Aplikasi
Kebenaran tentang Cara Berpakaian Menurut Alkitab
Kebenaran tentang cara berpakaian ini
menegaskan cara hidup kudus melalui cara berpakaian dan penampilan yang sopan
dan sederhana. Godaan terhadap nafsu tidak sekali dating dan terus berhenti,
tetapi kontinu, agresif dan akan melakukan segala cara untuk membuat para laki-laki
jatuh. Para perempuan punya pilihan untuk membantu laki-laki hidup kudus atau
membantu nafsu menyelesaikan tugasnya. Aplikasi cara berpakaian dalam kehidupan
pribadi orang percaya, gereja, dan masyarakat secara singkat dan jelas
dijelaskan penulis di bawah ini.
Kesopanan Berpakaian: Kesederhanaan
dan Pengendalian Diri
Menurut 1 Timotius 2:9, para perempuan
Kristen harus mengenakan pakaian yang sopan dengan kesederhanaan dan
pengendalian diri. Dengan demikian apabila perempuan Kristen mengikuti tren
masa kini yang tidak sopan, maka perempuan tersebut hidup dalam keduniawian. Dan
yang menyedihkan adalah bentuk keduniawian ini sedang bertumbuh, khususnya di
antara para perempuan yang masih muda (remaja).[1]
Firman Tuhan di dalam 1 Timotius 2:9-10, “Demikian
juga hendaknya perempuan. Hendaklah ia berdandan dengan pantas, dengan sopan dan sederhana, rambutnya jangan berkepang-kepang,
jangan memakai emas atau mutiara ataupun pakaian yang mahal-mahal, tetapi
hendaklah ia berdandan dengan perbuatan baik, seperti yang layak bagi perempuan
yang beribadah.” Rasul Paulus menekankan kata-kata “kesederhanaan dan
pengendalian diri.” Semua penampilan yang pantas adalah hasil dari hati yang
takut akan Tuhan, di mana kesederhanaan dan penguasaan diri berasal.[2]
Maksud perkataan Paulus dalam 1 Timotius 2:9-10,
Allah menghendaki perempuan Kristen berdandan dengan pantas dan sopan. Kata
“pantas” dalam bahasa Yunani “aidos” mengandung arti merasa malu bila
menampakan bagian tubuh. Berdandan secara tidak pantas yang mungkin
menggairahkan keinginan yang tidak suci merupakan kesalahan yang sama besarnya
dengan keinginan mesum yang terang-terangan.[3] Kesederhanaan
berarti pantas. Itu artinya menghindari memakai pakaian atau perhiasan yang
berlebihan atau menggoda secara seksual. Kesederhanaan adalah kerendahan hati
yang ditampilkan lewat pakaian. Kesederhanaan adalah keinginan untuk melayani
orang lain, khususnya para laki-laki, bukan untuk menonjolkan diri atau
menggoda secara seksual. Sebaliknya tidak sederhana berarti lebih dari sekedar
memakai rok pendek atau pakaian terbuka, tetapi suatu tindakan untuk menarik
semua perhatian terpusat pada diri Anda di mana seharusnya Anda menjadikan
Tuhan adalah pusat perhatian.[4]
Bila cara berpakaian menjadi masalah perempuan
maka para laki-laki juga mengalami godaan yang serupa. Sementara perempuan
harus mengambil langkah-langkah yang benar untuk memastikan bahwa dia tidak
aktif memikat seorang laki-laki untuk berbuat dosa (dalam hal ini mencakup cara
berpakaian sederhana dalam konteks budaya sendiri), namun perempuan tidak
bertanggung jawab sepenuhnya atas apa yang menyebabkan para laki-laki
tersandung. Alkitab tidak membuat perempuan bertanggung jawab untuk
kecenderungan manusia untuk nafsu. Yesus dengan jelas mengatakan bahwa nafsu
(keinginan) tidak hanya terjadi secara fisik, tetapi hadir dalam pikiran dan
batin manusia sehingga menginginkan sebelum melakukan perbuatan nafsu tersebut
adalah dosa (Matius 5:27-28).
Pada saat laki-laki
melihat bagian tubuh perempuan
yang tidak seharusnya mereka lihat, seharusnya merekapun harus dapat mengendalikan
diri mereka dan menjauh dari dosa, bukan malah membiarkan diri mereka untuk
jatuh kedalam dosa. Seperti firman
Tuhan di dalam Matius 5:28, “Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan,
serta menginginkannya, sudah berzinah di dalam hatinya.” Hal itu berarti melihat dan berpikir tentang pikiran dosa saja sudah berdosa. Selanjutnya
Matius 5:29,
“Maka jika matamu yang kanan menyesatkan engkau, cungkillah dan buanglah itu,
karena lebih baik bagimu jika satu dari anggota tubuhmu binasa, daripada
tubuhmu yang utuh dicampakan ke dalam neraka.” Misalnya sekadar melirik dengan
mata dan menikmati apa yang diperlihatkan dan ditonjolkan oleh para perempuan dengan
pakaian ketat dan minim mereka adalah dosa. Aplikasinya adalah bahwa satu
lirikan tidak pernah memberi kepuasan dan hanya membangkitkan hasrat untuk
melihat lebih banyak lagi, seperti halnya dengan pornografi. Nasihat Amsal 27:20
dalam terjemahan King James versi lama, “Neraka dan kebinasaan tidak pernah
penuh; demikianlah mata manusia tidak pernah puas.” Selanjutnya, Roma 6:21, “Dan
buah apakah yang kamu petik dari padanya? Semuanya itu menyebabkan kamu merasa
malu sekarang, karena kesudahan semuanya itu ialah kematian.” Hanya kesenangan
dosa sesaat pada akhirnya berbuah dosa dan rasa malu. Hal ini terjadi di awal
manusia jatuh dalam dosa (Kejadian 3:6).[5]
Tanggung jawab para laki-laki menahan diri dari
nafsu seksual dengan apa yang dilihatnya dan diinginkannya, sementara perempuan
mengendalikan dirinya untuk tujuan yang sama yaitu tujuan kekudusan hidup.
Menahan diri untuk tujuan kemuliaan Tuhan dan bukan diri sendiri. Para laki-laki
lebih mudah terpengaruh dengan apa yang mereka lihat dibandingkan perempuan.
Jadi godaan untuk jatuh lebih besar, namun demikian para laki-laki bertanggung
jawab atas dirinya sendiri dan tidak boleh menghakimi perempuan atas dasar
penampilan dan cara berpakaian mereka, seperti halnya Adam menyalahkan Hawa
atas perbuatannya di Taman Eden.
Aplikasi yang lebih luas adalah bahwa baik perempuan
maupun laki-laki harus menghindari pakaian yang provokatif secara seksual, atau
pakaian yang tidak sopan. Aturan umum yang praktis adalah bahwa pakaian harus
membantu individu memuliakan Kristus dengan tidak mengganggu gaya hidup orang
percaya dan perbuatan baik. Cara ini melihat kesopanan mengarah ke pandangan
yang positif terhadap perempuan terutama karena berasumsi bahwa perempuan
memiliki sesuatu yang lebih baik untuk menunjukkan kecantikan dari dalam, bukan
untuk menunjukkan mereka sebagai penggoda yang berbahaya yang harus
ditutup-tutupi sebanyak mungkin. Hal ini menjadi jawaban yang efektif untuk
legalisme tanpa Kristus yang menentukan aturan tanpa mengatasi masalah di dalam
hati manusia.[6]
Memuliakan Tuhan melalui Tubuh Kristus
Orang percaya mengakui
tubuhnya adalah tubuh Kristus dan di dalam tinggal pribadi Roh Kudus. Di dalam
Alkitab dinyatakan bahwa tubuh kita adalah bait Roh Kudus (1 Korintus 6:19).
Pada awalnya laki-laki dan perempuan disatukan sebagai suami istri dan hanya
pada pasangannya sajalah mereka dapat memperlihatkan tubuh mereka, karena
mereka telah dipersatukan di dalam pernikahan (Matius 19:5). Tetapi nyatanya
tidak sedikit perempuan sekarang yang dengan sengaja memperlihatkan tubuh
mereka pada laki-laki yang bukan suami mereka, hanya untuk memikat lawan jenis
mereka ataupun hanya sekadar mengikuti perkembangan fashion (Roma 8:6-7). Perempuan harus terus menjaga kebebasan yang
Tuhan berikan di dalam hidupnya dan
memandang tubuhnya sebagai tubuh Kristus yang telah lunas dibayar dan memperlakukan
tubuh ini sebagai tempat tinggal Roh Kudus.
Tetapi
nyatanya tidak sedikit perempuan yang
menggunakan kebebasannya dengan sesuka hatinya, dan terjebak dengan budaya mode yang akhirnya melupakan
budaya Kerajaan Allah (budaya Kristus). Tujuan Allah bukan untuk membuat kita bahagia;
tetapi untuk membuat diri kita kudus.[7]
Pada saat kita menjadi kudus secara otomatis kita akan hidup bahagia di dalam
kekudusan itu.
Pemikiran yang keliru bahwa “Ini adalah
tubuhku sendiri, jadi aku dengan bebas boleh melakukan apa pun yang aku
inginkan.” Maka Paulus, dengan menggunakan dua metafora: Bait Allah dan
pembelian budak juga pengajaran tentang Roh Kudus, menekankan bahwa tubuh orang
Kristen bukanlah milik mereka sendiri tetapi milik Allah.[8]
Sebagai pelayan Tuhan, dan sebagai Bait Allah rohani, orang
percaya masa kini patut hidup dalam kekudusan yang sejati. Hidup dalam
kekudusan berarti hidup memisahkan diri untuk Allah dan berusaha untuk menjadi
serupa dengan Kristus.[9] Jadi tubuh yang mengenakan
pakaian adalah milik Allah. Seperti orang percaya bercermin untuk
melihat penampilannya maka mereka pun melihat tubuhnya sebagai tubuh Kristus.
Menuju kepada suatu kekudusan itu memang tidak mudah
dan semuanya perlu proses, tetapi yang perlu dipertanyakan apakah setiap orang
percaya mau diproses dan dibentuk oleh Tuhan? Penyucian adalah suatu proses
perubahan yang terus belangsung menuju kekudusan yang dimulai ketika kamu
menerima Kristus dan tidak berhenti. Kudus adalah terpisah, berbeda dari dunia
yang penuh dosa di sekitarmu.[10]
Berarti dalam hal fisik pakaian yang dikenakan akan mencerminkan apakah orang
percaya berbeda dengan budaya dunia dan menjadi sama dengan budaya Kristus
yaitu berpakaian sopan, pantas dan sederhana sebagaimana yang Alkitab
maksudkan.
Bersaksi melalui Cara Berpakaian
Anda
Sebagai perempuan Kristen yang sudah menerima Yesus
sebagai Juruselamat yang hidup, tentu hidup orang Kristen tidak boleh sama
dengan dunia ini, biarkanlah melalui hidup dan cara berpakaian yang sopan, orang
percaya dapat memperkenalkan Yesus kepada orang lain yang belum percaya. Sebab perempuan
yang mengasihi Juruselamatnya tidak memakai pakaian yang tidak pantas karena ia
tidak mau perhatian orang teralih dari Injil atau dia menjadi kesaksian yang
salah bagi Injil.[11]
Setiap orang percaya tidak perlu lagi berpakaian tidak
sopan untuk mengikuti perkembangan tren pakaian yang ada. Hal itu tidak akan
membuat orang percaya terlihat ketinggalan zaman atau menjadi perempuan yang
tidak modis. Tentu Tuhan juga tidak ingin kita sebagai perempuan tidak dapat
menjaga penampilan, tetapi yang perlu diingat adalah uji semuanya itu pada
firman Allah di dalam Alkitab. Karena wanita yang rendah hati, yang sederhana,
peduli dengan yang terhilang. Dan salah satunya melalui pakaiannya dapat mencerminkan
kepeduliannya.[12]
[6]
Lita Cosner, “Does God Care What I Wear?” diakses 15 Februari 2015,
http://creation.com/clothes.
[8] Pancha
Wiguna Yahya, “Tubuh adalah bagi Tuhan: Sebuah Tinjauan Eksegesis 1 Korintus
6:12-20,” Veritas 14, no. 2 (Oktober
2013): 250.
[9] Herman
Lesmana dan Robi Panggarra, “Makna Bait Allah dalam 1 Korintus 3:16-17 dan
Implikasinya dalam O rang Percaya Masa Kini,” Jurnal Jaffray 12, no. 1 (April 2014): 153.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar