Kekudusan
dalam Perjanjian Lama didefenisikan dengan beberapa pengertian. Ada yang
mengartikan bahwa kekudusan dalam Perjanjian Lama dikaitkan dengan Allah
sendiri. Menurut William Dryness, bahwa: “Kekudusan dalam Perjanjian Lama
terutama dikaitkan dengan Allah sendiri dan baru kemudian (lewat perintahNya)
dengan benda-benda dan tempat-tempat (Keluaran 15:11; Yesaya 40:25).
Benda-benda dan tempat-tempat ditandai oleh Allah sebagai yang kudus, karena Ia
sendiri hadir di situ atau kehadiranNya dihubungkan dengan tempat tersebut
(Keluaran 3:5; 29:43; I Samuel 6:19,20).”[1]
Jadi, pengertian kekudusan disini dapatlah diterjemahkan “terpotong,
dipisahkan, disendirikan untuk pekerjaan khusus, diserahkan untuk disucikan.
Ulrich Bayer menjelaskan penggunaan
kata “kudus” dalam Perjanjian Lama dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu: Pertama, disebutkan kudus segala macam
benda yang berkenaan dengan Ibadat Israel (bait, kurban, pakaian imam,
waktu-waktu tertentu , misalnya Sabbat dan lain-lain). Kalau sesuatu terkena
najis, maka kekudusannya perlu dipulihkan kembali melalui pentahiran. Kedua, para nabi mengemukaakan arti
kekudusan itu untuk perilakumanusia. Jadi segi kultis (kitab Imamat) dibarengi
deengan segi susila (Hosea 11:9; Yesaya 6:1-6), ibadat dan kehidupan kudus. [2]
Jika diperluas, kekudusan Allah juga
berkaitan dengan umat yang dipilihNya. Israel harus menjadi suatu bangsa yang
kudus bagi Allah (Keluaran 23:31). Dalam tindakan-tindakan-Nya demi keselamatan
Israel, Ia menunjukkan kekudusanNya (Bilangan 20:13). Dari
pengertian-pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa arti kekudusan
dikaitkan dengan Allah sendiri dan kemudian kepada hari-hari, benda-benda,
tempat-tempat dan lain-lain. Kekudusan milik Allah memantulkan kekudusan Allah
sendiri. Karena Allah kudus, maka barang apa pun yang diuntukkan bagiNya
menerima sifatNya sendiri, yaitu kekudusan. “Kuduslah kamu, sebab Aku, TUHAN,
Allahmu, kudus” (Imamat 19:2).[3]
Peter Wongso menjelaskan lebih
lanjut bahwa di dalam Perjanjian Lama yang menjadi milik Yehovah semuanya
kudus. Seperti hari-hari Tuhan sebagai hari kudus (Kejadian 2:2), tanah Tuhan
sebagai tanah kudus (Keluaran 3:5). Juga tempat tinggal Tuhan sebagai tempat
kudus (Keluaran 25:8), umat Tuhan sebagai bangsa yang kudus (Keluaran 19:5-6;
13:2). Bahkan segala sesuatu yang termasuk upacara persembahan harus
dikuduskan. Seperti orang Lewi, imam, kemah, kewibawaan, keadilan dan
kebenaran-Nya.[4] Donald Guthrie memberikan pengertian yang
sama mengenai kekudusan Allah, bahwa sifat Allah yang paling khas dalam
Perjanjian Lama ialah kekudusan-Nya. Kekudusan itu berarti bahwa Dia betul-betul
murni dalam pikiran dan sikap. Nama Allah yang khas dalam nubuat Yesaya adalah
“Yang Kudus” (bdg. Yesaya 6).”[5]
[1] William Dryness, Tema-Tema Dalam Teologi Perjanjian Lama
(Malang:Penerbit Gandum Mas, 1992), 35,36.
[2] Ulrich Bayer, Surat 1 & 2 Petrus dan Surat Yudas
(Jakarta:BPK Gunung Mulia, 1972), 54.
[3] Bayer, Ulrich, Surat 1 & 2 Petrus dan Surat Yudas,
54.
[4] Peter Wongso, Soteriologi (Doktrin Keselamatan) (Malang: Seminar Alkitab Asia
Tenggara, 1991), 73.
[5] Donald Guthrie, Teologi
Perjanjian Baru Jilid 1 (Jakarta:BPK Gunung Mulia, 1990), 25-26.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar