Good News

Senin, 26 Oktober 2015

Refleksi Khotbah: Selibat atau tetap menikah (1 Korintus 7:17) Bagian I

Selanjutnya hendaklah tiap-tiap orang tetap hidup seperti yang telah ditentukan Tuhan baginya dan dalam keadaan seperti waktu ia dipanggil Allah. Inilah ketetapan yang kuberikan kepada semua jemaat (1 Kor. 7:17). Terlihat ayat begitu sederhana dan dapat dimengerti. tetapi dapat diartikan berbeda karena ini adalah “ketetapan” yang diberikan kepada semua jemaat (ekklesia) berarti semua orang yang ada di gereja saat ini. Frasa seperti “tiap-tiap orang tetap hidup seperti yang telah ditentukan Tuhan baginya dan dalam keadaan seperti waktu ia dipanggil Allah.” Dua hal yaitu yang telah ditentukan Tuhan baginya dan dalam keadaan seperti waktu ia dipanggil. Salah satu tafsiran yang ekstrim adalah bahwa ada tiga kali ayat ini ditegaskan kembalu yaitu ayat 17, 20 dan 24 menjadikan suatu ketetapan bahwa orang yang dipanggil pada saat ia sendiri/membujang jikalau mau menjadi jemaat (murid Kristus) haruslah tetap seperti keadaannya semula. Dan apabila sudah menikah maka tetaplah seperti yang semula. Akhirnya saya mencoba mencari beberapa pandangan sumber tentang nas ini. Beberapa pandangan dari beberapa sumber tentang hal ini saya kumpulkan secara utuh dari sumbernya supaya jelas tentang ayat ini.

            Di sini prinsip yang sudah Paulus ajarkan dalam kaitan dengan pernikahan disebutkan dengan jelas sebanyak tiga kali. Perhatikan ayat 17, “Hendaklah tiap-tiap orang tetap hidup seperti yang telah ditentukan Tuhan baginya dan dalam keadaan seperti waktu ia dipanggil Allah.” Lalu ayat 20, “Baiklah tiap-tiap orang tinggal dalam keadaan, seperti waktu ia dipanggil Allah.” Kemudian ayat 24, “Saudara-saudara, hendaklah tiap-tiap orang tinggal di hadapan Allah dalam keadaan seperti pada waktu ia dipanggil.” Ketiga pernyataan dari prinsip Paulus ini membagi teks itu menjadi dua bagian. Mungkin ada gunanya untuk membayangkan hal-hal ini sebagai tiga potong roti dalam sandwich dua lapis (seperti Big Mac). Di antara dua bagian atas ada ayat 18 dan 19, di mana prinsip itu diterapkan pada perihal bersunat dan tidak bersunat. Di antara dua bagian bawah ada ayat 21-23, di mana prinsip itu diterapkan pada perhambaan dan kebebasan. Tetapi sebelum kita dapat memahami penerapan-penerapan ini, kita perlu menjelaskan kata kunci dalam prinsip itu sendiri (John Piper, 1981, http://www.desiringgod.org/messages/your-job-as-ministry?lang=id).

            Rasul Paulus mengajarkan bahwa pertobatan tidak perlu diikuti dengan perubahan total status hidup, “hendaklah tiap-tiap orang tetap hidup seperti yang telah ditentukan Tuhan baginya” (lih. ayat 17, 20, 24). Contoh yang diberikan misalnya soal sunat lahiriah dan hamba/ pekerja. (ayat 18-22). Jadi yang dipentingkan di sini adalah pertobatan rohaniah, dan bahwa kondisi sehari-hari, entah pekerjaan, keluarga, hubungan sosial, dst sekarang membantu kita untuk menuju kekudusan. Kehidupan kita harus mempunyai dimensi baru, sebab kita menyadari bahwa Tuhan membimbing kita untuk melakukan tugas-tugas yang dipercayakan oleh Tuhan kepada kita (Sarapan Pagi, http://www.sarapanpagi.org/selibat-melajang-tidak-kawin-vt4273.html).

Lalu, anda lihat di sini, tiga kali di dalam bagian kecil ini, Paulus berkata—sekarang dengarkan apa yang dia tulis dalam ayat 17, ayat 20 dan ayat 24—sekarang, dengarkan apa yang Paulus sampaikan: “Selanjutnya hendaklah tiap-tiap orang tetap hidup seperti yang telah ditentukan Tuhan baginya dan dalam keadaan seperti waktu ia dipanggil Allah. Inilah ketetapan yang kuberikan kepada semua jemaat” [1 Korintus 7:17].  Lalu—hal yang sama lagi: “Baiklah tiap-tiap orang tinggal dalam keadaan, seperti waktu ia dipanggil Allah” [1 Korintus 7:20].  Baiklah, sekarang ayat dua puluh empat: “Saudara-saudara, hendaklah tiap-tiap orang tinggal di hadapan Allah dalam keadaan seperti pada waktu ia dipanggil.” [1 Korintus 7:24].  Kemudian dia mengilustrasikannya. Dia mengilustrasikannya, yang pertama secara rohani. Di sini, yaitu di dalam ayat delapan belas:

Kalau seorang dipanggil dalam keadaan bersunat, janganlah ia berusaha meniadakan tanda-tanda sunat itu. Dan kalau seorang dipanggil dalam keadaan tidak bersunat, janganlah ia mau bersunat.
Sebab bersunat atau tidak bersunat tidak penting. Yang penting ialah mentaati hukum-hukum Allah.
Baiklah tiap-tiap orang tinggal dalam keadaan, seperti waktu ia dipanggil Allah.  [1 Korintus 7:18-20] 

Baiklah, apa yang anda pikirkan tentang hal itu? Seandainya ada seorang Yahudi datang menelusuri lorong bangku ini dan berkata kepada saya, “Pendeta, saya ingin menerima Tuhan Yesus sebagai Juruselamat saya dan saya ingin dibaptiskan dan saya ingin menjadi anggota jemaat ini.” Paulus berkata, dia dapat tetap tinggal sebagai orang Yahudi dan menjadi orang Kristen. Dia dapat menjadi keduanya. Jika dia adalah seorang Yahudi  dan menjadi orang Kristen, biarlah dia tetap tinggal sebagai orang Yahudi.
Baiklah, saya mendapat pemikiran tentang hal itu. Sungguh luar biasa, hal-hal ini yang anda baca di dalam Alkitab. Saya mendapat pemikiran tentang hal itu dan saya berpaling ke dalam pemikiran saya kembali kepada orang-orang ini yang ada di dalam Alkitab. Paulus adalah seorang Yahudi, tetapi pada hari ketika dia meninggal, dia tetap seorang Yahudi. Di Kaisarea—Korintus berada di sebelah sini, Kaisarea berada di sebelah sana—pelabuhan kota di bagian Timur, enam mil di sebelah sana. Di Kaisarea, dia mencukur kepalanya menurut nazar orang Yahudi. Dan dia pergi ke Bait Suci di Yerusalem dan dia memenuhi nazarnya bersama dengan orang Nazir lainnya—membayar persembahan bagi dirinya sendiri—dan orang-orang Nazir lainnya.

Pandangan Katolik

7:17-24 Rasul Paulus mengajarkan bahwa pertobatan tidak perlu diikuti dengan perubahan total status hidup, “hendaklah tiap-tiap orang tetap hidup seperti yang telah ditentukan Tuhan baginya” (lih. ay. 17, 20,24). Contoh yang diberikan misalnya soal sunat lahiriah dan hamba/ pekerja. (ay. 18-22). Jadi yang dipentingkan di sini adalah pertobatan rohaniah, dan bahwa kondisi sehari-hari, entah pekerjaan, keluarga, hubungan sosial, dst sekarang membantu kita untuk menuju kekudusan. Kehidupan kita harus mempunyai dimensi baru, sebab kita menyadari bahwa Tuhan membimbing kita untuk melakukan tugas-tugas yang dipercayakan oleh Tuhan kepada kita.

Namun, meskipun selibat adalah tingkat yang lebih tinggi, perkawinan bukanlah sesuatu yang buruk. Mereka yang menikah tidak melakukan sesuatu yang salah (ay. 28), dan tidak perlu seseorang yang sudah menikah untuk hidup selibat (ay. 3-5) atau bercerai (ay. 27). “Kehidupan selibat demi Kerajaan Allah tidak hanya tidak berlawanan dengan martabat perkawinan, namun mensyaratkan dan meneguhkannya. Perkawinan dan kehidupan selibat adalah dua hal yang melambangkan dan mempraktekkan satu misteri perjanjian Allah dengan umat-Nya. Ketika perkawinan tidak dijunjung tinggi, maka kehidupan selibat tidak dapat eksis; ketika seksualitas manusia tidak dinilai sebagai sesuatu yang berharga yang diberikan oleh Sang Pencipta, maka pengorbanannya demi Kerajaan Allah menjadi kehilangan artinya.”[6]
Pandangan Penulis
Frasa seperti “tiap-tiap orang tetap hidup seperti yang telah ditentukan Tuhan baginya dan dalam keadaan seperti waktu ia dipanggil Allah.”  Penulis menjelaskan dan mengambil kesimpulan:
Tetapi dalam mengambil keputusan mengenai hal-hal ini, usahakanlah supaya Saudara hidup sebagaimana telah ditentukan oleh Allah, menikah atau tidak menikah, sesuai dengan pimpinan dan pertolongan Allah dan menerima keadaan yang telah ditentukan Allah bagi Saudara. Inilah ketentuan yang saya berikan kepada semua jemaat (FAYH, 1 Kor. 7:17).
1. Hidup seperti yang telah ditentukan Tuhan baginya adalah apakah orang tersebut ditentukan oleh Allah tidak menikah (cacat kelamin ataupun dikebiri oleh orang lain) atau atas keinginan sendiri untuk Kerajaan Allah (Matius 19:12) atapun menikah yang ditentukan oleh Allah. Seperti terjemahan FAYH: “Saudara hidup sebagaimana telah ditentukan oleh Allah, menikah atau tidak menikah, sesuai dengan pimpinan dan pertolongan Allah.” Jadi bila Tuhan menentukan tidak menikah atau menikah itulah yang menjadi ketetapan bagi jemaat.
LAI TB, Ada orang yang tidak dapat kawin karena ia memang lahir demikian dari rahim ibunya, dan ada orang yang dijadikan demikian oleh orang lain, dan ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Sorga. Siapa yang dapat mengerti hendaklah ia mengerti."
KJV, For there are some eunuchs, which were so born from their mother's womb: and there are some eunuchs, which were made eunuchs of men: and there be eunuchs, which have made themselves eunuchs for the kingdom of heaven's sake. He that is able to receive it, let him receive it.
2. Frasa “dalam keadaan seperti waktu ia dipanggil Allah” adalah mengandung arti keadaan waktu Allah memanggil kita dari keberdosaan dan bertobat dan sewaktu Allah menarik kita ke dalam kasih-Nya. Kita tidak perlu mengubah status sosial, budaya bahkan status pernikahan, namun sama sekali Paulus tidak menekankan tentang selibat (tidak menikah) dari ayat 17 merujuk dari ayat sebelumnya dan selanjutnya. Apabila kita memaksakan ayat 17 untuk menjadikan orang yang membujang sewaktu dipanggil Allah dalam keadaan membujang tetap membujang maka Paulus menetapkan jemaat semua yang membujang menjadi selibat saja. tetapi aturan selibat  pada ayat yang selanjutnya ketika berbicara tentang gadis. Ada perbedaan bila Tuhan menentukan secara pribadi menjadi selibat dan berjemaat. Dan aturan ini disampaikan karena adanya kejadian yang sama ketika murid Yesus menjawab Jika demikian ada perceraian lebih baik tidak kawin. Tuhan Yesus menjawab “Siapa yang dapat mengerti hendaklah ia mengerti.” Pernyataan ini dibutuhkan kasih karunia untuk memahaminya dan taat melakukannya. Penjelasan lebih lengkap saya ambils ecara keseluruhan dari pemikiran Joh Piper. Silahkan membacanya.
Kata yang mucul dalam setiap pernyataan prinsip itu dan sembilan kali seluruhnya di paragraf ini adalah kata “panggilan.” Ketika Paulus mengatakan di ayat 17, “Selanjutnya hendaklah tiap-tiap orang tetap hidup ... dalam keadaan seperti waktu ia dipanggil Allah,” dan ketika ia mengatakan di ayat 24, “Hendaklah tiap-tiap orang tinggal di hadapan Allah dalam keadaan seperti pada waktu ia dipanggil,” ia sedang merujuk kepada suatu panggilan ilahi di mana kita ditarik untuk percaya kepada Kristus. Kita sering menggunakan kata “panggilan” untuk merujuk kepada pekerjaan kita: panggilan saya adalah menjadi ibu rumah tangga; panggilan saya adalah untuk menjadi penjual barang-barang; dan lain-lain. Tetapi bukan begitu cara Paulus menggunakannya dalam delapan dari sembilan kali kata itu muncul dalam paragraf ini. Satu kali ia menggunakan kata “panggilan” dalam arti vokasional (pekerjaan), yaitu di ayat 20. Secara literal ayat itu mengatakan, “Baiklah tiap-tiap orang tinggal dalam “panggilan” (bukan keadaan), seperti waktu ia dipanggil Allah.” Kata “panggilan” di sini merujuk kepada vokasi (pekerjaan) atau posisi dalam kehidupan. Dan di tengah pekerjaan atau posisi dalam kehidupan ini, panggilan yang lain datang dari Allah. Panggilan ini adalah tarikan Roh Kudus ke dalam persekutuan dengan Kristus. Secara sangat sederhana, panggilan Allah yang datang kepada seseorang dalam vokasinya merupakan kuasa Allah untuk menobatkan jiwa melalui Injil.
Semua ini dijelaskan di 1 Korintus 1. Di pasal 1, ayat 9, Paulus mengatakan, “Allah, yang memanggil kamu kepada persekutuan dengan Anak-Nya Yesus Kristus, Tuhan kita, adalah setia.” Maka semua orang Kristen, dan hanya orang Kristen, yang dipanggil dalam arti ini. Panggilan dari Allah ini berbeda, di satu sisi, dari “panggilan” vokasional kita dan, di lain sisi, dari panggilan umum untuk bertobat yang datang kepada semua orang. Ketika Yesus berkata di Matius 22:14, “Banyak yang dipanggil, tetapi sedikit yang dipilih,” ia merujuk kepada panggilan Injil yang ditujukan kepada seluruh dunia, yang didengar oleh banyak orang tetapi mereka menolaknya untuk kebinasaan mereka sendiri.
Tetapi ini bukanlah panggilan yang Paulus maksudkan. Panggilan Allah yang menempatkan kita ke dalam persekutuan yang penuh kasih dan percaya dengan Yesus merupakan suatu panggilan yang kuat dan efektif yang membawa kita kepada Sang Anak (Yohanes 6:44, 65). Ini terlihat paling jelas di 1 Korintus 1:23, 24, di mana Paulus mengatakan, “Kami memberitakan Kristus yang disalibkan: untuk orang-orang Yahudi suatu batu sandungan dan untuk orang-orang bukan Yahudi suatu kebodohan, tetapi untuk mereka yang dipanggil, baik orang Yahudi, maupun orang bukan Yahudi, Kristus adalah kekuatan Allah dan hikmat Allah.” “Yang dipanggil” bukanlah semua orang yang mendengar khotbah, tetapi orang-orang yang menerima khotbah itu sebagai hikmat. Kita dapat menguraikan ayat-ayat itu untuk menunjukkan perbedaan antara panggilan yang umum dan panggilan yang efektif: Paulus mengatakan, “Kami memanggil setiap orang untuk percaya kepada Kristus yang disalibkan, tetapi banyak orang Yahudi menemukan panggilan ini adalah batu sandungan, dan banyak orang bukan Yahudi menemukan panggilan ini adalah kebodohan, tetapi orang-orang yang dipanggil (yaitu, secara kuat dan efektif ditarik kepada Kristus) menemukan panggilan Injil adalah kuasa dan hikmat Allah.”
Karena itu, ketika Paulus berkata di 1 Korintus 7:17, 20, dan 24 bahwa kita harus tetap tinggal dan hidup bersama dengan Allah dalam keadaan seperti pada waktu kita dipanggil, ia memaksudkan: Tetaplah dalam keadaan seperti ketika kamu bertobat, ketika kamu ditarik oleh Allah ke dalam persekutuan yang penuh kasih dan percaya dengan Anak-Nya.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar