Good News

Jumat, 07 November 2014

Menghadapi Rambu-Rambu Rancangan Akreditasi Berkala Ilmiah yang Baru



 Mien A. Rifai
Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Jakarta
(“Tang Lebun”, RT 03/RW 15, Kotabatu, Ciomas Bogor 16610)

 1
Pada tahun 2014 ini, dari sekitar 7000 berkala ilmiah terbitan perguruan tinggi dan lembaga penelitian Indonesia yang diberi ISSN oleh PDII, tidak sampai 5% yang berhasil lolos dan mendapat pengakuan berdasarkan Permendiknas dan Perdirjendikti serta Perkeplipi tahun 2011 tentang akreditasi. Kalau dibaca pertimbangan peraturan-peraturan akreditasi tadi jelas bahwa tujuan pemberlakuannya sebenarnya juga hanyalah untuk menjaga mutu terbitan karya tulis ilmiah bangsa Indonesia untuk keperluan penguasaan, pengembangan, pemajuan, dan pemanfaatan pengetahuan, ilmu, dan teknologi. Akan tetapi sedikitnya jumlah berkala yang dapat dianggap baik ini sangat menyedihkan, sebab menunjukkan rendahnya mutu produk kecendekiaan bangsa Indonesia jika dilakukan penilaian dengan menggunakan norma yang berlaku di forum ilmiah internasional. Sebagai akibat rendahnya jumlah berkala ilmiah bermutu yang masuk hitungan ini, dapatlah dimengerti jika jumlah total publikasi tahunan bangsa Indonesia berada jauh di belakang Malaysia dan Singapura serta Thailand.

Anehnya, keluhan yang selalu dilontarkan pengelolan berbagai berkala ilmiah yang lolos akreditasi adalah kekurangan naskah bermutu yang layak terbit. Keluhan ini terjadi di tengah kemelimpahan skripsi sarjana, teisi magister, disertasi doktor dan laporan penelitian lembaga litbang. Pengalaman bertindak selaku mitra bebestari menelaah ribuan naskah yang diajukan penulisnya pada berbagai berkala memang mengungkapkan kelemahan mendasar karya-karya tadi. Umumnya sangat terasa bahwa penulisnya tidak pernah mengevaluasi diri kelayakan makna substansi bahannya sebelum ditulis, sehingga juga tidak disimak terdapatnya kebaruan temuan berkeorisinalan tinggi yang jelas delta sumbangannya bagi kemajuan ilmu. Keadaan makin diperburuk karena dalam menyiapkan naskah untuk diterbitkan dalam berkala ilmiah, penulisannya sering bergaya skripsi sehingga tidak mengikuti kaidah kencana penyusunan karya ilmiah yang harus A(ccurate), B(rief), and C(lear). Pendahuluan naskahnya melantur mirip bunyi GBHN, berpanjang lebar meninjau pustaka yang tidak jarang berupa buku teks yang sudah kadaluwarsa [serta sering tidak dilihatnya sendiri sehingga bermodel ‘. . . menurut si Badu (1968) dalam si Dadap (1997) dalam si Fulan (2009) . . .’] sehingga tak ada maknanya untuk memajukan ilmu. Sekalipun memiliki bab diskusi tetapi banyak artikel yang termuat dalam berkala ilmiah tadi tidak melakukan pembahasan yang membandingkan temuannya dengan pendapat mutakhir peneliti lain. Lagipula  simpulannya lebih sering berupa perincian simpulan percobaan dan bukan simpulan penelitiannya.
Angin segar muncul ketika Dirjen Dikti mengeluarkan sebuah kebijakan pada awal tahun 2012, yang menggariskan kewajiban diterbitkannya skripsi mahasiswa S-1 (walaupun pada tahap awal baru berupa pengunggahannya secara on-line dalam website kampus masing-masing), tesis S-2 (dalam jurnal nasional terakrediasi), dan disertasi S-3 (dalam jurnal bereputasi ‘internasional’) sebelum penyusunnya dapat menempuh ujian akhirnya. Pemberlakuan ketentuan ini diyakini akan menjauhkan kegiatan sia-sia melakukan penelitian yang menghasilkan laporan tebal-tebal tetapi tak pernah dipublikasikan yang selama ini dipraktikkan. Kewajiban ini pasti akan  menambah besar ketersediaan bank naskah untuk diterbitkan, dan meningkatkan jumlah terbitan hasil penelitian berbobot (dan dengan demikian juga peningkatan kualitas SDM yang diluluskan untuk menyandang gelar akademik bermutu). Memang sudah waktunya bagi perguruan tinggi untuk mengikuti jejak IPB yang mengharuskan mahasiswanya menulis skripsi sarjana yang tidak lebih dari 5000 kata, tesis magister sekitar 5000 – 8000 kata, dan disertasi doktornya kira-kira 10000 – 20000 kata saja, semuanya berupa naskah artikel (-artikel) yang disiapkan sesuai dengan petunjuk pada penulis berkala ilmiah yang ditujunya. Alangkah baiknya jika di lembaga penelitian dan pengembangan juga digariskan kebijakan serupa, sehingga para peneliti tidak lagi berkewajiban membuat laporan penelitian tebal-tebal yang tidak jelas kegunaannya karena tidak sampai ke masyarakat luas. Sebagai gantinya mereka harus menerbitkan artikel ilmiah bermutu dalam berkala mapan untuk membukukan keberhasilan pelaksanaan tugasnya, syukur-syukur kalau persoalan yang dipecahkan oleh kegiatan penelitiannya secara nyata terkait dengan masalah riil yang diperlukan untuk menaikkan produktivitas masyarakat lingkungannya.


2
Pada pihak lain, pelaksanaan kebijakan Dirjen Dikti tersebut memang akan terkendala oleh sedikitnya berkala terakreditasi, sehingga dalam waktu dekat pasti bakal mengganggu penyelesaian studi mahasiswa magister dan doktor oleh kelangkaan/ketiadaan berkala terkait yang akan memuat hasil tesisnya sebelum mereka bisa maju ujian. Berdasarkan tilikan pembidangan konsorsiumnya, sedikitnya jumlah berkala ilmiah yang berhasil terakreditasi pada tahun 2013 dalam disiplin seni (hanya 3 berkala), psikologi (3 berkala), sastra/filsafat (4 berkala), dan pendidikan (8 berkala)––sehingga masing-masing kurang dari 10 berkala––agaknya memang tidak sebanding dengan jumlah perguruan tinggi yang memiliki fakultas dan jurusan serta program studi terkait dalam bidang tersebut. Untuk itu perlu adanya penelaahan untuk segera mengidentifikasi bidang keilmuan yang memiliki program studi pascasarjana tetapi belum memunyai berkala terakreditasi untuk menampung hasil karya mahasiswanya, buat ditindaklanjuti dengan usaha kegiatan pembinaan khusus serta kebijakan lain yang akan memungkinkan bidang-bidang itu dapat mengatasi masalahnya.
Jika misalnya bidang seni dipakai sebagai kasus pembinaan khusus, tercatat adanya 10 perguruan tinggi negeri berupa ISI, STSI, dan nantinya ISBI di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surakarta, Surabaya, Denpasar, Padang Panjang, dan sebentar lagi di Aceh, Makassar, dan Papua. Dengan demikian maka berkala Panggung (Bandung) dan Mudra (Denpasar) serta Resital (Yogyakarta) tidak akan cukup buat menampung artikel-artikel seni rupa, seni pertunjukan, karawitan, seni tari dan koreografi, teater rakyat, desain, seni kriya, media rekam (seperti sinema, televisi, sinetron), seni musik, pendidikan seni, dan lain-lainnya lagi tanpa membuat kedua berkala tersbut menjadi bersifat bunga rampai. Seandainya setiap perguruan tinggi seni dalam setahun menghasilkan 10 artikel hasil penelitian dosen dan mahasiswa yang sudah layak terbit, nantinya akan diperlukan 10 berkala terbit 2 kali setahun untuk menampung 100 artikel yang  bakal ditulis. Ini belum termasuk artikel yang bakal disumbangkan oleh dosen dan mahasiswa perguruan tinggi di luar seni yang juga memiliki program studi dan penelitian kesenian yang terkait, seperti UI, UGM, UNS, dan bahkan ITB.
Dalam kaitan ini, untuk disiplin keilmuan yang belum memiliki berkala mapan (seperti misalnya statistika, arsitektur, olah raga, komunikasi, pendidikan agama Islam, dan pendidikan bidang-bidang MIPA) perlulah dilakukan suatu survai melalui kuesioner dan sensus untuk a) mendata keberadaan berkala ilmiah terkait beserta keadaan pengelolaannya sekarang, b) menginventarisasi pendidikan pascasarjana yang ada terutama macam bidang dan jumlah mahasiswanya, c) mengetahui besar jumlah dosen yang aktif meneliti dan output karya penelitiannya per tahun, d) mengestimasi kekuatan konsentrasi dosen/kepakaran per bidang di suatu lembaga untuk melihat kesiapannya menerima penugasan mengelola berkala yang dipilih sebagai fokus nasional dalam bidangnya, e) dan dengan demikian memetakan semacam ‘pengaplingan’ dan pembagian tugas merata, sehingga secara nasional setiap perguruan tinggi atau lembaga hanya kebagian untuk mengelola satu jurnal milik bersama untuk kepentingan perguruan tinggi serupa yang lain.
Dalam jangka pendek, untuk meningkatkan daya tampung penerbitan naskah artikel dalam berkala yang berjumlah sedikit itu, sebagai suatu kebijakan nasional sangatlah dianjurkan agar––tentunya dengan tidak menurunkan mutu substansi ilmiahnya––berkala yang telah terakreditasi segera berupaya menambah frekuensi penerbitannya, misalnya dari hanya 2 kali lalu menjadi 4 kali setahun atau bahkan lebih (ada berkala ilmiah kedokteran di Jakarta yang berhasil terbit dengan baik 12 kali per tahun!). Dengan demikian jumlah artikel karya mahasiswa dan dosen yang dapat diterbitkan akan bisa dinaikkan dua kali lipat, sehingga masa tunggu penerbitan artikel yang sudah lolos saringan oleh mitra bebestarinya dapat diperpendek dan penundaan ujian mahasiswa magister dan doktor juga bisa dikurangi.


3
Memang banyak masalah pengelolaan berkala di lapangan yang harus segera diatasi. Misalnya, jarang disadari oleh penyunting berkala bahwa banyak butir dalam penilaian akreditasi berkala ilmiah dilakukan berdasarkan ‘pedoman penulisan’ yang dikeluarkan oleh (sidang penyunting) berkala bersangkutan, yang memang dipersyaratkan secara khusus untuk dibuat demi kepentingan para penyumbang artikelnya. Dengan demikian ketaatasasan penyunting dalam menggunakan dan menerapkannya akan sangat berdampak pada penilaian kerapian kinerja penyuntingan berkalanya. Karena penilaian akreditasi berkala dilakukan secara in toto dan tidak terfokus pada butir-butir tertentu, jika nilai dalam butir substansi tinggi maka kekurangan kerapian dan kecermatan penyuntingan ini menjadi terkompensasi, sehingga berkala dapat lolos dan terakreditasi walaupun penampilannya tidak prima, namun angka akreditasinya pasti tidak akan tinggi. Karena tujuan semula akreditasi adalah untuk meningkatkan penguasaan, pengembangan, pemajuan, dan pemanfaatan pengetahuan, ilmu, dan teknologi, ke depan perlu diberlakukan persyaratan nilai angka minimum untuk substansi. Dengan demikian berkala yang tampil meyakinkan karena penyunting pelaksananya berfungsi penuh dan percetakannya prima tidak akan dapat menolong terakreditasikannya berkala yang hanya memuat artikel bermutu mediocre.
Perimbangan ini didasarkan pada kenyataan bahwa di lapangan memang terdapat segelintir penyunting yang sangat mumpuni dan dengan penuh dedikasi mengelola berkalanya secara professional. Jika dukungan lingkungannya kondusif, perkembangan penguasaan bidangnya oleh ilmuwan Indonesia secara nasional baik, dan para mitra bebestarinya bekerja sesuai dengan norma kecendekiaan yang tinggi, maka dihasilkanlah berkala bermutu tinggi yang layak dijadikan percontohan. Akan tetapi penyunting berkualifikasi tinggi seperti itu merupakan komoditas sangat langka sehingga mereka sering bekerja sendirian, benar-benar lone wolf yang sering merupakan single fighter, sehingga kalau karena satu dan lain hal mereka terpaksa pergi maka keprimaan berkalanya menjadi berantakan. Jelas bahwa pencarian dan regenerasi penyunting terandalkan seperti itu perlu mendapat perhatian dari semua pihak yang berkepentingan.
Pada pihak lain teramati juga adanya kecondongan bahwa karena tidak diperhatikan oleh lingkungannya, dan bekerjanya tidak didukung oleh mitra bebestari mumpuni, penyunting handal seperti itu menghadapi berbagai kendala untuk bisa berkinerja secara maksimum. Sebagai akibatnya, berkalanya hanya sepintas tampak rapi dan bagus meyakinkan dari luar, tetapi setelah ditiliki dengan saksama akan terungkap kerendahan mutu isi dan substansi artikel yang dimuatnya, sehingga berkalanya tidak berhasil lolos untuk diakreditasi. Dimintanya bantuan peneliti yang amat senior sebagai mitra bebestari sering merupakan ‘kecelakaan’ sehingga menyebabkan terjadinya kedodoran penelaahan naskah yang akan dimuat berkalanya. Karena umumnya para senior tersebut sudah lama tidak melakukan kegiatan penelitian sendiri, maka mereka tidak lagi mengikuti perkembangan mutakhir disiplin ilmunya untuk bisa melakukan penilaian sewajarnya. Oleh karena itu diloloskanlah artikel-artikel yang menyajikan data mentah tanpa ada maknanya, menggunakan ilustrasi berwarna dan data pendukung yang tidak relevan, berisi substansi dengan geografi masalah yang tidak sesuai dengan cakupan wawasan serta nama berkala, mengacu pada pustaka sekunder secara berlebihan . . . dan banyak lagi kelemahan serupa lainnya. Secara gamblang ketentuan yang ada dalam pedoman akreditasi memang sudah menyatakan bahwa ilmuwan yang layak menjadi mitra bebestari untuk menelaah dan menilai kelayakan naskah hanyalah mereka yang dalam tiga tahun terakhir punya terbitan ilmiah berbobot atas namanya sendiri.


4
Dari lingkungan kurang sehat seperti itu malahan tercium terjadinya perkembangan gejala lain yang merisaukan, yaitu munculnya semacam berkala predator made in Indonesia yang sekarang sedang menghantui dunia perberkalaan dunia ilmiah internasional. Rupanya keperluan lingkungan akan adanya tempat untuk menerbitkan artikel ilmiah dalam berkala bereputasi ‘internasional’ dengan simbol-simbol mapan seperti mitra bebestari internasional (baca: orang asing), judul berkala yang bernuansa keilmiahan global, format dan gaya penyajian baku, dan ketepatan waktu terbit . . . telah disalahgunakan oleh mereka yang tidak bertaanggung jawab untuk mencari keuntungan.  Tidak perlu ditekankan bahwa perkembangan bergejala tidak sehat ini perlu diwaspadai bersama oleh semua pihak yang berkepentingan.
Sehubungan dengan banyaknya ilmuwan Indonesia yang secara tidak sadar telah menjadi korban berkala predator luar negeri yang tidak karuan mutunya, menyenangkan untuk mencatat bahwa sudah sejak tahun 2009 tim yang dipercayai DIKTI untuk mengevaluasi kelayakan sebuah artikel karya peneliti yang terbit di berkala ilmiah ‘internasional’ untuk menerima insentif besar telah menolak meloloskan pemberiannya pada tulisan-tulisan yang dimuat dalam berkala meragukan yang sekarang ternyata termasuk dalam daftar hitam berkala predator tersebut. Ketidaklolosan ini terjadi karena tim DIKTI tadi mengutamakan pengevaluasian mutu isi substansi ilmiah artikelnya dan bukan penilaian berkala tempatnya terbit. Dalam kaitan ini, ternyata pula bahwa banyak kriteria yang sudah dikembangkan tim Dikti sejak tahun 1996 dalam mengakreditasi berkala ilmiah Indonesia ternyata tidak berbeda jauh dengan butir-butir yang sudah dan sedang dipakai oleh lembaga pemeringkat seperti Scopus dan Thompson-Reuter dalam merangking berkala ilmiah yang ada di dunia, seperti terungkap dari pertemuan dengan mereka di DIKTI beberapa bulan yang lalu. Sebagai akibatnya tim Dikti dapat langsung mengenali adanya penerbit-penerbit berlabel ‘internasional’ yang menerbitkan puluhan berkala ilmiah yang sangat mencurigakan mutunya.
Untuk keperluan pemapanan mutu berkala ilmiah Indonesia ke depan, maka penggunaan istilah ‘bertaraf internasional’, ‘bereputasi internasional’, dan ‘bermutu internasional’ mungkin harus dihindari sebagai baku mutu penilaian dan pengukuran kehebatan makna substansi ilmiah suatu karya. Persoalan pencapaian taraf internasional diduga tidak akan serta merta menaikkan mutu dengan sendirinya karena ‘mengatakan bermutu internasional’, padahal yang lebih diperlukan adalah kegiatan untuk ‘membuatnya menjadi bermutu tinggi’ (do not say it, but make it!). Apalagi kalau sampai dibuat tolok pengukuran secara kuantitaif yang bersifat semu, akan membuat orang berlomba-loma mencapai kesemuan tersebut, lalu meminta pengakuan keinternasionalannya. (Dalam kaitan ini dapat ditambahkan keadaan yang bersifat agak serupa. Sudah menjadi rahasia umum bahwa orang menggunakan segala daya upaya untuk mengumpulkan angka kredit kumulatif, yang kalau sudah mencapainya lalu merasa berhak untuk diakui hanya untuk menjadi maha peneliti atau maha guru. Padahal pengangkatan menjadi professor merupakan penghargaan oleh lingkungannya bagi seseorang karena dirinya memang layak secara moral, personal, akademik, dan professional untuk memangku jabatan tersebut, jadi sekali-kali bukan karena keberhasilan mengumpukan kredit kumulatifnya.)


5
Sebagaimana diketahui, dari semula sudah diancangancangkan keperluan untuk terus-menerus memutakhirkan instrumen akreditasi berkala ilmiah sesuai dengan perkembangan zaman. Walaupun baru memasuki tahun ketiganya, kepesatan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi akhir-akhir ini sudah menekankan keharusan dilakukannya penyempurnaan Perdirjendikti 49/Kep/2011 dan Perkeplipi 04/E/12011. Misalnya pematokan tiras publikasi berkala ilmiah secara tercetak sebesar 300 eksemplar (butir penilaian H 1) terkesan bertentangan dengan kewajiban  mengunggah jurnal ke portal elektronik (butir disinsentif I 4). Begitu pula dirasakan telah tiba waktunya untuk melakukan akreditasi pada berkala ilmiah elektronik yang kemapanan kiprahnya makin hari makin nyata secara mapan. Untuk itu instrumen yang ada perlu dikembangkan untuk sekaligus memberlakukannya pula pada berkala yang tidak diterbitkan secara tercetak. Dalam melakukan perbaikan, perubahan, penyesuaian, dan penyempurnaan tersebut, segera dirasakan sudah tiba saatnya untuk menghilangkan terjadinya dualisme atau dikotomi pengakreditasian berkala ilmiah Indonesia secara terpisah oleh Dikti dan oleh LIPI. Ini sejalan dengan ketentuan Peraturan Menpan yang diberlakukan akhir-akhir ini menyatakan pengakreditasian dilakukan secara nasional tanpa menyebutkan lembaga pengakreditasi yang terpisah untuk jabatan dosen dan peneliti.
Sambil menunggu dilakukannya pemeringkatan berkala ilmiah Indonesia secara mandiri oleh komunitas cerdik cendekiawan sendiri tanpa campur tangan pemerintah, sudah dicapai kesepakatan sementara untuk menyusun sebuah peraturan akreditasi bersama oleh LIPI dan Ditjen DIKTI, yang diharapkan dapat dirampungkan dalam waktu yang tidak terlalu lama. Diancangkan bahwa pada tahun 2016 semua berkala ilmiah Indonesia sudah akan berupa e-journal, di samping bentuk tercetaknya bagi beberapa berkala yang memilih opsi untuk tetap menyediakannya. Salah satu butir terpenting dalam perkembangan baru akreditasi ini adalah keharusan keseluruhan proses penerbitan berkala ilmiah (mulai dari korespondensi, pengiriman, penelaahan, penyuntingan, dan penerbitan naskah sampai menjadi artikel) semuanya dilakukan dengan sistem daring (on line). Untuk itu, ‘pembelajaran’ akan dilakukan dalam tahun-tahun 2014 – 2015 yang akan merupakan masa transisi.

           
            6
            Selain itu, hal-hal lain terkait dengan  e-publication yang akan diatur dalam instrumen akreditasi mendatang antara lain adalah butir-butir:
·         petunjuk pada calon penulis yang bakal diharuskan menyediakan template,
·         konsistensi dan kualitas resolusi dokumen PDF (di tempat jenis kertas yang sebaiknya coated),
·         desain tampilan laman (website) yang harus berpenciri khas (seperti halnya sampul yang perlu berpenciri),
·         jumlah kunjungan unik pelanggan per hari secara daring (sebagai pengganti jumlah tiras), dan
·         kepemilikan DOI (digital object identifier) oleh setiap arikel yang dimuat.


7
Selain hal-hal yang berkaitan dengan e-publication, dirasakan pula keperluanya untuk menyempurnakan butir-butir lain dalam instrumen akreditasi mendatang. Misalnya, dalam menghadapi kelangkaan berkala ilmiah terakreditasi dalam suatu bidang telah menyebabkan dimuatnya artikel yang bukan ranah atau cakupan ilmunya, terutama  karena adanya tekanan kebutuhan lingkungan untuk ‘membantu’ sejawat yang memerlukan angka kredit kumulatif untuk kenaikan pangkatnya. Sebagai akibatnya berkala yang bersangkutan dapat menurun peringkat akreditasinya, dan mereka memang sudah ‘dihukum’ dengan mengurangi perolehan angka akreditasinya untuk butir F 1 (substansi dan variabel cakupan keilmuawan) sampai menjadi 0 (karena dinilai bersifat bunga rampai) dari kemungkinan mendapat nilai penuh 4. Oleh karena itu, setiap berkala yang berniat akan meningkatkan frekuensi penerbitannya harus mewaspadai kenyataan ini, jangan sampai karena kekurangan artikel, atau terlalu ‘berbaik hati’ mau menolong sejawat yang terdesak keharusan naik pangkat, lalu bertindak ceroboh memuat artikel yang tidak sesuai dengan ranah disiplin dan misi ilmunya seperti tercermin dari nama berkalanya.
Sejalan dengan itu, maka dalam waktu dekat ke depan jika saat dievaluasi untuk diakreditasi suatu berkala terlihat melakukan pemuatan satu atau dua artikel yang bukan bidangnya (dari sekitar 30 artikel minimum yang dipersyaratkan diterbitkan dalam 3 tahun), perlu dipertimbangkan kebijakan bahwa berkalanya masih akan diloloskan untuk terakreditasi kalau angka nilai dari butir yang lain terhitung baik dan memenuhi persyaratan. Akan tetapi perlu disampaikan pesan berupa syarat dan peringatan keras bahwa akreditasinya akan dicabut sebelum masa berlakunya berakhir jika hal serupa terulang lagi. Dalam kaitan ini, sangat dibenarkan jika artikel yang ‘salah kamar’ (karena dimuat dalam berkala bukan bidangnya) tidak mendapat pengakuan kredit sehingga juga tidak dinilai untuk keperluan kenaikan jabatan penulisnya.
Sekaitan dengan itu, melanjutkan ketentuan dalam Permendiknas dan Perdirjendikti  tahun 2011, berkala ilmiah yang kinerja dan mutu ilmiahnya menurun sampai tidak berhasil untuk memertahankan angka kredit minimum 70, maka akreditasinya dapat dicabut sebelum habis masa 5 tahun berlakunya. Pada pihak lain, berkala ilmiah terakrediasi B yang kenerja dan mutu ilmiahnya meningkat secara meyakinkan sehingga bisa mencapai angka minimum 85, maka sebelum masa laku akreditasinya yang lima tahun habis berkala tersebut dapat diundang untuk diakreditasi ulang guna menaikkan peringkatnya dari terakreditasi B menjadi terakreditasi A.
            Karena keterakreditasian berkala ditentukan oleh hasil pemeriksaan kelayakan mutu teknis penyuntingan, isi substansi, dan keberkalaan terbitannya yang dikeluarkan tiga tahun sebelumnya, akan diberlakukan ketentuan bahwa berkala mulai terhitung terkreditasi tiga tahun sebelum tanggal penetapannya (bersifat retroactive atau berlaku surut).
Selanjutnya kualifikasi dewan penyunting tidak akan dinilai berdasarkan tingkat pendidikannya, tetapi dari keberhasilannya menerbitkan artikel dalam berkala internasional. Ketercantuman berkala di lembaga pengindeks internasional akan diberi nilai, namun sebaliknya pemakaian bahasa yang buruk akan dipenalti dengan pemberian angka 0.
Khusus mengenai substansi, kepioneran isi artikel tidak lagi diukur dengan melihat apakah tulisan didasarkan pada hasil penelitian versus gagasan pemikiran, tetapi lebih pada kandungan keorisilan temuan dan pemikiran yang memiliki kebaruan (new to science). Ini dilakukan untuk menghindari terjadinya dikotomi eksakta vs non-eksakta, percobaan vs kajian pustaka, penelitian vs ulasan, sebab yang terpenting adalah novelty temuan atau gagasannya Begitu pula makna sumbangan dan dampak ilmiah artikel akan dilihat dari jumlah sitasi yang dilakukan orang terhadapnya atau impact factor. Selanjutnya akan ditentukan pula bahwa untuk bisa menjadi terakreditasi, sebuah berkala harus berhasil mendapat nilai angka minimum 35 untuk butir substansi dan gaya penulisan.


8
Berdasarkan paparan di atas, dapatlah disimpulkan bahwa kiat-kiat berikut merupakan jawaban terhadap tantangan pemapanan berkala ilmiah Indonesia ke depan: 1) peningkatan mutu berkala ilmiah sangat ditentukan oleh keberhasilan menubuhkan budaya meneliti dan menerbitkan hasil kecendekiaan ilmuwan, pandit, dan pakar Indonesia yang jelas makna dan delta kontribusi ilmiahnya; 2) kewajiban diterbitkannya skripsi, tesis, dan disertasi dalam bentuk artikel ilmiah sebelum mahasiswa yang bersangkutan bisa mengambil ujian akhirnya (dan keharusan bagi peneliti litbang untuk menerbitkan artikel ilmiah alih-alih menyusun laporan penelitian sebagai pertanggungwajiban tugasnya) diyakini bakal meningkatkan jumlah dan mutu terbitan bangsa Indonesia; 3) sambil menunggu saat terselenggarakannya pemeringkatan berkala ilmiah Indonesia oleh komunitas cerdik cendekiawan sendiri secara mandiri dengan tolok ukur yang berterima secara internasional, maka akreditasi berkala oleh pranata pemerintah merupakan kiat yang khas Indonesia; 4) dikotomi pengakrediasian oleh Dikti dan LIPI diharapkan segera berakhir dengan disusunnya sebuah peraturan akreditasi bersama oleh LIPI dan Dijen Dikti; 5) karena sudah harus berupa e-journal (di samping bentuk tercetaknya yang mungkin masih disediakan oleh beberapa berkala tertentu) maka mulai tahun 2016 proses penerbitan semua berkala ilmiah Indonesia harus pula dilakukan melalui sistem daring (on line).
Tulisan ini saya peroleh ketika mengikuti Workshop Manajemen Jurnal di Bogor

Tidak ada komentar:

Posting Komentar