Good News

Kamis, 11 Juni 2015

Interaksi bacaan buku Joh Piper Supremasi Allah dalam Khotbah by Hengki Wijaya



Mata Kuliah                : Homiletika Naratif
Judul Buku                  : Supremasi Allah dalam Khotbah
Penulis                         : John Piper

          John Piper, Pendeta Senior Bethlehem Baptist Church di Minneapolis, dan penulis
beberapa karya penting, menulis karya yang menyentuh hati untuk mengingatkan pengkhotbah bahwa orang-orang kelaparan untuk kebesaran Allah. Tujuan Allah adalah meninggikan diri-Nya, bukan si pengkhotbah. Ini membawa kita pada tema utama: Supremasi Allah dalam khotbah. Kerangkanya penulisan ini sengaja dimaksudkan bersifat Trinitarian: Tujuan Khotbah: Kemulian Allah; Dasar Khotbah: Salib Kristus; Karunia Khotbah: Kuasa Roh Kudus (hal. 5). Penulis menyadari bahwa Allah Trinitas tidak dipisah-pisahkan dan adalah satu dalam pelayanan khotbah. Paulus berkata “Sebab  segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya! (Roma 11:36).

          Penulis mengutip perkataan James Stewart sebagai berikut: tujuan semua khotbah yang sejati adalah “menghidupkan kembali kesadaran dengan kekudusan Allah, memberi makan akal budi dengan kebenaran Allah, memurnikan imajinasi dengan keindahan Allah, membuka hati bagi kasih Allah, menyerahkan kehendak kepada tujuan Allah (hal. 6). Dengan kata lain, Allah adalah tujuan khotbah, Allah adalah dasar khotbah, dan semua sarana sarana di antara kedua hal ini dikaruniakan Roh Allah.
          Pada bab dua, Piper berpendapat bahwa dasar memberitakan sautu khotbah adalah saliib Kristus. Dia mencatat, masalah yang paling mendasar dari khotbah telah diselesaikan oleh salib. Khotbah tidak akan berlaku tanpa salib. Tanpa salib, kebenaran Allah hanya akan mendemonstrasikan penghukuman terhadap orang-orang berdosa, dan tujuan khotbah akan gagal (hal. 20). Pengkhotbah harus mengkhotbahkan salib untuk memberikan pengharapan kepada semua orang berdosa. Salib harus ada dalam khotbah untuk mengingatkan jemaat bahwa tanpa salib kita tidak dapat memuliakan Allah.
          Salib adalah juga dasar kerendahan hati khotbah karena salib adalah kuasa Allah untuk menyalibkan kesombongan baik pengkhotbah maupun jemaat. Dengan adanya salib maka pengkhotbah dan jemaat tidak harus bermegah atas dirinya sendiri karena semuanya itu dilakukan oleh Yesus di atas kayu salib. Salib adalah peristiwa pensubstitusikan yang terjadi di masa lalu sekaligus peristiwa eksekusi yang terjadi pada masa sekarang. Paulus bahkan sampai mengatakan bahwa jika pengkhotbah tidak disalibkan , khotbah menjadi sia-sia (1Kor 1:17). Hal ini pengkhotbah telah menghidupi setiap perkataan Firman Tuhan yang disampaikan kepada jemaat sehingga jemaat juga dapat mengalami hal yang disampaikan oleh pengkhotbah melalui Firman Tuhan. Sebagai jemaat,  Firman Allah menjadi fokus kita bukanlah pengkhotbahnya.
          Penulis mengatakan bahwa salah satu kesulitan terbesar yang saya temukan pada para pengkhotbah yang lebih muda yang saya rasa harus saya kritik adalah dalam hal mengutip adalah hal mengutip bagian-bagian teks untuk mendukung poin-poin yang mereka sampaikan. Akibatnya ialah pengkhotbah membiarkan jemaat meraba-raba tanpa bimbingan ke dalam Firman Allahdan bertanya-tanya apakah yang Anda katakan sungguh-sungguh ada dalam Alkitab (hal. 29). Hal ini disebut eisegese yaitu pandangan pengkhotbah yang ada sebelumnya yang dicarikan ayat-ayat pendukung untuk mendukung pernyataannya. Bahaya bagi seorang pengkhotbah apabila pemikiran dan intelektualnya masuk ke dalam Alkitab.
          Para pengkhotbah yang benar-benar efektif selalu bertumbuh dalam Firman Allah. Kesukaan mereka adalah  dalam Taurat Tuhan dan merenungkannya siang dan malam (Mazmur 1:2). Spurgeon berkata tentang John Bunyan, “Tusuk dia di bagian mana saja; dan Anda akan menemukan bahwa dalam darahnya mengalir Alkitab, hal yang paling esensi dari Alkitab akan mengalir darinya. Dia tidak dapat berbicara tanpa mengutip suatu perikop, karena jiwanya penuh dengan Firman Tuhan.” Hal inilah yang dikatakan bahwa Firman Allah tinggal dalam manusia dan harus menjadi “daging” dan mengalir dalam kita dan memancar keluar kepada orang lain.
          Salah satu dari tujuh  langkah praktis untuk mengelolah keseriusan (gravity) dan ksukacitaan (gladness) yang dikemukakan oleh John Piper yaitu:Buatlah kehidupan Anda terutama kehidupan studi Anda, suatu hidup dalam persekutuan yang terus menerus dengan Allah di dalam doa. B. B. Warfield mendengar seorang yang berkata bahwa sepuluh menit dihabiskan dengan berlutut akan memberikan Anda pengetahuan yang lebih sejati, lebih dalam akan Allah daripada sepuluh jam berkutat dengan buku-buku Anda. Saya setuju dengan pendapat orang tersebut. Hal ini mengingatkan kita pada bagian Firman Tuhan, dalam ketenangan perenungan kita, Dia menyatakan kehendak-Nya dan kuasa-Nya. Pemazmur berkata, “Diamlah dan ketahuilah bahwa Aku Allah” (Mazmur 46:11). Kebiasaan Cotton Marther adalah berhenti di akhir setiap paragraf ketika dia menulis khotbahnya untuk berdoa dan memeriksa dirinya sendiri dan mencoba menancapkan  di dalam hatinya beberapa kesan kudus dari pembahasannya. Tanpa roh doa yang konstan ini, kita tidak dapat mempertahankan keseriusan dan kesukacitaan yang tinggal di sekeliling takhta anugerah.
          Bab lima dalam buku ini mengisahkan tentang seorang yang bernama Jonathan Edwards yang dalam kehidupannya sebagai pengkhotbah dia menjadikan Allah sebagai pusat dimana ia memiliki kasih yang luar biasa yang ditunjukkannya kepada kemuliaan Allah di alam. Edwards menulis, “Kadang-kadang pada hari-hari yang cerah saya menemukan diri saya lebih cenderung untuk mengamati keagungan-keagungan dunia daripada mempelajari agama yang serius.” Allah dapat menyatakan dirinya secara umum melalui alam dan sejarah dan secara khusus ketika kita berinteraksi dengan Allah sendiri dalam hadirat-Nya dan sesama manusia.
          Pada bab enam ini, Piper menjelaskan teologi Jonathan Edward tentang tunduk pada kedaulatan yang indah. Pada tahun 1735 Edwards mengkhotbahkan suatu khotbah  dari teks, “Diamlah dan ketahuilah, bahwa Akulah Allah” (Mazmur 46:11). Dari teks ini dia mengembangkan doktrin berikut:
Allah tidak mengharuskan kita untuk tunduk yang berlawanan dengan rasio dan dasar dari penundukan itu. Karena itu, pertimbangan bahwa Allah adalah Allah sudah memadai untuk menghilangkan semua keberatan dan perlawanan terhadap ketetapan Allah yang berdaulat.[1]

Jonathan Edward melihat secara menyeluruh bahwa Allah harus ditinggikan dan menampilkan kemuliaan-Nya. Allah juga melihat hak istimewa dan kewajiban manusia yang berkenan yang berkenan dalam kemuliaan Allah. Kedaulatan Allah berarti manusia meninggikan dan memuliakan Allah tanpa syarat dan hanya menikmati-Nya melalui ketaatan atau tunduk pada kedaulatan yang indah.
          Bab terakhir, Piper mengumpulkan karakteristik berkhotbah seorang Jonathan Edwards dan pandangannya tentang Allah dalam berkhotbah yaitu: 1) Membangkitkan afeksi yang kudus; 2) menerangi pikiran; 3) dipenuhi dengan Kitab Suci; 4) memakai analogi-analogi dan gambaran-gambaran; 5) menggunakan ancaman dan peringatan; 6) meminta suatu respon; 7) menyelidiki kerja hati; 8) berserah pada Roh Kudus dalam Doa; 9)  hati yang remuk dan lembut; dan 10) bersungguh-sungguh. Dalam bahasan Piper yang menarik adalah bagaimana seorang Edward menggunakan ancaman dan peringatan dengan memakai analogi-analogi dan gambaran dalam berkhotbah. Edwards berhasil memakai gambaran frasa kilangan anggur, yaitu kegeragaman murka Allah, Yang Mahakuasa (Wahyu 19:15). Hal ini juga didukung oleh penyampaian atau komunikasi pengkhotbah yang mendramatisasi dan memberi penekanan pada kata-kata Firman Allah itu sendiri.


[1] Jonathan Edwards, “The Sole Consideration, That God is God, Sufficient to Still All Objection to His Sovereignty,” dalam The Works of Jonathan Edwards, vol. 2 (Edinburgh:Banner of Truth, 1974), 107;dikutip oleh John Piper,71.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar