Pendidikan merupakan salah satu instrumen
utama pembangunan suatu bangsa. Banyak negara di dunia membuktikan kemajuan
yang mereka alami karena faktor pendidikan. John Dewey sebagai pemikir
pendidikan menyebut pendidikan sebagai alat untuk mencapai kemajuan dan
pembaruan sosial (Dewey, 2009). Cita-cita bangsa Indonesia untuk “mencerdaskan
kehidupan bangsa” tersebut masih terasa menjadi harapan yang utopis. Dalam 72
tahun lebih usia kemerdekaan Indonesia, sejumlah masalah dasar masih menghadang
terutama yang berkaitan dengan pemerataan dan mutu pendidikan. Masalah ini
disadari, namun belum sepenuhnya hendak diselesaikan.
Masalah-masalah itu adalah Data
Statistik Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyebutkan bahwa secara
nasional, sampai 2017 Angka Partisipasi Murni (APM) yang menunjukkan semakin
tinggi jenjang pendidikan maka nilai APM justru semakin menurun. Demikian pula
masalah besar juga masih ditemukan berkaitan dengan kualitas pendidikan di
Indonesia yang masih rendah. Hal itu setidaknya dilihat dari dua indikator,
yaitu hasil ujian nasional yang masih rendah dan pemeringkatan tes
internasional yang masih rendah.
Hal
itu terlihat pada tingkat internasional, kualitas pendidikan Indonesia juga
belum beranjak jauh dari posisi sebelumnya. Hasil tes Programme for International Students Assessment (PISA) yang
menguji kemampuan siswa usia 15 tahun atau setara dengan kelas IX dan X
menunjukkan bahwa negara Singapura pada peringkat 1 pada semua mata ujian
sedangkan Indonesia berada pada peringkat 62 (sains), 61 (membaca), dan 63
(matematika). Di luar dua masalah utama
tersebut, pendidikan Indonesia juga menghadapi fenomena munculnya berbagai
prilaku negatif para siswa yang tidak sesuai dengan nilai budaya bangsa.
Dalam
dokumen Rencana Strategis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2015-2019 (Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan RI, 2015) telah memuat Rencana Pembangunan Pendidikan
Nasional Jangka Panjang (RPPNJP) 2005—2025 yang menyebutkan visi 2025 adalah:
“Menghasilkan Insan Indonesia Cerdas dan Kompetitif (Insan Kamil/Insan
Paripurna).” Disebutkan pula Visi Kemendikbud 2019 yaitu: “Terbentuknya Insan
serta Ekosistem Pendidikan dan Kebudayaan yang Berkarakter dengan Berlandaskan
Gotong Royong.” Visi tersebut belum terelaborasi ke jenjang pendidkan dasar dan
juga perlu diperbaharui sesuai dengan dinamika lingkungan internal dan
eksternal terutama yang berkaitan dengan dinamika global.
Visi
pendidikan perlu memperhatikan empat peranan pendidikan di abad 21, yaitu: (1)
kontribusinya terhadap pekerjaan dan masyarakat, (2) pengembangan bakat siswa,
(3) pengembangan tanggungjawab kewarganegaraan, dan (4) menjaga dan meneruskan
nilai-nilai dan tradisi (Trilling, Fadel, 2009). Keempat peranan tersebut sejalan dengan
kecenderungan munculnya era pengetahuan atau masyarakat pengetahuan di masa
sekarang dan terlebih di masa depan. Akhirnya visi pendidikan dasar juga harus
mencerminkan pendidikan sebagai pelayanan publik yang memuaskan. Itu sebabnya
maka pendidikan dasar juga harus memenuhi standar pelayanan minimal agar memberikan
kepuasan kepada masyarakat.
Pendidikan
dasar di Indonesia mengalami sejumlah masalah di antaranya pemerataan dan mutu
pendidikan. Selain itu, pendidikan dasar di Indonesia juga dihadapkan pada
berbagai tantangan terutama yang berkaitan dengan dinamika lingkungan global.
Untuk itu maka pendidikan dasar di Indonesia harus memiliki visi yang jelas
yang paling tidak memuat perspektif global, kemampuan akademik yang handal
serta memiliki karakter yang kuat. Untuk mewujudkan visi tersebut, pendidikan perlu
didukung oleh: (1) kurikulum yang berorientasi pada model pembelajaran
mutakhir, (2) guru, kepala sekolah, dan pengawas yang kompeten, (3) sarana dan
prasarana yang memadai, dan (4) pembiayaan yang mencukupi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar