Mata Kuliah :
Homiletika Naratif
Judul Buku : Supremasi
Allah dalam Khotbah
Penulis :
John Piper
John
Piper, Pendeta Senior Bethlehem Baptist Church di Minneapolis, dan penulis
beberapa karya penting, menulis karya yang menyentuh
hati untuk mengingatkan pengkhotbah bahwa orang-orang kelaparan untuk kebesaran
Allah. Tujuan Allah adalah meninggikan diri-Nya, bukan si pengkhotbah. Ini
membawa kita pada tema utama: Supremasi Allah dalam khotbah. Kerangkanya
penulisan ini sengaja dimaksudkan bersifat Trinitarian: Tujuan Khotbah:
Kemulian Allah; Dasar Khotbah: Salib Kristus; Karunia Khotbah: Kuasa Roh Kudus
(hal. 5). Penulis menyadari bahwa Allah Trinitas tidak dipisah-pisahkan dan
adalah satu dalam pelayanan khotbah. Paulus berkata “Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia,
dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya! (Roma 11:36).
Penulis
mengutip perkataan James Stewart sebagai berikut: tujuan semua khotbah yang
sejati adalah “menghidupkan kembali kesadaran dengan kekudusan Allah, memberi
makan akal budi dengan kebenaran Allah, memurnikan imajinasi dengan keindahan
Allah, membuka hati bagi kasih Allah, menyerahkan kehendak kepada tujuan Allah
(hal. 6). Dengan kata lain, Allah adalah tujuan khotbah, Allah adalah dasar
khotbah, dan semua sarana sarana di antara kedua hal ini dikaruniakan Roh
Allah.
Pada
bab dua, Piper berpendapat bahwa dasar memberitakan sautu khotbah adalah saliib
Kristus. Dia mencatat, masalah yang paling mendasar dari khotbah telah
diselesaikan oleh salib. Khotbah tidak akan berlaku tanpa salib. Tanpa salib,
kebenaran Allah hanya akan mendemonstrasikan penghukuman terhadap orang-orang
berdosa, dan tujuan khotbah akan gagal (hal. 20). Pengkhotbah harus
mengkhotbahkan salib untuk memberikan pengharapan kepada semua orang berdosa.
Salib harus ada dalam khotbah untuk mengingatkan jemaat bahwa tanpa salib kita
tidak dapat memuliakan Allah.
Salib
adalah juga dasar kerendahan hati khotbah karena salib adalah kuasa Allah untuk
menyalibkan kesombongan baik pengkhotbah maupun jemaat. Dengan adanya salib
maka pengkhotbah dan jemaat tidak harus bermegah atas dirinya sendiri karena
semuanya itu dilakukan oleh Yesus di atas kayu salib. Salib adalah peristiwa pensubstitusikan
yang terjadi di masa lalu sekaligus peristiwa eksekusi yang terjadi pada masa
sekarang. Paulus bahkan sampai mengatakan bahwa jika pengkhotbah tidak
disalibkan , khotbah menjadi sia-sia (1Kor 1:17). Hal ini pengkhotbah telah
menghidupi setiap perkataan Firman Tuhan yang disampaikan kepada jemaat
sehingga jemaat juga dapat mengalami hal yang disampaikan oleh pengkhotbah
melalui Firman Tuhan. Sebagai jemaat,
Firman Allah menjadi fokus kita bukanlah pengkhotbahnya.
Penulis
mengatakan bahwa salah satu kesulitan terbesar yang saya temukan pada para
pengkhotbah yang lebih muda yang saya rasa harus saya kritik adalah dalam hal
mengutip adalah hal mengutip bagian-bagian teks untuk mendukung poin-poin yang
mereka sampaikan. Akibatnya ialah pengkhotbah membiarkan jemaat meraba-raba
tanpa bimbingan ke dalam Firman Allahdan bertanya-tanya apakah yang Anda
katakan sungguh-sungguh ada dalam Alkitab (hal. 29). Hal ini disebut eisegese
yaitu pandangan pengkhotbah yang ada sebelumnya yang dicarikan ayat-ayat
pendukung untuk mendukung pernyataannya. Bahaya bagi seorang pengkhotbah
apabila pemikiran dan intelektualnya masuk ke dalam Alkitab.
Para
pengkhotbah yang benar-benar efektif selalu bertumbuh dalam Firman Allah.
Kesukaan mereka adalah dalam Taurat Tuhan
dan merenungkannya siang dan malam (Mazmur 1:2). Spurgeon berkata tentang John
Bunyan, “Tusuk dia di bagian mana saja; dan Anda akan menemukan bahwa dalam
darahnya mengalir Alkitab, hal yang paling esensi dari Alkitab akan mengalir
darinya. Dia tidak dapat berbicara tanpa mengutip suatu perikop, karena jiwanya
penuh dengan Firman Tuhan.” Hal inilah yang dikatakan bahwa Firman Allah
tinggal dalam manusia dan harus menjadi “daging” dan mengalir dalam kita dan
memancar keluar kepada orang lain.
Salah
satu dari tujuh langkah praktis untuk mengelolah
keseriusan (gravity) dan ksukacitaan
(gladness) yang dikemukakan oleh John Piper yaitu:Buatlah kehidupan Anda terutama kehidupan studi Anda, suatu hidup dalam
persekutuan yang terus menerus dengan Allah di dalam doa. B. B. Warfield
mendengar seorang yang berkata bahwa sepuluh menit dihabiskan dengan berlutut
akan memberikan Anda pengetahuan yang lebih sejati, lebih dalam akan Allah
daripada sepuluh jam berkutat dengan buku-buku Anda. Saya setuju dengan pendapat
orang tersebut. Hal ini mengingatkan kita pada bagian Firman Tuhan, dalam
ketenangan perenungan kita, Dia menyatakan kehendak-Nya dan kuasa-Nya. Pemazmur
berkata, “Diamlah dan ketahuilah bahwa Aku Allah” (Mazmur 46:11). Kebiasaan
Cotton Marther adalah berhenti di akhir setiap paragraf ketika dia menulis
khotbahnya untuk berdoa dan memeriksa dirinya sendiri dan mencoba
menancapkan di dalam hatinya beberapa
kesan kudus dari pembahasannya. Tanpa roh doa yang konstan ini, kita tidak
dapat mempertahankan keseriusan dan kesukacitaan yang tinggal di sekeliling
takhta anugerah.
Bab
lima dalam buku ini mengisahkan tentang seorang yang bernama Jonathan Edwards
yang dalam kehidupannya sebagai pengkhotbah dia menjadikan Allah sebagai pusat
dimana ia memiliki kasih yang luar biasa yang ditunjukkannya kepada kemuliaan
Allah di alam. Edwards menulis, “Kadang-kadang pada hari-hari yang cerah saya
menemukan diri saya lebih cenderung untuk mengamati keagungan-keagungan dunia
daripada mempelajari agama yang serius.” Allah dapat menyatakan dirinya secara
umum melalui alam dan sejarah dan secara khusus ketika kita berinteraksi dengan
Allah sendiri dalam hadirat-Nya dan sesama manusia.
Pada
bab enam ini, Piper menjelaskan teologi Jonathan Edward tentang tunduk pada
kedaulatan yang indah. Pada tahun 1735 Edwards mengkhotbahkan suatu
khotbah dari teks, “Diamlah dan
ketahuilah, bahwa Akulah Allah” (Mazmur 46:11). Dari teks ini dia mengembangkan
doktrin berikut:
Allah tidak mengharuskan kita untuk tunduk yang
berlawanan dengan rasio dan dasar dari penundukan itu. Karena itu, pertimbangan
bahwa Allah adalah Allah sudah memadai untuk menghilangkan semua keberatan dan
perlawanan terhadap ketetapan Allah yang berdaulat.[1]
Jonathan Edward melihat secara menyeluruh bahwa Allah
harus ditinggikan dan menampilkan kemuliaan-Nya. Allah juga melihat hak
istimewa dan kewajiban manusia yang berkenan yang berkenan dalam kemuliaan
Allah. Kedaulatan Allah berarti manusia meninggikan dan memuliakan Allah tanpa
syarat dan hanya menikmati-Nya melalui ketaatan atau tunduk pada kedaulatan
yang indah.
Bab
terakhir, Piper mengumpulkan karakteristik berkhotbah seorang Jonathan Edwards
dan pandangannya tentang Allah dalam berkhotbah yaitu: 1) Membangkitkan afeksi
yang kudus; 2) menerangi pikiran; 3) dipenuhi dengan Kitab Suci; 4) memakai
analogi-analogi dan gambaran-gambaran; 5) menggunakan ancaman dan peringatan;
6) meminta suatu respon; 7) menyelidiki kerja hati; 8) berserah pada Roh Kudus
dalam Doa; 9) hati yang remuk dan
lembut; dan 10) bersungguh-sungguh. Dalam bahasan Piper yang menarik adalah
bagaimana seorang Edward menggunakan ancaman dan peringatan dengan memakai
analogi-analogi dan gambaran dalam berkhotbah. Edwards berhasil memakai
gambaran frasa kilangan anggur, yaitu kegeragaman murka Allah, Yang Mahakuasa
(Wahyu 19:15). Hal ini juga didukung oleh penyampaian atau komunikasi
pengkhotbah yang mendramatisasi dan memberi penekanan pada kata-kata Firman
Allah itu sendiri.
[1] Jonathan
Edwards, “The Sole Consideration, That God is God, Sufficient to Still All
Objection to His Sovereignty,” dalam The
Works of Jonathan Edwards, vol. 2 (Edinburgh:Banner of Truth, 1974), 107;dikutip
oleh John Piper,71.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar