GAMBAR DAN RUPA ALLAH*
Oleh:
Pdt. Jermia Djadi, M.Div.
Pendahuluan
Berdasarkan kitab Kejadian 1:26 Allah menciptakan manusia “atas peta
dan teladan Allah” (Bode) atau “menurut gambar dan rupa Allah” Lembaga Alkitab
Indonesia (LAI). Dalam uraian
selanjutnya penulis akan memakai ungkapan yang digunakan oleh LAI, yaitu
“gambar dan rupa Allah.” Menurut catatan
Alkitab, dari segala sesuatu yang diciptakan Allah, hanya manusialah yang
diciptakan menurut “gambar dan rupa Allah” dan inilah yang membedakan manusia
dengan semua ciptaan yang lain.
Doktrin tentang gambar dan rupa Allah ini akan diuraikan dengan
sistematika sebagai berikut: Pendahuluan, beberapa pandangan tentang gambar dan
rupa Allah dalam diri manusia, data Alkitab tentang gambar dan rupa Allah dalam
diri manusia, dan kesimpulan.
Beberapa Pandangan Tentang
Gambar dan Rupa
Allah Dalam Diri Manusia
Pandangan Bapak-Bapak
Gereja
Pertama, Irenius dan Tertullian membedakan antara “gambar” dan “rupa” Allah.
Menurut mereka bahwa “gambar” terkait dalam tubuh manusia, sedangkan “rupa”
berkaitan dengan sifat spiritual manusia.
Kedua, Clement dari Alexandria dan Origen menolak setiap pengertian
tentang analogi dari tubuh dan menganggap bahwa kata “gambar” menunjukkan
ciri-ciri khas manusia sebagai manusia dan kata “rupa” menunjukkan kualitas
yang tidak esensial bagi manusia, tetapi dapat dibudidayakan atau
terhilang. Pandangan ini juga dianut
oleh Athanasius, Hilary, Ambrose, Agustinus dan John dari Damaskus.
Ketiga, Menurut Pelagius dan para pengikutnya, gambar hanya berarti bahwa
manusia diberkati dengan pikiran, sehingga ia dapat mengenal Allah. Dengan kehendak bebasnya, ia dapat memilih
dan melakukan kebaikan, dan dengan kekuatan yang perlu untuk memerintah ciptaan
yang lebih rendah.
Pandangan
Para Reformator
Para reformator
menolak pembedaan antara gambar dan rupa Allah dan mereka menganggap kebenaran
asali sebagai sesuatu yang sudah tercakup dalamnya dan menjadi milik dari sifat
manusia yang paling mendasar dalam keadaannya semula. Di samping itu, ada juga perbedaan pendapat
antara Luther dan Calvin.
Pertama, Luther tidak mencari gambar dan rupa Allah dalam penampakan fisik
manusia, seperti misalnya kekuatan rasional atau moral, tetapi semuanya di
dalam kebenaran asali, dan dengan demikian, ia menganggap semua itu hilang
dalam dosa.
Kedua, Calvin menyatakan pendapatnya bahwa gambar dan rupa Allah mencakup
segala sesuatu di mana sifat dasar manusia mengatasi segala sifat binatang
(Louis Berkhof, 1994: 43-45).
Pandangan Gereja-Gereja.
Di bawah ini akan dikemukakan pandangan Gereja Reformed, Gereja
Lutheran, dan Gereja Roma Katolik tentang gambar dan rupa Allah dalam diri
manusia.
Pandangan Gereja Reformed
Gereja-gereja Reformed yang mengikuti jejak Calvin memiliki konsep
yang lebih lengkap dan menyeluruh tentang gambar dan rupa Allah jika
dibandingkan dengan Gereja-gereja Lutheran atau Gereja Roma Katolik. Akan tetapi mereka juga tidak semuanya setuju
pada isinya secara pasti, misalnya:
Pertama, Dabney mengatakan bahwa gambar dan rupa Allah tidak termasuk dalam
segala sesuatu yang mutlak esensial pada sifat manusia, sebab kehilangan gambar
dan rupa Allah itu akan membawa kehancuran sifat manusia; akan tetapi
semata-mata dalam beberapa kebetulan.
Kedua, McPherson menegaskan bahwa gambar dan rupa Allah itu adalah milik
sifat esensial manusia. Jika gambar dan
rupa Allah itu hilang, maka manusia akan berhenti menjadi manusia. Dalam menjawab pertanyaan, apakah gambar dan
rupa Allah merupakan milik dari esensi manusia yang paling mendasar? Teologi
Reformed tidak ragu-ragu mengemukakan bahwa gambar dan rupa Allah ini membentuk
esensi manusia. Akan tetapi teologi Reformed membedakan antara elemen-elemen
dalam gambar dan rupa Allah yang tidak mungkin hilang dari manusia tanpa
berhenti menjadi manusia, termasuk dalam kualitas esensial dan kekuatan dari
jiwa manusia, dan elemen-elemen yang dapat hilang dari manusia, tetapi tetaplah
menjadi manusia, yaitu kualitas etis yang baik dari jiwa dan kekuatannya. Gambar dan rupa Allah dalam arti sempit sama
dengan kebenaran asali. Gambar dan rupa
Allah ini adalah kesempurnaan yang mungkin hilang karena dosa.
Pandangan Gereja Lutheran
Konsep Gereja Lutheran yang masih dipegang sampai sekarang tentang
gambar dan rupa Allah berbeda secara material dengan konsep teologi Reformed. Teolog-teolog Lutheran sebagian besar
memiliki konsep tentang gambar dan rupa Allah dengan membatasinya hanya sebagai
kualitas spiritual yang dikaruniakan kepada manusia, yaitu apa yang disebut
sebagai kebenaran asali. Manusia
kehilangan gambar dan rupa Allah seluruhnya karena dosa dan apa yang membedakan
manusia dengan binatang-binatang secara teologis dan religius tidaklah
penting. Perbedaan besar antara keduanya
terletak pada gambar dan rupa Allah dan sekarang manusia telah kehilangan
gambar dan rupa Allah itu. Barth lebih
dekat dengan pandangan Gereja Lutheran, dia berkata bahwa gambar dan rupa Allah
bukan saja dirusakkan, tetapi menjadi hilang sama sekali karena dosa.
Pandangan Gereja Roma Katolik
Orang-orang Roma Katolik sendiri tidak semuanya memiliki konsep yang
sama tentang gambar dan rupa Allah.
Walaupun demikian, di sini akan dikemukakan hanya pendapat yang paling
banyak diterima di antara mereka. Mereka
berpendapat bahwa ketika Allah menciptakan, Ia memberi manusia sejumlah karunia
natural, seperti: spiritualitas, jiwa dan kekekalan tubuh. Kerohanian, kebebasan berkehendak, dan
kekekalan adalah pemberian natural dan semua ini membentuk gambar dan rupa
alamiah manusia. Lebih jauh lagi Allah
menyesuaikan kekuatan natural manusia satu dengan yang lain, menempatkan yang
lebih rendah di bawah yang lebih tinggi.
Keselarasan yang diperoleh kemudian disebut sebagai kebenaran
asali. Akan tetapi tetaplah tinggal
dalam diri manusia suatu kecenderungan natural dari keinginan yang lebih rendah
serta nafsu-nafsu untuk melawan dan memberontak pada otoritas kekuatan yang
lebih tinggi dari pemikiran dan hati nurani.
Kecenderungan itu sendiri bukanlah dosa, tetapi menjadi dosa bila
dilaksanakan dalam tindakan yang didorong oleh kehendak. Dalam upaya untuk memungkinkan manusia untuk
senantiasa menjaga sifat yang lebih rendah yang ada dalam diri manusia, maka
Allah menambahkan kesempurnaan supranatural kepada kesempurnaan natural. Penambahan ini mencakup kesempurnaan
supranatural dari kebenaran asali, yang ditambahkan sebagai suatu pemberian
asing bagi konstitusi asli manusia, baik secara langsung pada waktu penciptaan
maupun pada waktu selanjutnya sebagai anugerah karena manusia memakai kekuatan
naturalnya dengan tepat. Karunia-karunia
supranatural ini termasuk juga kesempurnaan supranatural dari kebenaran asali,
kemudian hilang karena dosa, tetapi ini tidaklah merusakan seluruh sifat
esensial manusia (Louis Berkhof, 1994: 52-55).
Data Alkitab Tentang Gambar dan Rupa Allah Dalam Diri Manusia
Alkitab menyatakan bahwa Allah menciptakan manusia menurut gambar
dan rupa Allah (Kejadian 1:26-27; 5:1-3; 9:6; I Korintus 11:7; Yakobus
3:9). Tampaknya tidak ada perbedaan di
antara kata-kata Ibrani untuk tselem,
“gambar” dan demut, “rupa”, sehingga
tidak perlu mencari-cari perbedaan itu.
Kata “gambar” dan “rupa” dipakai secara bersinonim dan dipakai saling
bergantian. Dengan demikian, kata-kata
itu tidak menunjuk dua hal yang berbeda.
Dalam Kejadian 1:26, kata “gambar” dan “rupa” dipakai, tetapi dalam ayat
27 hanya kata “gambar” dipakai. Dalam
Kejadian 5:1 hanya kata “rupa” dipakai, tetapi dalam ayat 3 kata “rupa” dan
“gambar” muncul lagi. Kejadian 9:6 hanya
memakai kata ”gambar” untuk menunjukkan keseluruhan. Jika kita melihat Perjanjian Baru, kita dapati
kata “gambar” dan “kemuliaan” dipakai dalam I Korintus 11:7. “Gambar” dipakai dalam Kolose 3:10, dan “rupa”
ditulis dalam Yakobus 3:9. Jadi jelas
bahwa kedua kata itu dipakai secara bergantian dalam Alkitab. Kenyataan ini cukup untuk mendukung keseluruhan
ide ini, yaitu bahwa istilah “gambar” dan “rupa” menunjuk hal yang sama.
Namun perlu dibahas, dalam hal apakah kesamaan antara manusia dengan
Allah, seperti yang terdapat dalam ungkapan, “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut
gambar dan rupa Kita, …” (Kejadian 1:26).
Pertama, Kesamaan itu adalah kesamaan rohani. Hodge, sebagaimana dikutip oleh Henry C.
Thiessen yang mengatakan, “Allah adalah Roh, jiwa manusia adalah roh juga. Sifat-sifat hakiki dari roh ialah akal budi,
hati nurani, dan kehendak. Roh adalah
unsur yang mampu bernalar, bersifat moral, dan oleh karena itu juga berkendak
bebas. Ketika menciptakan manusia
menurut gambar-Nya, Allah menganugerahkan kepadanya sifat-sifat yang
dimiliki-Nya sebagai roh. Dengan
demikian, manusia berbeda dari semua makhluk lain yang mendiami bumi ini, serta
berkedudukan jauh lebih tinggi daripada mereka. Manusia termasuk golongan yang sama dengan
Allah sendiri sehingga mampu berkomunikasi dengan Penciptanya. Kesamaan sifat antara Allah dan manusia … juga
merupakan keadaan yang diperlukan untuk mengenal Allah dan karena itu merupakan
dasar dari kesalehan kita. Bila kita
tidak diciptakan menurut gambar Allah, kita tidak dapat mengenal Dia. Kita akan sama dengan binatang yang akhirnya
binasa” (Henry C. Thiessen, 1992: 237). Pernyataan
Hodge di atas didukung oleh Alkitab. Dalam
pengudusan, manusia “…terus-menerus diperbaharui untuk memperoleh pengetahuan
yang benar menurut gambar Khaliknya” (Kolose 3:10). Sudah tentu pembaruan itu dimulai pada saat
terjadi kelahiran kembali dan dilanjutkan dalam pengudusan. Manusia diberi
kemampuan intelektual yang tinggi tersirat dalam perintah untuk mengusahakan
Taman Eden (Kejadian 2:15), juga perintah untuk menguasai bumi serta segala
isinya (Kejadian 1:28), dan dalam pernyataan bahwa manusia memberi nama kepada
segala binatang di bumi (Kejadian 2:19-20). Kesamaan dengan Allah ini tidak dapat dihapus,
maka kehidupan manusia yang belum dilahirkan kembali juga berharga (Kejadian
9:6; I Korintus 11:7; Yakobus 3:9). Gambaran
tentang keadaan mula-mula manusia ini sangat berbeda dengan pandangan evolusi. Menurut teori evolusi, manusia yang pertama
hanya sedikit di atas binatang liar – yang tidak hanya bodoh, tetapi sama
sekali tanpa kemampuan mental apa pun.
Kedua, Kesamaan itu adalah kesamaan moral. Kesamaan moral artinya manusia dilengkapi
dengan kebenaran dan kekudusan. Hal itu
sangat jelas dalam Alkitab, seperti yang diungkapkan dalam Efesus 4:24, “Dan
mengenakan manusia baru, yang telah diciptakan menurut kehendak Allah di dalam
kebenaran dan kekudusan yang sesungguhnya.” Dapat disimpulkan bahwa pada mulanya manusia
memiliki, baik kebenaran maupun kekudusan. Konteks Kejadian 1 dan 2 membuktikan hal itu,
yaitu ketika manusia diciptakan, sebelum kejatuhannya ke dalam dosa. Hanya dengan dasar kebenaran dan kekudusan
inilah manusia dapat bersekutu dengan Allah. Kenyataan ini juga dapat disimpulkan dari
Kejadian 1:31 yang mengatakan, “Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu,
sesungguhnya amat baik.” Kata “segala”
mencakup juga manusia yang diciptakan dengan keadaan moral yang sempurna.
Apakah yang dimaksud dengan
kebenaran dan kekudusan mula-mula? Kebenaran dan kekudusan mula-mula bukanlah
hakikat manusia, karena dengan demikian watak manusia pasti sudah tidak ada
lagi ketika ia berbuat dosa. Kebenaran
dan kekudusan mula-mula juga bukan pemberian dari luar, yaitu sesuatu yang
ditambahkan kepada manusia setelah ia diciptakan, karena dikatakan bahwa
manusia memiliki gambar dan rupa Allah itu ketika ia diciptakan dan bukan
karena dikaruniakan kepadanya setelah diciptakan.
Thiessen mengutip
penjelasan Shedd sebagai berikut, “Kekudusan bukanlah sekadar keadaan tidak
berdosa. Tidaklah memadai untuk mengatakan bahwa manusia diciptakan dalam
keadaan tidak berdosa. Hal ini dapat
dikatakan apabila manusia sama sekali tidak memiliki watak yang moral, entah
itu benar atau salah. Manusia diciptakan
bukan saja sebagai makhluk yang tidak berdosa secara negatif, tetapi juga
sebagai makhluk kudus secara positif. Keadaan manusia yang diperbarui adalah
pemulihan keadaannya yang semula; dan kebenaran manusia yang telah diperbarui
disebut dalam Alkitab sebagai kata theon
(Efesus 4:21) dan sebagai kekudusan yang sesungguhnya (Efesus 4:24). Ini merupakan watak yang positif dan bukan
sekadar keadaan tidak berdosa” (Henry C. Thiessen, 1992: 239). Kekudusan mula-mula ini dapat diartikan
sebagai kecenderungan kasih sayang dan kehendak manusia ke arah pengetahuan
rohani tentang Allah dan hal-hal yang berhubungan dengan Allah pada umumnya,
sekalipun disertai kesanggupan untuk salah pilih.
Ketiga, Kesamaan itu adalah kesamaan sosial. Sifat sosial Allah didasarkan pada kasih
sayang-Nya. Yang menjadi sasaran kasih
sayang-Nya adalah pribadi-pribadi lain di dalam ketritunggalan-Nya. Karena Allah memiliki sifat sosial, maka Ia
menganugerahkan kepada manusia sifat sosial. Akibatnya, manusia senantiasa mencari sahabat
untuk bersekutu dengannya. Pertama-tama
manusia menemukan persahabatan ini dengan Allah sendiri. Allah menciptakan manusia untuk diri-Nya
sendiri dan manusia menemukan kepuasan tertinggi dalam persekutuan dengan
Tuhannya. Di samping itu, Allah juga
menganugerahkan persahabatan manusiawi. Ia menciptakan perempuan, karena sebagaimana
dikatakan-Nya sendiri, “Tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya yang
sepadan dengan dia” (Kejadian 2:18). Agar
persekutuan ini menjadi sangat mesra, Ia menciptakan perempuan dari tulang
rusuk laki-laki. Adam mengakui bahwa
Hawa adalah tulang dari tulangnya dan daging dari dagingnya, maka dinamakannya
perempuan. Oleh sebab hubungan yang
begitu intim di antara keduanya, “Seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya
dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging”
(Kejadian 2:24). Jelaslah bahwa manusia
diciptakan dengan sifat sosial, sebagaimana Allah mempunyai sifat sosial. Kasih dan perhatian sosial manusia bersumber
langsung dari unsur ini dalam watak manusia.
Kesimpulan
Menurut Alkitab
bahwa esensi manusia tercakup dalam hal bahwa manusia adalah gambar dan rupa
Allah, yang berarti manusia memiliki kesamaan dengan Allah, yaitu kesamaan
rohani, kesamaan moral, dan kesamaan sosial. Dengan demikian, manusia berbeda dengan semua
makhluk ciptaan yang lain dan menjadi yang tertinggi di mana manusia sebagai mahkota
ciptaan Allah atas seluruh ciptaan. Alkitab
mengakui bahwa manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah atau segambar
dan serupa dengan Allah (Kejadian 1:26-27; 9:6; Yakobus 3:90), dan Alkitab juga
berkata bahwa manusia adalah pembawa gambar Allah (I Korintus 11:7; 15:49). Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa
kedua kata, “gambar” dan “rupa” menunjuk pada pengertian yang sama. Pengertian yang diungkapkan oleh kedua kata
itu menunjukkan bahwa manusia sungguh-sungguh memiliki kesamaan dengan Allah.
Doktrin tentang gambar dan rupa
Allah dalam diri manusia sangat penting dalam teologi, sebab gambar dan
rupa Allah ini adalah suatu kualitas yang menjadikan manusia istimewa dalam
hubungannya dengan Allah. Kenyataan
bahwa manusia adalah gambar dan rupa Allah menjadikan manusia berbeda dengan
binatang dan dengan semua makhluk yang lain. Sejauh kita dapat belajar dari Alkitab bahwa
malaikat pun tidak mendapat kemuliaan ini, walaupun kadang-kadang malaikat
dikatakan seolah-olah memiliki kemuliaan sedemikian. Alkitab menegaskan pula bahwa manusia
satu-satunya makhluk ciptaan yang segambar dan serupa dengan Allah yang
memiliki kualitas untuk menguasai segala ciptaan-Nya yang lain (Kejadian 1:28),
untuk menghakimi dunia, bahkan untuk menghakimi malaikat-malaikat (I Korintus
6:2-3).
Dengan mengetahui bahwa manusia
adalah ciptaan Allah yang termulia, karena diciptakan menurut gambar dan rupa
Allah, maka manusia wajib menghargai dirinya dan sesamanya sebagai ciptaan yang
mulia dan mau menyatakan gambar dan rupa Allah dalam kehidupan sehari-hari,
melalui kerohanian, moral yang baik, dan kehidupan sosial dengan mengasihi
sesama manusia seperti diri sendiri.
Amin.
KEPUSTAKAAN
Becher, Teol. Dieter. 1991. Pedoman
Dogmatika. Jakarta: BPK Gunung
Mulia.
Berkhof, Louis. 1994. Teologi
Sistematika Volume 2: Doktrin Manusia. Jakarta: Lembaga Reformed Injili Indonesia.
Hadiwijono, Harun. 1988. Iman
Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia,
Cetakan Keenam.
Ryrie, Charles C. 1991. Teologia
Dasar Volume 1. Yogyakarta: Yayasan
Andi, Cetakan Pertama.
Thiessen, Henry C. 1992. Teologi
Sistematika. Malang: Penerbit Gandum
Mas, Cetakan Pertama.
Van Nifrik, G. C. 1990. Dogmatika Masa Kini. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
* Disampaikan pada tanggal 6 dan
20 Mei 2003 dalam ibadah pembinaan keluarga besar mahasiswa Kristen (KBMK)
Fakultas Peternakan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan (Jurusan Perikanan)
Universitas Hasanuddin Makassar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar