnis berperan penting dalam memberikan kepercayaan terhadap kelompok atau individu yang berkepentingan dengan jalannya perusahaan.
·            Etika bisnis adalah keseluruhan dari aturan-aturan etika, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang mengatur hak-hak dan kewajiban produsen dan konsumen serta etika yang harus dipraktekkan dalam bisnis.
·            Etika bisnis adalah suatu kode etik perilaku pengusaha berdasarkan nila-nilai  moral dan norma yang dijadikan tuntunan dalam membuat  keputusan bisnis.
·            Etika bisnis merupakan studi yang dikhususkan mengenai moral yang benar dan salah. Studi ini berkonsentrasi pada standar moral sebagaimana diterapkan dalam kebijakan,vinstitusi, dan perilaku bisnis.
·            Etika bisnis merupakan studi standar formal dan bagaimana standar itu diterapkan ke dalam sistem dan organisasi yang digunakan masyarakat modern untuk memproduksi  dan  mendistribusikan  barang  dan jasa  dan  diterapkan  kepada orang-orang yang ada di dalam organisasi.
Bisnis itu kotor?
Pernakah anda mendengar tentang sebuah perusahaan susu raksasa yang tega-teganya melempar susu busuk ke pasaran di Dunia Ketiga? Atau tentang orang-orang di negara-negara miskin yang dijadikan kelinci percobaan untuk obat-obatan yang belum diteliti benar dampak sampingnya?  Atau tentang pabrik-pabrik berpolusi berat yang dipindahkan ke negeri orang, sebab di negeri sendiri sudah dilarang, mumpun sedang gencarnya negeri lain itu mengundang investasi modal-modal asing? Atau tentang perusahaan-perusahaan multi-nasional yang diperbolehkan memasukkan “dana suap” ke dalam anggaran biaya produksi, asal saja itu tidak dipraktekkan di negeri sendiri?. Dalam bisnis janganlah bicara soal moral. Sebab pada akhirnya, begitu kata orang , kita harus takluk pada kenyataan. Di dalam kenyataan, ekonomi dan bisnis tidak mengenal moral.[6]
Adam Smith, filsut moral Inggris yang terkenal, yang secara “ilmiah” member penalaran dan pembenaran terhadap kenyataan-kenyataan yang tersebut di atas. Di dalam bukunya yang terhitung klasik, ia antara lain menulis begini:[7]
Setiap orang senangtiasa berupaya untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dari apapun yang dimilikinya. Sesungguhnya, keuntungannya sendirilah, dan bukan keuntungan masyarakat, yang ia pertimbangkan.
Namun memperhitungkan keuntungan pribadi, dengan sendirinya- atau malah tidak dapat  tidak – akan membuat ia memilih apa yang paling menguntungkan bagi masyarakat luas …
Dalam hal ini, seperti dalam hal-hal lain juga, ia dipimpin oleh suatu tangan yang tidak kelihatan, yang membuat ia mengusahakan suatu tujuan, yang sebenarnya semula tidak dimaksudkannya.

Apakah sebenarnya yang ingin dikatakan oleh Adam Smith? Pertama, ia ingin mengatakan bahwa kecenderungan setiap orang untuk mencari keuntungan pribadi yang sebesar-besarnya, tidak hanya merupakan kebenaran empiris belaka Lebih dari itu, ia adalah naluri yang menyatu dalam kodrat manusia. Kedua, sepintas lalu apa yang dikatakan oleh Adam Smith itu mirip dengan apa yang dikatakan oleh filsuf  Inggris, Thomas Hobbes dalam bukunya yaitu Leviathan. Di sini, Hobbes juga berbicara tentang naluri ketamakan dan keserakahan yang tertanam pada setiap orang. Menurut Hobbes, scenario tersebut hanya dapat dihindari apabila manusia menahan diri dan menekan nalurinya. Manusia harus merelakan kebebasannya dibatasi dan nalurinya dikendalikan oleh suatu kuasa di luar dirinya. Yang dimaksudkannya disini adalah kekuasaan yang diberikan kepada masyarakat dan atau Negara. Fungsi masyarakat dan Negara, begitu Hobbes, adalah itu:membatasi kebebasan dan kecenderungan naluriah manusia. Adam Smith berpandangan lain. Manusia , menurut pendapatnya, tidak perlu membatasi diri, toh manusia akan terhindar dari malapetaka, oleh karena ada “tangan yang tidak kelihatan” (invisible hand). Apakah yang ia maksudkan di sini adalah kuasa dan campur tangan ilahi, yang di dalam teologi Kristen disebut “kuasa pemeliharaan Allah” (providential dei)? Mungkin yang dimaksudkannya hanyalah suatu mekanisme di dalam hukum alam yang biasa. Ketiga, Adam Smith mau mengatakan, bahwa ekonomi mempunyai moralnya sendiri. Ia merupakan wilayah kehidupan manusia yang otonom yang berjalan menurut hukum-hukumnya sendiri. Ia tidak tidak diatur oleh moralitas yang lain, kecuali moralitasnya sendiri. [8]

Apa yang Terjadi pada Etika Bisnis?
Sebuah kasus atau contoh yang terjadi dalam bisnis terjadi pada tanggal 8 November 2001, masyarakat dikejutkan ketika salah satu perusahaan paling maju dari dasawarsa 1990-an yang gegap gempita, Enron, mengakui bahwa telah menggunakan praktik-praktik akuntansi yang telah memperbesar jumlah pendapatan mereka hingga US$586 juta dalam periode waktu 4 tahun.[9] Kurang dari satu bulan kemudian, Enron mengajukan Pasal 11 Kebangkrutan (Chapter 11 bankruptcy), dan pada awal tahun 2002, Departemen Kehakiman melakukan investigasi criminal terhadap praktik-praktik perusahaan itu. Para penyidik ingin menetapkan seberapa banyak hal yang diketahuipara eksekutif  tentang status perusahaan, karena mereka memberitahu para karyawan untuk mempertahankan bagian saham Enron mereka, tetapi menjual lebih dari $1 miliar saham milik mereka sendiri. Perusahaan itu menjadi bangkrut, simpanan pension para karyawan semuanya lenyap tak berbekas, dan jutaan investor kehilangan lebih dari US$60 miliar.[10]
Majalah Time  peristiwa itu sebagai “Summer of Mistrust” (Musim Panas Penuh ketidakpercayaan) dan melaporkan, “Kebanyakan orang Amerika, 72% dalam jajak pendapat Time/CNN khawatir bahwa yang mereka lihat bukan sekedar beberapa kasus tersembunyi,tetapi suatu pola penipuan oleh sejumlah besar perusahaan. Ketika pembuat jajak pendapat George Burna bertanya pada orang-orang, apakah mereka memiliki “kepercayaan penuh” bahwa para pemimpin dari berbagai profesi akan “secara konsisten membuat keputusan yang berkaitan dengan pekerjaan dengan tepat secara moral,” hasilnya sangat buruk. Jajak pendapat itu menunjukkan bahwa eksekutif perusahaan besar, pejabat pemerintah yang terpilih, dan produser, sutradara dan penulis Film dan TV hanya mendapatkan masing-masing kepercayaan 3% yang menduduki rating terendah. Rating tertinggi pertama dan kedua diduduki oleh guru dan kaum rohaniawan masing-masing 14% dan 11%. Sungguh membuka mata bahwa bahkan untuk para pemimpin (guru) yang paling dipercaya, enam dari tujuh orang tidak bersedia memberikan kepercayaan penuh kepada mereka.[11] Orang ingin tahu: Mengapa etika berada dalam situasi yang sangat buruk? Meskipun ada banyak kemungkinan jawaban atas pertanyaan itu, saya yakin saat orang membuat pilihan-pilihan tidak etis, mereka melakukannya untuk salah satu dari ketiga alasan ini:[12]
1.         Kita Melakukan Hal yang Paling Tepat
Dilema etis bisa diartikan sebagai pilihan yang tidak diinginkan ataupun tidak menyenangkan sehubungan dengan prisnsip atau praktik moral. Sebagai seorang manusia, kita kelihatannya punya kecenderungan untuk gagal dalam tes etka pribadi. Mengapa kita melakukan sesuatu, bahkan kita tahu hal itu salah?
2.         Kita Melakukan Hal yang harus Kita lakukan untuk Menang
John C. Maxwell berpendapat bahwa kebanyakan orang sama dengan dirinya: dia benci kalah! Para pelaku bisnis, khususnya, berkeinginan untuk menang melalui prestasi dan keberhasilan . Namun, banyak yang berpikir mereka harus memilih antara bersikap etis dan menang.
3.         Kita Merasionalkan semua Pilihan Kita dengan Relativisme
Banyak orang memilih menghadapi situasi kekecewaan dengan memutuskan kekecewaan dengan memutuskan tindakan yang tepat pada saat itu, menurut situasi mereka.
Itulah ide yang mendapatkan pengesahan pada awal tahun 1960-an ketika Dr. Joseph Fletcher menerbitkan sebuah buku berjudul Situation Ethics.[13] Dalam buku itu, ia berkata bahwa kasih adalah satu-satunya standar yang bisa diterapkan untuk menentukan mana yang salah dan benar. Executive leadership Foundation menyatakan,
Menurut Fletcher, hal yang benar ditentukan oleh situasi, dan kasih bisa membenarkan segalanya – berbohong, menipu, mencuri …bahkan membunuh. Filosofi ini menyebar dengan cepat di seluruh dunia teologi   dan pendidikan… Sejak tahun 1960-an, etika situasional telah menjadi norma perilaku sosial. Setelah menyebar dengan cepat melalui dunia pendidikan, agama dan pemerintah, hal itu telah memasuki bidang yang baru-dunian bisnis. Hasilnya adalah situasi etis kita di masa kini.[14]

Etika Bisnis Kristiani Selayang Pandang
Pertama-pertama mesti diakui, bahwa untuk kurun waktu yang amat lama, kekristenan tidaklah bersikap terlampau ramah terhadap dunia dagang dan bisnis, dan oleh karena itu terhadap orang-orang yang berkecimpung di dalamnya. Masalahnya, orang-orang Kristen pada zaman Perjanjian Baru memang sama sekali tidak menaruh kepeduliaan yang serius terhadap baik dunia bisnis maupun dunia politik. Mereka menghayati diri mereka terutama sebagai orang-orang dari aeon dan era baru. Mereka memahami diri mereka sebagai “ciptaan baru” dari “dunia baru” yang sedang dan akan didatangkan oleh Allah sendiri. Sekarang memang belum datang, tetapi zaman baru itu pasti dan akan segera datang.[15]
Pada awal sejarah gereja, yang diseut zaman patristik, sikap yang sama tetap dipertahankan, bahkan kadang-kadang dalam bentuk dalam bentuk yang jauh lebih ekstrem. Pada umumnya, uang dan materi ditolak, hak milik pribadi dianggap dosa, dan hidup miskin dianjurkan. Hidup yang ideal adalah hidup biara. Kita dapat menduga, etika bisnis macam apa yang dapat dilahirkan dari sikap seperti itu (bdg. Igino Giordani, The Social Message of the early Church Fathers). Baru pada masa Abad Pertengahan, keadaan berubah agak fundamental. Situasi pada masa itu dapat dkatakan relatif stabil, atau lebih tepat “statis”. Inilah yang memungkinkan serta mendorong orang untuk menata kehidupan bermasyarakat secara lebih rinci dan rapi. Etika Kristen pada masa itu mempunyai bentuk kasuistri yang ingin mengatur segala sesuatu sampai ke hal yang sekecil-kecilnya.[16]
Di pihak lain, pandangan gereja terhadap bisnis dapat berbeda-beda. Sejarah mencatat dunia Yunani tidak mempunyai konsep tentang “panggilan” (vocation) dan menganggap bekerja adalah sebagai kutukan. Pola pikir ini sangat mempengaruhi pandangan gereja mula-mula sehingga sebagian besar bapa-bapa gereja mula-mula (kecuali Clement dari Alexandria) menerapkan pendekatan “atas dan bawah” dalam kehidupan. Berada dalam urutan tertinggi adalah rohaniawan yang tidak melakukan pekerjaan biasa di dunia. Secara universal, bidang bisnis biasanya menempati urutan kedua atau bahkan ketiga. Pada abad ke-15, hanya para rohaniawan yang dianggap menerima panggilan sedangkan orang percaya lainnya dianggap tidak mempunyai panggilan. Pandangan ini mulai berubah ketika Martin Luther dan diikuti John Calvin dan kaum Puritan mengungkapkan bahwa “kita tidak memilih, kita dipanggil, dan kita semua dipanggil”.[17] Pandangan para reformator benar-benar menjadi dasar bagi bisnis yang dilakukan oleh orang percaya dan membongkar pandangan umum yang selama ini salah kaprah karena “panggilan telah disekulerkan di dunia dan disakralkan di gereja”. Pada abad ke-18 dan 19, pemikiran yang paling banyak diterima umum adalah: bahwa segala sesuatu akan beres, apabila masing-masing dibiarkan bebas sepenuh-penuhnya sesuai dengan “kodrat”nya, tanpa campur tangan manusia. Jadi apabila “kodrat” bisnis adalah mencari keuntungan yang sebanyak-banyaknya, sebaiknya itu tidak perlu dicela atau dicegah.[18]
Apabila kita telusuri tokoh-tokoh etika Kristen sejak zaman Yunani sampai abad ke 19, maka nampak sekali mereka berada dalam dua mainstream (aliran) besar yakni yang disebut deontologis dan teleologis. Etika deontologis menekankan bahwa kualitas etis suatu tindakan bukan tergantung pada akibat tindakan itu, tetapi apakah tindakan itu betul atau salah dalam arti moral religi (Kristen) tanpa melihat pada akibatnya, misal bohong  itu  salah,  entah
akibatnya baik atau bururk. Sebaliknya, menurut etika teleologis tindakan itu sendiri netral; tindakan menjadi betul dalam arti moral apabila akibatnya baik dan atau salah apabila akibatnya buruk [19]
Mulanya Gereja Roma Katolik berpandangan bahwa miskin secara sukarela merupakan pahala hidup. Itulah sebabnya muncul sikap tentang hidup kerahiban. Hak milik perorangan dihubungkan dengan hukum kodrat. Tentang upah, dihubungkan dengan kodrat sehingga upah harus adil. Kepemilikan sendiri merupakan barang pinjaman. Itulah sebabnya kepemilikan harus dipelihara dengan baik dan dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan Sang Pemberi harta milik.[20] Dalam pengertian Gereja Katolik, iman kristiani tidak memuat ketentuan apapun tentang bagaimana harus menjalankan bisnis, apa yang boleh dan tidak boleh. Jadi, pada hakekatnya tidak ada norma-norma khas Katolik (Kristen) bagi etika bisnis. Namun demikian, etika bisnis dari perspektif Katolik dapat ditinjau dari iman seoranga pelaku bisnis yang Katolik dalam menjalankan usahanya. Ini berarti ajaran sosial dan etika hidup kristiani yang mengacu pada contoh hidup & ajaran Yesus Kristus menjadi landasan seorang Katolik dalam menjalankan usaha bisnisnya.[21]
Gereja Katolik sejak seratus tahun yang lalu menyadari tanggung jawabnya terhadap keadilan sosial. Sebagai dampak terjadinya revolusi industri dimana ideologi kapitalisme berkembang pesat, memaksa Gereja Katolik mengadakan refleksi teologis yang baru. Refleksi ini melahirkan ajaran sosial Gereja Katolik (dari pimpinan Gereja; Paus dan Konsili Vatikan) yang menekankan masalah ketidakadilan sebagai ekses penerapan sistem kapitalisme tersebut.
Ajaran sosial Gereja tersebut diatas bersifat normatif seperti tentang upah yang adil, hak membentuk serikat buruh, hak memperjuangkan hak-hak buruh, penolakan terhadap liberalisme ekonomis dengan penegasan negara wajib campur tangan demi keadilan sosial serta beberapa kepentingan lainnya yang mengarah pada tatanan sosial yang adil. Pandangan diatas diterjemahkan setidaknya kedalam 3 prinsip dasar penataan masyarakat yang relevan dengan martabat manusia yaitu (1) kesejahteraan umum (2) keadilan sosial (3) solidaritas.[22]
Setidaknya terdapat 5 pokok etika bisnis yang diharapkan dijalankan oleh pelaku bisnis beragama Katolik yaitu: (1) Jujur; (2) Bertanggung jawab dengan perhatian khusus pada hak dan kemajuan para karyawan dan buruhnya; (3) Sadar akan kewajibannya dalam mewujudkan kesejahteraan umum; (4) Adil; (5) Memiliki komitmen tinggi dan terikat oleh tuntutan untuk ikut merealisasikan keadilan sosial dengan perhatian khusus terhadap solidaritas nyata bagi mereka yang miskin, lemah dalama masyarakat.[23]
 Dari pihak Protestan dimulai dari pandangan para reformator. Martin Luther mengkritik cita-cita para rahib untuk hidup miskin secara sukarela karena mereka masih membutuhkan barang-barang duniawi. Dalam hal harta milik, jika dihubungkan dengan perdagangan, harta milik harus dibatas. Demikian cara hidup yang mengemis harus diberantas. Oleh sebab itu harus dibuka pasar atau kesempatan kerja. Johanes Calvin memandang bahwa harta milik merupakan barang pinjaman. Segala macam kemewahan dan kelimpahan dapat saja membahayakan orang. Itu sebabnya harus ada penghematan. [24]
Menurut Ulrich Zwingli menghubungkan harta milik dengan penatalayanan (Inggris: stewardship). Secara teologis stewards dalam bahasa Inggris berarti juru kunci. Hal itu berarti secara individual, pemilik harus mengelola dengan betul atas harta miliknya dan harus dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. Harta milik itu sendiri merupakan karunia sehingga harus dinikmati sebagai penghiburan. Dari beberapa pandangan tersebut di atas dapat direflesikan a) Tuhan adalah satu-satunya Pemilik Agung yang mutlak; b) barang-barang merupakan pinjaman yang diberikan Tuhan kepada manusia; c) kita harus bertanggungjawab atas penggunaan harta milik tersebut agar sesuai dengan kehendak Tuhan Sang Pemberi Agung; d) harta milik mewajibkan seseorang untuk bekerja karena kerja menimbulkan kepemilikan; e) negara wajib melindungi hak milik; f) gereja dipanggil untuk menyatakan bahwa Tuhan yang telah menyatakan diri di dalam Tuhan Yesus Kristus adalah Tuhan atas barang dan uang, adalah milik Tuhan sepenuhnya.[25]
Bisnis dan Tanggung Jawab Sosial
Yang dimaksudkan dengan tanggung jawab sosial adalah kesadaran di pihak perusahaan untuk di dalam proses pengambilan keputusannya selalu secara sadar dinilai serta diperhitungkan dampak dari keputusan yang akan diambil itu bagi masyarakat luas, dengan tujuan agar disamping keputusan tersebut akan menghasilkan keuntungan ekonomis bagi perusahaan, ia juga mendatangkan manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat.[26] Saya mendefenisikan tanggung jawab sosial itu adalah suatu pengakuan dari perusahaan bahwa keputusan bisnis dapat mempengaruhi masyarakat (komunitas dan lingkungannya) dan secara luas meliputi  tanggung jawab perusahaan terhadap pelanggan, karyawan dan Kreditur.
Beberapa argumentasi yang mendukung tanggung jawab sosial itu, sekalipun hukum misalnyatidak mengharuskannya: a) kepentingan jangka panjang. Bila perusahaan bisnis peka terhadap kebutuhan masyarakat, dan berupaya untuk memenuhinya, dalam jangka panjang ia akan menghasilkan sebuah masyarakat yang lebih menguntungkan bagi usaha-usaha bisnis;  b) citra sosial. Perusahaan dengan tanggung jawab sosial yang tinggi juga akan mempunyai citra yang tinggi dipandang; c) kelangsungan hidup. Sebuah perusahaan yang mempunyai citra yang baik di mata masyarakat akan dihargai oleh masyarakat. Penghargaan ini amat besar pengaruhnya bagi kelangsungan hidup perusahaan; d) menghindari regulasi. Apabila telah memenuhi tanggung jawab sosialnya, maka pemerintah tidak akan perlu memaksakan peraturan apa-apa mengenai ini. Itu berarti perusahaan-perusahaan bisnis akan dapat mempertahankan kebebasan dan otonomi di dalam mengambil keputusan.[27]  Kontra tanggung jawab sosial itu adalah: a) maksimalisasi laba. Tujuan satu-satunya yang sah bagi bisnis adalah maksimalisasi laba. Sering bertolak belakang dengan tanggung jawab sosial karena mengurangi laba perusahaan; b) biaya. Beban biaya bagi pemenuhan tanggung jawab sosial yang tidak dapat diperoleh kembali secara ekonomi berarti menciutkan produktivitas perusahaan, yang dalam jangka panjang justru akan merugikan masyarakat;                             c) keterampilan.Penanggulangan masalah-masalah sosial membutuhkan keterampilan sosial tertentu. Orang-orang bisnis terkadang tidak mempunyai ini; d) masalah-masalah sosial tetap aka nada; e) merugikan daya saing[28]. Dalam perdagangan internasional, perusahaan-perusahaan yang dengan konsekuen melaksanakan tanggung jawab sosialnya dalam jangka panjang kalah dalam persaingan.
Pengambilan Keputusan Etis Kristiani
Untuk mengambil keputusan etis dalam bisnis diperlukan beberapa pedoman. Brownlee menyajikan lima faktor yang mempengaruhi keputusan etis, yaitu: iman, tabiat, lingkungan sosial, norma-norma, dan situasi.
Iman
Iman mempengaruhi perbuatan. Dalam Injil Lukas 18:18-27 dikatakan, bahwa ada orang kaya bertanya kepada Tuhan Yesus tentang apa yang harus dilakukan agar memperoleh kehidupan yang kekal. Jawab Tuhan Yesus, orang tersebut harus menjual semua harta miliknya, kemudia dibagikan kepada semua orang miskin. Orang kaya tersebut tidak mau  melaksanakan saran-Nya.  Demikian  juga  Petrus menyangkali Tuhan Yesus (Mat. 26:69-75).
Hal itu menunjukkan bahwa kesetiaan Petrus sangat lemah jika dibandingkan dengan keamanan pribadinya. Jadi, kelakuan etis kristiani adalah perbuatan yang berdasarkan iman kepada Tuhan yang sudah menyatakan diri di dalam Tuhan Yesus Kristus.[29]


Tabiat
Tabiat dapat didefenisikan sebagai susunan batin seseorang yang member arah dan ketertiban kepada keinginan, kesukaan dan perbuatan orang itu. Susunan itu dibentuk oleh interaksi antara diri orang dengan lingkungan sosialnya dan Allah. Tabiat tidak sama dengan watak. Watak biasanya dianggap sebagai bentuk diri kita yang kita dapat secra alamiah waktu kita lahir. Watak itu bersifat tetap. Tetapi tabiat kita berkembang dan berubah sepanjang hidup kita. Tabiat mempunyai kontinuitas tetapi tidak mempunyai ketetapan. Sifat-sifat tabiat bertahan tetapi tabiat tidak pernah dalam keadaan sudah jadi. Tabiat member keselarasan kepada perbuatan-perbuatan kita tetapi juga dapat dibina dan diubah.[30]
Ciri-ciri tabiat Kristen yaitu integritas, pengertian tentang kehendak Allah dan kepekaan kepada apa yang baik, kebajikan-kebajikan dan serupa dengan Kristus.[31] Dalam Perjanjian Baru ada beberapa daftar kebajikan-kebajikan orang Kristen. Dalam ucapan bahagia (Matius 5:1-12), Yesus menyebut tujuh kebajikan: kerendahan hati (miskin di hadapan Allah), kepekaan kepada kejahatan (berdukacita karena kejahatan), kelemahlembutan, kelaparan dan kehausan akan kebenaran, kemurahan hati, kemurnian hati dan kedamaian. Dalam 2 Ptr. 1:5-7 iman, kebaikan, pengetahuan, penguasaan diri, ketekunan, kesalehan, dan kasih disebut sebagai sifat-sifat kehidupan orang Kristen. Rasul Paulus menulis beberapa daftar kebajikan Kristen misalnya iman, pengharapan dan kasih (1 Kor. 13:13; 1 Tes. 1:3;5:8); kebenaran,keadilan, kerelaan  untuk  memberitakan Injil Kristus, damai
sejahtera dan iman (Ef. 6:14-16);kemurnian hati, pengetahuan, kesabaran dan kemurahan hati, kasih, kejujuran dan keadilan (2 Kor. 6:6-7). Kebajikan-kebajikan ini selalu dipandang sebgai hasil pekerjaan Roh Kudus.[32]

Lingkungan Sosial
Pengambilan keputusan etis dipengaruhi oleh lingkungan, yakni keluarga, teman-teman, pandangan umum (public opinion) dalam masyarakat, komunikasi massa dan gereja. Pengaruh lingkungan sosial ini terjadi karena pada hakikatnya manusia adalah makhluk monodualis (sifat individu sekaligus sosial), makhluk yang hidup jasmani dan rohani. Sistem nilai budaya juga mempengaruhi pengambilan keputusan etis yang kita ambil dan lakukan itu mempunyai dimensi sosial.
Dalam masyarakat terdapat pranata-pranata sosial, budaya dan adat. Adat sendiri berfungsi sebagai tata kelakuan yang mengatur, mengendalikan dan yang member arah perbuatan manusia yang menjadi anggota suatu masyarakat itu. Pranata sosial sebagai pengontrolnya. Kita juga harus ingat bahwa ada unsur dosa dalam lingkungan sosial dan nilai-nilai dalam masyarakat. Hubungan kita dengan sesama dapat membentuk kepribadian kita. Namun sebaliknya kita dapat juga mempengaruhi lingkungan. Dalam masyarakat modern, kita memerlukan tabiat yang teguh, sebab patokan-patokan etis, norma-norma etis lebih longgar atau bebas. Kebebasan dan kesempatan lebih besar daripada orang tradisional.[33]
Norma-norma
            Norma adalah patokan yang dipakai untuk menilai perbuatan manusia dan menolong manusia untuk mengambil keputusan yang benar. Dua jenis norma yang terpenting adalah prinsipyang memberikan bimbingan secara umum dan peraturan-peraturan yang lebih spesifik. Sumber  yang  paling  berotoritas yaitu norma bagi orang Kristen adalah  Alkitab.[34]



Situasi
            Pengertian mengenai situasi penting karena: a) Agar dapat menerapkan norma-norma dan nilai-nilai etis kepada situasi tersebut;b) agar dapat melakukan perbuatan yang tepat dan berguna dalam situasi tersebut; c) agar dapat mengetahui masalah-masalah yang memerlukan perhatian.[35]
Cara-cara Pengambilan Keputusan Etis
Dalam mengambil keputusan etis, ada beberapa sumber bantuan yang menolong kita agar pengambilan keputusan etis itu baik, benar dan tepat. Beberapa sumber bantuan tersebut antara lain:[36]
Doa, Ibadah dan Roh Kudus
Doa tidak boleh dipandang sebagai permohonan bimbingan untuk mengambil keputusan etis, tetapi sebagai cara untuk mengakrabkan diri kita dengan Tuhan, sehingga doa meningkatkan kemampuan kita untuk mengambil keputusan. Doa adalah dialog kita dengan Tuhan karena sendirilah yang mengarahkan kita. Hubungan yang erat antara kita dengan Tuhan melalui doa dan ibadah akan memampukan kita untuk mengetahui kehendak-Nya dalam masalah-masalah yang sulit yang kita hadapi. Firman Tuhan berkata, “Latihan badani terbatas gunanya, tetapi ibadah itu berguna dalam segala hal, karena mengandung janji, baik untuk hidup ini maupun untuk hidup yang akan datang” (I Timotius 4:8). Jadi, latihlah dirimu beribadah. Yang terutama adalah  Roh Kudus membimbing orang yang betul-betul mencari kehendak Tuhan. Roh Kudus sebagai “motor penggerak” dalam mengambil keputusan. Roh Kudus dapat mengubah kehendak kita dan meningkatkan kemampuan kita. Oleh karena itu, hal penting dalam pengambilan keputusan adalah kita mau membuka hati kita agar Roh Kudus berkarya dalam hidup kita.

Gereja dan Persekutuan
Orang Kristen dalam mengambil keputusan etis ternyata tidak sendirian. Gereja dan persekutuan orang percaya mendukung berdasarkan kasih setia karena setia karena semua orang adalah satu tubuh di dalam Kristus. Hal ini berarti warga gereja akan menolong dalam pengambilan keputusan etis dengan cara memberikan nasihat, penerimaan, dukungan dan doa.
Alkitab
Alkitab sebagai Firman Tuhan sangat berpengaruh dan sangat penting bagi orang Kristen untuk mengambil keputusan etis. Pengaruh Alkitab dalam membimbing untuk menghadapi masalah-masalah moral, membentuk tabiat dan iman kita serta perangai kita.  Alkitab menunujukkan kepada kita bagaimana seharusnya hidup menurut atau taat kepada Tuhan Allah. Contoh orang Samaria yang baik hati (Luk. 10:25-37). Contoh itu mengajar kita bahwa kasih itu mengatasi dan menembusi batas-batas etnis dan ideologis. Contoh itu juga mengajar kita dalam kita menghadapi suatu kasus. Semakin kita rajin membaca dan menelaah Alkitab, maka kita akan tahu bagaimana kita mengambil keputusan etis yang baik dan mempertajam wawasan kita.











BAB III
ANALISA BIBLIKA PERJANJIAN BARU TENTANG ETIKA BISNIS BERDASARKAN INJIL MATIUS 5:3-12
Secara tertulis sangat sulit menemukan kata etika dalam ajaran Yesus dan juga ajaran tentang etika bisnis. Namun, kita dapat menemukan delapan ciri watak dan tabiat Kristiani dalam khotbah di Bukit khususnya hubungan dengan Allah dan sesama manusia, dan berkat-berkat Allah yang dicurahkan atas diri mereka yang memperlihatkan ciri-ciri itu. Khotbah itu melukiskan perilaku yang dituntut Yesus dari setiap pengikut-Nya yang sekaligus warga Kerjaan Allah.[37] Secara sederhana etika Kerajaan Allah adalah ajaran tentang watak Kristiani yang harus dimiliki sebagai warga Kerajaan Allah. Dengan kata lain Khotbah di Bukit adalah ajaran Yesus tentang etika Kerajaan Allah yang sangat sesuai dengan perilaku orang Kristen dalam bisnis. Saya akan membahas secara biblika tentang Khotbah Yesus di Bukit berdasarkan Matius 5:3-12. 
Pertama, "Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga” (ayat 3). Pada waktu Yesus menyebut “orang miskin” bukan saja mempunyai arti orang yang tidak mempunyai apa-apa di bidang ekonomis, tetapi juga orang yang miskin di bidang religius.[38] Maka untuk menjadi “orang mskin di hadapan Allah”, kita harus mengakui kemiskinan spiritual kita, bahkan kebangkrutan kita di hadapan Allah. Seperti ditulis Calvin, “Hanya dia yang menganggap dirinya tak berarti sama sekali di mata Tuhan, lalu semata-mata bergantung pada anugerah Tuhan, hanya orang seperti itulah yang miskin di hadapan Tuhan!”.[39]  Karakter yang harus dimiliki oleh seorang pelaku bisnis adalah memiliki hubungan atau persekutuan dengan Allah dalam kehidupan kristianinya untuk mengetahui kehendak Allah dalam hidupnya dan benar dalam pengambilan keputusan dalam usahanya.

Jadi dikatakan pula oleh Yesus, “Tak seorang pun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian, ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon." (Matius  6:24). Hal ini mengingatkan kita untuk tidak mencintai uang dan menjadikannya berhala melainkan digunakan untuk memuliakan Tuhan.
Kedua, “Berbahagialah orang yang berdukacita, karena mereka akan dihibur” (ayat 4). Kesedihan yang dimaksudkan oleh Yesus disini adalah dukacita manusia akan keberdosaannya; suatu penyesalan karena dirinya terbukti telah mengecewakan allah. Perasaan takut akan Allah yang timbul dari persaan miskin secara rohani itulah yang membuatnya berduka cita.[40] Orang-orang yang berdukacita seperti itu, yang menangisi dosa-dosa dan kejahatan, akan dihibur dengan hiburan satu-satunya yang dapat melepaskan mereka dari sengsaranya, yaitu pengampunan Allah yang tidak menuntut imbalan, yang boleh diterima dengan cuma-cuma. [41]
Ketiga, Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi” (ayat 5). Kata sifat Yunani praus berarti lemah lembut, rendah hati, baik budi, sopan dan dalamnya terkandung pengertian penguasaan diri, karena tanpa itu kualitas-kualitas itu mustahil ada.[42] Contoh nyata adalah Yesus sendiri (Mat. 11:29). Secara menarik Dr. Lloyd Jones meringkasnya sebagai berikut, “Akar kelemahlembutan ialah pendapat yang jujur dan ikhlas dari seseorang mengenai dirinya sendiri…. Orang yang benar-benar lemah lembut ialah orang yang sungguh malu sekaligus terpesona oleh kebaikan, tanggapan dan perlakuan Allah dan manusia terhadap dia, padahal dia tahu bahwa dia tidak layak menerimanya. Inilah yang membuat dia lemah lembut, rendah hati, peka, sabar dalam segala hubungan dengan sesama manusia”. [43]
Keempat, Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan” (ayat 6). Orang yang lapar dan haus yang dikenyangkan Allah ialah mereka “ yang lapar dan haus akan kehendak Allah”. Kelaparan dan kehausan spiritual seperti itulah yang merupakan ciri khas semua anak Allah, yang ambisi utamanya adalah spiritual dan bukan materi. Orang Kristen bukan seperti orang yang tidak mengenal Allah, yang tergila-gila kepada harta kekayaan materi; itikad bulat mereka ialah “mencari dahulu”, mendahulukan Kerajaan Allah dan kehendak-Nya (Mat. 6:33).[44]  Ungkapan “lapar dan haus akan kebenaran” memiliki beberapa pengertian. Yang terutama berarti rindu akan suatu hubungan baik dengan Allah, dan itu juga berarti rindu untuk dapat hidup dengan benar dihadapan-Nya.
Kelima,“Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan beroleh kemurahan” (ayat 7). Kemurahan hati bermuara dalam dua sikap yang saling berbeda yaitu dalam mengasihi dan mengampuni. Kita mengasihi orang yang kita lihat kesakitan, menderita sengsara atau berdukacita tapi kita juga mengampuni orang-orang yang berbuat salah kepada kita yang menjahati kita.[45]Contoh nyata adalah perumpamaan orang Samaria (Luk. 10:30-37). Dalam perannya sebagai contoh dalam hal kemurahan hati, ada dua hal yang patut dicatat:    1) kemurahan hati yang menyembuhkan akibat dosa dalam hidup sesama manusia; dan          2) kemurahan hati tidak tersembunyi di belakang larangan-larangan Alkitab untuk melindungi diri sendiri dari pelayanan yang menuntut pengorbanan.[46]
Keenam, “Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah” (ayat 8). Makna “orang yang suci hatinya” alah orang yang suci secara batiniah, yaitu kualitas orang yang telah disucikan hatinya dari kotoran-kotoran moral, selaku kebalikan dari  kesucian secara ritual. Itulah sebabnya Raja Daud sadar, bahwa Tuhan berkenan akan “kebenaran dalam batin”, yang berdoa “jadikanlah hatiku tahir, ya Allah” (Mazmur 51:8,12;bdg. Mazmur 73:1;Kis. 15:9; I Timotius 1:5). Jadi orang yang suci hatinya itu adalah orang yang “amat bersungguh-sungguh”. Seluruh hidup mereka, baik yang pribadi maupun yang terbuka bagi orang lain, adalah transparan di hadapan Allah dan sesama manusia. Hati mereka termasuk pikiran dan motivasi  mereka adalah murni, tidak tercampur dengan sesuatu  yang cemar jelek, atau tersembunyi. Kemunafikan dan tipu daya tabu bagi mereka , tidak ada akal bulus pada mereka.[47]
Ketujuh, “Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah” (ayat 9). Menurut Ucapan Bahagia ini, orang Kristen dimaksudkan menjadi pembawa damai, bak dalam masyarakat maupun dalam gereja. Secara jelas pasti dalam seluruh ajaran Yesus dan para rasul-Nya, bahwa kita sendiri sekali-kali tidak boleh mencari gara-gara atau biang keladi suatu konflik. Sebaliknya, kita terpanggil untuk hidup dalam damai (I Kor. 7:15), kita harus giat mencari “kedamaian” (I Ptr. 3:11), kita harus “berusaha hidup damai dengan semua orang” (Ibr. 12:14), kita harus “hidup dalam perdamaian dengan semua orang” (Rm. 12:18).[48]
Kedelapan, “Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga. Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat. Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di sorga, sebab demikian juga telah dianiaya nabi-nabi yang sebelum kamu" (ayat 10-12). Mereka yang rindu akan kebenaran akan menderita bagi kebenaran yang mereka rindukan. Kita tidak usah heran kalau kebencian kepada orang Kristen meningkat, kita malahan harus heran bila itu tidak terjadi.
Dalam khotbah di bukit, Tuhan Yesus menjelaskan bahwa kedatangan-Nya bukan untuk merombak Taurat melainkan menggenapinya (Mat. 5:17). Ia miskin karena kita (II Korintus 8:9). Dari penjelasan itu, kita diangkat sebagai ahli waris Kerajaan Allah (Matius 5:1-12). Sementara itu orang-orang yang lapar akan dikenyangkan (Lukas 1:52-53). Kekayaan bukan sebagai ukuran untuk mencapai keselamatan (Matius 19:16-26). Tentang uang, dikatakan bahwa statusnya harus diturunkan dari “takhtanya” untuk melayani (Yohanes 12:1-12;Kis. 9:36; Lukas 9), artinya kita tidak bisa menyembah uang atau mencintai uang, tetapi menggunakan uang untuk pelayanan-Nya dan mewujudkan Kerajaan Allah di bumi.[49]
Kewajiban religius dan etis yang terpenting dari seorang pengusaha bukanlah memberikan persembahan uang yang sebanyak-banyaknya, tanpa memperhatikan dari mana dan dengan cara bagaimana uang itu diperolehnya. Persembahan sebesar apapun sama sekali tidak mengurangi apalagi menghilangkan tuntutan etis yang paling prinsipal:keadilan, kemurahan hati dan kesetiaan. “Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab persepuluhan dari selasih, adas manis dan jintan kamu bayar, tetapi yang terpenting dalam hukum Taurat kamu abaikan, yaitu: keadilan dan belas kasihan dan kesetiaan. Yang satu harus dilakukan dan yang lain jangan diabaikan”.[50]
  "Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi” .[51] John  C. Maxwell menyebutnya sebagai ayat “Kaidah Emas” atau “Kaidah Kencana” yang berlaku secara universal yang diakui oleh semua agama lain karena agama-agama lain juga memilikinya, meskipun sifatnya selalu negatif, artinya menggunakan kata “tidak’ atau “melarang”.  Dalam ayat itu, Yesus mengajarkan bahwa tanpa kasih karunia Allah, kita tentu mustahil mempraktikkan, dan bila kita toh mampu melakukannya, maka yang bekerja dalam diri kita adalah kasih-Nya. Dan kasih-Nya inilah salah satu pemberian-Nya “yang baik”, yang melalui Roh Kudus dkaruniakan-Nya kepada kita sebagai jawaban atas doa kita                 (Luk. 11:13).[52]

Baru-baru ini, saya mendapat kesempatan berjumpa dengan Mark Richt, dan saya berkesimpulan bahwa ia seorang yang berkarakter kuat. Ia mengatakan bahwa hidupnya berubah total saat berhenti memusatkan perhatian pada dirinya sendiri. Ia menghasilkan keunggulan terhadap segala sesuatu yang dilakukannya, tetapi pusat perhatiannya adalah untuk menolong orang. Hanya orang berkarakter yang dapat memberikan  dampak kepada orang lain sebagaimana tindakan Richt. Karakter adalah kunci untuk menjalani suatu kehidupan yang berintegritas dan unggul secara etis. Dibawah ini adalah keunggulan dari karakter:[53]
·               Karakter lebih besar daripada bicara. Banyak orang berbicara tentang melakukan hal yang tepat, tetapi tindakan adalah ukuran yang sebenarnya dari karakter.
·               Bakat adalah Anugerah, tetapi karakter adalah pilihan.  Ada beberapa hal yang penting yang bisa dipilih setiap orang. Kita memilih keyakinan, sikap dan karakter kita.
·               Karakter membawa kesuksesan terus-menerus pada orang lain. Kepercayaan itu penting ketika bekerja pada orang lain. Karakter menghasilkan kepercayaan.
·               Orang tidak bisa melaju melewati keterbatasan karakter mereka. Memiliki karakter merupakan satu-satunya cara untuk mempertahankan kesuksesan.


BAB IV
KESIMPULAN
Tidak ada yang namanya etika bisnis, yang ada hanyalah etika. Oran berusaha menggunakan serangkaian etika untuk kehidupan professional mereka, etika yang lain untuk kehidupan spiritual mereka, dan etika lain lagi untuk kehidupan keluarga mereka. Untuk melakukan etika apapun dalam hal ini bisnis harus bersumber dari kebenaran Firman Tuhan, Alkitab sebagai dasar etika yang dikenal dengan etika Kerajaan Allah yaitu suatu karakter Kristus yang didasari oleh kasih Allah dalam hubungan persekutuan yang mendalam dimana manusia mengasihi Tuhan dan mengasihi sesamanya (Mat. 5:3-12).
Ucapan Bahagia Yesus itu melukiskan potret seutuhnya dari seorang murid Yesus. Karakter Kristus yang harus dimiliki seorang pelaku bisnis adalah mengandalkan Tuhan dalam membangun bisnisnya, mengakui dosa dan kejahatan serta meninggalkannya. Ini membuat ia lemah lembut dalam semua hubungannya dengan pihak lain, sebab kejujuran dan keikhlasan dalam berbisnis, ia haus dan lapar akan kebenaran serta rindu untuk bertumbuh dalam kepenuhan Kristus. Dalam hubungannya dengan sesama, ia memiliki kemurahan hati kepada mereka yang remuk oleh kejahatan dan dosa. Kesungguhan hatinya terbaca bagi semua orang dalam segala perilakunya dan ia suka berdamai dan mengampuni. Namun orang tidak berterima kasih atas usaha-usahanya, malahan memusuhi, memfitnah, menghinadia karena kebenaran  yang dibelanya dalam Kristus. Ia seorang yang tidak cinta uang tetapi memakai uang untuk memuliakan Tuhan, taat kepada Tuhan dan taat kepada pemerintah (peraturan pemerintah dan hukum), dan menjalankan kewajibannya sebagai warga negara yang baik (bayar pajak dan turut mensejahterakan karyawan serta turut melestarikan lingkungannya) dan tanggung jawab sosial terhadap sesama.


[1] Eka Darmaputera. Etika Sederhana untuk Semua: Bisnis, Ekonomi dan Penatalayanan, cet. ke-6 (Jakarta: BPK Gunung  Mulia, 2009),19.
[2] James Widodo. Etika Bisnis Kristen. http://jameswidodo-heart.blogspot.com/2009/10/etika-bisnis-kristen.html. Diakses 02 Maret 2012.

[3] J. Jerkily, Etika Kristen Bagian Umum,cet. Ke-3 (Jakarta: BPK, 1964), 7.
[4] Franz Magnis-Suseno. Etika Dasar Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral,cet. Ke-3, (Yogyakarta: Kanisius, 1989), 17.
[6]  Darmaputera, 20.
[7]  Ibid., 20; Adam Smith, An Inquiry into the Nature and Causes of  the Wealth of Nations, Book V, Chapter II.
[8] Ibid., 21-22.
[9] John C. Maxwell. There’s No such Thing As “Business Ethics”  Kaidah emas untuk para Profesional, (Jakarta: Libri, 2011), 1.
[10]  Ibid., 2.
[11]  Ibid., 5-6.
[12]  Ibid., 6-10.
[13] Joseph Fletcher, Situation Ethics:The New Morality (Philadelphia: Westminster, 1966).
[14] Executive Leadership Foundation, Inc., Absolute Ethics: A Proven System of true Propitability (Tucker, Ga., 1987), 22-23.
[15]  Darmaputera, 1-2.
[16]  Ibid., 2-3.
[17]  Paul Stevens, God’s Business: Memaknai Bisnis Secara Kristiani (Jakarta: BPK, 2008), 55-64.
[18] Darmaputera, 5.
[19] Aris Munandar. Etika Bisnis Dalam Perspektif Katolik. Diakses pada 02 Maret 2012. Tersedia di http://uin-malang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=2595:etika-bisnis-dalam-perspektif-katolik&catid=35:artikel-dosen&Itemid=210; bdg.Franz Magnis-Suseno. 13 Tokoh Etika (Yogyakarta: Kanisius,1997).
[20]  R.M. Drie S. Brotosudarmo, Etika Kristen untuk Perguruan Tinggi cet. Ke-4 (Yogyakarta:Penerbit ANDI,2010), 106.
[21]  Munandar; Franz Magnis-Suseno.  Etika Bisnis Dalam Perspektif Katolik.
[22] Ibid
[23] Ibid
[24] Brotosudarmo, 106
[25] Ibid.,107.
[26] Darmaputera, 130.
[27] Ibid., 131-132.
[28] Ibid., 133-134.
[29]  Brotosudarmo, 78;Brownlee, 70-100.
[30]  Malcolm Brownlee. Pengambilan Keputusan etis dan faktor-faktor di dalamnya Cet. ke-15(Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2001) , 113.
[31]  Brownlee, 131-140.
[32]  Ibid., 138.
[33]  Ibid., 145-181.
[34]  Brownlee, 182-200.
[35]  Ibid., 200-214.
[36]  Brotosudarmo, 80-81;Brownlee, Op.Cit, 241-246.
[37]  John R.W. Stott. Khotbah di Bukit, Cet. ke-4 (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2008),28.
[38] J.L. h. Abineno. Khotbah di Bukit, (Jakarta:BPK Gunung Mulia, 1990),14.
[39] Stott, 51-52.
[40] Sinclair B. Ferguson. Khotbah di Bukit, Cet. ke-4 (Surabaya: Momentum, 2009), 21.
[41]  Stott, 55.
[42]  Ibid., 56.
[43]  Ibid., 57.
[44]  Ibid., 58-59.
[45]  Ibid., 62.
[46]  Ferguson, 35-36.
[47]  Stott, 64-66
[48]  Ibid., 66-67.
[49]   Brotosudarmo, 106;Matius 23:23.
[50]  Darmaputera, 62-63.
[51] Injil Matius 7:12. Ayat ini juga terdapat dalam ajaran Kong Hu Cu, Buddha, Hindu dan Islam, namun menggunakan kalimat yang “negatif”, artinya bersifat larangan.
[52] Stott, 278.
[53] Maxwell,71-72.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar