Good News

Rabu, 18 Maret 2015

Fondasi Psikologis: Empat Pendekatan Integrasi dalam Pendidikan Agama Kristen By Hengki Wijaya



Pendahuluan
Dalam pandangan pendidikan Kristen bila dihubungkan dengan psikologis merupakan suatu tantangan. Hal itu dikarenakan oleh beberapa alasan. Pertama, pendidikan secara umum dan dipraktikkan selama abad ke-21 ini sangat bergantung pada psikologi, dan berbagai teorinya, penemuan-penemuan penelitiannya dan praktikknya. Kedua, ada bermacam-macam cabang psikologi, termasuk psikologis behavioral, psikoanalitis, kognitif, dan lain-lain. Ketiga, orang Kristen ditantang untuk tetap setia pada pemikiran psikologi secara umum dan atau mengembangkan suatu psikologi Kristen untuk membangun konsep dan praktik pendidikan Kristen.[1]


Empat Pendekatan Integrasi
Pendekatan Terpisah Tetapi Setara/Sama
Dalam pendekatan ini menganggap bahwa iman religi dan perkembangannya pada hakikatnya tidak berkaitan dan tidak terpengaruh  oleh proses psikologis. Pendekatan ini sangat menekankan pada divisi pekerjaan yang jelas, yaitu sesuatu yang dapat mengarah para schizopherenia religious dan agama yang tidak relevan.[2]
Pendukung posisi ini percaya bahwa Alkitab berhubungan dengan masalah-masalah rohani dan teologis, yang mencakup keyakinan dan praktik kekristenan. Tanpa diragukan lagi jenis masalah-masalah yang membangun substansi kekacauan emosional merupakan kesulitan-kesulitan yang dibicarakan Alkitab.Untuk menciptakan sebuah dinding antara Alkitab dan psikologi dan untuk menerima bahwa kedua disiplin ilmu itu Terpisah Tetapi Sama harus ditolak dengan tegas sebagai suatu refleksi isi Alkitab yang tidak akurat.[3]

Pendekatan Kedua Yaitu “Tidak Ada Hubungan”
Pandangan menolak pengetahuan psikologis dan menempatkan manusia dalam konteks agama yang telah ditentukan sebelumnya, dimana kehidupan manusia secara total dibentuk oleh pengetahuan dan perspektif agamawi yang tidak ternodai oleh psikologis tentang pengembangan diri. Pendekatan ini mempertahankan tidak ada hal lain kecuali Alkitab yang menentukan kehidupan  dan mengarahkan pada suatu sikap hidup yang bersifat heteronomi.[4]
Pendirian dasar mereka adalah Tidak Ada Yang Lain Kecuali Kasih Karunia, Iman, Firman. Dalam pertimbangan penulis, model Tidak Ada Hubungan banyak mempercayakan dirinya kepada orang Kristen yang sungguh-sungguh. Oleh karenanya saya mempertanyakan model Tidak Ada Hubungan dalam dua bidang: (1) model itu tidak mempercayai semua pengetahuan dari sumber-sumber sekuler dan (2) cenderung mengurangi interaksi yang kompleks dari dua pribadi kepada model yang terlalu disederhanakan “mengenali-menghadapi-mengubah”. Model “Tidak Ada Hubungan” menekankan bahwa kekalutan psikologis paling tidak dimengerti dan didekati sebagai kumpulan masalah yang disebabkan secara langsung oleh kehidupan yang berdosa dan tidak alkitabiah.[5]



Pendekatan Ketiga Pendekatan Ini “Salad Dicampurbaurkan/Diaduk)
            Adalah pendekatan psikologis total terhadap pendidikan Kristen dan perkembangan iman yang membentuk kembali tuntutan-tuntutan iman yang radikal dan mengurangi ciri-ciri teologi yang unik (anugerah, keselamatan, dosa, dan rasa bersalah dan respon pribadi terhadap iman). Yaitu memcampurbaurkan konsep psikologis dan konsep agamawi, tetapi lebih memprioritaskan psikologis.[6]
            Pendekatan yang ketiga terhadap integrasi menyerupai strategi berikut ini dalam persiapan selada yang diaduk ke dalam kuah: campurlah beberapa bahan bersama-sama ke dalam satu mangkuk untuk menciptakan campuran yang lezat. Meskipun model Salada yang diaduk tanpa sadar sering dipraktikkan oleh orang-orang Kristen yang memegang pandangan tinggi dari ajaran Alkitab, namun dalam pemikiran dengan tak kentara dapat mengakibatkan kita beralih dari kekristenan ke dalam humanisme semata.[7]

Pendekatan Keempat Adalah “Merampas Orang-Orang Mesir”
Pendekatan ini berupaya mencari kebenaran dalam semua bidang penelitian, termasuk psikologis dalam rangka mengafirmasi bahwa seluruh kebenaran adalah kebenaran Allah. Sebagaimana orang-orang Israel menggunakan alat-alat yang terbuat dari emas dan perak yang ditawarkan oleh orang Mesir untuk memperindah Kemah Suci di padang gurun (Kel 12:33-36;35:30-36:38), maka pendidikan Kristen harus menggunakan hikmat yang diperoleh dari psikologis untuk memperkaya konsep dan praktik pendidikan dengan tujuan untuk memuliakan Allah. Kesulitan pendekatan ini adalah” menggunakan barang rampasan” ini adalah pembuatan anak lembu emas-suatu berhala yang dibuat dalam rangka menghormati psikologis dan akhirnya dipegang untuk mengganti penghormatan kepada Allah (Kel 32).[8]
Suatu pendekatan keempat terhadap integrasi yaitu suatu keseimbangan yang dibutuhkan antara kecerobohan yang tidak disengaja dari model Salada yang Diaduk dengan reaksi berlebihan dari model Tidak Ada Hubungan. Model Salada yang diaduk dengan tepat menyatakan bahwa psikologi sekuler memiliki sesuatu untuk ditawarkan, tetapi tidak cukup untuk memperhatikan campuran yang mungkin terjadi dari praduga-praduga yang bertentangan. Model Tidak Ada Hubungan dengan tepat menuntut bahwa setiap bagian konseling Kristen harus benar-benar konsekuensi dengan pengungkapan alkitabiah, tetapi membuat ke luar semua psikologi, termasuk elemen-elemen yang mungkin konsekuen dengan ajaran Alkitab.[9]
Dalam bentuk diagram, model “Merampas Orang-orang Mesir” bisa digambarkan seperti berikut. Pandangan kami menyetujui pendapat Larry Crab. Penjelasannya sebagai berikut. Lingkaran dengan garis terputus-putus yang mengelilingi lingkaran kebenaran yang terungkap atau yang tersingkap mencakup semua data natural atau yang ditemukan yang benar secara alami yang konsistensinya sesuai dengan pengungkapan. Perlu diperhatikan bahwa lingkaran psikologi agak tumpah tindih dengan lingkaran yang kokoh dari kebenaran yang tersingkap. Di dalam diagram, ini diwakili dengan bagian dari lingkaran psikologis yang tumpah tindih dengan lingkaran dengan garis yang terputus-putus dari kebenaran yang tersingkap.[10]
Seorang Kristen yang telah merampas orang-orang Mesir dari psikologi sekuler, dengan hati-hati menyingkirkan elemen-elemen yang melawan komitmennya terhadap pengungkapan ajaran Alkitab, akan diperlengkapi dengan lebih baik untuk memberikan konseling daripada konselor dengan model Selada yang diaduk yang menggabungkan konsep-konsep karena tampaknya konsep-konsep itu diperlukan. [11] Tanggapan kami adalah psikologi dapat memasuki ranah berpikir Kristen apabila pelaku psikologis telah percaya kepada Tuhan Yesus dan bersedia menerima kepercayaan bahwa Alkitab menjadi pedoman terutama untuk membenarkan pandangan psikologis dan bukan sebaliknya psikologis mempengaruhi keputusan bertindak orang percaya.
Implikasinya dalam pendidikan Kristen adalah bagi pendidik Kristen memudahkan pemecahan masalah yang berhubungan dengan psikologi anak yang ditangani secara rohani, yaitu pembimbingan dan pemuridan yang sesuai Alkitab. Jadi ilmu psikologi hanyalah dasar untuk mengetahui kepribadian dan menyelesaikan dalam terang Alkitab.

Kebenaran
yang ditemukan


Kebenaran yang tersingkap

       
        Psikologi
    
 







            Gambar 01

Berbagai Pandangan “Perkembangan”

1.   Pandangan Jean Piaget
Fokus utamanya adalah berkaitan dengan proses berpikir  dan mengetahui. Tubuh yang aktif adalah dasar bagi pengetahuan, interaksi denganlingkungan bagi terjadinya perkembangan. Piaget lebih cenderung memilih perspektif yang bersifat developmental, biologis, kognitif, mikroskopik, dan differensial; dan menekankan diskontiunitas dan aktivitas. Bagi Piaget, tujuan akhir pendidikan bukan mengisi pikiran anak dengan segala macam pengetahuan, melainkan membantu anak berkembang dari satu tahap pemikiran dalam sebuah hirarki pada tahap yang lebih dewasa. Perhatian utama Piaget ialah seorang pendidik seharusnya pada bagaimana anak berpikir dan bukan pada apa yang anak pikirkan. Sebagian orang Kristen mungkin juga mengkritisi asumsi Peaget bahwa pada hakikatnya manusia itu baik. Piaget berasumsi bahwa jika kemampuan berpikir manusia itu ditingkatkan sampai ke tahap yang lebih tinggi, maka pertumbuhan dan perkembangan dan pendewasaan terjadi. Orang Kristen sebaliknya, mungkin menyatakan bahwa kejatuhan manusia memengaruhi kemampuan berpikir manusia dan juga kemampuan lainnya.[12]
Implementasi Teori Perkembangan Kognitif Piaget Dalam Pembelajaran, adalah :[13]
  1. Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak
  2. Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.
3.      Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.
4.      Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.
5.      Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi dengan teman-temanya.
Inti dari implementasi teori Piaget dalam pembelajaran antara lain sebagai berikut: [14]
1.   Memfokuskan pada proses berfikir atau proses mental anak tidak sekedar pada produknya. Di samping kebenaran jawaban siswa, guru harus memahami proses yang digunakan anak sehingga sampai pada jawaban tersebut.
2.   Pengenalan dan pengakuan atas peranan anak-anak yang penting sekali dalam inisiatif diri dan keterlibatan aktif dalam kegaiatan pembelajaran. Dalam kelas Piaget penyajian materi jadi (ready made) tidak diberi penekanan, dan anak-anak didorong untuk menemukan untuk dirinya sendiri melalui interaksi spontan dengan lingkungan.
3.   Tidak menekankan pada praktek - praktek yang diarahkan untuk menjadikan anak-anak seperti orang dewasa dalam pemikirannya.
4.   Penerimaan terhadap perbedaan individu dalam kemajuan perkembangan, teori Piaget mengasumsikan bahwa seluruh anak berkembang melalui urutan perkembangan yang sama namun mereka memperolehnya dengan kecepatan yang berbeda.

Kritik terhadap Teori Piaget
1.   Pada sebuah studi klasik, McGarrigle dan Donalson (1974) menyatakan  bahwa anak sudah mampu memahami konservasi (conservation) dalam usia yang lebih muda daripada usia yang diyakini oleh Piaget.
2.   Studi lain yang mengkritik teori Piaget yaitu bahwa anak-anak baru mencapai pemahaman tentang objek permanence pada usia di atas 6 bulan. Balillargeon dan De Vos (1991) ; 104 anak diamati sampai mereka berusia 18 tahun, dan diuji dengan berbagai tugas operasional formal berdasarkan tugas-tugas yang dipakai Piaget, termasuk pengujian hipotesa. Mayoritas anak-anak itu memang belum mencapai tahap operasional formal. Hal ini sesuai dengan studi-studi McGarrigle dan Donaldson serta Baillargeon dan DeVos, yang menyatakan bahwa Piaget terlalu meremehkan kemampuan anak-anak kecil dan terlalu menilai tinggi kemampuan anak-anak yang lebih tua.
3.  Dan belum lama ini, Bradmetz (1999) menguji pernyataan Piaget bahwa mayoritas anak mencapai formal pada akhir masa kanak-kanak.


2.   Erik Erikson Adalah Seorang Psikoanalisis
            Berbeda dengan Freud yang menekankan pada perkembangan psikoseksual dan perkembangan abnormal, Erikson menekankan pada perkembangan yang normal. Teori Erikson merupakan gabungan dari ilmu biologi, psikologi ego, dan antropologi dalam menganalisis bagaimana seseorang merasakan tubuhnya, dirinya dan perannya dalam masyarakat ketika berbenturan dengan beragam pandangan dalam kehidupannya.  Dia mempertahankan pandangannya bahwa formasi ego itu pada dasarnya bersifat biologis, ditempatkan secara psikologis, dibentuk secara sosial dan prosesnya dikendalikan serta diartikulasi secara kultural. Dalam kaitannya dengan skema Levin teori Erikson bersifat developmental, biologis, sosial, afektif, sangat mikroskopik dan differensial; teori Erikson juga menekankan pada diskontiunitas  dan kombinasi dari sifat aktif dan pasif atau reseptif. Erikson bertentangan  dengan isu dalam  ketujuh skema Levin.
Teori Erikson harus dipertanyakan dalam kaitannya asumsi-asumsi dasarnya.
1.  Bahwa kepribadian manusia berkembang menurut tahap-tahap yang sudah ditetapkan sebelumnya menuju suatu kesiapan seseorang yang diarahkan pada, disadari, dan berinteraksi dengan radius sosial yang semakin melebar. Bagi Erikson masyarakat menjadi rekan dalam proses perkembangan seseorang yang memberikan tantangan dan dukungan bagi pertumbuhan individu.
2.   Erikson berasumsi bahwa masyarakat, pada prinsipnya, cenderung berkonstitusi, dalam rangka memenuhi dan mengundang serangkaian potensi untuk berinteraksi dan dalam upaya mengamankan dan mendorong terciptanya tingkat kecepatan dan urutan perkembangan setiap potensi tadi. Karena itu, Erikson memandang hubungan antara individu dengan masyarakat pada dasarnya bersifat kooperatif dan saling mendukung asalkan ada resolusi disetiap tahap krisis menuju tahap berikutnya.
3.  Asumsi ketiga, Erikson tidak melihat setiap tahap itu sebagai sebuh pencapaian. Hal-hal negatif selalu ada sebagai suatu rekan imbangan yang dinamis karena manusia secara kontinu akan mengalami krisis dan tekanan dalam hidupnya, tidak ada satu tahap pun yang terjadi hanya satu kali dan selamanya.  Resolusi positif di tiap tahap akan menghasilkan berbagai kebajikan atau elemen dari kekuatan ego yang akan memupuk perkembangan diri seseorang dalam komunitas yang lebih luas.
Dalam hal ini penulis, Robert W. Pazmino dalam bukunya Fondasi Pendidikan Kristen subjudul Fondasi Psikologis, berpendapat bahwa kepribadian manusia berkembang  bukan dengan cara-cara yang sudah ditetapkan sebelumnya. Alasannya, Roh Allah dapat menginterupsi proses perkembangan ini dengan cara yang tidak terduga untuk membawa terjadinya suatu transformasi dalam kehidupan manusia. Roh Kudus menjamah roh manusia dengan cara yang penuh dengan anugerah yang mungkin tidak selalu dapat diantisipasi dalam tahap-tahap yang sudah ada sebelumnya.
Robert berpendapat bahwa Erikson percaya bahwa orang-orang atau masyarakat dapat mempengaruhi masyarakat. Walaupun menyadari adanya ruang bagi pilhan pribadi mungkin mengarah pada perspektif yang meniadakan peran manusia sebagai agen transformasi dan reformasi. Dalam perspektif Alkitab,  Roh Kudus memakai individu untuk mempengaruhi masyarakat.
Asumsi ketiga, Erikson menunjukkan adanya karakter yang tiada akhirnya dari perkembangan seseorang dimana perkembangan ini sangat ditentukan oleh kondisi yang berubah-ubah. Robert berpendapat bahwa cara pandang Kristiani mengafirmasi adanya proses pengudusan yang berlangsung terus menerus atau deformasi dalam kehidupan manusia. Roh Kudus adalah agen Allah untuk pembaharuan yang kontinu bukan hanya dalam hidup manusia melainkan juga dalam struktur masyarakat.
Kebajikan yang dihasilkan dari setiap krisis psikososial yang diajukan oleh Erikson harus dikritisi karena kurangnya kepekaan terhadap ciri-ciri yang unik dari perkembangan wanita dan dalam hal ini kebajikan-kebajikan kristiani dapat melampaui kategori-kategori tersebut.

3.      Perkembangan Moral Lawrence Kohlberg
Pandangannya menekankan struktur berpikir secara kognitif dalam kaitannya dengan perkembangan moral. Dia tidak terlalu fokus terhadap konten atau isi perkembangan moral  tetapi lebih pada  struktur  atau  bentuk  dari  proses  berpikir  yang  mengarahkan
seseorang dalam memutuskan untuk memilih solusi tertentu atas suatu dilema moral yang dihadapinya. Moralitas menurut Kohlberg didasarkarkan pada prinsip-prinsip mendasar dari individu yang otonom, lain halnya dengan iman kristiani yang berpegang pada teonomi. Di mana seseorang bergantung pada Allah dan saling bergantung dengan sesamanya. Terkait dengan skema levin, pandangannya bisa digambarkan dengan developmental, sosial, kognitif, mikroskopik, dan differensial dengan menekankan pada diskontinuitas dan aktivitas.

Donald Joy menyadari adanya beberapa persamaan antara cara pandang kristiani dengan teori Kohlberg, dalam beberapa area berikut ini:
  1. Keadilan itu bersifat kompleks dan komprehensif
  2. Keadilan adalah inti dari moralitas
  3. Keadilan adalah moralitas adalah fungsi dari persepsi
  4. Manusia dihargai secara positif
  5. Umat manusia akan diminta pertanggung jawaban secara moral

Namun Joy mengajukan empat hipotesi yang berbeda antara elemen-elemen kristiani dengan teori Kohlberg
1.      Moralitas tidak berasal dari manusia
2.      Keadilan adalah inti dari sesuatu diluar moralitas dan keadilan juga adalah atribut inti dari karakter Allah.
3.      Moralitas manusia diberikan kepada manusia sebagai pembawa gambar Allah.
4.      Manusia adalah mahluk bermoral dan bebas, penelitian dan teori yang substansial diperlukan untuk mempertimbangkan kegagagalan moral yaitu dosa dan pemberontakan.

Dalam hubungannya dengan ilahi yang transenden di mana seseorang dapat meraih makna dan tujuan hidupnya. pendidik kristen harus juga mengevaluasi teori Kohlber dalam hal analisisnya terhadap berbagai pendekatan terhadap pendidikan moral. Pendidikan moral yang bersifat indoktinatif , klarifikasi nilai, dan pendidikan moral kognitif, Developmental. Respon kristiani terhadap pendekatan kognitif developmental Kohlberg memang dapat mengafirmasi penekanannya pada diskusi namun tetap menyadari bahkan harapan yang kurang tepat bahwa diskusi dapat mempengaruhi kemampuan berpikir moral. Seseorang dalam rangka meningkatkan perkembangan moralnya dan mempengaruhi tingkah lakunya.
Salah satu asumsi yang perlu ditantang adalah asumsi yang dikatakan bahwa keadilan adalah nilai yang unggul tempat moralitas itu bertumpu. Orang Kristen yang peka terhadap realitas kasih karunia dan mengalami kasih yang jauh melampaui keadilan dalam kepeduliannya kepada orang lain, mendapati bahwa identifikasi keadilan sebagai kunci moral belumlah memadai.[15]
Teologi Injili tetap mempertahankan pentingnya transformasi yang radikal untuk membawa perubahan dalam kehidupan moral seseorang. Tanpa transformasi seperti itu dan kasih karunia Allah yang terus bekerja, perkembangan moral tidak terwujud secara memadai.
Wolterstorff memberikan sebuah alternatif bagi pendekatan Kohlberg. Ia menyarankan sebuah cara yang terbaik agar anak-anak menginternalisasikan nilai-nilai Kristiani. Selain  itu, ia juga menunjukkan suatu kecenderungan untuk bertindak secara bertanggung jawab atas nilai-nilai yang telah ditanamkan oleh orang lain “yang bertindak dengan penuh kasih terhadap anak itu dengan cara mengkombinasikan disiplin dan teladan sambil memberitahukan standar moral yang disesuaikan dengan pemahaman anak dan yang mendorng anak itu bertingkah laku selaras.[16]  

4.      Perkembangan Iman James Fowler
Fowler memberikan tujuh kategori yang membedakan tahap-tahap yang berbeda dari tahap yang berbeda dari perkembangan manusia: bentuk logika, mengambil peran bentuk penilaian moral, batasan-batasan dari kesadaran sosial, fokus otoritas, bentuk koherensi dunia dan peran simbol.  Fowler mengembangkan tahap tahap perkembangan iman yang membangun teorinya berdasrkan teori Piaget dan teori Kohlberg. Fowler memandang iman sebagai sesuatu yang aktif dan sebagai sesuatu kata kerja. Iman sebagai suatu proses menjadi daripada sesuatu yang diproses seseorang.

Enam Perkembangan Iman Fowler
1.      Intuitive projective, anak-anak berusia tujuh tahun
2.      Iman mythic lyteral, kanak-kanak
3.      Synthetic conventional, remaja pada kelompok
4.      Individual reflectif, akhir masa remaja dan awal masa dewasa 
5.      Iman conjunction, iman dewasa jarang ditemukan yang belum menginjak usia sebelum 30 tahun.
6.      Iman universalizing. Raksasa rohani.
Terkait dengan teori Levin, teori Fowler digambarkan sebagai developmental, sosial, sangat kognitif, mikroskopik dan diferensial dan penekanan pada diskontuninitas yang aktif daripada pasif. Kritik terhadpa penelitian Fowler dari teori perkembangan iman yang diyakini Fowler adalah ketidak terlibatan Allah sebagai kunci dalam perkembangan iman. Iman fowler bertentangan dengan konsepiman reformasi sebagai karunia semata. Hustons Smith menunjukkan kalau ilmu pengetahuan menunjukkan dan menghargai kontrol, prediksi, objektifitas, angka dan tanda. Fowler menyadari adanya kritik istilah iman yang termasuk sebagai kategori kristiani yanhg sudah menjadi milik orang Kristen.
Sebagai sebuah temuan awal (jika tidak dikatakan pionir) dalam bidang perkembangan iman, wajar jika kemudian ada beberapa kritik terhadap penelitian Fowler yang telah menghasilkan tahapan ini. Dari proses pengambilan sampel, subyek penelitian Fowler lebih mewakili populasi berbudaya barat dengan kecerdasan dan pendidikan yang cukup baik. Pada mereka yang tidak termasuk, terutama masyarakat berbudaya non-barat, hasil ini harus diuji lebih lanjut. Selain itu, definisi ‘iman’ yang dipakai Fowler agak berbeda dari pengertian yang lebih umum yang lebih menekankan penerimaan ketimbang introspeksi kognitif. Ia juga dikritik karena menganggap iman yang sederhana dan tak terbantahkan sebagai iman yang belum matang. Terlepas dari segala kritik dan keterbatasan yang ada, upaya penyusunan tahapan iman ini harus dihargai. Di tengah serangan dari sebagian ilmuwan agresif yang menganggap agama dan iman kepada Tuhan sebagai sebuah penyakit mental, delusi, atau skizofrenia, usaha Fowler merupakan awal dari banyak penelitian lanjutan yang dilakukan para ilmuwan psikologi untuk mendamaikan sains dan agama.[17]
Sebuah Model Kristiani yang Interaktif
            Robert mengajukan sebuah model berikut, yang berusaha mengintegrasikan konsep-konsep developmental dan antropologi Kristen yaitu suatu pemahaman kristiani tentang manusia (Lihat gambar dibawah in). Upaya ini bukan untuk mengusung salah satu penekanan atau penekanan lainnya melainkan lebih untuk mengidentifikasi beragam dimensi manusia yang dikatakan oleh sumber-sumber alkitabiah sebagai hal yang harus kita pertimbangkan saat melayani dan mengajar orang lain.

Gambar 02
Integrasi Konsep Pengembangan dengan Antropologi Alkitab
(Orang yang aktif dan bertanggung jawab di hadapan Allah dan manusia
Kedaulatan dan Anugerah Allah
Kedaulatan dan Anugerah Allah
Keturunan (alam)
Pendewasaan
Pembelajaran
Lingkungan (merawat)
Pengalaman
Mengalami hasil kecenderungan
 
















Kedaulatan dan anugerah Allah berfungsi sebagai payung dan fondasi dari model ini. Pemeliharaan dan anugerah Allah adalah suatu pemahaman iman yang selaras dengan doktrin penciptaan dan pemeliharaan. Pertanyaan-pertanyaan yang dimunculkan mengenai kedaulatan Allah di tengah-tengah keadaan darurat dan penderitaan manusia maka cara pandang kristiani tetap mengafirmasi perspektif ini dalam hal kehidupan manusia.
Hereditas adalah natur dan susunan genetik dan sfuktural manusia yang mereka terima dari orang tua dan nenek moyangnya. Aspek-aspek hereditas bersifat biologis, kognitif, dan emosional. Pada awal kehidupan pun, struktur sosial sudah terbukti ada; perspektif alkitabiah juga menyatakan hadirnya warisan spiritual dalam keluarga. Warisan spiritual ini terpusat pada afirmasi-afirmasi iman yang menyatakan bahwa manusia, pria dan wanita, diciptakan dalam gambar dan rupa Allah; bahwa manusia telah jatuh dalam dosa; dan bahwa manusia bisa ditranformasi oleh Kristus.
            Kedewasaan mengacu pada proses pertumbuhan biologis yang menyingkapkan natur hereditas manusia, dan hal ini berbeda dengan pembelajaran. Kalau suatu tingkah laku berangsur menjadi dewasa melalui tahap-tahap regular tanpa suatu intervensi yang berturut-turut berarti tingkah laku tadi dikatakan berkembang melalui proses pendewasaan dan bukan melalui pembelajaran. Salah satu contoh pendewasaan adalah refleks yang ditunjukkan bayi yang baru lahir tanpa praktik sebelumnya dan tanpa intervensi orang lain.
Perjanjian lama menggunakan kata-kata yang berfariasi untuk menggambarkan anak-anak di usia yang berbeda-beda, yang menunjukkan proses pendewasaan. Kata-kata tersebut adalah sebagai berikut: yaled – bayi yang baru lahir (Kel 1:17); yonêq – anak yang sedang menyusu (1 Sam 15:3); olêl – kanak-kanak meminta roti (Rat 4:4); gâmol – anak yang baru disapih (Yes 28:9); tap – anak kecil yang masih bergantung kepada ibu mereka (Yer 40:3); na’ar – anak yang sedang bertumbuh “yang mulai ingin bebas (Yes 11:6); bâhur – remaja/teruna umur 12 – 14 (usia pubertas) (Yes 31:8).
            Dalam Perjanjian Baru, tepatnya dalam 1 Korintus 13:11, Paulus mengatakan, “ketika aku kanak-kanak, aku berkata seperti kanak-kanak, aku merasa seperti kanak-kanak, aku berpikir seperti kanak-kanak, … “, cara anak-anak mengetahui sesuatu berbeda dengan cara orang dewasa mengetahui dan perubahan merupakan hasil dari pendewasaan.
Pembelajaran bisa juga didefinisikan sebagai proses perubahan. Dalam pengetahuan, kepercayaan, nilai, sikap, perasaan, keterampilan, atau tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman dengan lingkungan yang natural atau supranatural.
            Locke menekankan peran lingkungan terhadap manusia, di mana manusia dipandang sebagai kertas kosong, sementara Rousseau menekankan pada penyingkapan natur yang telah diberikan sejak lahir. Beberapa perikop kunci dari Alkitab menekankan perlunya orang dewasa untuk mempertimbangkan lingkungan dalam rangka memelihara anak-anak. Baik Ulangan 6:4-9,[18] maupun Mazmur 78:1-8, keduanya menekankan tanggung jawab orang tua untuk meneruskan perintah Allah dan kisah-kisah perbuatan-Nya dalam sejarah kepada generasi selanjutnya. Efesus 6:4 menasihatkan agar orang tua tidak membangkitkan amarah dalam diri anak-anak mereka tetapi membesarkan mereka dalam ajaran dan nasehat Tuhan.
Pengalaman pribadi adalah satu-satunya pengalaman langsung yang dimiliki manusia. Sebuah ayat dalam kitab Amsal yang sering dikutip yang berisi tentang pengalaman-pengalaman adalah Amsal 22:6 :”Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanyapun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu”. Kata “jalan” dapat mengacu pada bakat alami seorang anak yang kecenderungannya atau maksud tujuan dari para mentor anak tersebut.
Pendapat Robert ini sesuai dengan maksud Larry Crabb bahwa kedewasaan mencakup dua elemen: (1) ketaatan langsung dalam situasi-situasi khusus dan (2) pertumbuhan karakter jangka panjang. Pengalaman Kristen dimulai dengan pembenaran, tindakan dimana Allah menyatakan bahwa saya dapat diterima. Jika saya harus menjadi utuh secara psikologis dan dewasa secara rohani, maka saya harus dengan jelas memahami bahwa keadaan saya yang dapat diterima Allah tidak didasari atas perbuatan saya, melainkan atas perbuatan Yesus (Titus 3:5). Semua orang yang sudah dibenarkan suatu hari akan dimuliakan. Pembenaran kita dimasa lampau dan dimasa yang akan datang tergantung sepenuhnya kepada Allah. Konseling Kristen berkaitan dengan masalah apakah klien mau atau tidak mau dengan taat memberi respons atau peristiwa apa pun yang sedang dialaminya.[19]
Peran Roh Kudus sangat penting dalam proses pendewasaan. Roh Kudus biasanya melakukan tugas pembaharuan budi pekerti melalui beberapa saluran anugerah. Ia memakai Firman Allah, sakramen-sakremen dan doa. Dan juga melalui persekutuan orang-orang percaya Ia membawa perubahan. Perubahan hanya terjadi dalam anugerah. Sudah waktunya untuk memeriksa kembali sikap kita sebagai orang Kristen, dan faktor yang terpenting dalam pemeriksaan kembali itu adalah memberi tempat yang layak kepada Roh Kudus, “Siapakah yang mempesona kamu ….. Kamu telah mulai dengan Roh, apakah kamu sekarang mau mengakhiri di dalam daging?” (Galatia 3:1,3).[20]




KESIMPULAN

Kesimpulan fondasi psikologis sebagai bagian Fondasi Pendidikan Agama Kristen adalah sebagai berikut.




KEPUSTAKAAN

Alkitab
Lembaga Alkitab Indonesia. Alkitab Terjemahan Indonesia Baru. Jakarta: LAI, 2004.

Buku-buku

Adams, Jay E. Anda pun Boleh Membimbing. Malang: Penerbit Gandum Mas, 1993.

Crabb, Larry. Konseling Yang Efektif & Alkitabiah: Sebuah Acuan untuk Membantu Anda Menjadi Konselor yang Andal. Yogyakarta: Penerbit ANDI bekerja sama dengan Kalam Hidup, 1995.

Pazmino, Robert W. Fondasi Pendidikan Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012.

Papali, D.E dan R. D. Feldman.  Human Development: Tenth Edition. New York: McGraw-Hill, 2007.
Richards, Lawrence O. Pelayanan kepada Anak-Anak. Bandung: Kalam Hidup, 2007.

Internet

Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget dan Implementasinya dalam Pendidikan tersedia di http://edukasi.kompasiana.com/2011/03/12/teori-perkembangan-kognitif-jean-piaget-dan-implementasinya-dalam-pendidikan/ diakses tanggal 16 Oktober 2012.

Tahap Perkembangan Iman Sepanjang Usia, tersedia di http://popsy.wordpress.com/2007/11/13/6-tahap-perkembangan-iman-sepanjang-usia/ diakses tanggal 16 Oktober 2012.


[1] Robert W. Pazmino, Fondasi Pendidikan Kristen  (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), 269-270.
[2] Robert W. Pazmino, 271.
[3] Larry Crabb, Konseling Yang Efektif & Alkitabiah: Sebuah Acuan untuk Membantu Anda Menjadi Konselor yang Andal (Yogyakarta: Penerbit ANDI bekerja sama dengan Kalam Hidup, 1995), 32-33.
[4] Robert W. Pazmino, 271.
[5] Larry Crabb, 41-43.
[6]  Robert W. Pazmino, 71-72.
[7]  Larry Crabb, 34-35.
[8]  Robert W. Pazmino, 72.
[9]  Larry Crabb, 51.
[10] Ibid., 55-56.
[11] Ibid., 57.
[12] Nicholas Wolterstorff dalam Robert , Fondasi Pendidikan Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 201), 283; Educating for Responsible Action (Granda Rapids: Eerdmans, 1980), 27-29.
[13] Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget dan Implementasinya dalam Pendidikan tersedia di http://edukasi.kompasiana.com/2011/03/12/teori-perkembangan-kognitif-jean-piaget-dan-implementasinya-dalam-pendidikan/ diakses pada tanggal 16 Oktober 2012.
[14] Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget dan Implementasinya dalam Pendidikan tersedia di http://edukasi.kompasiana.com/2011/03/12/teori-perkembangan-kognitif-jean-piaget-dan-implementasinya-dalam-pendidikan/ diakses tanggal 16 Oktober 2012.

 


[15] Lawrence O. Richards, Pelayanan kepada Anak-Anak (Bandung: Kalam Hidup, 2007), 222.
[16] Nicholas Wolterstorff dalam Robert , Fondasi Pendidikan Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 201), 297; Educating for Responsible Action (Granda Rapids: Eerdmans, 1980), 109.
[17] Tahap Perkembangan Iman Sepanjang Usia, tersedia di http://popsy.wordpress.com/2007/11/13/6-tahap-perkembangan-iman-sepanjang-usia/ diakses tanggal 16 Oktober 2012 ;  D.E Papali dan R. D. Feldman Human Development: Tenth Edition (New York: McGraw-Hill, 2007).

[18] Kelompok kami mengoreksi rujukan ayat yang tertulis dalam buku halaman 314, seharusnya Ulangan 6:4-9 dan bukan Keluaran 6:4-9.
[19] Larry Crabb, Konseling Yang Efektif & Alkitabiah: Sebuah Acuan untuk Membantu Anda Menjadi Konselor yang Andal, 18.
[20] Jay E. Adams, Anda pun Boleh Membimbing (Malang: Penerbit Gandum Mas, 1993), 23-25.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar