ANALISA BIBLIKA PERJANJIAN BARU TERHADAP ETIKA
BISNIS BERDASARKAN INJIL MATIUS 5:3-12
Hengki Wijaya
sttjaffray@yahoo.com
ABSTRAK
Adapun tujuan penulisan ini adalah: Pertama, untuk
mengetahui tentang pandangan etika bisnis berdasarkan studi biblika Perjanjian Baru terhadap etika
bisnis dalam Injil Matius 5:3-12. Kedua,
melalui tinjauan biblika akan memberikan pemahaman yang benar tentang etika
bisnis Kristiani yang berdasarkan etika Kerajaan Allah. Metode penelitian yang
digunakan adalah penelitian pustaka (Library Search) yakni pengumpulan data
dari Alkitab, buku-buku Kristiani, tafsiran dan bahan internet yang berhubungan
dengan judul penulisan.
Ucapan Bahagia Yesus itu melukiskan potret seutuhnya
dari seorang murid Yesus. Karakter Kristus yang harus dimiliki seorang pelaku
bisnis adalah mengandalkan Tuhan dalam membangun bisnisnya, mengakui dosa dan
kejahatan serta meninggalkannya. Ini membuat ia lemah lembut dalam semua
hubungannya dengan pihak lain, sebab kejujuran dan keikhlasan dalam berbisnis,
ia haus dan lapar akan kebenaran serta rindu untuk bertumbuh dalam kepenuhan
Kristus. Dalam hubungannya dengan sesama, ia memiliki kemurahan hati kepada
mereka yang remuk oleh kejahatan dan dosa. Kesungguhan hatinya terbaca bagi
semua orang dalam segala perilakunya dan ia suka berdamai dan mengampuni. Namun
orang tidak berterima kasih atas usaha-usahanya, malahan memusuhi, memfitnah,
menghina dia karena kebenaran yang
dibelanya dalam Kristus. Kata
Kunci: Biblika, Perjanjian Baru, Etika Bisnis, Injil Matius 5:3-12
Analysis
Biblical of New Testament about Ethics of Business according to
The Gospel of
Matthew 5:3-12
Using This book/article must be given by permission from author (Hengki Wijaya)
Using This book/article must be given by permission from author (Hengki Wijaya)
Hengki wijaya
sttjaffray@yahoo.com
Abstract
Objective of this article is First, to know about
the ethics of business opinion according to Biblical study of New Testament to the ethics of business
within The Gospel of Matthew 5:3-12. Second, through Biblical evaluation will
give the right understanding about Christian of
Business ethics according to Ethics of Kingdom of God. Research method is used by library searchwith
collecting encode from Bible, Christian books,commentaries and encode from
internet that related with the title of article.
The Beautitudes of
Jesus show the whole portrait from a disciple of Jesus. Christ character
that must be owned by a businessman is the man that trustet the God in building his business, confessing
sins and evil and also leave it. This making to be meek in all relationship
with others, cause of sincerity and honesty in
business relationship. He which do hunger and thirst after righteousness and
also desire to grow up in Christ fullness. In relationship with others, he have
merciful to them which broken by sin and evil.He have a pure heart is showed by
all people of all his behavior and he would like to be peacemaker and give forgiveness.But
people do not thank for his efforts, but
they insult, slandered and persecute him because righteousness that trusted in
God.
Keywords: Biblical,New Testament,ethics of
business,The Gospel of Matthew 5:3-12
BAB I
PENDAHULUAN
Menurut kata
orang, bukan hanya politik, tetapi juga ekonomi dan bisnis bukanlah untuk orang-orang
jujur, saleh dan bermoral. Pada hakekatnya, begitu kata mereka, ekonomi dan
bisnis itu kotor. Sebab itu, tinggalkanlah moralitas Anda di rumah, bila Anda
ingin menjadi pedagang atau usahawan yang berhasil! Simpanlah agama Anda untuk
hari Minggu, sebab untuk hari-hari Senin sampai Sabtu, ajaran agama tidak
berlaku!.[1]
Seorang teman berkata bahwa bisnis itu
buta etika, buta segala-galanya kecuali uang. Dengan kata lain dia mengatakan
bahwa bisnis adalah sebuah dunia tersendiri yang terlepas dari nilai-nilai dan
norma-norma kecuali peraturan yang berlaku saat itu, di tempat itu. Apa yang
dilarang oleh peraturan, boleh jadi menjadi legal di waktu mendatang sehingga
etika tidak lebih dari seperangkat peraturan yang dapat berubah tergantung
situasi.[2]
Selain itu, untuk pertumbuhan bisnis yang pesat seperti tender proyek-proyek
yang sarat dengan korupsi, kolusi dan nepotisme yang tidak hanya melanda bangsa
Indonesia bahkan juga dunia secara universal. Pertanyaannya adalah apa yang
terjadi dengan etika bisnis sebagai standar untuk pengambilan keputusan etis
dan bagaimana peranan agama sebagai keyakinan yang mengajarkan takut akan
Tuhan? Ataukah mungkin penduduk dunia sudah kehilangan Tuhan dan menjadi tidak
memiliki etika dan moral demi memuaskan hawa nafsu dan egoisme semata dan sudah
dibutakan oleh ilah-ilah zaman ini (harta, kuasa dan mencintai diri sendiri).
Seperti yang dikatakan Firman Tuhan, “Karena akar segala kejahatan ialah cinta
uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya
dengan berbagai-bagai duka (I Timotius 6:10).
Masalah-masalah
diatas menjadi dilema etis yang bisa diartikan sebagai pilhan yang tidak
diinginkan ataupun tidak menyenangkan sehubungan dengan prinsip atau praktik
moral. Kelihatannya di satu sisi etika bisnis itu baik, namun kenyataan sangat
bertolak belakang dengan penerapan dalam dunia bisnis itu sendiri. Oleh karena
itu, praktik bisnis harus dikembalikan berdasarkan ajaran agama, moral dan
ketentuan hukum yang berlaku. Saat ini penulis berusaha menganalisa Alkitab
Perjanjian Baru tentang etika bisnis Kristiani melalui pengajaran Yesus Kristus
dan surat-surat Rasul Paulus. Bertitik tolak dari latar belakang masalah diatas
maka rumusan masalah yang dikaji adalah: Pertama, defenisi etika dan etika
bisnis berdasarkan beberapa pandangan dan tinjauan biblika itu sendiri. Kedua,
menemukan prinsip etika bisnis yang terdapat dalam Perjanjian Baru melalui
pengajaran Yesus Kristus dan pandangan Paulus.
Adapun tujuan
penulisan ini adalah: Pertama, untuk mengetahui tentang pandangan etika bisnis
berdasarkan studi biblika Perjanjian
Baru terhadap etika bisnis berdasarkan Injil Matius 5:3-12. Kedua, melalui tinjauan biblika akan
memberikan pemahaman yang benar tentang etika bisnis Kristiani yang berdasarkan
etika Kerajaan Allah. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian
pustaka (Library Search) yakni pengumpulan data dari Alkitab, buku-buku Kristiani
dan tafsiran dan bahan internet yang berhubungan dengan judul penulisan.
BAB II
KAJIAN TEORITIS ETIKA
BISNIS
Definisi Etika dan Etika Bisnis
Istilah “etika”
berasal dari kata ethos dalam bahasa
Yunani yang artinya pemukiman, perilaku, kebiasaan. Sedangkan ēthos
berarti kesusilaan, perasaan batin, kecenderungan batin. Demikian juga
dengan ēthikos berarti kesusilaan,
perasaan batin, kecenderungan hati yang membuat seseorang melakukan perbuatan.[3] Franz
Magnis-Suseno mendefenisikan etika adalah usaha manusia untuk memakai akal budi
daya pikirnya untuk memecahkan masalah bagaimana ia harus hidup kalau ia mau
menjadi baik. Etika adalah pemikiran sistematis tentang moralitas.[4]
Singkatnya, etika adalah suatu
komitmen untuk melakukan apa yang benar dan menghindari apa yang tidak benar.
Beberapa
pengertian etika bisnis adalah sebagai berikut: [5]
·
Etika bisnis berperan penting dalam memberikan
kepercayaan terhadap kelompok atau individu yang berkepentingan dengan jalannya perusahaan.
·
Etika
bisnis adalah keseluruhan dari aturan-aturan etika, baik yang tertulis maupun
yang tidak tertulis yang mengatur hak-hak dan kewajiban produsen dan konsumen
serta etika yang harus dipraktekkan dalam bisnis.
·
Etika bisnis adalah suatu
kode etik perilaku pengusaha berdasarkan nila-nilai moral
dan norma yang dijadikan tuntunan dalam membuat
keputusan bisnis.
·
Etika
bisnis merupakan studi yang dikhususkan mengenai moral yang benar dan salah.
Studi ini berkonsentrasi pada standar moral sebagaimana diterapkan dalam
kebijakan,vinstitusi, dan perilaku bisnis.
·
Etika
bisnis merupakan studi standar formal dan bagaimana standar itu diterapkan ke
dalam sistem dan organisasi yang digunakan masyarakat modern untuk
memproduksi dan mendistribusikan barang
dan jasa dan diterapkan
kepada orang-orang yang ada di dalam organisasi.
Bisnis itu kotor?
Pernakah anda
mendengar tentang sebuah perusahaan susu raksasa yang tega-teganya melempar
susu busuk ke pasaran di Dunia Ketiga? Atau tentang orang-orang di
negara-negara miskin yang dijadikan kelinci percobaan untuk obat-obatan yang
belum diteliti benar dampak sampingnya?
Atau tentang pabrik-pabrik berpolusi berat yang dipindahkan ke negeri
orang, sebab di negeri sendiri sudah dilarang, mumpun sedang gencarnya negeri
lain itu mengundang investasi modal-modal asing? Atau tentang
perusahaan-perusahaan multi-nasional yang diperbolehkan memasukkan “dana suap”
ke dalam anggaran biaya produksi, asal saja itu tidak dipraktekkan di negeri
sendiri?. Dalam bisnis janganlah bicara soal moral. Sebab pada akhirnya, begitu
kata orang , kita harus takluk pada kenyataan. Di dalam kenyataan, ekonomi dan
bisnis tidak mengenal moral.[6]
Adam Smith, filsut
moral Inggris yang terkenal, yang secara “ilmiah” member penalaran dan
pembenaran terhadap kenyataan-kenyataan yang tersebut di atas. Di dalam bukunya
yang terhitung klasik, ia antara lain menulis begini:[7]
Setiap
orang senangtiasa berupaya untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya
dari apapun yang dimilikinya. Sesungguhnya, keuntungannya sendirilah, dan bukan
keuntungan masyarakat, yang ia pertimbangkan.
Namun
memperhitungkan keuntungan pribadi, dengan sendirinya- atau malah tidak
dapat tidak – akan membuat ia memilih
apa yang paling menguntungkan bagi masyarakat luas …
Dalam
hal ini, seperti dalam hal-hal lain juga, ia dipimpin oleh suatu tangan yang
tidak kelihatan, yang membuat ia mengusahakan suatu tujuan, yang sebenarnya
semula tidak dimaksudkannya.
Apakah
sebenarnya yang ingin dikatakan oleh Adam Smith? Pertama, ia ingin mengatakan bahwa kecenderungan setiap orang untuk
mencari keuntungan pribadi yang sebesar-besarnya, tidak hanya merupakan
kebenaran empiris belaka Lebih dari itu, ia adalah naluri yang menyatu dalam
kodrat manusia. Kedua, sepintas lalu
apa yang dikatakan oleh Adam Smith itu mirip dengan apa yang dikatakan oleh
filsuf Inggris, Thomas Hobbes dalam bukunya yaitu Leviathan. Di sini, Hobbes juga berbicara tentang naluri ketamakan
dan keserakahan yang tertanam pada setiap orang. Menurut Hobbes, scenario
tersebut hanya dapat dihindari apabila manusia menahan diri dan menekan
nalurinya. Manusia harus merelakan kebebasannya dibatasi dan nalurinya dikendalikan
oleh suatu kuasa di luar dirinya. Yang dimaksudkannya disini adalah kekuasaan yang
diberikan kepada masyarakat dan atau Negara. Fungsi masyarakat dan Negara,
begitu Hobbes, adalah itu:membatasi kebebasan dan kecenderungan naluriah
manusia. Adam Smith berpandangan lain. Manusia , menurut pendapatnya, tidak
perlu membatasi diri, toh manusia akan terhindar dari malapetaka, oleh karena
ada “tangan yang tidak kelihatan” (invisible
hand). Apakah yang ia maksudkan di sini adalah kuasa dan campur tangan ilahi,
yang di dalam teologi Kristen disebut “kuasa pemeliharaan Allah” (providential dei)? Mungkin yang
dimaksudkannya hanyalah suatu mekanisme di dalam hukum alam yang biasa. Ketiga, Adam Smith mau mengatakan, bahwa
ekonomi mempunyai moralnya sendiri. Ia merupakan wilayah kehidupan manusia yang
otonom yang berjalan menurut hukum-hukumnya sendiri. Ia tidak tidak diatur oleh
moralitas yang lain, kecuali moralitasnya sendiri. [8]
Apa yang Terjadi pada Etika Bisnis?
Sebuah kasus
atau contoh yang terjadi dalam bisnis terjadi pada tanggal 8 November 2001,
masyarakat dikejutkan ketika salah satu perusahaan paling maju dari dasawarsa
1990-an yang gegap gempita, Enron, mengakui bahwa telah menggunakan
praktik-praktik akuntansi yang telah memperbesar jumlah pendapatan mereka
hingga US$586 juta dalam periode waktu 4 tahun.[9]
Kurang dari satu bulan kemudian, Enron mengajukan Pasal 11 Kebangkrutan (Chapter 11 bankruptcy), dan pada awal
tahun 2002, Departemen Kehakiman melakukan investigasi criminal terhadap praktik-praktik
perusahaan itu. Para penyidik ingin menetapkan seberapa banyak hal yang
diketahuipara eksekutif tentang status
perusahaan, karena mereka memberitahu para karyawan untuk mempertahankan bagian
saham Enron mereka, tetapi menjual lebih dari $1 miliar saham milik mereka
sendiri. Perusahaan itu menjadi bangkrut, simpanan pension para karyawan
semuanya lenyap tak berbekas, dan jutaan investor kehilangan lebih dari US$60
miliar.[10]
Majalah Time
peristiwa itu sebagai “Summer of Mistrust” (Musim Panas Penuh
ketidakpercayaan) dan melaporkan, “Kebanyakan orang Amerika, 72% dalam jajak
pendapat Time/CNN khawatir bahwa yang
mereka lihat bukan sekedar beberapa kasus tersembunyi,tetapi suatu pola
penipuan oleh sejumlah besar perusahaan. Ketika pembuat jajak pendapat George
Burna bertanya pada orang-orang, apakah mereka memiliki “kepercayaan penuh”
bahwa para pemimpin dari berbagai profesi akan “secara konsisten membuat
keputusan yang berkaitan dengan pekerjaan dengan tepat secara moral,” hasilnya
sangat buruk. Jajak pendapat itu menunjukkan bahwa eksekutif perusahaan besar,
pejabat pemerintah yang terpilih, dan produser, sutradara dan penulis Film dan
TV hanya mendapatkan masing-masing kepercayaan 3% yang menduduki rating
terendah. Rating tertinggi pertama dan kedua diduduki oleh guru dan kaum
rohaniawan masing-masing 14% dan 11%. Sungguh membuka mata bahwa bahkan untuk
para pemimpin (guru) yang paling dipercaya, enam dari tujuh orang tidak
bersedia memberikan kepercayaan penuh kepada mereka.[11]
Orang ingin tahu: Mengapa etika berada dalam situasi yang sangat buruk?
Meskipun ada banyak kemungkinan jawaban atas pertanyaan itu, saya yakin saat
orang membuat pilihan-pilihan tidak etis, mereka melakukannya untuk salah satu
dari ketiga alasan ini:[12]
1.
Kita
Melakukan Hal yang Paling Tepat
Dilema
etis bisa diartikan sebagai pilihan yang tidak diinginkan ataupun tidak
menyenangkan sehubungan dengan prisnsip atau praktik moral. Sebagai seorang
manusia, kita kelihatannya punya kecenderungan untuk gagal dalam tes etka
pribadi. Mengapa kita melakukan sesuatu, bahkan kita tahu hal itu salah?
2.
Kita
Melakukan Hal yang harus Kita lakukan untuk Menang
John
C. Maxwell berpendapat bahwa kebanyakan orang sama dengan dirinya: dia benci
kalah! Para pelaku bisnis, khususnya, berkeinginan untuk menang melalui
prestasi dan keberhasilan . Namun, banyak yang berpikir mereka harus memilih
antara bersikap etis dan menang.
3.
Kita
Merasionalkan semua Pilihan Kita dengan Relativisme
Banyak
orang memilih menghadapi situasi kekecewaan dengan memutuskan kekecewaan dengan
memutuskan tindakan yang tepat pada saat itu, menurut situasi mereka.
Itulah
ide yang mendapatkan pengesahan pada awal tahun 1960-an ketika Dr. Joseph
Fletcher menerbitkan sebuah buku berjudul
Situation Ethics.[13]
Dalam buku itu, ia berkata bahwa kasih adalah satu-satunya standar yang bisa
diterapkan untuk menentukan mana yang salah dan benar. Executive leadership
Foundation menyatakan,
Menurut
Fletcher, hal yang benar ditentukan oleh situasi, dan kasih bisa membenarkan
segalanya – berbohong, menipu, mencuri …bahkan membunuh. Filosofi ini menyebar
dengan cepat di seluruh dunia teologi dan
pendidikan… Sejak tahun 1960-an, etika situasional telah menjadi norma perilaku
sosial. Setelah menyebar dengan cepat melalui dunia pendidikan, agama dan
pemerintah, hal itu telah memasuki bidang yang baru-dunian bisnis. Hasilnya
adalah situasi etis kita di masa kini.[14]
Etika Bisnis Kristiani Selayang Pandang
Pertama-pertama mesti
diakui, bahwa untuk kurun waktu yang amat lama, kekristenan tidaklah bersikap
terlampau ramah terhadap dunia dagang dan bisnis, dan oleh karena itu terhadap
orang-orang yang berkecimpung di dalamnya. Masalahnya, orang-orang Kristen pada
zaman Perjanjian Baru memang sama sekali tidak menaruh kepeduliaan yang serius terhadap
baik dunia bisnis maupun dunia politik. Mereka menghayati diri mereka terutama
sebagai orang-orang dari aeon dan era
baru. Mereka memahami diri mereka sebagai “ciptaan baru” dari “dunia baru” yang
sedang dan akan didatangkan oleh Allah sendiri. Sekarang memang belum datang,
tetapi zaman baru itu pasti dan akan segera datang.[15]
Pada awal
sejarah gereja, yang diseut zaman patristik, sikap yang sama tetap
dipertahankan, bahkan kadang-kadang dalam bentuk dalam bentuk yang jauh lebih
ekstrem. Pada umumnya, uang dan materi ditolak, hak milik pribadi dianggap
dosa, dan hidup miskin dianjurkan. Hidup yang ideal adalah hidup biara. Kita
dapat menduga, etika bisnis macam apa yang dapat dilahirkan dari sikap seperti
itu (bdg. Igino Giordani, The Social
Message of the early Church Fathers). Baru pada masa Abad Pertengahan,
keadaan berubah agak fundamental. Situasi pada masa itu dapat dkatakan relatif
stabil, atau lebih tepat “statis”. Inilah yang memungkinkan serta mendorong
orang untuk menata kehidupan bermasyarakat secara lebih rinci dan rapi. Etika
Kristen pada masa itu mempunyai bentuk kasuistri yang ingin mengatur segala
sesuatu sampai ke hal yang sekecil-kecilnya.[16]
Di pihak lain,
pandangan gereja terhadap bisnis dapat berbeda-beda. Sejarah mencatat dunia
Yunani tidak mempunyai konsep tentang “panggilan” (vocation) dan menganggap
bekerja adalah sebagai kutukan. Pola pikir ini sangat mempengaruhi pandangan
gereja mula-mula sehingga sebagian besar bapa-bapa gereja mula-mula (kecuali
Clement dari Alexandria) menerapkan pendekatan “atas dan bawah” dalam
kehidupan. Berada dalam urutan tertinggi adalah rohaniawan yang tidak melakukan
pekerjaan biasa di dunia. Secara universal, bidang bisnis biasanya menempati
urutan kedua atau bahkan ketiga. Pada abad ke-15, hanya para rohaniawan yang
dianggap menerima panggilan sedangkan orang percaya lainnya dianggap tidak
mempunyai panggilan. Pandangan ini mulai berubah ketika Martin Luther dan
diikuti John Calvin dan kaum Puritan mengungkapkan bahwa “kita tidak memilih,
kita dipanggil, dan kita semua dipanggil”.[17]
Pandangan para reformator benar-benar menjadi dasar bagi bisnis yang dilakukan
oleh orang percaya dan membongkar pandangan umum yang selama ini salah kaprah
karena “panggilan telah disekulerkan di dunia dan disakralkan di gereja”. Pada
abad ke-18 dan 19, pemikiran yang paling banyak diterima umum adalah: bahwa
segala sesuatu akan beres, apabila masing-masing dibiarkan bebas
sepenuh-penuhnya sesuai dengan “kodrat”nya, tanpa campur tangan manusia. Jadi
apabila “kodrat” bisnis adalah mencari keuntungan yang sebanyak-banyaknya,
sebaiknya itu tidak perlu dicela atau dicegah.[18]
Apabila kita telusuri tokoh-tokoh etika Kristen sejak zaman
Yunani sampai abad ke 19, maka nampak sekali mereka berada dalam dua mainstream
(aliran) besar yakni yang disebut deontologis dan teleologis. Etika deontologis
menekankan bahwa kualitas etis suatu tindakan bukan tergantung pada akibat
tindakan itu, tetapi apakah tindakan itu betul atau salah dalam arti moral
religi (Kristen) tanpa melihat pada akibatnya, misal bohong itu salah,
entah
akibatnya baik atau bururk. Sebaliknya, menurut etika
teleologis tindakan itu sendiri netral; tindakan menjadi betul dalam arti moral
apabila akibatnya baik dan atau salah apabila akibatnya buruk [19]
Mulanya Gereja Roma Katolik berpandangan bahwa miskin secara
sukarela merupakan pahala hidup. Itulah sebabnya muncul sikap tentang hidup
kerahiban. Hak milik perorangan dihubungkan dengan hukum kodrat. Tentang upah,
dihubungkan dengan kodrat sehingga upah harus adil. Kepemilikan sendiri
merupakan barang pinjaman. Itulah sebabnya kepemilikan harus dipelihara dengan
baik dan dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan Sang Pemberi harta milik.[20]
Dalam pengertian Gereja Katolik, iman kristiani tidak memuat ketentuan apapun
tentang bagaimana harus menjalankan bisnis, apa yang boleh dan tidak boleh.
Jadi, pada hakekatnya tidak ada norma-norma khas Katolik (Kristen) bagi etika
bisnis. Namun demikian, etika bisnis dari perspektif Katolik dapat ditinjau
dari iman seoranga pelaku bisnis yang Katolik dalam menjalankan usahanya. Ini
berarti ajaran sosial dan etika hidup kristiani yang mengacu pada contoh hidup
& ajaran Yesus Kristus menjadi landasan seorang Katolik dalam menjalankan
usaha bisnisnya.[21]
Gereja Katolik sejak seratus tahun yang lalu menyadari
tanggung jawabnya terhadap keadilan sosial. Sebagai dampak terjadinya revolusi
industri dimana ideologi kapitalisme berkembang pesat, memaksa Gereja Katolik
mengadakan refleksi teologis yang baru. Refleksi ini melahirkan ajaran sosial
Gereja Katolik (dari pimpinan Gereja; Paus dan Konsili Vatikan) yang menekankan
masalah ketidakadilan sebagai ekses penerapan sistem kapitalisme tersebut.
Ajaran sosial Gereja tersebut diatas bersifat normatif seperti tentang upah yang adil, hak membentuk serikat buruh, hak memperjuangkan hak-hak buruh, penolakan terhadap liberalisme ekonomis dengan penegasan negara wajib campur tangan demi keadilan sosial serta beberapa kepentingan lainnya yang mengarah pada tatanan sosial yang adil. Pandangan diatas diterjemahkan setidaknya kedalam 3 prinsip dasar penataan masyarakat yang relevan dengan martabat manusia yaitu (1) kesejahteraan umum (2) keadilan sosial (3) solidaritas.[22]
Ajaran sosial Gereja tersebut diatas bersifat normatif seperti tentang upah yang adil, hak membentuk serikat buruh, hak memperjuangkan hak-hak buruh, penolakan terhadap liberalisme ekonomis dengan penegasan negara wajib campur tangan demi keadilan sosial serta beberapa kepentingan lainnya yang mengarah pada tatanan sosial yang adil. Pandangan diatas diterjemahkan setidaknya kedalam 3 prinsip dasar penataan masyarakat yang relevan dengan martabat manusia yaitu (1) kesejahteraan umum (2) keadilan sosial (3) solidaritas.[22]
Setidaknya terdapat 5 pokok etika bisnis yang diharapkan
dijalankan oleh pelaku bisnis beragama Katolik yaitu: (1) Jujur; (2)
Bertanggung jawab dengan perhatian khusus pada hak dan kemajuan para karyawan
dan buruhnya; (3) Sadar akan kewajibannya dalam mewujudkan kesejahteraan umum;
(4) Adil; (5) Memiliki komitmen tinggi dan terikat oleh tuntutan untuk ikut
merealisasikan keadilan sosial dengan perhatian khusus terhadap solidaritas
nyata bagi mereka yang miskin, lemah dalama masyarakat.[23]
Dari pihak Protestan dimulai dari pandangan
para reformator. Martin Luther mengkritik cita-cita para rahib untuk hidup
miskin secara sukarela karena mereka masih membutuhkan barang-barang duniawi.
Dalam hal harta milik, jika dihubungkan dengan perdagangan, harta milik harus
dibatas. Demikian cara hidup yang mengemis harus diberantas. Oleh sebab itu
harus dibuka pasar atau kesempatan kerja. Johanes Calvin memandang bahwa harta
milik merupakan barang pinjaman. Segala macam kemewahan dan kelimpahan dapat
saja membahayakan orang. Itu sebabnya harus ada penghematan. [24]
Menurut Ulrich
Zwingli menghubungkan harta milik dengan penatalayanan (Inggris: stewardship). Secara teologis stewards dalam bahasa Inggris berarti
juru kunci. Hal itu berarti secara individual, pemilik harus mengelola dengan
betul atas harta miliknya dan harus dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan.
Harta milik itu sendiri merupakan karunia sehingga harus dinikmati sebagai
penghiburan. Dari beberapa pandangan tersebut di atas dapat direflesikan a)
Tuhan adalah satu-satunya Pemilik Agung yang mutlak; b) barang-barang merupakan
pinjaman yang diberikan Tuhan kepada manusia; c) kita harus bertanggungjawab
atas penggunaan harta milik tersebut agar sesuai dengan kehendak Tuhan Sang
Pemberi Agung; d) harta milik mewajibkan seseorang untuk bekerja karena kerja
menimbulkan kepemilikan; e) negara wajib melindungi hak milik; f) gereja
dipanggil untuk menyatakan bahwa Tuhan yang telah menyatakan diri di dalam
Tuhan Yesus Kristus adalah Tuhan atas barang dan uang, adalah milik Tuhan
sepenuhnya.[25]
Bisnis dan Tanggung Jawab Sosial
Yang dimaksudkan
dengan tanggung jawab sosial adalah kesadaran di pihak perusahaan untuk di
dalam proses pengambilan keputusannya selalu secara sadar dinilai serta
diperhitungkan dampak dari keputusan yang akan diambil itu bagi masyarakat
luas, dengan tujuan agar disamping keputusan tersebut akan menghasilkan
keuntungan ekonomis bagi perusahaan, ia juga mendatangkan manfaat yang
sebesar-besarnya bagi masyarakat.[26]
Saya mendefenisikan tanggung jawab sosial itu adalah suatu pengakuan dari
perusahaan bahwa keputusan bisnis dapat mempengaruhi masyarakat (komunitas dan
lingkungannya) dan secara luas meliputi
tanggung jawab perusahaan terhadap pelanggan, karyawan dan Kreditur.
Beberapa argumentasi
yang mendukung tanggung jawab sosial itu, sekalipun hukum misalnyatidak mengharuskannya:
a) kepentingan jangka panjang. Bila
perusahaan bisnis peka terhadap kebutuhan masyarakat, dan berupaya untuk
memenuhinya, dalam jangka panjang ia akan menghasilkan sebuah masyarakat yang
lebih menguntungkan bagi usaha-usaha bisnis; b) citra
sosial. Perusahaan dengan tanggung jawab sosial yang tinggi juga akan
mempunyai citra yang tinggi dipandang; c) kelangsungan
hidup. Sebuah perusahaan yang mempunyai citra yang baik di mata masyarakat
akan dihargai oleh masyarakat. Penghargaan ini amat besar pengaruhnya bagi
kelangsungan hidup perusahaan; d) menghindari
regulasi. Apabila telah memenuhi tanggung jawab sosialnya, maka pemerintah
tidak akan perlu memaksakan peraturan apa-apa mengenai ini. Itu berarti
perusahaan-perusahaan bisnis akan dapat mempertahankan kebebasan dan otonomi di
dalam mengambil keputusan.[27] Kontra tanggung jawab sosial itu adalah: a) maksimalisasi laba. Tujuan satu-satunya
yang sah bagi bisnis adalah maksimalisasi laba. Sering bertolak belakang dengan
tanggung jawab sosial karena mengurangi laba perusahaan; b) biaya. Beban biaya bagi pemenuhan
tanggung jawab sosial yang tidak dapat diperoleh kembali secara ekonomi berarti
menciutkan produktivitas perusahaan, yang dalam jangka panjang justru akan
merugikan masyarakat; c) keterampilan.Penanggulangan masalah-masalah sosial membutuhkan
keterampilan sosial tertentu. Orang-orang bisnis terkadang tidak mempunyai ini;
d) masalah-masalah sosial tetap aka nada; e) merugikan daya saing[28].
Dalam perdagangan internasional, perusahaan-perusahaan yang dengan konsekuen
melaksanakan tanggung jawab sosialnya dalam jangka panjang kalah dalam
persaingan.
Pengambilan Keputusan Etis Kristiani
Untuk
mengambil keputusan etis dalam bisnis diperlukan beberapa pedoman. Brownlee
menyajikan lima faktor yang mempengaruhi keputusan etis, yaitu: iman, tabiat,
lingkungan sosial, norma-norma, dan situasi.
Iman
Iman
mempengaruhi perbuatan. Dalam Injil Lukas 18:18-27 dikatakan, bahwa ada orang
kaya bertanya kepada Tuhan Yesus tentang apa yang harus dilakukan agar
memperoleh kehidupan yang kekal. Jawab Tuhan Yesus, orang tersebut harus
menjual semua harta miliknya, kemudia dibagikan kepada semua orang miskin.
Orang kaya tersebut tidak mau melaksanakan
saran-Nya. Demikian juga Petrus
menyangkali Tuhan Yesus (Mat. 26:69-75).
Hal
itu menunjukkan bahwa kesetiaan Petrus sangat lemah jika dibandingkan dengan
keamanan pribadinya. Jadi, kelakuan etis kristiani adalah perbuatan yang
berdasarkan iman kepada Tuhan yang sudah menyatakan diri di dalam Tuhan Yesus
Kristus.[29]
Tabiat
Tabiat
dapat didefenisikan sebagai susunan batin seseorang yang member arah dan
ketertiban kepada keinginan, kesukaan dan perbuatan orang itu. Susunan itu
dibentuk oleh interaksi antara diri orang dengan lingkungan sosialnya dan
Allah. Tabiat tidak sama dengan watak. Watak biasanya dianggap sebagai bentuk
diri kita yang kita dapat secra alamiah waktu kita lahir. Watak itu bersifat
tetap. Tetapi tabiat kita berkembang dan berubah sepanjang hidup kita. Tabiat
mempunyai kontinuitas tetapi tidak mempunyai ketetapan. Sifat-sifat tabiat
bertahan tetapi tabiat tidak pernah dalam keadaan sudah jadi. Tabiat member
keselarasan kepada perbuatan-perbuatan kita tetapi juga dapat dibina dan
diubah.[30]
Ciri-ciri
tabiat Kristen yaitu integritas, pengertian tentang kehendak Allah dan kepekaan
kepada apa yang baik, kebajikan-kebajikan dan serupa dengan Kristus.[31]
Dalam Perjanjian Baru ada beberapa daftar kebajikan-kebajikan orang Kristen.
Dalam ucapan bahagia (Matius 5:1-12), Yesus menyebut tujuh kebajikan:
kerendahan hati (miskin di hadapan Allah), kepekaan kepada kejahatan
(berdukacita karena kejahatan), kelemahlembutan, kelaparan dan kehausan akan
kebenaran, kemurahan hati, kemurnian hati dan kedamaian. Dalam 2 Ptr. 1:5-7
iman, kebaikan, pengetahuan, penguasaan diri, ketekunan, kesalehan, dan kasih
disebut sebagai sifat-sifat kehidupan orang Kristen. Rasul Paulus menulis
beberapa daftar kebajikan Kristen misalnya iman, pengharapan dan kasih (1 Kor.
13:13; 1 Tes. 1:3;5:8); kebenaran,keadilan, kerelaan untuk memberitakan
Injil Kristus, damai
sejahtera
dan iman (Ef. 6:14-16);kemurnian hati, pengetahuan, kesabaran dan kemurahan
hati, kasih, kejujuran dan keadilan (2 Kor. 6:6-7). Kebajikan-kebajikan ini
selalu dipandang sebgai hasil pekerjaan Roh Kudus.[32]
Lingkungan
Sosial
Pengambilan
keputusan etis dipengaruhi oleh lingkungan, yakni keluarga, teman-teman,
pandangan umum (public opinion) dalam
masyarakat, komunikasi massa dan gereja. Pengaruh lingkungan sosial ini terjadi
karena pada hakikatnya manusia adalah makhluk monodualis (sifat individu
sekaligus sosial), makhluk yang hidup jasmani dan rohani. Sistem nilai budaya
juga mempengaruhi pengambilan keputusan etis yang kita ambil dan lakukan itu
mempunyai dimensi sosial.
Dalam masyarakat
terdapat pranata-pranata sosial, budaya dan adat. Adat sendiri berfungsi
sebagai tata kelakuan yang mengatur, mengendalikan dan yang member arah
perbuatan manusia yang menjadi anggota suatu masyarakat itu. Pranata sosial
sebagai pengontrolnya. Kita juga harus ingat bahwa ada unsur dosa dalam
lingkungan sosial dan nilai-nilai dalam masyarakat. Hubungan kita dengan sesama
dapat membentuk kepribadian kita. Namun sebaliknya kita dapat juga mempengaruhi
lingkungan. Dalam masyarakat modern, kita memerlukan tabiat yang teguh, sebab
patokan-patokan etis, norma-norma etis lebih longgar atau bebas. Kebebasan dan
kesempatan lebih besar daripada orang tradisional.[33]
Norma-norma
Norma adalah patokan yang dipakai untuk menilai perbuatan manusia dan menolong manusia untuk mengambil keputusan yang benar. Dua jenis norma yang terpenting adalah prinsipyang memberikan bimbingan secara umum dan peraturan-peraturan yang lebih spesifik. Sumber yang paling berotoritas yaitu norma bagi orang Kristen adalah Alkitab.[34]
Norma adalah patokan yang dipakai untuk menilai perbuatan manusia dan menolong manusia untuk mengambil keputusan yang benar. Dua jenis norma yang terpenting adalah prinsipyang memberikan bimbingan secara umum dan peraturan-peraturan yang lebih spesifik. Sumber yang paling berotoritas yaitu norma bagi orang Kristen adalah Alkitab.[34]
Situasi
Pengertian mengenai situasi penting karena: a) Agar dapat menerapkan norma-norma dan nilai-nilai etis kepada situasi tersebut;b) agar dapat melakukan perbuatan yang tepat dan berguna dalam situasi tersebut; c) agar dapat mengetahui masalah-masalah yang memerlukan perhatian.[35]
Pengertian mengenai situasi penting karena: a) Agar dapat menerapkan norma-norma dan nilai-nilai etis kepada situasi tersebut;b) agar dapat melakukan perbuatan yang tepat dan berguna dalam situasi tersebut; c) agar dapat mengetahui masalah-masalah yang memerlukan perhatian.[35]
Cara-cara
Pengambilan Keputusan Etis
Dalam mengambil keputusan etis, ada
beberapa sumber bantuan yang menolong kita agar pengambilan keputusan etis itu
baik, benar dan tepat. Beberapa sumber bantuan tersebut antara lain:[36]
Doa, Ibadah dan Roh Kudus
Doa
tidak boleh dipandang sebagai permohonan bimbingan untuk mengambil keputusan
etis, tetapi sebagai cara untuk mengakrabkan diri kita dengan Tuhan, sehingga
doa meningkatkan kemampuan kita untuk mengambil keputusan. Doa adalah dialog
kita dengan Tuhan karena sendirilah yang mengarahkan kita. Hubungan yang erat
antara kita dengan Tuhan melalui doa dan ibadah akan memampukan kita untuk
mengetahui kehendak-Nya dalam masalah-masalah yang sulit yang kita hadapi.
Firman Tuhan berkata, “Latihan badani terbatas gunanya, tetapi ibadah itu
berguna dalam segala hal, karena mengandung janji, baik untuk hidup ini maupun
untuk hidup yang akan datang” (I Timotius 4:8). Jadi, latihlah dirimu
beribadah. Yang terutama adalah Roh
Kudus membimbing orang yang betul-betul mencari kehendak Tuhan. Roh Kudus
sebagai “motor penggerak” dalam mengambil keputusan. Roh Kudus dapat mengubah
kehendak kita dan meningkatkan kemampuan kita. Oleh karena itu, hal penting
dalam pengambilan keputusan adalah kita mau membuka hati kita agar Roh Kudus
berkarya dalam hidup kita.
Gereja
dan Persekutuan
Orang Kristen
dalam mengambil keputusan etis ternyata tidak sendirian. Gereja dan persekutuan
orang percaya mendukung berdasarkan kasih setia karena setia karena semua orang
adalah satu tubuh di dalam Kristus. Hal ini berarti warga gereja akan menolong
dalam pengambilan keputusan etis dengan cara memberikan nasihat, penerimaan,
dukungan dan doa.
Alkitab
Alkitab sebagai
Firman Tuhan sangat berpengaruh dan sangat penting bagi orang Kristen untuk
mengambil keputusan etis. Pengaruh Alkitab dalam membimbing untuk menghadapi
masalah-masalah moral, membentuk tabiat dan iman kita serta perangai kita. Alkitab menunujukkan kepada kita bagaimana
seharusnya hidup menurut atau taat kepada Tuhan Allah. Contoh orang Samaria
yang baik hati (Luk. 10:25-37). Contoh itu mengajar kita bahwa kasih itu
mengatasi dan menembusi batas-batas etnis dan ideologis. Contoh itu juga
mengajar kita dalam kita menghadapi suatu kasus. Semakin kita rajin membaca dan
menelaah Alkitab, maka kita akan tahu bagaimana kita mengambil keputusan etis
yang baik dan mempertajam wawasan kita.
BAB III
ANALISA BIBLIKA PERJANJIAN BARU TENTANG ETIKA BISNIS
BERDASARKAN INJIL MATIUS 5:3-12
Secara tertulis sangat sulit menemukan
kata etika dalam ajaran Yesus dan juga ajaran tentang etika bisnis. Namun, kita
dapat menemukan delapan ciri watak dan tabiat Kristiani dalam khotbah di Bukit
khususnya hubungan dengan Allah dan sesama manusia, dan berkat-berkat Allah
yang dicurahkan atas diri mereka yang memperlihatkan ciri-ciri itu. Khotbah itu
melukiskan perilaku yang dituntut Yesus dari setiap pengikut-Nya yang sekaligus warga
Kerjaan Allah.[37] Secara
sederhana etika Kerajaan Allah adalah ajaran tentang watak Kristiani yang harus
dimiliki sebagai warga Kerajaan Allah. Dengan kata lain Khotbah di Bukit adalah
ajaran Yesus tentang etika Kerajaan Allah yang sangat sesuai dengan perilaku
orang Kristen dalam bisnis. Saya akan membahas secara biblika tentang Khotbah
Yesus di Bukit berdasarkan Matius 5:3-12.
Pertama, "Berbahagialah
orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan
Sorga” (ayat 3). Pada waktu Yesus menyebut “orang miskin” bukan saja mempunyai
arti orang yang tidak mempunyai apa-apa di bidang ekonomis, tetapi juga orang
yang miskin di bidang religius.[38] Maka
untuk menjadi “orang mskin di hadapan Allah”, kita harus mengakui kemiskinan
spiritual kita, bahkan kebangkrutan kita di hadapan Allah. Seperti ditulis
Calvin, “Hanya dia yang menganggap dirinya tak berarti sama sekali di mata Tuhan,
lalu semata-mata bergantung pada anugerah Tuhan, hanya orang seperti itulah
yang miskin di hadapan Tuhan!”.[39] Karakter yang harus dimiliki oleh seorang
pelaku bisnis adalah memiliki hubungan atau persekutuan dengan Allah dalam
kehidupan kristianinya untuk mengetahui kehendak Allah dalam hidupnya dan benar
dalam pengambilan keputusan dalam usahanya.
Jadi dikatakan pula oleh Yesus, “Tak
seorang pun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian, ia akan
membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang
seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada
Allah dan kepada Mamon." (Matius
6:24). Hal ini mengingatkan kita untuk tidak mencintai uang dan
menjadikannya berhala melainkan digunakan untuk memuliakan Tuhan.
Kedua, “Berbahagialah
orang yang berdukacita, karena mereka akan dihibur” (ayat 4). Kesedihan yang
dimaksudkan oleh Yesus disini adalah dukacita manusia akan keberdosaannya;
suatu penyesalan karena dirinya terbukti telah mengecewakan allah. Perasaan
takut akan Allah yang timbul dari persaan miskin secara rohani itulah yang
membuatnya berduka cita.[40]
Orang-orang yang berdukacita seperti itu, yang menangisi dosa-dosa dan
kejahatan, akan dihibur dengan hiburan satu-satunya yang dapat melepaskan
mereka dari sengsaranya, yaitu pengampunan Allah yang tidak menuntut imbalan,
yang boleh diterima dengan cuma-cuma. [41]
Ketiga, Berbahagialah
orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi” (ayat 5). Kata sifat
Yunani praus berarti lemah lembut,
rendah hati, baik budi, sopan dan dalamnya terkandung pengertian penguasaan
diri, karena tanpa itu kualitas-kualitas itu mustahil ada.[42] Contoh
nyata adalah Yesus sendiri (Mat. 11:29). Secara menarik Dr. Lloyd Jones
meringkasnya sebagai berikut, “Akar kelemahlembutan ialah pendapat yang jujur
dan ikhlas dari seseorang mengenai dirinya sendiri…. Orang yang benar-benar
lemah lembut ialah orang yang sungguh malu sekaligus terpesona oleh kebaikan,
tanggapan dan perlakuan Allah dan manusia terhadap dia, padahal dia tahu bahwa
dia tidak layak menerimanya. Inilah yang membuat dia lemah lembut, rendah hati,
peka, sabar dalam segala hubungan dengan sesama manusia”. [43]
Keempat, Berbahagialah
orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan” (ayat
6). Orang yang lapar dan haus yang dikenyangkan Allah ialah mereka “ yang lapar
dan haus akan kehendak Allah”. Kelaparan dan kehausan spiritual seperti itulah
yang merupakan ciri khas semua anak Allah, yang ambisi utamanya adalah spiritual
dan bukan materi. Orang Kristen bukan seperti orang yang tidak mengenal Allah,
yang tergila-gila kepada harta kekayaan materi; itikad bulat mereka ialah
“mencari dahulu”, mendahulukan Kerajaan Allah dan kehendak-Nya (Mat. 6:33).[44] Ungkapan “lapar dan haus akan kebenaran”
memiliki beberapa pengertian. Yang terutama berarti rindu akan suatu hubungan
baik dengan Allah, dan itu juga berarti rindu untuk dapat hidup dengan benar
dihadapan-Nya.
Kelima,“Berbahagialah
orang yang murah hatinya, karena mereka akan beroleh kemurahan” (ayat 7).
Kemurahan hati bermuara dalam dua sikap yang saling berbeda yaitu dalam
mengasihi dan mengampuni. Kita mengasihi orang yang kita lihat kesakitan,
menderita sengsara atau berdukacita tapi kita juga mengampuni orang-orang yang
berbuat salah kepada kita yang menjahati kita.[45]Contoh
nyata adalah perumpamaan orang Samaria (Luk. 10:30-37). Dalam perannya sebagai
contoh dalam hal kemurahan hati, ada dua hal yang patut dicatat: 1) kemurahan hati yang menyembuhkan akibat
dosa dalam hidup sesama manusia; dan 2) kemurahan hati tidak tersembunyi di
belakang larangan-larangan Alkitab untuk melindungi diri sendiri dari pelayanan
yang menuntut pengorbanan.[46]
Keenam, “Berbahagialah
orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah” (ayat 8). Makna
“orang yang suci hatinya” alah orang yang suci secara batiniah, yaitu kualitas
orang yang telah disucikan hatinya dari kotoran-kotoran moral, selaku kebalikan
dari kesucian secara ritual. Itulah
sebabnya Raja Daud sadar, bahwa Tuhan berkenan akan “kebenaran dalam batin”,
yang berdoa “jadikanlah hatiku tahir, ya Allah” (Mazmur 51:8,12;bdg. Mazmur
73:1;Kis. 15:9; I Timotius 1:5). Jadi orang yang suci hatinya itu adalah orang
yang “amat bersungguh-sungguh”. Seluruh hidup mereka, baik yang pribadi maupun
yang terbuka bagi orang lain, adalah transparan di hadapan Allah dan sesama
manusia. Hati mereka termasuk pikiran dan motivasi mereka adalah murni, tidak tercampur dengan
sesuatu yang cemar jelek, atau
tersembunyi. Kemunafikan dan tipu daya tabu bagi mereka , tidak ada akal bulus
pada mereka.[47]
Ketujuh, “Berbahagialah
orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah” (ayat 9).
Menurut Ucapan Bahagia ini, orang Kristen dimaksudkan menjadi pembawa damai,
bak dalam masyarakat maupun dalam gereja. Secara jelas pasti dalam seluruh
ajaran Yesus dan para rasul-Nya, bahwa kita sendiri sekali-kali tidak boleh
mencari gara-gara atau biang keladi suatu konflik. Sebaliknya, kita terpanggil
untuk hidup dalam damai (I Kor. 7:15), kita harus giat mencari “kedamaian” (I
Ptr. 3:11), kita harus “berusaha hidup damai dengan semua orang” (Ibr. 12:14),
kita harus “hidup dalam perdamaian dengan semua orang” (Rm. 12:18).[48]
Kedelapan, “Berbahagialah
orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya
Kerajaan Sorga. Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya
dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat. Bersukacita dan bergembiralah,
karena upahmu besar di sorga, sebab demikian juga telah dianiaya nabi-nabi yang
sebelum kamu" (ayat 10-12). Mereka yang rindu akan kebenaran akan
menderita bagi kebenaran yang mereka rindukan. Kita tidak usah heran kalau
kebencian kepada orang Kristen meningkat, kita malahan harus heran bila itu
tidak terjadi.
Dalam khotbah di bukit, Tuhan Yesus
menjelaskan bahwa kedatangan-Nya bukan untuk merombak Taurat melainkan
menggenapinya (Mat. 5:17). Ia miskin karena kita (II Korintus 8:9). Dari
penjelasan itu, kita diangkat sebagai ahli
waris Kerajaan Allah (Matius 5:1-12). Sementara itu orang-orang yang lapar
akan dikenyangkan (Lukas 1:52-53). Kekayaan bukan sebagai ukuran untuk mencapai
keselamatan (Matius 19:16-26). Tentang uang, dikatakan bahwa statusnya harus
diturunkan dari “takhtanya” untuk melayani (Yohanes 12:1-12;Kis. 9:36; Lukas 9),
artinya kita tidak bisa menyembah uang atau mencintai uang, tetapi menggunakan
uang untuk pelayanan-Nya dan mewujudkan Kerajaan Allah di bumi.[49]
Kewajiban religius dan etis yang
terpenting dari seorang pengusaha bukanlah memberikan persembahan uang yang
sebanyak-banyaknya, tanpa memperhatikan dari mana dan dengan cara bagaimana
uang itu diperolehnya. Persembahan sebesar apapun sama sekali tidak mengurangi
apalagi menghilangkan tuntutan etis yang paling prinsipal:keadilan, kemurahan
hati dan kesetiaan. “Celakalah kamu, hai
ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab
persepuluhan dari selasih, adas manis dan jintan kamu bayar, tetapi yang
terpenting dalam hukum Taurat kamu abaikan, yaitu: keadilan dan belas kasihan
dan kesetiaan. Yang satu harus dilakukan dan yang lain jangan diabaikan”.[50]
"Segala sesuatu yang kamu kehendaki
supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah
isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi” .[51]
John C. Maxwell menyebutnya sebagai ayat
“Kaidah Emas” atau “Kaidah Kencana” yang berlaku secara universal yang diakui
oleh semua agama lain karena agama-agama lain juga memilikinya, meskipun
sifatnya selalu negatif, artinya menggunakan kata “tidak’ atau “melarang”. Dalam ayat itu, Yesus mengajarkan bahwa tanpa
kasih karunia Allah, kita tentu mustahil mempraktikkan, dan bila kita toh mampu
melakukannya, maka yang bekerja dalam diri kita adalah kasih-Nya. Dan kasih-Nya
inilah salah satu pemberian-Nya “yang baik”, yang melalui Roh Kudus
dkaruniakan-Nya kepada kita sebagai jawaban atas doa kita (Luk. 11:13).[52]
Baru-baru ini, saya mendapat kesempatan
berjumpa dengan Mark Richt, dan saya berkesimpulan bahwa ia seorang yang
berkarakter kuat. Ia mengatakan bahwa hidupnya berubah total saat berhenti
memusatkan perhatian pada dirinya sendiri. Ia menghasilkan keunggulan terhadap
segala sesuatu yang dilakukannya, tetapi pusat perhatiannya adalah untuk
menolong orang. Hanya orang berkarakter yang dapat memberikan dampak kepada orang lain sebagaimana tindakan
Richt. Karakter adalah kunci untuk menjalani suatu kehidupan yang berintegritas
dan unggul secara etis. Dibawah ini adalah keunggulan dari karakter:[53]
·
Karakter lebih
besar daripada bicara.
Banyak orang berbicara tentang melakukan hal yang tepat, tetapi tindakan adalah
ukuran yang sebenarnya dari karakter.
·
Bakat adalah
Anugerah, tetapi karakter adalah pilihan.
Ada beberapa hal yang penting yang bisa dipilih setiap orang. Kita
memilih keyakinan, sikap dan karakter kita.
·
Karakter membawa
kesuksesan terus-menerus pada orang lain. Kepercayaan itu penting ketika bekerja
pada orang lain. Karakter menghasilkan kepercayaan.
·
Orang tidak bisa
melaju melewati keterbatasan karakter mereka. Memiliki karakter merupakan
satu-satunya cara untuk mempertahankan kesuksesan.
BAB IV
KESIMPULAN
Tidak ada yang
namanya etika bisnis, yang ada hanyalah etika. Oran berusaha menggunakan
serangkaian etika untuk kehidupan professional mereka, etika yang lain untuk
kehidupan spiritual mereka, dan etika lain lagi untuk kehidupan keluarga
mereka. Untuk melakukan etika apapun dalam hal ini bisnis harus bersumber dari
kebenaran Firman Tuhan, Alkitab sebagai dasar etika yang dikenal dengan etika
Kerajaan Allah yaitu suatu karakter Kristus yang didasari oleh kasih Allah dalam
hubungan persekutuan yang mendalam dimana manusia mengasihi Tuhan dan mengasihi
sesamanya (Mat. 5:3-12).
Ucapan Bahagia
Yesus itu melukiskan potret seutuhnya dari seorang murid Yesus. Karakter
Kristus yang harus dimiliki seorang pelaku bisnis adalah mengandalkan Tuhan
dalam membangun bisnisnya, mengakui dosa dan kejahatan serta meninggalkannya.
Ini membuat ia lemah lembut dalam semua hubungannya dengan pihak lain, sebab kejujuran
dan keikhlasan dalam berbisnis, ia haus dan lapar akan kebenaran serta rindu
untuk bertumbuh dalam kepenuhan Kristus. Dalam hubungannya dengan sesama, ia memiliki
kemurahan hati kepada mereka yang remuk oleh kejahatan dan dosa. Kesungguhan
hatinya terbaca bagi semua orang dalam segala perilakunya dan ia suka berdamai
dan mengampuni. Namun orang tidak berterima kasih atas usaha-usahanya, malahan
memusuhi, memfitnah, menghinadia karena kebenaran yang dibelanya dalam Kristus. Ia seorang yang
tidak cinta uang tetapi memakai uang untuk memuliakan Tuhan, taat kepada Tuhan
dan taat kepada pemerintah (peraturan pemerintah dan hukum), dan menjalankan
kewajibannya sebagai warga negara yang baik (bayar pajak dan turut
mensejahterakan karyawan serta turut melestarikan lingkungannya) dan tanggung
jawab sosial terhadap sesama.
[1] Eka Darmaputera.
Etika Sederhana untuk Semua: Bisnis,
Ekonomi dan Penatalayanan, cet. ke-6 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009),19.
[2] James Widodo. Etika Bisnis Kristen. http://jameswidodo-heart.blogspot.com/2009/10/etika-bisnis-kristen.html. Diakses 02
Maret 2012.
[3] J. Jerkily,
Etika Kristen Bagian Umum,cet. Ke-3 (Jakarta: BPK, 1964), 7.
[4]
Franz
Magnis-Suseno. Etika Dasar
Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral,cet. Ke-3, (Yogyakarta: Kanisius,
1989), 17.
[5]Etika Dan Bisnis,
diakses pada 02 Maret 2012.Tersedia di www.entrepreneur.gunadarma.ac.id/elearning/attachments/040_etika%20bisnis%20dan%20kewirausahaan.pdf.
[6] Darmaputera, 20.
[7] Ibid., 20; Adam Smith, An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations, Book V, Chapter II.
[8] Ibid., 21-22.
[9] John C.
Maxwell. There’s No such Thing As
“Business Ethics” Kaidah emas untuk para
Profesional, (Jakarta: Libri, 2011), 1.
[10] Ibid., 2.
[11] Ibid., 5-6.
[12] Ibid., 6-10.
[13] Joseph
Fletcher, Situation Ethics:The New
Morality (Philadelphia: Westminster, 1966).
[14] Executive
Leadership Foundation, Inc., Absolute
Ethics: A Proven System of true Propitability (Tucker, Ga., 1987), 22-23.
[15] Darmaputera, 1-2.
[16] Ibid., 2-3.
[17] Paul Stevens, God’s Business: Memaknai Bisnis Secara Kristiani (Jakarta: BPK,
2008), 55-64.
[18] Darmaputera, 5.
[19] Aris Munandar. Etika Bisnis Dalam
Perspektif Katolik.
Diakses pada 02 Maret 2012. Tersedia
di http://uin-malang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=2595:etika-bisnis-dalam-perspektif-katolik&catid=35:artikel-dosen&Itemid=210; bdg.Franz Magnis-Suseno. 13
Tokoh Etika (Yogyakarta: Kanisius,1997).
[20] R.M. Drie S. Brotosudarmo, Etika Kristen untuk Perguruan Tinggi
cet. Ke-4 (Yogyakarta:Penerbit ANDI,2010), 106.
[22] Ibid
[23] Ibid
[24] Brotosudarmo,
106
[25] Ibid.,107.
[26] Darmaputera,
130.
[27] Ibid., 131-132.
[28] Ibid., 133-134.
[29] Brotosudarmo, 78;Brownlee, 70-100.
[30] Malcolm Brownlee. Pengambilan Keputusan etis dan faktor-faktor di dalamnya Cet. ke-15(Jakarta:BPK
Gunung Mulia, 2001) , 113.
[31] Brownlee, 131-140.
[32] Ibid., 138.
[33] Ibid., 145-181.
[34] Brownlee, 182-200.
[35] Ibid., 200-214.
[36] Brotosudarmo, 80-81;Brownlee, Op.Cit, 241-246.
[37] John R.W. Stott. Khotbah di Bukit, Cet. ke-4 (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina
Kasih, 2008),28.
[38] J.L. h.
Abineno. Khotbah di Bukit,
(Jakarta:BPK Gunung Mulia, 1990),14.
[39] Stott, 51-52.
[40] Sinclair B.
Ferguson. Khotbah di Bukit, Cet. ke-4 (Surabaya: Momentum, 2009), 21.
[41] Stott, 55.
[42] Ibid., 56.
[43] Ibid., 57.
[44] Ibid., 58-59.
[45] Ibid., 62.
[46] Ferguson, 35-36.
[47] Stott, 64-66
[48] Ibid., 66-67.
[49] Brotosudarmo, 106;Matius 23:23.
[50] Darmaputera, 62-63.
[51] Injil Matius
7:12. Ayat ini juga terdapat dalam ajaran Kong Hu Cu, Buddha, Hindu dan Islam,
namun menggunakan kalimat yang “negatif”, artinya bersifat larangan.
[52] Stott, 278.
[53] Maxwell,71-72.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar