Pendahuluan
Dalam pandangan pendidikan Kristen bila
dihubungkan dengan psikologis merupakan suatu tantangan. Hal itu dikarenakan
oleh beberapa alasan. Pertama, pendidikan secara umum dan dipraktikkan
selama abad ke-21 ini sangat bergantung pada psikologi, dan berbagai teorinya,
penemuan-penemuan penelitiannya dan praktikknya. Kedua, ada
bermacam-macam cabang psikologi, termasuk psikologis behavioral, psikoanalitis,
kognitif, dan lain-lain. Ketiga, orang Kristen ditantang untuk tetap
setia pada pemikiran psikologi secara umum dan atau mengembangkan suatu
psikologi Kristen untuk membangun konsep dan praktik pendidikan Kristen.[1]
Empat Pendekatan Integrasi
Pendekatan
Terpisah Tetapi Setara/Sama
Dalam pendekatan ini menganggap bahwa
iman religi dan perkembangannya pada hakikatnya tidak berkaitan dan tidak
terpengaruh oleh proses psikologis.
Pendekatan ini sangat menekankan pada divisi pekerjaan yang jelas, yaitu
sesuatu yang dapat mengarah para schizopherenia religious dan agama yang tidak
relevan.[2]
Pendukung posisi
ini percaya bahwa Alkitab berhubungan dengan masalah-masalah rohani dan
teologis, yang mencakup keyakinan dan praktik kekristenan. Tanpa diragukan lagi
jenis masalah-masalah yang membangun substansi kekacauan emosional merupakan
kesulitan-kesulitan yang dibicarakan Alkitab.Untuk menciptakan sebuah dinding
antara Alkitab dan psikologi dan untuk menerima bahwa kedua disiplin ilmu itu
Terpisah Tetapi Sama harus ditolak dengan tegas sebagai suatu refleksi isi
Alkitab yang tidak akurat.[3]
Pendekatan Kedua
Yaitu “Tidak Ada Hubungan”
Pandangan menolak pengetahuan psikologis
dan menempatkan manusia dalam konteks agama yang telah ditentukan sebelumnya, dimana
kehidupan manusia secara total dibentuk oleh pengetahuan dan perspektif agamawi
yang tidak ternodai oleh psikologis tentang pengembangan diri. Pendekatan ini
mempertahankan tidak ada hal lain kecuali Alkitab yang menentukan
kehidupan dan mengarahkan pada suatu
sikap hidup yang bersifat heteronomi.[4]
Pendirian dasar
mereka adalah Tidak Ada Yang Lain
Kecuali Kasih Karunia, Iman, Firman. Dalam pertimbangan penulis, model Tidak
Ada Hubungan banyak mempercayakan dirinya kepada orang Kristen yang
sungguh-sungguh. Oleh karenanya saya mempertanyakan model Tidak Ada Hubungan
dalam dua bidang: (1) model itu tidak mempercayai semua pengetahuan dari
sumber-sumber sekuler dan (2) cenderung mengurangi interaksi yang kompleks dari
dua pribadi kepada model yang terlalu disederhanakan
“mengenali-menghadapi-mengubah”. Model “Tidak Ada Hubungan” menekankan bahwa
kekalutan psikologis paling tidak dimengerti dan didekati sebagai kumpulan
masalah yang disebabkan secara langsung oleh kehidupan yang berdosa dan tidak
alkitabiah.[5]
Pendekatan Ketiga
Pendekatan Ini “Salad Dicampurbaurkan/Diaduk)
Adalah
pendekatan psikologis total terhadap pendidikan Kristen dan perkembangan iman
yang membentuk kembali tuntutan-tuntutan iman yang radikal dan mengurangi
ciri-ciri teologi yang unik (anugerah, keselamatan, dosa, dan rasa bersalah dan
respon pribadi terhadap iman). Yaitu memcampurbaurkan konsep psikologis dan
konsep agamawi, tetapi lebih memprioritaskan psikologis.[6]
Pendekatan yang ketiga terhadap
integrasi menyerupai strategi berikut ini dalam persiapan selada yang diaduk ke
dalam kuah: campurlah beberapa bahan bersama-sama ke dalam satu mangkuk untuk
menciptakan campuran yang lezat. Meskipun model Salada yang diaduk tanpa sadar
sering dipraktikkan oleh orang-orang Kristen yang memegang pandangan tinggi
dari ajaran Alkitab, namun dalam pemikiran dengan tak kentara dapat mengakibatkan
kita beralih dari kekristenan ke dalam humanisme semata.[7]
Pendekatan Keempat
Adalah “Merampas Orang-Orang Mesir”
Pendekatan ini berupaya mencari
kebenaran dalam semua bidang penelitian, termasuk psikologis dalam rangka
mengafirmasi bahwa seluruh kebenaran adalah kebenaran Allah. Sebagaimana
orang-orang Israel menggunakan alat-alat yang terbuat dari emas dan perak yang
ditawarkan oleh orang Mesir untuk memperindah Kemah Suci di padang gurun (Kel
12:33-36;35:30-36:38), maka pendidikan Kristen harus menggunakan hikmat yang
diperoleh dari psikologis untuk memperkaya konsep dan praktik pendidikan dengan
tujuan untuk memuliakan Allah. Kesulitan pendekatan ini adalah” menggunakan
barang rampasan” ini adalah pembuatan anak lembu emas-suatu berhala yang dibuat
dalam rangka menghormati psikologis dan akhirnya dipegang untuk mengganti
penghormatan kepada Allah (Kel 32).[8]
Suatu pendekatan
keempat terhadap integrasi yaitu suatu keseimbangan yang dibutuhkan antara
kecerobohan yang tidak disengaja dari model Salada
yang Diaduk dengan reaksi berlebihan dari model Tidak Ada Hubungan. Model Salada
yang diaduk dengan tepat menyatakan bahwa psikologi sekuler memiliki
sesuatu untuk ditawarkan, tetapi tidak cukup untuk memperhatikan campuran yang
mungkin terjadi dari praduga-praduga yang bertentangan. Model Tidak Ada Hubungan dengan tepat menuntut
bahwa setiap bagian konseling Kristen harus benar-benar konsekuensi dengan
pengungkapan alkitabiah, tetapi membuat ke luar semua psikologi, termasuk
elemen-elemen yang mungkin konsekuen dengan ajaran Alkitab.[9]
Dalam bentuk
diagram, model “Merampas Orang-orang Mesir” bisa digambarkan seperti berikut. Pandangan
kami menyetujui pendapat Larry Crab. Penjelasannya sebagai berikut. Lingkaran
dengan garis terputus-putus yang mengelilingi lingkaran kebenaran yang
terungkap atau yang tersingkap mencakup semua data natural atau yang ditemukan
yang benar secara alami yang konsistensinya sesuai dengan pengungkapan. Perlu
diperhatikan bahwa lingkaran psikologi agak tumpah tindih dengan lingkaran yang
kokoh dari kebenaran yang tersingkap. Di dalam
diagram, ini diwakili dengan bagian dari lingkaran psikologis yang tumpah
tindih dengan lingkaran dengan garis yang terputus-putus dari kebenaran yang
tersingkap.[10]
Seorang Kristen
yang telah merampas orang-orang Mesir dari psikologi sekuler, dengan hati-hati
menyingkirkan elemen-elemen yang melawan komitmennya terhadap pengungkapan
ajaran Alkitab, akan diperlengkapi dengan lebih baik untuk memberikan konseling
daripada konselor dengan model Selada yang diaduk yang menggabungkan
konsep-konsep karena tampaknya konsep-konsep itu diperlukan. [11]
Tanggapan kami adalah psikologi dapat memasuki ranah berpikir Kristen apabila
pelaku psikologis telah percaya kepada Tuhan Yesus dan bersedia menerima
kepercayaan bahwa Alkitab menjadi pedoman terutama untuk membenarkan pandangan
psikologis dan bukan sebaliknya psikologis mempengaruhi keputusan bertindak
orang percaya.
Implikasinya
dalam pendidikan Kristen adalah bagi pendidik Kristen memudahkan pemecahan
masalah yang berhubungan dengan psikologi anak yang ditangani secara rohani,
yaitu pembimbingan dan pemuridan yang sesuai Alkitab. Jadi ilmu psikologi
hanyalah dasar untuk mengetahui kepribadian dan menyelesaikan dalam terang
Alkitab.
Kebenaran
yang
ditemukan
|
Kebenaran yang tersingkap
|
Psikologi
|
Gambar 01
Berbagai Pandangan “Perkembangan”
1.
Pandangan
Jean Piaget
Fokus
utamanya adalah berkaitan dengan proses berpikir dan mengetahui. Tubuh yang aktif adalah dasar
bagi pengetahuan, interaksi denganlingkungan bagi terjadinya perkembangan.
Piaget lebih cenderung memilih perspektif yang bersifat developmental, biologis, kognitif, mikroskopik, dan differensial;
dan menekankan diskontiunitas dan aktivitas. Bagi Piaget, tujuan akhir
pendidikan bukan mengisi pikiran anak dengan segala macam pengetahuan,
melainkan membantu anak berkembang dari satu tahap pemikiran dalam sebuah
hirarki pada tahap yang lebih dewasa. Perhatian utama Piaget ialah seorang
pendidik seharusnya pada bagaimana anak berpikir dan bukan pada apa
yang anak pikirkan. Sebagian orang Kristen mungkin juga mengkritisi asumsi
Peaget bahwa pada hakikatnya manusia itu baik. Piaget berasumsi bahwa jika
kemampuan berpikir manusia itu ditingkatkan sampai ke tahap yang lebih tinggi,
maka pertumbuhan dan perkembangan dan pendewasaan terjadi. Orang Kristen
sebaliknya, mungkin menyatakan bahwa kejatuhan manusia memengaruhi kemampuan
berpikir manusia dan juga kemampuan lainnya.[12]
Implementasi Teori
Perkembangan Kognitif Piaget Dalam Pembelajaran, adalah :[13]
- Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak
- Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.
3.
Bahan yang harus
dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.
4.
Berikan peluang agar anak
belajar sesuai tahap perkembangannya.
5.
Di dalam kelas,
anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi dengan
teman-temanya.
Inti dari implementasi
teori Piaget dalam pembelajaran antara lain sebagai berikut: [14]
1. Memfokuskan pada
proses berfikir atau proses mental anak tidak sekedar pada produknya. Di
samping kebenaran jawaban siswa, guru harus memahami proses yang digunakan anak
sehingga sampai pada jawaban tersebut.
2. Pengenalan dan
pengakuan atas peranan anak-anak yang penting sekali dalam inisiatif diri dan
keterlibatan aktif dalam kegaiatan pembelajaran. Dalam kelas Piaget penyajian
materi jadi (ready made) tidak diberi penekanan, dan anak-anak didorong untuk
menemukan untuk dirinya sendiri melalui interaksi spontan dengan lingkungan.
3. Tidak menekankan
pada praktek - praktek yang diarahkan untuk menjadikan anak-anak seperti orang
dewasa dalam pemikirannya.
4. Penerimaan
terhadap perbedaan individu dalam kemajuan perkembangan, teori Piaget
mengasumsikan bahwa seluruh anak berkembang melalui urutan perkembangan yang
sama namun mereka memperolehnya dengan kecepatan yang berbeda.
Kritik terhadap
Teori Piaget
1. Pada sebuah studi klasik, McGarrigle dan
Donalson (1974) menyatakan bahwa anak sudah mampu memahami konservasi (conservation) dalam
usia yang lebih muda daripada usia yang diyakini oleh Piaget.
2. Studi lain yang mengkritik teori Piaget yaitu
bahwa anak-anak baru mencapai pemahaman tentang objek permanence pada usia di
atas 6 bulan. Balillargeon dan De Vos (1991) ; 104 anak diamati sampai mereka
berusia 18 tahun, dan diuji dengan berbagai tugas operasional formal
berdasarkan tugas-tugas yang dipakai Piaget, termasuk pengujian hipotesa.
Mayoritas anak-anak itu memang belum mencapai tahap operasional formal. Hal ini
sesuai dengan studi-studi McGarrigle dan Donaldson serta Baillargeon dan DeVos,
yang menyatakan bahwa Piaget terlalu meremehkan kemampuan anak-anak kecil dan
terlalu menilai tinggi kemampuan anak-anak yang lebih tua.
3. Dan belum lama ini, Bradmetz (1999) menguji
pernyataan Piaget bahwa mayoritas anak mencapai formal pada akhir masa
kanak-kanak.
2. Erik Erikson Adalah Seorang Psikoanalisis
Berbeda dengan Freud yang
menekankan pada perkembangan psikoseksual dan perkembangan abnormal, Erikson
menekankan pada perkembangan yang normal. Teori Erikson merupakan gabungan dari
ilmu biologi, psikologi ego, dan antropologi dalam menganalisis bagaimana
seseorang merasakan tubuhnya, dirinya dan perannya dalam masyarakat ketika
berbenturan dengan beragam pandangan dalam kehidupannya. Dia mempertahankan pandangannya bahwa formasi
ego itu pada dasarnya bersifat biologis, ditempatkan secara psikologis, dibentuk
secara sosial dan prosesnya dikendalikan serta diartikulasi secara kultural. Dalam
kaitannya dengan skema Levin teori Erikson bersifat developmental, biologis, sosial, afektif, sangat mikroskopik dan differensial;
teori Erikson juga menekankan pada diskontiunitas dan kombinasi dari sifat aktif dan pasif
atau reseptif. Erikson bertentangan
dengan isu dalam ketujuh skema
Levin.
Teori
Erikson harus dipertanyakan dalam kaitannya asumsi-asumsi dasarnya.
1. Bahwa kepribadian manusia berkembang menurut
tahap-tahap yang sudah ditetapkan sebelumnya menuju suatu kesiapan seseorang
yang diarahkan pada, disadari, dan berinteraksi dengan radius sosial yang
semakin melebar. Bagi Erikson masyarakat menjadi rekan dalam proses
perkembangan seseorang yang memberikan tantangan dan dukungan bagi pertumbuhan
individu.
2.
Erikson berasumsi bahwa masyarakat, pada
prinsipnya, cenderung berkonstitusi, dalam rangka memenuhi dan mengundang
serangkaian potensi untuk berinteraksi dan dalam upaya mengamankan dan
mendorong terciptanya tingkat kecepatan dan urutan perkembangan setiap potensi
tadi. Karena itu, Erikson memandang hubungan antara individu dengan masyarakat
pada dasarnya bersifat kooperatif dan saling mendukung asalkan ada resolusi
disetiap tahap krisis menuju tahap berikutnya.
3. Asumsi ketiga, Erikson tidak melihat setiap
tahap itu sebagai sebuh pencapaian. Hal-hal negatif selalu ada sebagai suatu
rekan imbangan yang dinamis karena manusia secara kontinu akan mengalami krisis
dan tekanan dalam hidupnya, tidak ada satu tahap pun yang terjadi hanya satu
kali dan selamanya. Resolusi positif di
tiap tahap akan menghasilkan berbagai kebajikan atau elemen dari kekuatan ego
yang akan memupuk perkembangan diri seseorang dalam komunitas yang lebih luas.
Dalam
hal ini penulis, Robert W. Pazmino dalam bukunya Fondasi Pendidikan Kristen
subjudul Fondasi Psikologis, berpendapat bahwa kepribadian manusia
berkembang bukan dengan cara-cara yang
sudah ditetapkan sebelumnya. Alasannya, Roh Allah dapat menginterupsi proses
perkembangan ini dengan cara yang tidak terduga untuk membawa terjadinya suatu
transformasi dalam kehidupan manusia. Roh Kudus menjamah roh manusia dengan
cara yang penuh dengan anugerah yang mungkin tidak selalu dapat diantisipasi
dalam tahap-tahap yang sudah ada sebelumnya.
Robert
berpendapat bahwa Erikson percaya bahwa orang-orang atau masyarakat dapat
mempengaruhi masyarakat. Walaupun menyadari adanya ruang bagi pilhan pribadi
mungkin mengarah pada perspektif yang meniadakan peran manusia sebagai agen
transformasi dan reformasi. Dalam perspektif Alkitab, Roh Kudus memakai individu untuk mempengaruhi
masyarakat.
Asumsi
ketiga, Erikson menunjukkan adanya karakter yang tiada akhirnya dari
perkembangan seseorang dimana perkembangan ini sangat ditentukan oleh kondisi
yang berubah-ubah. Robert berpendapat bahwa cara pandang Kristiani mengafirmasi
adanya proses pengudusan yang berlangsung terus menerus atau deformasi dalam
kehidupan manusia. Roh Kudus adalah agen Allah untuk pembaharuan yang kontinu
bukan hanya dalam hidup manusia melainkan juga dalam struktur masyarakat.
Kebajikan
yang dihasilkan dari setiap krisis psikososial yang diajukan oleh Erikson harus
dikritisi karena kurangnya kepekaan terhadap ciri-ciri yang unik dari
perkembangan wanita dan dalam hal ini kebajikan-kebajikan kristiani dapat
melampaui kategori-kategori tersebut.
3. Perkembangan Moral Lawrence Kohlberg
Pandangannya
menekankan struktur berpikir secara kognitif dalam kaitannya dengan
perkembangan moral. Dia tidak terlalu fokus terhadap konten atau isi
perkembangan moral tetapi lebih pada struktur atau bentuk
dari proses berpikir
yang mengarahkan
seseorang dalam
memutuskan untuk memilih solusi tertentu atas suatu dilema moral yang
dihadapinya. Moralitas menurut Kohlberg didasarkarkan pada prinsip-prinsip
mendasar dari individu yang otonom, lain halnya dengan iman kristiani yang
berpegang pada teonomi. Di mana seseorang bergantung pada Allah dan saling
bergantung dengan sesamanya. Terkait dengan skema levin, pandangannya bisa
digambarkan dengan developmental, sosial,
kognitif, mikroskopik, dan differensial dengan menekankan pada diskontinuitas dan aktivitas.
Donald
Joy menyadari adanya beberapa persamaan antara cara pandang kristiani dengan
teori Kohlberg, dalam beberapa area berikut ini:
- Keadilan itu bersifat kompleks dan komprehensif
- Keadilan adalah inti dari moralitas
- Keadilan adalah moralitas adalah fungsi dari persepsi
- Manusia dihargai secara positif
- Umat manusia akan diminta pertanggung jawaban secara moral
Namun
Joy mengajukan empat hipotesi yang berbeda antara elemen-elemen kristiani
dengan teori Kohlberg
1.
Moralitas
tidak berasal dari manusia
2.
Keadilan
adalah inti dari sesuatu diluar moralitas dan keadilan juga adalah atribut inti
dari karakter Allah.
3.
Moralitas
manusia diberikan kepada manusia sebagai pembawa gambar Allah.
4.
Manusia
adalah mahluk bermoral dan bebas, penelitian dan teori yang substansial
diperlukan untuk mempertimbangkan kegagagalan moral yaitu dosa dan
pemberontakan.
Dalam
hubungannya dengan ilahi yang transenden di mana seseorang dapat meraih makna
dan tujuan hidupnya. pendidik kristen harus juga mengevaluasi teori Kohlber
dalam hal analisisnya terhadap berbagai pendekatan terhadap pendidikan moral.
Pendidikan moral yang bersifat indoktinatif , klarifikasi nilai, dan pendidikan
moral kognitif, Developmental. Respon kristiani terhadap pendekatan kognitif
developmental Kohlberg memang dapat mengafirmasi penekanannya pada diskusi
namun tetap menyadari bahkan harapan yang kurang tepat bahwa diskusi dapat
mempengaruhi kemampuan berpikir moral. Seseorang dalam rangka meningkatkan
perkembangan moralnya dan mempengaruhi tingkah lakunya.
Salah
satu asumsi yang perlu ditantang adalah asumsi yang dikatakan bahwa keadilan adalah nilai yang unggul tempat
moralitas itu bertumpu. Orang Kristen yang peka terhadap realitas kasih karunia
dan mengalami kasih yang jauh melampaui keadilan dalam kepeduliannya kepada
orang lain, mendapati bahwa identifikasi keadilan sebagai kunci moral belumlah
memadai.[15]
Teologi
Injili tetap mempertahankan pentingnya transformasi yang radikal untuk membawa
perubahan dalam kehidupan moral seseorang. Tanpa transformasi seperti itu dan
kasih karunia Allah yang terus bekerja, perkembangan moral tidak terwujud
secara memadai.
Wolterstorff
memberikan sebuah alternatif bagi pendekatan Kohlberg. Ia menyarankan sebuah
cara yang terbaik agar anak-anak menginternalisasikan nilai-nilai Kristiani.
Selain itu, ia juga menunjukkan suatu
kecenderungan untuk bertindak secara bertanggung jawab atas nilai-nilai yang
telah ditanamkan oleh orang lain “yang bertindak dengan penuh kasih terhadap
anak itu dengan cara mengkombinasikan disiplin dan teladan sambil
memberitahukan standar moral yang disesuaikan dengan pemahaman anak dan yang
mendorng anak itu bertingkah laku selaras.[16]
4. Perkembangan
Iman James Fowler
Fowler
memberikan tujuh kategori yang membedakan tahap-tahap yang berbeda dari tahap
yang berbeda dari perkembangan manusia: bentuk logika, mengambil peran bentuk
penilaian moral, batasan-batasan dari kesadaran sosial, fokus otoritas, bentuk
koherensi dunia dan peran simbol. Fowler
mengembangkan tahap tahap perkembangan iman yang membangun teorinya berdasrkan
teori Piaget dan teori Kohlberg. Fowler memandang iman sebagai sesuatu yang
aktif dan sebagai sesuatu kata kerja. Iman sebagai suatu proses menjadi
daripada sesuatu yang diproses seseorang.
Enam Perkembangan Iman Fowler
1. Intuitive
projective, anak-anak berusia tujuh tahun
2. Iman
mythic lyteral, kanak-kanak
3.
Synthetic conventional, remaja pada kelompok
4.
Individual reflectif, akhir masa remaja dan awal masa
dewasa
5.
Iman conjunction, iman dewasa jarang ditemukan yang
belum menginjak usia sebelum 30 tahun.
6.
Iman universalizing. Raksasa rohani.
Terkait
dengan teori Levin, teori Fowler digambarkan sebagai developmental, sosial, sangat kognitif, mikroskopik dan diferensial
dan penekanan pada diskontuninitas yang aktif daripada pasif. Kritik terhadpa
penelitian Fowler dari teori perkembangan iman yang diyakini Fowler adalah
ketidak terlibatan Allah sebagai kunci dalam perkembangan iman. Iman fowler
bertentangan dengan konsepiman reformasi sebagai karunia semata. Hustons Smith
menunjukkan kalau ilmu pengetahuan menunjukkan dan menghargai kontrol, prediksi,
objektifitas, angka dan tanda. Fowler menyadari adanya kritik
istilah iman yang termasuk sebagai kategori kristiani yanhg sudah menjadi milik
orang Kristen.
Sebagai
sebuah temuan awal (jika tidak dikatakan pionir) dalam bidang perkembangan
iman, wajar jika kemudian ada beberapa kritik terhadap penelitian Fowler yang
telah menghasilkan tahapan ini. Dari proses pengambilan sampel, subyek
penelitian Fowler lebih mewakili populasi berbudaya barat dengan kecerdasan dan
pendidikan yang cukup baik. Pada mereka yang tidak termasuk, terutama
masyarakat berbudaya non-barat, hasil ini harus diuji lebih lanjut. Selain itu,
definisi ‘iman’ yang dipakai Fowler agak berbeda dari pengertian yang lebih
umum yang lebih menekankan penerimaan ketimbang introspeksi kognitif. Ia juga
dikritik karena menganggap iman yang sederhana dan tak terbantahkan sebagai
iman yang belum matang. Terlepas dari segala kritik dan keterbatasan yang ada,
upaya penyusunan tahapan iman ini harus dihargai. Di tengah serangan dari
sebagian ilmuwan agresif yang menganggap agama dan iman kepada Tuhan sebagai
sebuah penyakit mental, delusi, atau skizofrenia, usaha Fowler merupakan awal
dari banyak penelitian lanjutan yang dilakukan para ilmuwan psikologi untuk
mendamaikan sains dan agama.[17]
Sebuah Model
Kristiani yang Interaktif
Robert mengajukan sebuah model
berikut, yang berusaha mengintegrasikan konsep-konsep developmental dan
antropologi Kristen yaitu suatu pemahaman kristiani tentang manusia (Lihat
gambar dibawah in). Upaya ini bukan untuk mengusung salah satu penekanan atau
penekanan lainnya melainkan lebih untuk mengidentifikasi beragam dimensi
manusia yang dikatakan oleh sumber-sumber alkitabiah sebagai hal yang harus
kita pertimbangkan saat melayani dan mengajar orang lain.
Gambar 02
Integrasi Konsep Pengembangan dengan
Antropologi Alkitab
(Orang
yang aktif dan bertanggung jawab di hadapan Allah dan manusia
|
Kedaulatan dan Anugerah
Allah
|
Kedaulatan dan Anugerah
Allah
|
Keturunan
(alam)
|
Pendewasaan
|
Pembelajaran
|
Lingkungan (merawat)
|
Pengalaman
|
Mengalami hasil
kecenderungan
|
Kedaulatan dan anugerah Allah berfungsi
sebagai payung dan fondasi dari model ini. Pemeliharaan dan anugerah Allah
adalah suatu pemahaman iman yang selaras dengan doktrin penciptaan dan
pemeliharaan. Pertanyaan-pertanyaan yang dimunculkan mengenai kedaulatan Allah
di tengah-tengah keadaan darurat dan penderitaan manusia maka cara pandang
kristiani tetap mengafirmasi perspektif ini dalam hal kehidupan manusia.
Hereditas adalah natur dan susunan
genetik dan sfuktural manusia yang mereka terima dari orang tua dan nenek
moyangnya. Aspek-aspek hereditas bersifat biologis, kognitif, dan emosional.
Pada awal kehidupan pun, struktur sosial sudah terbukti ada; perspektif
alkitabiah juga menyatakan hadirnya warisan spiritual dalam keluarga. Warisan
spiritual ini terpusat pada afirmasi-afirmasi iman yang menyatakan bahwa
manusia, pria dan wanita, diciptakan dalam gambar dan rupa Allah; bahwa manusia
telah jatuh dalam dosa; dan bahwa manusia bisa ditranformasi oleh Kristus.
Kedewasaan mengacu pada proses
pertumbuhan biologis yang menyingkapkan natur hereditas manusia, dan hal ini
berbeda dengan pembelajaran. Kalau suatu tingkah laku berangsur menjadi dewasa
melalui tahap-tahap regular tanpa suatu intervensi yang berturut-turut berarti
tingkah laku tadi dikatakan berkembang melalui proses pendewasaan dan bukan
melalui pembelajaran. Salah satu contoh pendewasaan adalah refleks yang
ditunjukkan bayi yang baru lahir tanpa praktik sebelumnya dan tanpa intervensi
orang lain.
Perjanjian lama
menggunakan kata-kata yang berfariasi untuk menggambarkan anak-anak di usia
yang berbeda-beda, yang menunjukkan proses pendewasaan. Kata-kata tersebut
adalah sebagai berikut: yaled – bayi
yang baru lahir (Kel 1:17); yonêq –
anak yang sedang menyusu (1 Sam 15:3); olêl
– kanak-kanak meminta roti (Rat 4:4); gâmol
– anak yang baru disapih (Yes 28:9); tap
– anak kecil yang masih bergantung kepada ibu mereka (Yer 40:3); na’ar – anak yang sedang bertumbuh “yang
mulai ingin bebas (Yes 11:6); bâhur –
remaja/teruna umur 12 – 14 (usia pubertas) (Yes 31:8).
Dalam Perjanjian Baru, tepatnya
dalam 1 Korintus 13:11, Paulus mengatakan, “ketika aku kanak-kanak, aku berkata
seperti kanak-kanak, aku merasa seperti kanak-kanak, aku berpikir seperti
kanak-kanak, … “, cara anak-anak mengetahui sesuatu berbeda dengan cara orang
dewasa mengetahui dan perubahan merupakan hasil dari pendewasaan.
Pembelajaran
bisa juga didefinisikan sebagai proses perubahan. Dalam pengetahuan,
kepercayaan, nilai, sikap, perasaan, keterampilan, atau tingkah laku sebagai
hasil dari pengalaman dengan lingkungan yang natural atau supranatural.
Locke menekankan peran lingkungan
terhadap manusia, di mana manusia dipandang sebagai kertas kosong, sementara
Rousseau menekankan pada penyingkapan natur yang telah diberikan sejak lahir.
Beberapa perikop kunci dari Alkitab menekankan perlunya orang dewasa untuk
mempertimbangkan lingkungan dalam rangka memelihara anak-anak. Baik Ulangan
6:4-9,[18]
maupun Mazmur 78:1-8, keduanya menekankan tanggung jawab orang tua untuk
meneruskan perintah Allah dan kisah-kisah perbuatan-Nya dalam sejarah kepada
generasi selanjutnya. Efesus 6:4 menasihatkan agar orang tua tidak
membangkitkan amarah dalam diri anak-anak mereka tetapi membesarkan mereka
dalam ajaran dan nasehat Tuhan.
Pengalaman
pribadi adalah satu-satunya pengalaman langsung yang dimiliki manusia. Sebuah
ayat dalam kitab Amsal yang sering dikutip yang berisi tentang
pengalaman-pengalaman adalah Amsal 22:6 :”Didiklah orang muda menurut jalan
yang patut baginya, maka pada masa tuanyapun ia tidak akan menyimpang dari pada
jalan itu”. Kata “jalan” dapat mengacu pada bakat alami seorang anak yang
kecenderungannya atau maksud tujuan dari para mentor anak tersebut.
Pendapat
Robert ini sesuai dengan maksud Larry Crabb bahwa kedewasaan mencakup dua
elemen: (1) ketaatan langsung dalam situasi-situasi khusus dan (2) pertumbuhan
karakter jangka panjang. Pengalaman Kristen dimulai dengan pembenaran, tindakan dimana Allah menyatakan bahwa saya dapat
diterima. Jika saya harus menjadi utuh secara psikologis dan dewasa secara
rohani, maka saya harus dengan jelas memahami bahwa keadaan saya yang dapat
diterima Allah tidak didasari atas perbuatan saya, melainkan atas perbuatan Yesus
(Titus 3:5). Semua orang yang sudah dibenarkan suatu hari akan dimuliakan.
Pembenaran kita dimasa lampau dan dimasa yang akan datang tergantung sepenuhnya
kepada Allah. Konseling Kristen berkaitan dengan masalah apakah klien mau atau
tidak mau dengan taat memberi respons atau peristiwa apa pun yang sedang
dialaminya.[19]
Peran Roh Kudus
sangat penting dalam proses pendewasaan. Roh Kudus biasanya melakukan tugas
pembaharuan budi pekerti melalui beberapa saluran anugerah. Ia memakai Firman
Allah, sakramen-sakremen dan doa. Dan juga melalui persekutuan orang-orang
percaya Ia membawa perubahan. Perubahan hanya terjadi dalam anugerah. Sudah
waktunya untuk memeriksa kembali sikap kita sebagai orang Kristen, dan faktor
yang terpenting dalam pemeriksaan kembali itu adalah memberi tempat yang layak
kepada Roh Kudus, “Siapakah yang mempesona kamu ….. Kamu telah mulai dengan
Roh, apakah kamu sekarang mau mengakhiri di dalam daging?” (Galatia 3:1,3).[20]
KESIMPULAN
Kesimpulan fondasi psikologis sebagai
bagian Fondasi Pendidikan Agama Kristen adalah sebagai berikut.
KEPUSTAKAAN
Alkitab
Lembaga
Alkitab Indonesia. Alkitab Terjemahan
Indonesia Baru. Jakarta: LAI, 2004.
Buku-buku
Adams, Jay E. Anda pun Boleh Membimbing. Malang: Penerbit Gandum Mas, 1993.
Crabb, Larry. Konseling Yang Efektif & Alkitabiah: Sebuah Acuan untuk Membantu
Anda Menjadi Konselor yang Andal. Yogyakarta: Penerbit ANDI bekerja sama
dengan Kalam Hidup, 1995.
Pazmino, Robert W. Fondasi Pendidikan Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012.
Papali,
D.E dan R. D. Feldman. Human
Development: Tenth Edition. New York: McGraw-Hill, 2007.
Richards, Lawrence O. Pelayanan kepada Anak-Anak. Bandung:
Kalam Hidup, 2007.
Internet
Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget dan
Implementasinya dalam Pendidikan tersedia di http://edukasi.kompasiana.com/2011/03/12/teori-perkembangan-kognitif-jean-piaget-dan-implementasinya-dalam-pendidikan/ diakses tanggal
16 Oktober 2012.
Tahap
Perkembangan Iman Sepanjang Usia, tersedia di http://popsy.wordpress.com/2007/11/13/6-tahap-perkembangan-iman-sepanjang-usia/ diakses tanggal
16 Oktober 2012.
[1] Robert W. Pazmino, Fondasi Pendidikan Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), 269-270.
[2] Robert W. Pazmino, 271.
[3] Larry Crabb, Konseling Yang Efektif & Alkitabiah:
Sebuah Acuan untuk Membantu Anda Menjadi Konselor yang Andal (Yogyakarta:
Penerbit ANDI bekerja sama dengan Kalam Hidup, 1995), 32-33.
[4] Robert W. Pazmino, 271.
[5] Larry Crabb, 41-43.
[6] Robert W. Pazmino, 71-72.
[7] Larry Crabb, 34-35.
[8] Robert W. Pazmino, 72.
[9] Larry Crabb, 51.
[10] Ibid., 55-56.
[11] Ibid., 57.
[12] Nicholas Wolterstorff dalam Robert , Fondasi Pendidikan Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 201), 283; Educating for Responsible Action (Granda
Rapids: Eerdmans, 1980), 27-29.
[13] Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget dan
Implementasinya dalam Pendidikan tersedia
di http://edukasi.kompasiana.com/2011/03/12/teori-perkembangan-kognitif-jean-piaget-dan-implementasinya-dalam-pendidikan/ diakses pada
tanggal 16 Oktober 2012.
[14] Teori
Perkembangan Kognitif Jean Piaget dan Implementasinya dalam Pendidikan tersedia di http://edukasi.kompasiana.com/2011/03/12/teori-perkembangan-kognitif-jean-piaget-dan-implementasinya-dalam-pendidikan/ diakses tanggal
16 Oktober 2012.
[15] Lawrence O. Richards, Pelayanan kepada Anak-Anak (Bandung:
Kalam Hidup, 2007), 222.
[16] Nicholas Wolterstorff dalam Robert , Fondasi Pendidikan Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 201), 297; Educating for Responsible Action (Granda
Rapids: Eerdmans, 1980), 109.
[17] Tahap
Perkembangan Iman Sepanjang Usia, tersedia di http://popsy.wordpress.com/2007/11/13/6-tahap-perkembangan-iman-sepanjang-usia/ diakses tanggal
16 Oktober 2012 ; D.E Papali dan R. D.
Feldman Human Development: Tenth Edition (New York: McGraw-Hill,
2007).
[18] Kelompok kami mengoreksi rujukan
ayat yang tertulis dalam buku halaman 314, seharusnya Ulangan 6:4-9 dan bukan
Keluaran 6:4-9.
[19] Larry Crabb, Konseling Yang Efektif & Alkitabiah:
Sebuah Acuan untuk Membantu Anda Menjadi Konselor yang Andal, 18.
[20] Jay E. Adams, Anda pun Boleh Membimbing (Malang:
Penerbit Gandum Mas, 1993), 23-25.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar