Mien
A. Rifai
Akademi Ilmu
Pengetahuan Indonesia (AIPI), Jakarta
(“Tang Lebun”,
RT 03/RW 15, Kotabatu, Ciomas Bogor 16610)
1
Pada tahun 2014 ini, dari sekitar 7000 berkala ilmiah
terbitan perguruan tinggi dan lembaga penelitian Indonesia yang diberi ISSN
oleh PDII, tidak sampai 5% yang berhasil lolos dan mendapat pengakuan
berdasarkan Permendiknas dan Perdirjendikti serta Perkeplipi tahun 2011 tentang
akreditasi. Kalau dibaca pertimbangan peraturan-peraturan akreditasi tadi jelas
bahwa tujuan pemberlakuannya sebenarnya juga hanyalah untuk menjaga mutu
terbitan karya tulis ilmiah bangsa Indonesia untuk keperluan penguasaan,
pengembangan, pemajuan, dan pemanfaatan pengetahuan, ilmu, dan teknologi. Akan
tetapi sedikitnya jumlah berkala yang dapat dianggap baik ini sangat
menyedihkan, sebab menunjukkan rendahnya mutu produk kecendekiaan bangsa
Indonesia jika dilakukan penilaian dengan menggunakan norma yang berlaku di
forum ilmiah internasional. Sebagai akibat rendahnya jumlah berkala ilmiah
bermutu yang masuk hitungan ini, dapatlah dimengerti jika jumlah total
publikasi tahunan bangsa Indonesia berada jauh di belakang Malaysia dan
Singapura serta Thailand.
Anehnya, keluhan yang selalu dilontarkan pengelolan
berbagai berkala ilmiah yang lolos akreditasi adalah kekurangan naskah bermutu
yang layak terbit. Keluhan ini terjadi di tengah kemelimpahan skripsi sarjana,
teisi magister, disertasi doktor dan laporan penelitian lembaga litbang. Pengalaman
bertindak selaku mitra bebestari menelaah ribuan naskah yang diajukan
penulisnya pada berbagai berkala memang mengungkapkan kelemahan mendasar
karya-karya tadi. Umumnya sangat terasa bahwa penulisnya tidak pernah
mengevaluasi diri kelayakan makna substansi bahannya sebelum ditulis, sehingga
juga tidak disimak terdapatnya kebaruan temuan berkeorisinalan tinggi yang
jelas delta sumbangannya bagi kemajuan ilmu. Keadaan makin diperburuk karena
dalam menyiapkan naskah untuk diterbitkan dalam berkala ilmiah, penulisannya
sering bergaya skripsi sehingga tidak mengikuti kaidah kencana penyusunan karya
ilmiah yang harus A(ccurate), B(rief),
and C(lear). Pendahuluan naskahnya melantur mirip bunyi GBHN, berpanjang
lebar meninjau pustaka yang tidak jarang berupa buku teks yang sudah
kadaluwarsa [serta sering tidak dilihatnya sendiri sehingga bermodel ‘. . .
menurut si Badu (1968) dalam si Dadap (1997) dalam si Fulan (2009) . . .’]
sehingga tak ada maknanya untuk memajukan ilmu. Sekalipun memiliki bab diskusi
tetapi banyak artikel yang termuat dalam berkala ilmiah tadi tidak melakukan
pembahasan yang membandingkan temuannya dengan pendapat mutakhir peneliti lain.
Lagipula simpulannya lebih sering berupa
perincian simpulan percobaan dan bukan simpulan penelitiannya.
Angin segar muncul ketika Dirjen Dikti mengeluarkan
sebuah kebijakan pada awal tahun 2012, yang menggariskan kewajiban
diterbitkannya skripsi mahasiswa S-1 (walaupun pada tahap awal baru berupa
pengunggahannya secara on-line dalam website kampus masing-masing), tesis S-2
(dalam jurnal nasional terakrediasi), dan disertasi S-3 (dalam jurnal
bereputasi ‘internasional’) sebelum penyusunnya dapat menempuh ujian akhirnya.
Pemberlakuan ketentuan ini diyakini akan menjauhkan kegiatan sia-sia melakukan
penelitian yang menghasilkan laporan tebal-tebal tetapi tak pernah dipublikasikan
yang selama ini dipraktikkan. Kewajiban ini pasti akan menambah besar ketersediaan bank naskah untuk
diterbitkan, dan meningkatkan jumlah terbitan hasil penelitian berbobot (dan
dengan demikian juga peningkatan kualitas SDM yang diluluskan untuk menyandang
gelar akademik bermutu). Memang sudah waktunya bagi perguruan tinggi untuk
mengikuti jejak IPB yang mengharuskan mahasiswanya menulis skripsi sarjana yang
tidak lebih dari 5000 kata, tesis magister sekitar 5000 – 8000 kata, dan
disertasi doktornya kira-kira 10000 – 20000 kata saja, semuanya berupa naskah
artikel (-artikel) yang disiapkan sesuai dengan petunjuk pada penulis berkala
ilmiah yang ditujunya. Alangkah baiknya jika di lembaga penelitian dan
pengembangan juga digariskan kebijakan serupa, sehingga para peneliti tidak
lagi berkewajiban membuat laporan penelitian tebal-tebal yang tidak jelas
kegunaannya karena tidak sampai ke masyarakat luas. Sebagai gantinya mereka harus
menerbitkan artikel ilmiah bermutu dalam berkala mapan untuk membukukan
keberhasilan pelaksanaan tugasnya, syukur-syukur kalau persoalan yang
dipecahkan oleh kegiatan penelitiannya secara nyata terkait dengan masalah riil
yang diperlukan untuk menaikkan produktivitas masyarakat lingkungannya.
2
Pada pihak lain, pelaksanaan kebijakan Dirjen Dikti
tersebut memang akan terkendala oleh sedikitnya berkala terakreditasi, sehingga
dalam waktu dekat pasti bakal mengganggu penyelesaian studi mahasiswa magister
dan doktor oleh kelangkaan/ketiadaan berkala terkait yang akan memuat hasil
tesisnya sebelum mereka bisa maju ujian. Berdasarkan tilikan pembidangan
konsorsiumnya, sedikitnya jumlah berkala ilmiah yang berhasil terakreditasi
pada tahun 2013 dalam disiplin seni (hanya 3 berkala), psikologi (3 berkala),
sastra/filsafat (4 berkala), dan pendidikan (8 berkala)––sehingga masing-masing
kurang dari 10 berkala––agaknya memang tidak sebanding dengan jumlah perguruan
tinggi yang memiliki fakultas dan jurusan serta program studi terkait dalam
bidang tersebut. Untuk itu perlu adanya penelaahan untuk segera
mengidentifikasi bidang keilmuan yang memiliki program studi pascasarjana
tetapi belum memunyai berkala terakreditasi untuk menampung hasil karya
mahasiswanya, buat ditindaklanjuti dengan usaha kegiatan pembinaan khusus serta
kebijakan lain yang akan memungkinkan bidang-bidang itu dapat mengatasi
masalahnya.
Jika misalnya bidang seni dipakai sebagai kasus pembinaan khusus, tercatat adanya 10
perguruan tinggi negeri berupa ISI, STSI, dan nantinya ISBI di Jakarta,
Bandung, Yogyakarta, Surakarta, Surabaya, Denpasar, Padang Panjang, dan
sebentar lagi di Aceh, Makassar, dan Papua. Dengan demikian maka berkala Panggung (Bandung) dan Mudra (Denpasar) serta Resital (Yogyakarta) tidak akan cukup
buat menampung artikel-artikel seni rupa, seni pertunjukan, karawitan, seni
tari dan koreografi, teater rakyat, desain, seni kriya, media rekam (seperti
sinema, televisi, sinetron), seni musik, pendidikan seni, dan lain-lainnya lagi
tanpa membuat kedua berkala tersbut menjadi bersifat bunga rampai. Seandainya
setiap perguruan tinggi seni dalam setahun menghasilkan 10 artikel hasil
penelitian dosen dan mahasiswa yang sudah layak terbit, nantinya akan
diperlukan 10 berkala terbit 2 kali setahun untuk menampung 100 artikel
yang bakal ditulis. Ini belum termasuk artikel
yang bakal disumbangkan oleh dosen dan mahasiswa perguruan tinggi di luar seni
yang juga memiliki program studi dan penelitian kesenian yang terkait, seperti
UI, UGM, UNS, dan bahkan ITB.
Dalam kaitan ini, untuk disiplin keilmuan yang belum
memiliki berkala mapan (seperti misalnya statistika, arsitektur, olah raga, komunikasi,
pendidikan agama Islam, dan pendidikan bidang-bidang MIPA) perlulah dilakukan
suatu survai melalui kuesioner dan sensus untuk a) mendata keberadaan berkala
ilmiah terkait beserta keadaan pengelolaannya sekarang, b) menginventarisasi
pendidikan pascasarjana yang ada terutama macam bidang dan jumlah mahasiswanya,
c) mengetahui besar jumlah dosen yang aktif meneliti dan output karya penelitiannya per tahun, d) mengestimasi kekuatan
konsentrasi dosen/kepakaran per bidang di suatu lembaga untuk melihat
kesiapannya menerima penugasan mengelola berkala yang dipilih sebagai fokus
nasional dalam bidangnya, e) dan dengan demikian memetakan semacam
‘pengaplingan’ dan pembagian tugas merata, sehingga secara nasional setiap
perguruan tinggi atau lembaga hanya kebagian untuk mengelola satu jurnal milik
bersama untuk kepentingan perguruan tinggi serupa yang lain.
Dalam jangka pendek, untuk meningkatkan daya tampung
penerbitan naskah artikel dalam berkala yang berjumlah sedikit itu, sebagai
suatu kebijakan nasional sangatlah dianjurkan agar––tentunya dengan tidak
menurunkan mutu substansi ilmiahnya––berkala yang telah terakreditasi segera
berupaya menambah frekuensi penerbitannya, misalnya dari hanya 2 kali lalu
menjadi 4 kali setahun atau bahkan lebih (ada berkala ilmiah kedokteran di
Jakarta yang berhasil terbit dengan baik 12 kali per tahun!). Dengan demikian
jumlah artikel karya mahasiswa dan dosen yang dapat diterbitkan akan bisa
dinaikkan dua kali lipat, sehingga masa tunggu penerbitan artikel yang sudah
lolos saringan oleh mitra bebestarinya dapat diperpendek dan penundaan ujian
mahasiswa magister dan doktor juga bisa dikurangi.
3
Memang banyak masalah pengelolaan berkala di lapangan
yang harus segera diatasi. Misalnya, jarang disadari oleh penyunting berkala
bahwa banyak butir dalam penilaian akreditasi berkala ilmiah dilakukan
berdasarkan ‘pedoman penulisan’ yang dikeluarkan oleh (sidang penyunting)
berkala bersangkutan, yang memang dipersyaratkan secara khusus untuk dibuat
demi kepentingan para penyumbang artikelnya. Dengan demikian ketaatasasan
penyunting dalam menggunakan dan menerapkannya akan sangat berdampak pada
penilaian kerapian kinerja penyuntingan berkalanya. Karena penilaian akreditasi
berkala dilakukan secara in toto dan
tidak terfokus pada butir-butir tertentu, jika nilai dalam butir substansi
tinggi maka kekurangan kerapian dan kecermatan penyuntingan ini menjadi
terkompensasi, sehingga berkala dapat lolos dan terakreditasi walaupun
penampilannya tidak prima, namun angka akreditasinya pasti tidak akan tinggi.
Karena tujuan semula akreditasi adalah untuk meningkatkan penguasaan,
pengembangan, pemajuan, dan pemanfaatan pengetahuan, ilmu, dan teknologi, ke
depan perlu diberlakukan persyaratan nilai angka minimum untuk substansi.
Dengan demikian berkala yang tampil meyakinkan karena penyunting pelaksananya
berfungsi penuh dan percetakannya prima tidak akan dapat menolong
terakreditasikannya berkala yang hanya memuat artikel bermutu mediocre.
Perimbangan ini didasarkan pada
kenyataan bahwa di lapangan memang terdapat segelintir penyunting yang sangat
mumpuni dan dengan penuh dedikasi mengelola berkalanya secara professional.
Jika dukungan lingkungannya kondusif, perkembangan penguasaan bidangnya oleh
ilmuwan Indonesia secara nasional baik, dan para mitra bebestarinya bekerja
sesuai dengan norma kecendekiaan yang tinggi, maka dihasilkanlah berkala
bermutu tinggi yang layak dijadikan percontohan. Akan tetapi penyunting
berkualifikasi tinggi seperti itu merupakan komoditas
sangat langka sehingga mereka sering bekerja sendirian, benar-benar lone wolf yang sering merupakan single fighter, sehingga kalau karena
satu dan lain hal mereka terpaksa pergi maka keprimaan berkalanya menjadi
berantakan. Jelas bahwa pencarian dan regenerasi penyunting terandalkan seperti
itu perlu mendapat perhatian dari semua pihak yang berkepentingan.
Pada pihak lain teramati juga adanya
kecondongan bahwa karena tidak diperhatikan oleh lingkungannya, dan bekerjanya
tidak didukung oleh mitra bebestari mumpuni, penyunting handal seperti itu
menghadapi berbagai kendala untuk bisa berkinerja secara maksimum. Sebagai
akibatnya, berkalanya hanya sepintas tampak rapi dan bagus meyakinkan dari
luar, tetapi setelah ditiliki dengan saksama akan terungkap kerendahan mutu isi
dan substansi artikel yang dimuatnya, sehingga berkalanya tidak berhasil lolos
untuk diakreditasi. Dimintanya bantuan peneliti yang amat senior sebagai mitra
bebestari sering merupakan ‘kecelakaan’ sehingga menyebabkan terjadinya
kedodoran penelaahan naskah yang akan dimuat berkalanya. Karena umumnya para
senior tersebut sudah lama tidak melakukan kegiatan penelitian sendiri, maka
mereka tidak lagi mengikuti perkembangan mutakhir disiplin ilmunya untuk bisa
melakukan penilaian sewajarnya. Oleh karena itu diloloskanlah artikel-artikel
yang menyajikan data mentah tanpa ada maknanya, menggunakan ilustrasi berwarna
dan data pendukung yang tidak relevan, berisi substansi dengan geografi masalah
yang tidak sesuai dengan cakupan wawasan serta nama berkala, mengacu pada
pustaka sekunder secara berlebihan . . . dan banyak lagi kelemahan serupa
lainnya. Secara gamblang ketentuan yang ada dalam pedoman akreditasi memang
sudah menyatakan bahwa ilmuwan yang layak menjadi mitra bebestari untuk
menelaah dan menilai kelayakan naskah hanyalah mereka yang dalam tiga tahun
terakhir punya terbitan ilmiah berbobot atas namanya sendiri.
4
Dari lingkungan kurang sehat seperti itu
malahan tercium terjadinya perkembangan gejala lain yang merisaukan, yaitu
munculnya semacam berkala predator made
in Indonesia yang sekarang sedang menghantui dunia perberkalaan dunia
ilmiah internasional. Rupanya keperluan lingkungan akan adanya tempat untuk
menerbitkan artikel ilmiah dalam berkala bereputasi ‘internasional’ dengan
simbol-simbol mapan seperti mitra bebestari internasional (baca: orang asing),
judul berkala yang bernuansa keilmiahan global, format dan gaya penyajian baku,
dan ketepatan waktu terbit . . . telah disalahgunakan oleh mereka yang tidak
bertaanggung jawab untuk mencari keuntungan.
Tidak perlu ditekankan bahwa perkembangan bergejala tidak sehat ini
perlu diwaspadai bersama oleh semua pihak yang berkepentingan.
Sehubungan dengan banyaknya ilmuwan
Indonesia yang secara tidak sadar telah menjadi korban berkala predator luar
negeri yang tidak karuan mutunya, menyenangkan untuk mencatat bahwa sudah sejak
tahun 2009 tim yang dipercayai DIKTI untuk mengevaluasi kelayakan sebuah
artikel karya peneliti yang terbit di berkala ilmiah ‘internasional’ untuk
menerima insentif besar telah menolak meloloskan pemberiannya pada
tulisan-tulisan yang dimuat dalam berkala meragukan yang sekarang ternyata
termasuk dalam daftar hitam berkala predator tersebut. Ketidaklolosan ini
terjadi karena tim DIKTI tadi mengutamakan pengevaluasian mutu isi substansi
ilmiah artikelnya dan bukan penilaian
berkala tempatnya terbit. Dalam kaitan ini, ternyata pula bahwa banyak kriteria
yang sudah dikembangkan tim Dikti sejak tahun 1996 dalam mengakreditasi berkala
ilmiah Indonesia ternyata tidak berbeda jauh dengan butir-butir yang sudah dan
sedang dipakai oleh lembaga pemeringkat seperti Scopus dan Thompson-Reuter
dalam merangking berkala ilmiah yang ada di dunia, seperti terungkap dari
pertemuan dengan mereka di DIKTI beberapa bulan yang lalu. Sebagai akibatnya
tim Dikti dapat langsung mengenali adanya penerbit-penerbit berlabel
‘internasional’ yang menerbitkan puluhan berkala ilmiah yang sangat
mencurigakan mutunya.
Untuk keperluan pemapanan mutu berkala
ilmiah Indonesia ke depan, maka penggunaan istilah ‘bertaraf internasional’,
‘bereputasi internasional’, dan ‘bermutu internasional’ mungkin harus dihindari
sebagai baku mutu penilaian dan pengukuran kehebatan makna substansi ilmiah
suatu karya. Persoalan pencapaian taraf internasional diduga tidak akan serta
merta menaikkan mutu dengan sendirinya karena ‘mengatakan bermutu
internasional’, padahal yang lebih diperlukan adalah kegiatan untuk ‘membuatnya
menjadi bermutu tinggi’ (do not say it,
but make it!). Apalagi kalau sampai dibuat tolok pengukuran secara
kuantitaif yang bersifat semu, akan membuat orang berlomba-loma mencapai
kesemuan tersebut, lalu meminta pengakuan keinternasionalannya. (Dalam kaitan
ini dapat ditambahkan keadaan yang bersifat agak serupa. Sudah menjadi rahasia
umum bahwa orang menggunakan segala daya upaya untuk mengumpulkan angka kredit
kumulatif, yang kalau sudah mencapainya lalu merasa berhak untuk diakui hanya
untuk menjadi maha peneliti atau maha guru. Padahal pengangkatan menjadi
professor merupakan penghargaan oleh lingkungannya bagi seseorang karena
dirinya memang layak secara moral, personal, akademik, dan professional untuk
memangku jabatan tersebut, jadi sekali-kali bukan karena keberhasilan
mengumpukan kredit kumulatifnya.)
5
Sebagaimana diketahui, dari semula sudah
diancangancangkan keperluan untuk terus-menerus memutakhirkan instrumen
akreditasi berkala ilmiah sesuai dengan perkembangan zaman. Walaupun baru
memasuki tahun ketiganya, kepesatan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi
akhir-akhir ini sudah menekankan keharusan dilakukannya penyempurnaan Perdirjendikti
49/Kep/2011 dan Perkeplipi 04/E/12011. Misalnya pematokan tiras publikasi
berkala ilmiah secara tercetak sebesar 300 eksemplar (butir penilaian H 1)
terkesan bertentangan dengan kewajiban
mengunggah jurnal ke portal elektronik (butir disinsentif I 4). Begitu
pula dirasakan telah tiba waktunya untuk melakukan akreditasi pada berkala
ilmiah elektronik yang kemapanan kiprahnya makin hari makin nyata secara mapan.
Untuk itu instrumen yang ada perlu dikembangkan untuk sekaligus
memberlakukannya pula pada berkala yang tidak diterbitkan secara tercetak.
Dalam melakukan perbaikan, perubahan, penyesuaian, dan penyempurnaan tersebut,
segera dirasakan sudah tiba saatnya untuk menghilangkan terjadinya dualisme
atau dikotomi pengakreditasian berkala ilmiah Indonesia secara terpisah oleh
Dikti dan oleh LIPI. Ini sejalan dengan ketentuan Peraturan Menpan yang
diberlakukan akhir-akhir ini menyatakan pengakreditasian dilakukan secara
nasional tanpa menyebutkan lembaga pengakreditasi yang terpisah untuk jabatan
dosen dan peneliti.
Sambil menunggu dilakukannya
pemeringkatan berkala ilmiah Indonesia secara mandiri oleh komunitas cerdik
cendekiawan sendiri tanpa campur tangan pemerintah, sudah dicapai kesepakatan
sementara untuk menyusun sebuah peraturan akreditasi bersama oleh LIPI dan
Ditjen DIKTI, yang diharapkan dapat dirampungkan dalam waktu yang tidak terlalu
lama. Diancangkan bahwa pada tahun 2016 semua berkala ilmiah Indonesia sudah
akan berupa e-journal, di samping
bentuk tercetaknya bagi beberapa berkala yang memilih opsi untuk tetap
menyediakannya. Salah satu butir terpenting dalam perkembangan baru akreditasi
ini adalah keharusan keseluruhan proses penerbitan berkala ilmiah (mulai dari
korespondensi, pengiriman, penelaahan, penyuntingan, dan penerbitan naskah sampai
menjadi artikel) semuanya dilakukan dengan sistem daring (on line). Untuk itu, ‘pembelajaran’ akan dilakukan dalam
tahun-tahun 2014 – 2015 yang akan merupakan masa transisi.
6
Selain itu, hal-hal lain terkait
dengan e-publication yang akan diatur dalam instrumen akreditasi mendatang
antara lain adalah butir-butir:
·
petunjuk
pada calon penulis yang bakal diharuskan menyediakan template,
·
konsistensi
dan kualitas resolusi dokumen PDF (di tempat jenis kertas yang sebaiknya coated),
·
desain
tampilan laman (website) yang harus
berpenciri khas (seperti halnya sampul yang perlu berpenciri),
·
jumlah
kunjungan unik pelanggan per hari secara daring (sebagai pengganti jumlah
tiras), dan
·
kepemilikan
DOI (digital object identifier) oleh
setiap arikel yang dimuat.
7
Selain hal-hal yang berkaitan dengan e-publication, dirasakan pula
keperluanya untuk menyempurnakan butir-butir lain dalam instrumen akreditasi
mendatang. Misalnya, dalam menghadapi kelangkaan berkala ilmiah terakreditasi
dalam suatu bidang telah menyebabkan dimuatnya artikel yang bukan ranah atau
cakupan ilmunya, terutama karena adanya
tekanan kebutuhan lingkungan untuk ‘membantu’ sejawat yang memerlukan angka
kredit kumulatif untuk kenaikan pangkatnya. Sebagai akibatnya berkala yang
bersangkutan dapat menurun peringkat akreditasinya, dan mereka memang sudah
‘dihukum’ dengan mengurangi perolehan angka akreditasinya untuk butir F 1
(substansi dan variabel cakupan keilmuawan) sampai menjadi 0 (karena dinilai
bersifat bunga rampai) dari kemungkinan mendapat nilai penuh 4. Oleh karena
itu, setiap berkala yang berniat akan meningkatkan frekuensi penerbitannya
harus mewaspadai kenyataan ini, jangan sampai karena kekurangan artikel, atau terlalu
‘berbaik hati’ mau menolong sejawat yang terdesak keharusan naik pangkat, lalu
bertindak ceroboh memuat artikel yang tidak sesuai dengan ranah disiplin dan
misi ilmunya seperti tercermin dari nama berkalanya.
Sejalan dengan itu, maka dalam waktu dekat ke depan
jika saat dievaluasi untuk diakreditasi suatu berkala terlihat melakukan
pemuatan satu atau dua artikel yang bukan bidangnya (dari sekitar 30 artikel
minimum yang dipersyaratkan diterbitkan dalam 3 tahun), perlu dipertimbangkan
kebijakan bahwa berkalanya masih akan diloloskan untuk terakreditasi kalau
angka nilai dari butir yang lain terhitung baik dan memenuhi persyaratan. Akan tetapi
perlu disampaikan pesan berupa syarat dan peringatan keras bahwa akreditasinya
akan dicabut sebelum masa berlakunya berakhir jika hal serupa terulang lagi.
Dalam kaitan ini, sangat dibenarkan jika artikel yang ‘salah kamar’ (karena
dimuat dalam berkala bukan bidangnya) tidak mendapat pengakuan kredit sehingga
juga tidak dinilai untuk keperluan kenaikan jabatan penulisnya.
Sekaitan dengan itu, melanjutkan ketentuan dalam
Permendiknas dan Perdirjendikti tahun
2011, berkala ilmiah yang kinerja dan mutu ilmiahnya menurun sampai tidak
berhasil untuk memertahankan angka kredit minimum 70, maka akreditasinya dapat
dicabut sebelum habis masa 5 tahun berlakunya. Pada pihak lain, berkala ilmiah
terakrediasi B yang kenerja dan mutu ilmiahnya meningkat secara meyakinkan
sehingga bisa mencapai angka minimum 85, maka sebelum masa laku akreditasinya
yang lima tahun habis berkala tersebut dapat diundang untuk diakreditasi ulang
guna menaikkan peringkatnya dari terakreditasi B menjadi terakreditasi A.
Karena keterakreditasian berkala ditentukan
oleh hasil pemeriksaan kelayakan mutu teknis penyuntingan, isi substansi, dan
keberkalaan terbitannya yang dikeluarkan tiga tahun sebelumnya, akan
diberlakukan ketentuan bahwa berkala mulai terhitung terkreditasi tiga tahun
sebelum tanggal penetapannya (bersifat retroactive
atau berlaku surut).
Selanjutnya kualifikasi dewan penyunting
tidak akan dinilai berdasarkan tingkat pendidikannya, tetapi dari
keberhasilannya menerbitkan artikel dalam berkala internasional. Ketercantuman berkala
di lembaga pengindeks internasional akan diberi nilai, namun sebaliknya pemakaian
bahasa yang buruk akan dipenalti dengan pemberian angka 0.
Khusus mengenai substansi, kepioneran
isi artikel tidak lagi diukur dengan melihat apakah tulisan didasarkan pada hasil
penelitian versus gagasan pemikiran,
tetapi lebih pada kandungan keorisilan temuan dan pemikiran yang memiliki
kebaruan (new to science). Ini
dilakukan untuk menghindari terjadinya dikotomi eksakta vs non-eksakta, percobaan vs
kajian pustaka, penelitian vs ulasan,
sebab yang terpenting adalah novelty
temuan atau gagasannya Begitu pula makna sumbangan dan dampak ilmiah artikel
akan dilihat dari jumlah sitasi yang dilakukan orang terhadapnya atau impact factor. Selanjutnya akan
ditentukan pula bahwa untuk bisa menjadi terakreditasi, sebuah berkala harus
berhasil mendapat nilai angka minimum 35 untuk butir substansi dan gaya
penulisan.
8
Berdasarkan paparan di atas, dapatlah
disimpulkan bahwa kiat-kiat berikut merupakan jawaban terhadap tantangan
pemapanan berkala ilmiah Indonesia ke depan: 1) peningkatan mutu berkala ilmiah
sangat ditentukan oleh keberhasilan menubuhkan budaya meneliti dan menerbitkan
hasil kecendekiaan ilmuwan, pandit, dan pakar Indonesia yang jelas makna dan
delta kontribusi ilmiahnya; 2) kewajiban diterbitkannya skripsi, tesis, dan
disertasi dalam bentuk artikel ilmiah sebelum mahasiswa yang bersangkutan bisa
mengambil ujian akhirnya (dan keharusan bagi peneliti litbang untuk menerbitkan
artikel ilmiah alih-alih menyusun laporan penelitian sebagai pertanggungwajiban
tugasnya) diyakini bakal meningkatkan jumlah dan mutu terbitan bangsa
Indonesia; 3) sambil menunggu saat terselenggarakannya pemeringkatan berkala
ilmiah Indonesia oleh komunitas cerdik cendekiawan sendiri secara mandiri
dengan tolok ukur yang berterima secara internasional, maka akreditasi berkala
oleh pranata pemerintah merupakan kiat yang khas Indonesia; 4) dikotomi
pengakrediasian oleh Dikti dan LIPI diharapkan segera berakhir dengan
disusunnya sebuah peraturan akreditasi bersama oleh LIPI dan Dijen Dikti; 5)
karena sudah harus berupa e-journal
(di samping bentuk tercetaknya yang mungkin masih disediakan oleh beberapa
berkala tertentu) maka mulai tahun 2016 proses penerbitan semua berkala ilmiah
Indonesia harus pula dilakukan melalui sistem daring (on line).
Tulisan ini saya peroleh ketika mengikuti Workshop Manajemen Jurnal di Bogor
Tidak ada komentar:
Posting Komentar