Ulasan tentang Hyper Grace oleh Dr. Daniel Ronda
Adalah di media sosial ramai orang mempercakapkan hypergrace
dan tanpa mengerti sejarah dan konteksnya ikut menyebarluaskan ajaran yang
dianggap berbahaya ini. Zaman ini semua orang lalu menjadi pakar dan berminat
pada teologi yang tentunya menggembirakan. Tapi lamat-lamat diamati ternyata
yang dikritik dan kemudian diserang tidak jelas juntrungnya. Bahkan serangan
kepada ajaran hyper grace, mulai dari istilahnya sudah diberikan oleh si
pengkritik manakala ajaran tentang anugerah (kasih karunia) dinilai terlalu
radikal dan menyesatkan (hyper=berlebihan; grace=anugerah). Si apoligis itu
bernama Michael Brown dan figur yang diserang itu awalnya abu-abu dalam bukunya
dengan judul yang sama. Harus diakui buku ini ilmiah dan benalar, namun
tuntutannya tetap sama: SIAPA yang Anda tunjuk hidungnya? Kemudian dalam
video-video YouTube baru dimengerti bahwa Michael Brown tidak suka Joseph
Prince, pengkhotbah flamboyan dari Singapura dan kawan-kawannya. Kata Brown,
Prince mengajarkan anugerah radikal yang menyesatkan. Radikal karena menyatakan
sekali selamat tetap selamat sehingga tidak perlu hidup kudus, tidak perlu
pertobatan apalagi mengaku dosa, bahkan semua pasti selamat (universalisme),
dan banyak lagi!
Pertanyaannya, benarkah demikian? Banyak memang teolog besar
awalnya bingung siapa yang diserangnya, namun kemudian menyadari bahwa layakkah
seorang Joseph Prince dibuatkan buku “sabagus” itu? Ketika menunjuk hidung
Joseph Prince, rasanya tidak cocok menjadi heboh karena Joseph Prince bukanlah
teolog. Dia adalah pengkhotbah populer yang tidak punya sistem berteologi dalam
buku-bukunya. Ia seorang praktisi yang pragmatis sehingga tidak mungkin
memberikan benang merah atas pemikirannya. Dia laksana pengkhotbah populer yang
berganti tema sesuai dengan situasi jemaat dan perkembangan zaman.
Perdebatan menjadi ramai, lalu ada buku dari Paul Ellis yang
menyerang balik Michael Brown dengan mengatakan bahwa apa yang diserang tidak
benar dan hanya berdasarkan mitos. Perdebatan ini masih berlangsung sampai hari
ini dan ceritanya belum berujung! Tunggu selalu di YouTube dan Fb (tentunya
masih dalam bahasa Inggris).
Pelajaran apa sebenarnya dari cerita hyper grace ini? Benang
merahnya sederhana: anugerah keselamatan itu cuma-cuma dan tidak ada usaha
manusiapun yang dapat mengusahakan keselamatan (justification). Tapi setelah
diselamatkan, Anda perlu mengerjakan keselamatan itu dalam kehidupan kudus dan
berbuah bagi Tuhan (sanctification). Keduanya hadir berurutan sebagai bukti
keselamatan. Tapi ketika keduanya dicampur aduk atau dihilangkan salah satunya
maka runyamlah ceritanya!
Media sosial telah membuat cerita ini menjadi riuh rendah,
tapi ada baiknya dicermati dulu sebelum disebarkan, karena kadangkala tidak
semua tuduhan ada benarnya. Diskusi di media sosial memiliki kelemahan, di mana
kata dan kalimat dimaknai tanpa konteks dan sejarahnya. Kadang lebih kepada
sensasi dan akhirnya diskusi melebar ke mana-mana! Contohnya ya ajaran hyper
grace ini yang ternyata memang lebih banyak sensasi ketimbang kebenarannya,
karena walaupun buku Michael Brown tampak ilmiah tapi jika yang dikritisi tidak
terlalu akurat maka tidak layak diangkat menjadi perdebatan teologi yang
serius. Itu hanya membuang-buang waktu! Mungkin bagus ungkapan Michael Brown
sendiri yang akhirnya berkata: “Time to drop Hyper Grace rethoric”.** (DR)
*buku-buku yang tersedia dalam bahasa Indonesia: Michael
Brown, Hyper Grace (Nafiri Gabriel, Jakarta) dan versi bantahan dari Paul
Ellis, Hyper Grace Gospel.
** Kutipan dari http://www.charismanews.com/opinion
Tidak ada komentar:
Posting Komentar