Good News

Rabu, 17 Februari 2016

Arti kekudusan oleh Hengki Wijaya

        Kekudusan dalam Perjanjian Lama didefenisikan dengan beberapa pengertian. Ada yang mengartikan bahwa kekudusan dalam Perjanjian Lama dikaitkan dengan Allah sendiri. Menurut William Dryness, bahwa: “Kekudusan dalam Perjanjian Lama terutama dikaitkan dengan Allah sendiri dan baru kemudian (lewat perintahNya) dengan benda-benda dan tempat-tempat (Keluaran 15:11; Yesaya 40:25). Benda-benda dan tempat-tempat ditandai oleh Allah sebagai yang kudus, karena Ia sendiri hadir di situ atau kehadiranNya dihubungkan dengan tempat tersebut (Keluaran 3:5; 29:43; I Samuel 6:19,20).”[1] Jadi, pengertian kekudusan disini dapatlah diterjemahkan “terpotong, dipisahkan, disendirikan untuk pekerjaan khusus, diserahkan untuk disucikan.
          Ulrich Bayer menjelaskan penggunaan kata “kudus” dalam Perjanjian Lama dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu: Pertama, disebutkan kudus segala macam benda yang berkenaan dengan Ibadat Israel (bait, kurban, pakaian imam, waktu-waktu tertentu , misalnya Sabbat dan lain-lain). Kalau sesuatu terkena najis, maka kekudusannya perlu dipulihkan kembali melalui pentahiran. Kedua, para nabi mengemukaakan arti kekudusan itu untuk perilakumanusia. Jadi segi kultis (kitab Imamat) dibarengi deengan segi susila (Hosea 11:9; Yesaya 6:1-6), ibadat dan kehidupan kudus. [2]
            Jika diperluas, kekudusan Allah juga berkaitan dengan umat yang dipilihNya. Israel harus menjadi suatu bangsa yang kudus bagi Allah (Keluaran 23:31). Dalam tindakan-tindakan-Nya demi keselamatan Israel, Ia menunjukkan kekudusanNya (Bilangan 20:13). Dari pengertian-pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa arti kekudusan dikaitkan dengan Allah sendiri dan kemudian kepada hari-hari, benda-benda, tempat-tempat dan lain-lain. Kekudusan milik Allah memantulkan kekudusan Allah sendiri. Karena Allah kudus, maka barang apa pun yang diuntukkan bagiNya menerima sifatNya sendiri, yaitu kekudusan. “Kuduslah kamu, sebab Aku, TUHAN, Allahmu, kudus” (Imamat 19:2).[3] 

Peter Wongso menjelaskan lebih lanjut bahwa di dalam Perjanjian Lama yang menjadi milik Yehovah semuanya kudus. Seperti hari-hari Tuhan sebagai hari kudus (Kejadian 2:2), tanah Tuhan sebagai tanah kudus (Keluaran 3:5). Juga tempat tinggal Tuhan sebagai tempat kudus (Keluaran 25:8), umat Tuhan sebagai bangsa yang kudus (Keluaran 19:5-6; 13:2). Bahkan segala sesuatu yang termasuk upacara persembahan harus dikuduskan. Seperti orang Lewi, imam, kemah, kewibawaan, keadilan dan kebenaran-Nya.[4]  Donald Guthrie memberikan pengertian yang sama mengenai kekudusan Allah, bahwa sifat Allah yang paling khas dalam Perjanjian Lama ialah kekudusan-Nya. Kekudusan itu berarti bahwa Dia betul-betul murni dalam pikiran dan sikap. Nama Allah yang khas dalam nubuat Yesaya adalah “Yang Kudus” (bdg. Yesaya 6).”[5] 



[1] William Dryness, Tema-Tema Dalam Teologi Perjanjian Lama (Malang:Penerbit Gandum Mas, 1992), 35,36.
[2] Ulrich Bayer, Surat 1 & 2 Petrus dan Surat Yudas (Jakarta:BPK Gunung Mulia, 1972), 54.
[3] Bayer, Ulrich, Surat 1 & 2 Petrus dan Surat Yudas, 54.
[4]  Peter Wongso, Soteriologi (Doktrin Keselamatan) (Malang: Seminar Alkitab Asia Tenggara, 1991), 73.
[5]  Donald Guthrie,  Teologi Perjanjian Baru Jilid 1 (Jakarta:BPK Gunung Mulia, 1990), 25-26.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar