Judul Buku : Richard T. France, Henry Martyn: Saksi Kristus di Tanah Arab (118
halaman)
Pada
tahun 1799, Henry Martyn menulis catatan sebagai berikut: “Ketika saya pulang
mengunjungi rumah pada musim panas, saudara perempuan saya sering kali
berbicara tentang hal-hal keagamaan.” Reaksinya sebagai kakak laki-laki dapat
diprediksi : “Berita Injil yang disampaikan dalam teguran dari saudara
perempuannya sangat mengganggu telinganya.” Dalam kunjungannya tersebut ia
mencatat bahwa ia bersikap egois, cepat marah, dan mengeluarkan kata-kata kasar
kepada saudara perempuan dan ayahnya. Tapi, satu hal yang tidak bisa
dimengertinya adalah kesabaran ayahnya terhadap sikap buruknya tersebut.
Tanggapan: ayahnya telah melakukan Firman Tuhan dan memberikan teladan kepada
anak-anaknya.
Henry
Martyn menjadi seorang anak Allah. Allah yang sebelumnya hanyalah sebuah ide,
sekarang menjadi nyata dan Martyn dapat memanggil-Nya Bapa. Ia mulai berdoa,
menikmati waktu doanya, dan menaklukkan diri dengan sukacita menaati kehendak
Tuhan. Mulai saat itulah, Tuhan secara perlahan-lahan menguasai kehidupan Henry
Martyn, karakternya, kemampuannya dan ia mempunyai hubungan yang baru dengan
Tuhan dalam hidupnya. Henry yang telah dilahirkan kembali.
Dorongan
yang paling besar yang menarik Martyn untuk memikirkan pelayanan misi, adalah
ketika pada musim gugur tahun 1802 ia menemukan figure pahlawannya, di dalam
buku harian David Brainerd. Baik Martyn dan Brainerd mempunyai kerinduan dan
pergumulan untuk hubungan yang lebih dekat pada Tuhan, berjuang melawan natur
keegoisan diri serta dosa, dan mereka berdua suka berdoa. Pengenalan akan Allah
menimbulkan rasa cinta akan jiwa manusia yang masih tersesat. Ia berdoa,
berpuasa, mengasihi, dan bekerja, dan Allah mengirim hamba-Nya yang lembut ini
ke hutan belantara yang menakutkan untuk berkhotbah kepada orang-orang India
kulit merah. Di sinilah ia berdoa dan berkhotbah terus-menerus di tengah-tengah
ketidaknyamanan dan penderitaan. Martyn berkata: “Saya merasa hati saya terajut
dengan pria tersebut dan merasa bersukacita ketika saya memikirkan akan bertemu
dengannya di sorga. Saya rindu menjadi seperti dia; biarkan saya melupakan
dunia dan tertelan habis oleh kerinduan untuk memuliakan Allah.”
Ide
pelayanan misi tidaklah popular di antara teman-teman Martyn. Tidak ada yang
mendukungnya. Ada seorang temannya yang bertradisi “hiper Calvinis”; ia menuduh
antusiasme William Carey untuk pekerjaan misi karena seakan-akan Allah
membutuhkan pertolongannya untuk mempertobatkan orang-orang yang belum percaya.
Temannya itu terbawa terlalu tinggi oleh pandangan itu, dan Martyn menemukan
hati temannya itu telah “begitu membeku.” Tanggapan: pandangan “Hiper Calvinis”
menganggap penginjilan dan keselamatan jiwa adalah hak mutlak Allah siap yang
akan diselamatkan dan ini berhubungan dengan doktrin predestinasi yang terlalu ekstrim. Sementara Alkitab menuliskan
Amanat Agung Tuhan Yesus (Matius
28:19-20). Sikap kita yang sesuai dengan Alkitab bahwa Yesus menyelamatkan
semua orang dan kewajiban kita adalah memberitakan keselamatan kekal kepada
semua orang dan hasilnya ada di tangan Tuhan.
Martyn
bisa setujua bahwa “Pertobatan dari orang-orang yang direndahkan seperti mereka
(perempuan-perempuan tunasusila) mungkin tidak pernah menghasilkan dampak yang
luas bagi bangsa India secara keseluruhan, tapi mereka adalah orang-orang yang
dipercayakan Tuhan bagiku dan mereka juga berharga di mata Tuhan.” Keberhasilan
bukanlah kriteria Martyn. “Jika kita bekerja sampai pada akhirnya tanpa melihat
seorang pun yang bertobat, hal itu tidak akan menjadi lebih buruk pada
waktunya, dan upah kita sama di kekekalan.” Memberitakan Injil dengan Roh Kudus
yang diutus dari sorga adalah sebuah cara yang lebih baik untuk memenangkan
jiwa.” Karya Martyn adalah terjemahan
Perjanjian Baru dalam bahasa Persia dan Hindustan. Hal ini membahagiakannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar