http://www.sttjaffrayjakarta.ac.id/index.php/profil/dari-meja-ketua/80-sejarah-singkat/117-mengenal-dr-ra-jaffray
Dr. Robert Alexander Jaffray adalah seorang misionari the
Christian and Missionary Alliance (CMA) dari Kanada yang melayani di bagian
selatan Tiongkok selama 32 tahun. Setelah berhasil menanam gereja, membangun
sekolah Alkitab dan membangun lembaga penerbitan yang dikenal sampai seluruh
Asia, khususnya komunitas yang berbahasa Kanton (Cantonese), maka beliau
terbeban akan pelayanan di Indonesia (terutama Borneo atau Kalimantan).
Akhirnya beliau menjejakkan kaki di Indonesia tahun 1928 dan menjadikan Sulawesi
Selatan sebagai basis pelayanan beliau. Untuk mewujudkan misinya ke Indonesia,
ia mengutus misionari dari badan misi yang didirikannya yaitu Chinese Foreign
Mission Union (CFMU). Dr Jaffray bersama murid-muridnya dari Tiongkok melakukan
perjalanan ke Indonesia dan diapun akhirnya menetap di Makassar tahun 1931.
Pengutusan ini pada awalnya tidak mendapat dukungan dari misi CMA. Ini
disebabkan karena CMA yang berbasis di Amerika mengalami krisis finansial atau
dikenal dengan Great Depression, dan mereka hanya merestui pembukaan pelayanan
di Indonesia, namun tidak mendapat dukungan apapun. Visi Dr. Jaffray untuk
Indonesia adalah menjangkau dunia untuk Tuhan lewat penginjilan, pendidikan,
dan penerbitan.
Kisah pelayanan Jaffray dimulai ketika dia menerima
panggilan misi ke Tiongkok. Ayahnya adalah pengusaha surat kabar sukses yang
akan mewariskan usaha ini kepada anaknya. Namun Jaffray memutuskan untuk masuk
sekolah misi di New York di bawah pimpinan pendiri C&MA yaitu Dr. A.B.
Simpson. Ayahnya akhirnya memutuskan untuk tidak akan mendukung secara
finansial. Walaupun tanpa dukungan, ia tetap melanjutkan tekadnya melayani
Tuhan.
Selama 32 tahun di Wuchow, China bagian Selatan, Jaffray
berhasil menanam gereja, mendirikan panti asuhan, sekolah Alkitab dan lembaga
penerbitan. Kisah sukses misi Jaffray masuk sampai ke Vietnam (dulu dikenal
dengan Indo-China) tahun 1916. Sampai saat ini gereja-gereja CMA adalah salah
satu gereja Protestan terbesar di Vietnam.
Sejak tahun 1928 CFMU sudah mulai bekerja di Indonesia.
Dalam tempo yang tidak begitu lama, gereja Tuhan bertumbuh dengan pesatnya baik
di Kalimantan Timur dan Pada bulan Januari 1932 Jaffray meresmikan pendirian
Sekolah Alkitab Makassar (SAM) yang sekarang dikenal dengan STT Jaffray.
Tujuannya adalah untuk melaksanakan misi Amanat Agung Kristus kepada dunia bagi
kemuliaan Allah. Jadi tujuan pendirian sekolah sudah jelas yaitu melaksanakan
misi dunia.
Beliau ditangkap tentara Jepang pada tahun 1942. Selama setahun
dia bersama istri dan seorang anak perempuannya ditahan rumah, tetapi kemudian
dia dipindahkan dalam tawanan pria yang merupakan bekas tempat peternakan babi.
Di dalam tawanan itu Dr. Jaffray bersama dengan sebagian tawanan terkena
disentri. Kemudian dia dipindahkan dalam sebuah penjara yang lebih buruk
keadaannya, dan akhirnya dia meninggal dalam tawanan Jepang dengan begitu
tragisnya pada 29 Juli 1945, dan kuburnya ada di kota Makassar. Jejak yang
ditinggalkannya adalah ribuan gereja bertumbuh lewat pelayanannya. Setidaknya
ada tujuh sinode gereja yang lahir secara langsung dari pelayanannya bersama
tim misi CMA dan CFMU. Generasi muda perlu terus mengenal pelayanan Dr. Jaffray
dan belajar untuk melaksanakan tugas misi dunia yang belum selesai. (DR)
https://www.cmalliance.org/about/history/jaffray
R. A. JAFFRAY
Although born into wealth and privilege, Dr. Robert A.
Jaffray had the heart of a pioneer. His father, a Canadian senator, owned and
published the influential Toronto Globe newspaper (now the Toronto Globe and
Mail).
Robert JaffrayAfter hearing A. B. Simpson preach, young
Jaffray enrolled in the New York Missionary Training School (now Nyack
College), and in 1897, a few months before his twenty-fourth birthday, he
sailed for China. There, Jaffray and his group joined a party of Alliance
missionaries that had been on the Chinese field for three years. Among them was
Minnie Donor, whom he wed in August 1900.
During their long tenure in China, the Jaffrays and their
colleagues led many people in the Guangxi province to faith in Jesus Christ and
planted churches in the Wuzhou area. Jaffray made good use of the ink in his
bloodline and established the South China Press, which published The Bible
Magazine, a Chinese-language journal that made Jaffray’s name well-known in
Chinese communities around the world.
In 1928, Jaffray felt God pulling him to the Dutch East
Indies (now Indonesia). Pooling money he had inherited from his father together
with donations from Alliance churches in the United States and Canada, Jaffray
set out on a new venture to bring the gospel to the islands of Borneo (now
Kalimantan) and Celebes (now Sulawesi). Minnie joined him some time later,
after she had finished her work in China.
The Jaffrays were living in Makassar, the provincial capital
of South Sulawesi, at the outbreak of World War II. They, along with their
adult daughter, Margaret, were sent to an internment camp in Kampili,
Indonesia, but in June 1943 Jaffray was separated from his family and sent to
the men’s camp. Jaffray went to be with the Lord in the middle of the night on
July 29, 1945, less than a month before the Japanese surrender. Minnie Jaffray
and Margaret learned of his death after their release.
(From Alliance Life, August 2008)
http://danielronda.blogspot.co.id/2009/08/kisah-akhir-hidup-dr-ra-jaffray.html
KISAH AKHIR HIDUP DR. R.A. JAFFRAY
Oleh Randall Whetzel
(Banyak orang ingin tahu bagaimana sebenarnya akhir hidup
seorang tokoh besar dalam bidang misi seperti Dr. R.A. Jaffray. Kita tahu dia
mati di tawanan Jepang, namun kita belum tahu akhir yang tragis itu. Randall
Whetsel, teman sepenjaranya, mengisahkan kisah akhir Jaffray. Tulisan ini
merupakan kiriman dari Rev. Dr. William Conley yang adalah mantan dosen STT
Jaffray, dan beliau mengizinkan saya untuk menerjemahkannya. Terjemahan Daniel
Ronda).
Jaffray Ditangkap
Ketika tentara Jepang mulai menyerang Asia Tenggara, R.A.
Jaffray, istrinya, Minnie, dan anaknya, Margaret, sedang di Baguio, Filipina,
beristirahat beberapa hari sebelum berangkat ke Kanada. Keluarga Jaffray
diperhadapkan kepada pilihan yang harus diputuskan: kembali ke Timur memakai
kapal laut untuk kembali ke Kanada tempat tinggalnya atau ke Selatan yaitu ke
Indonesia (saat itu masih dijajah Belanda). Tanpa ragu, mereka kembali ke
Makassar, Indonesia. Saya bertanya kepada Jaffray mengapa tidak ke Kanada saja
sesuai rencana, apalagi misi C&MA (The Christian and Missionary Alliance)
sudah menetapkan Pdt. Russell Deibler, pemimpin yang luar biasa, sebagai
pemimpin. Dia menjawab, “Tempatku adalah dengan saudara-saudaraku di
Indonesia.” Jaffray berpikir, sebagaimana saya juga, berharap bahwa dengan
kepulangannya tentara pendudukan Jepang akan mengizinkan pekerjaan misi dilanjutkan.
Justru dia kembali untuk ditangkap.
Jepang telah menyiapkan kamp tawanan untuk pria di
Pare-Pare, sekitar 200 km sebelah utara Makassar. Kamp tawanan untuk perempuan
dan tawanan di Kampili, dekat Makassar. Pada awalnya, orang laki-laki yang sudah
tua ditempatkan di kamp perempuan, tetapi pada Juni 1943, semua orang tua, yang
ditemani sekelompok anak-anak berusia 14 tahun ke atas, direlokasi ke kamp
Pare-Pare. Ketika Jaffray mengucapkan selamat berpisah kepada Nyonya Jaffray
dan Margaret, mereka pun tidak tahu apakah mereka akan bertemu kembali dalam
keadaan hidup.
Tetap Sibuk
Di kamp tawanan, Jaffray bertemu Deibler dan Ernie
Presswood, yang juga misi C&MA. Saya juga bertemu Jaffray untuk pertama
kalinya pada sorenya. Dia dan 23 laki-laki yang sudah tua diizinkan tidak
bekerja dan ditempatkan terpisah dan sedikit baik keadaannya. Jaffray tetap
sibuk menerjemahkan ke bahasa Inggris buku-buku dan tafsiran-tafsiran yang dia
telah tulis dalam bahasa China dengan suatu harapan bahwa setelah perang
berakhir, mereka akan menerjemahkannya ke bahasa Indonesia. Di sana ada tiga
orang China di kamp tawanan: Konsul China, Bapak Wang; wakil-konsul, Lee Tsu
Hwai dan anak laki-laki dari Bapak Wang, Mi Fu. Karena Konsul Wang adalah
seorang diplomat, maka dia tidak perlu bekerja, Jaffray sering bercakap-cakap
dengannya dalam bahasa China.
Dia setiap sore mengusahakan berjalan mengelilingi kamp
dengan Deibler dan Presswood. Saya juga berupaya sesering mungkin bersama dia
pada waktu malam sampai larut. Pelayanannya yang telah dilakukan di China,
Vietnam (dulu Indo-China jajahan Perancis) dan Indonesia adalah suatu hal yang
baru saya tahu. Dia tidak pernah lelah menjawab pertanyaan-pertanyaan saya yang
tak terhitung banyaknya. Setelah Russell Deibler meninggal karena diare tanggal
29 Agustus, hanya Presswood menjadi teman sandaran Jaffray. Ketika itu saya
pergi selama enam hari dengan sekelompok grup kayu untuk menebang pohon dan
memotongnya sebagai kayu bakar untuk dapur Jepang dan juga dapur kami. Waktu
itu kami berhasil menyelundupkan berbagai jenis makanan ke kamp, ditaruh secara
sembunyi di bawah tumpukan kayu bakar. Barang yang paling populer yang
diselundupkan adalah telur bebek, di mana ini menjadi suplemen bagi makanan
untuk kesehatan Jaffray.
Hari Minggu kami lebih memiliki waktu bersama. Presswood,
Jaffray dan saya berbicara sambil minum teh dan kopi, dan Jaffray sering
memberikan teka-teki tentang apa yang saya lihat selama 10 km jalan kami setiap
hari untuk mencari kayu bakar. Dia adalah orang yang penuh humor, dan satu
komentar dari penjaga Jepang sungguh membuat dia tertawa riang. Kebanyakan pada
hari Minggu kami diizinkan beribadah, tetapi suatu minggu kami tidak diizinkan
beribadah. Salah seorang penjaga menjelaskan dalam bahasa Indonesia, “Tidak
boleh meong-meong!” (Maksudnya tidak boleh menyanyi seperti kucing).
Sasaran Lanjutan
Sebelum Perang Dunia Kedua, gereja Katolik dan Protestan
Balanda di Indonesia terlibat dalam perang kata-kata. Saat di kamp, ternyata
ada 40 imam Katolik, 80 awam Katolik dan 40 misionari Protestan yang ditawan
bersama, dan perselisihan terus berlanjut selama beberapa minggu di dalam
tawanan. Dan ketika pertemuan diadakan, salah seorang bertanya “Di fihak mana
kita sebenarnya?” “Kita mempunyai musuh bersama, Jepang yang memenjarakan
kita.” Sejak saat itu perdamaian terjadi. Saat itu Jaffray berkata bahwa dia berharap
bahwa sebenarnya semua masalah dalam kehidupan teratasi sehingga sungguh heran
mengapa orang percaya dari semua gereja tidak bersatu melawan musuh bersama
yang terbesar yaitu Iblis.
Jaffray seringkali berbicara sasaran berikutnya: membuka
daerah Burma (Myanmar) untuk Injil. Dia merasa bahwa pelayanan misi C&MA di
Indonesia sudah berjalan dengan sehat, sehingga dia merasa bebas untuk
melanjutkan visinya. Saya yakin sepenuhnya, bila dia mampu bertahan hidup dalam
perang, dia pasti akan pergi ke Myanmar setelah keadaan lebih baik.
Di dalam kamp tawanan sipil seperti kami, ada beberapa
profesor, guru dan dari berbagai profesi. Para tentara penjaga mengizinkan
adanya kelas-kelas pendidikan yang diajar setelah makan malam. Beberapa dari
guru memiliki buku teks, dan beberapa orang mengajar dari ingatannya. Banyak
mata pelajaran yang diberikan, sehingga pilihan menjadi tidak terbatas. Saya
mengambil kelas filsafat, atau ilmu burung (ornithology) dan sastra. Jaffray
mengikuti kelas etnologi. Saya yakin bahwa ketertarikannya terkait dengan
visinya ke Burma.
Pulang Ke Rumah Bapa
Tanggal 19 Oktober 1944, pasukan Sekutu mengebom kamp kami
di Pare-Pare. Tentara penjaga memindahkan kami dengan berjalan kaki sepanjang
delapan kilometer ke selatan ke beberapa gudang kosong, namun orang yang sudah
tua diizinkan naik menggunakan kendaraan trailer besar yang biasa dipakai
mengangkut kayu bakar. Kondisi kebersihan di kamp yang baru ini sangat
mengerikan. Dalam waktu tidak lama terjadi wabah disentri. Bahkan ketika puncak
wabah, ada sampai 400 dari 600 tawanan yang terkena wabah. Presswood dan saya
kena penyakit ini, tetapi Jaffray tidak.
Pada Juni 1945, Pasukan Sekutu sudah mendekati pulau-pulau
di utara Indonesia, dan tentara Jepang memutuskan untuk memindahkan kami lebih
ke dalam lagi. Kami ada 30 dinaikkan ke sebuah truk dari kamp kami di pantai ke
pegunungan di Toraja di mana waktu tempuh perjalanan selama 16 jam. Orang-orang
yang lebih tua dipindahkan beberapa hari kemudian.
Kamp tawanan baru kami terletak di suatu lembah sekitar
hampir dua kilometer dari ujung jalan. Waktu itu hujan terus menerus, sehingga
jalanan berlumpur, licin, berlubang dan dipenuhi dengan batu-batu. Orang yang
sudah tua tidak dapat berjalan masuk, sehingga kami membuat jalinan bambu dan
membuatnya sepanjang malam sehingga jalanan bisa dilewati. Karena bahayanya,
maka kami mengikat orang tua sehingga bisa lewat. Jaffray dan beberapa orang
lainnya dibawa dengan terburu-buru ke tempat orang sakit, yang berdinding bambu
sederhana dan atap jerami dengan lantai tanah. Selimut sama sekali tidak ada.
Beruntung, Kolonel Woodward dari Bala Keselamatan (Salvation Army) memiliki
jaket tebal sehingga dia menjualnya ke Jaffray US$20, di mana pembayaran akan
diberikan setelah perang.
Kecuali yang sudah lanjut, seluruh tawanan dalam keadaan
kelaparan. Seringkali tidak ada makanan sama sekali selama 24 jam, bahkan
kadangkala 36 jam. Makanan harian adalah setengah gelas nasi, tidak ada garam
dan gula, sayuran tidak teratur dan hampir tidak ada daging sama sekali. Jaffay
sangat memerlukan garam dan gula, tetapi tidak ada seorang pun yang punya.
Beberapa anak muda mencoba menyelinap keluar kamp pada waktu malam untuk
mendapatkan benda-benda itu di desa terdekat. Mereka kembali dengan tangan
hampa, dan tentara penjaga, yang mengabsen tawanan, memukuli mereka.
Berat badan saya turun menjadi 49 kg dari sebelumnya 75 kg
namun saya tetap harus bekerja dengan rekan penebang kayu. Saya kena disentri
lagi dan ditaruh di tempat orang sakit sekitar empat tempat tidur dari Jaffray.
Hari lepas hari Jaffray semakin lemah. Perawat laki-laki memerintahkan
Presswood dan saya untuk memeriksa apakah Jaffray sudah meninggal. Jaffray
kemudian pergi ke rumah Tuhan di tengah malam tanggal 29 Juli 1945, beberapa
minggu sebelum perang berakhir. Perawat tidak memanggil saya sampai pagi
harinya. Presswood kemudian datang, dan kami berdua menangis di samping tempat
tidur hamba Tuhan yang terpilih ini.
Presswood memimpin upacara pemakaman pada pukul 16.00 sore
dalam suasana hari yang dingin dan berangin. Sekelompok paduan suara gabungan
Katolik dan Protestan menyanyikan lagu “Makin Dekat KepadaMu, Tuhan “ (“Nearer
My God to Thee”) dalam harmoni tiga bagian yang diaransir oleh sorang imam,
Pastor Does. Nyonya Jaffray dan Margaret tidak tahu kematian orang yang
dikasihinya sampai kami semua dibebaskan. Setelah perang berakhir, mayat
Jaffray dipindahkan ke tempat yang layak di Makassar, di mana kuburannya masih
ada sampai saat ini (catatan penerjemah: di kuburan Kristen Panaikang).
Kebenaran Yesus yang ada dalam Lukas 9:57-62 sangat tepat
teraplikasi dalam kehidupan Jaffray. Ketika dia sudah melangkah untuk melayani
tidak ada lagi titik balik, baik itu karena masalah rohani maupun fisik. Dia
tidak mempunyai tempat untuk membaringkan kepalanya yang menjadi miliknya.
Lewat pemeliharaan Tuhan, hanya saya dari empat orang yaitu Jaffray, Deibler,
Presswood dan saya yang masih hidup. Lewat pengaruh dari ketiga hamba Tuhan
ini, saya kembali ke Indonesia pada bulan Januari 1948 dengan istri dan
keluarga sebagai utusan misi C&MA. Seseorang yang mengikuti Tuhan dengan
begitu dekat dan penuh dedikasi, sebagaimana yang Jaffray lakukan, adalah
seorang yang layak diikuti (1 Kor 11:1).
Mengenal Penulis:
Tahun 1947, F. Randall Whetzel ditugaskan oleh misi C&MA
ke Indonesia, di mana dia menjadi Direktur Misi Indonesia dari tahun 1957–1963.
Setelah memegang beberapa jabatan dalam bidang bisnis, dia menjadi pengarah
aktivitas World Relief di Asia dari tahun 1985–1991 dan kemudian menjadi
konsultan dari tahun 1991 sampai pensiun tahun lalu (2008). Dia tinggal di
Vancouver, Wash.Kanada
Robert Alexander Jaffray (1873 - 29 July 1945) was a
missionary to China, Indonesia and several other countries, with The Christian
& Missionary Alliance, who served as the founding principal of the Alliance
Seminary, in Hong Kong, and principal contributor and editor of the Chinese
language Bible Magazine. Jaffrey founded the first Chinese missionary society
called the "Chinese Foreign Missionary Union," in 1929.[1] His life
is chronicled in the biography, Let my people go!: The life of Robert A.
Jaffray (1947), by A.W. Tozer.
Background
Robert Jaffray, was born in 1873 into a wealthy family of
which his father owned Canada's Toronto Globe (today’s the Globe and Mail).
Robert's father had great ambitions for his child, wanting him to one day
become the CEO and owner of Toronto Globe.
Calling to Missionary Service
As a young man, Jaffray sensed that he had a calling to
become a missionary. After having an encounter with the founder of The
Christian & Missionary Alliance, A.B. Simpson, Jaffray decided that his
calling was to serve as a missionary to China. His father was deeply opposed to
this and threatened not to pay for his expenses to travel to China, although he
would be willing to pay for the return trip if young Robert ever wanted to
return from his long term missions.
Missionary Work
The Christian & Missionary Alliance sent Jaffray to
Wuzhou, Guangxi, China, in 1897. He served as leader of all C&MA work in
south China. While he was there, his responsibilities included mission
administration, preaching, evangelistic itineration, assistance in founding the
Wuzhou Bible School (later called the "Alliance Seminary in Hong
Kong"), editor of the Chinese "Bible Magazine", and writer for
his publications. The Chinese-language Bible Magazine, which he edited and for
which he wrote many of the articles, was read in Chinese communities all over
the world. Jaffray was known for his leadership qualities and was called a
"missionary strategist and statesman." He wrote for and edited, Bible
Messenger, published by South China Alliance Press. He used this publication to
send training materials to Cantonese missionaries and then later to others,
reprinted in their "colloquial language versions."
Jaffray served in Wuzhou for 35 years, in spite of a heart
condition and diabetes. In 1942, Japan invaded the island where he was
stationed with his wife, Minnie,[2] and his daughter. Soon after the invasion,
Jaffray and other missionaries were arrested by the Japanese, and sent to
internment camps. Jaffray remained captive until his death in 1945 from illness
and malnutrition.[3]
Quotes
"The supreme and crying need of this lost world is the
Gospel. Shall we not rise at Christ's command to carry the blessed saving news
to every perishing one?"
References
"Chinese Mission Head Reveals Vision for China to be
Greatest Evangelical Nation". christiantoday. Retrieved 2009-05-27.
"MISSIONARIES KIDNAPPED—HOW IT HAPPENED: Adapted from
The Alliance Weekly, June 27, 1962". Alliance Life. Retrieved 2009-05-27.
"About Us: Who is Robert Jaffray?". Toronto
Jaffray Chinese Alliance Church (TJCAC). Retrieved 2009-05-27.
Sources
Tozer, A.W. Let my people go!: The life of Robert A. Jaffray
(1947) ISBN 0-87509-189-X
To All People, Niklaus
Indonesia August 2004: Field Facts: Working the Soil
Sumber lainnya:
Jason Stephen Linn, DR.
R. A. Jaffray Pelayanan dan Karyanya di China hingga ke Asia Tenggara.
Bandung: Kalam Hidup, 2012.
http://www.cmresources.ca/wp-content/uploads/2014/12/CMR-JAFFRAY-Robert-Sojourn-in-Mission-FINAL.pdf
Jan Sihar Aritonang dan Karel Steenbrink ed., A History of Christianity in Indonesia. Laiden:
Brill, 2008.https://books.google.co.id/books?id=cUoGJSs9yOUC&pg=PA519&lpg=PA519&dq=history+of+R+A+Jaffray&source=bl&ots=vEsVlyn96a&sig=x_nQHyP7PvHepBiLxT3rVl3r0WM&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwjS4Lz4oYPNAhWBQJQKHRdMBTgQ6AEIOTAG#v=onepage&q=history%20of%20R%20A%20Jaffray&f=false
Tidak ada komentar:
Posting Komentar