Good News

Kamis, 11 Juni 2015

Artikel :Misiologi Berdasarkan Perjanjian Baru (2) By Hengki Wijaya




Misi dalam Perjanjian Baru tidak bisa dilepaskan dari topik tentang kerajaan Allah. Yohanes Pembaptis memberitakan “kerajaan Allah sudah dekat” (Markus 1:15), begitu juga para murid (Luk 10:9, 11). Yesus memberitakan “kerajaan Allah ada di tengah-tengah kamu” (Luk 17:21). Kerajaan ini bukanlah masalah geografis (daerah) maupun politis (bdg. Kis 1:6). Kerajaan Allah menyangkut realitas dan orang-orang. Selain itu, kerajaan Allah tidak hanya terbatas pada bangsa Israel, tetapi seluruh bumi (Kis 1:6-8). Yesus memang pernah melarang murid-murid memberitakan Injil di daerah non Israel (Mat 10:5-6), tetapi hal ini merupakan bagian dari strategi misi. Dalam Matius 28:20 Yesus memberikan perintah agar mereka menjangkau semua bangsa. Pelayanan Yesus di dunia juga memerhatikan orang-orang non Yahudi, misalnya perwira Romawi (Mat 8:5-13), perempuan Kanaan (Mat 15:21-28), perempuan Samaria (Yoh 4), orang-orang Yunani di Yerusalem (Yoh 12:20-32). Ketika Yesus hendak naik ke surga, Ia memberikan perintah yang terfokus pada penyelesaian misi Allah. Sebagai Bapa mengutus Yesus, sekarang Yesus mengutus para murid (Yoh 20:21). Ia memerintahkan para murid untuk pergi menjadikan semua bangsa murid-Nya (Mat 28:19 21). Ia menjanjikan Roh Kudus bagi orang percaya agar mereka mampu menjadi saksi (Kis 1:8). Sejarah perkembangan gereja di Kisah Rasul juga merupakan sejarah perkembangan misi. Intinya, misi Yesus tetap dilakukan oleh murid-murid-Nya.[1]

Jelas tak ada keraguan bahwa Alkitab menampilkan Allah, mengutus banyak orang “menjalani misi dari Allah”, dan gerakan misioner di Kitab Kisah Para Rasul diawali oleh sebuah jemaat yang merespons dorongan ilahiah dengan mengutus Paulus dan Barnabas ke dalam perjalanan misi pertama mereka. Bahasa “pengutusan” digunakan dalam kisah-kisah berikut. Yusuf diutus (awalnya tanpa disadari) untuk menempati posisi yang bisa menyelamatkan nyawa di tengah sebuah bencana kelaparan (Kejadian 45:7). Musa diutus (awalnya tanpa disadari) untuk membebaskan sebuah bangsa dari penindasan dan eksploitasi (Keluaran 3:10). Yesus memproklamasikan kata-kata Yesaya bahwa diri-Nya diutus untuk memberitakan kabar baik, memproklamasikan kemerdekaan, memberikan penglihatan kepada orang buta, dan menawarkan kelepasan bagi mereka yang tertindas (Lukas 4:16-19;bdg. Yesaya 61:1).[2]
Dalam Perjanjian Baru, para murid diutus untuk memberitakan dan mendemonstrasikan kuasa pemerintahan Allah yang membebaskan dan menyembuhkan (Matius 10:5-8). Sebagai rasul, mereka diutus untuk memuridkan, membaptis, dan mengajar (Matius 28:18-20). Yesus mengutus merka ke dunia dalam cara yang sama seperti Bapa telah mengutus-Nya, dan ini memunculkan berbagai pertanyaan dan tantangan yang menarik (Yohanes 17:18; 20:21). Paulus dan Barnabas diutus untuk membawa bantuan bencana kelaparan (Kisah Para Rasul 11:27-30). Kemudian mereka diutus untuk melakukan penginjilan dan perintisan jemaat (Kisah Para Rasul 13:1-3).[3]
Kitab Kisah Para Rasul menceritakan bahwa para rasul pergi untuk memenuhi misi ini Dalam Kis 8:12, dikatakan bahwa Filipus pergi ke Samaria memberitakan Injil. Misinya itu digambarkan dalam kata-kata berikut: “… memberitakan Injil tentang Kerajaan Allah.” Perjanjian Baru bahasa Yunani memunyai akar kata yang sama untuk kata benda “Injil” dan kata kerja “menginjil” atau “memberitakan Injil.” Matius 24:14 berbicara tentang “Injil Kerajaan”, dan Kis 8:12 tentang “memberitakan Injil tentang Kerajaan Allah.” Injil Kerajaan ini harus diberitakan di seluruh dunia. Filipus pergi ke Samaria, menginjili tentang Kerajaan Allah, yakni memberitakan Injil Kerajaan. Terdapat ungkapan yang sama dalam Kisah Para Rasul 8:12 dan Matius 24:14, kecuali bahwa ada kata kerja dan bukan kata benda dengan kata depan “tentang” diselipkan ke dalam frase tersebut dalam Kisah Para Rasul.[4]
Secara khusus penulis juga membahas dalam Perjanjian Baru tentang amanat agung. Konsep yang benar terhadap Amanat Agung (Matius 28:19-20). Mayoritas orang memahami inti amanat agung terletak pada penginjilan (bandingkan kata “pergilah” yang diletakkan di awal kalimat) dan langkah selanjutnya adalah pemuridan, baptisan dan pengajaran. Bagaimanapun, menurut struktur kalimat Yunani di ayat 19-20, inti Amanat Agung justru terletak pada pemuridan.[5] Hal ini didasarkan pada mood imperatif untuk kata kerja “jadikanlah murid” (lihat: “muridkanlah”) yang diikuti oleh tiga participle (anak kalimat), yaitu “pergi”, “baptiskanlah” dan “ajarkanlah”. Penggunaan kata “muridkanlah” di sini menempatkan penginjilan dalam konteks mempelajari hukum (ajaran) Yesus.[6] Yesus juga memerintahkan para pengikut-Nya: “Jadikanlah semua bangsa murid-Ku.” Pengarang mengubah kata benda mathetes menjadi kata kerja. Bentuk kata kerja dari kata ini muncul empat kali dalam Perjanjian Baru (dalam Matius 13:52;27:57;Kisah Para Rasul 14:21 dan Matius 28:20). Menjadi seorang murid Yesus berarti ikut terlibat dalam kematian dan kebangkitan-Nya dan ikut barisan-Nya sampai ke penyingkapan akhir Kerajaan mesianis-Nya.[7]
 “Maksud Allah” adalah hal-hal yang hendak dilakukan Allah di dunia ini. Orang yang berkomitmen yang realitas Allah mencari pemahaman tentang keterlibatan-Nya agar mereka dapat sepenuhnya terlibat dalam keprihatinan-keprihatinan-Nya.[8] Allah punya sebuah maksud dan sasaran bagi seluruh ciptaan-Nya. Paulus menyebut ini “seluruh maksud Allah” (Kisah Para Rasul 20:27;bdg. Efesus 1:9-10). Dan sebagai bagian dari misi ilahiah itu, Allah telah menjadikan sebuah umat yang berpartisipasi bersama Allah di dalam penggenapan misi tersebut. Semua misi kita mengalir dari misi Allah yang ada sebelumnya.[9] John R.W. Stott berkata, “Misi muncul dari hati Allah itu sendiri, dan dikomunikasikan dari hati-Nya kepada hati kita. Misi adalah pengjangkauan global sebuah umat yang bersifat global milik Allah yang global pula.”[10]


[1]  Yakub Tri Handoko, Bagian 2: Misi dalam Alkitab; diakses tanggal 12 Februari 2013; tersedia di http://ebookbrowse.com/gdoc.php?id=172478927&url=709e9b1dcc5fbac10b9935a6e5457eeb
[2] Christopher J. H. Wright, Misi Umat Allah:Sebuah Teologi Biblika Tentang Misi Gereja (Jakarta, Literatur Perkantas, 2011), 26.
[3]  Christopher J. H. Wright, Misi Umat Allah:Sebuah Teologi Biblika Tentang Misi Gereja (Jakarta, Literatur Perkantas, 2011), 26-27.
[4]George Eldon Ladd, “Injil Kerajaan” dalam  Misi Menurut Perspektif Alkitab (Jakarta:Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2007), 91.
[5] D. A. Carson, “Matthew” dalam Expositor’s Bible Commentary on the New Testament (Frank E. Gaebelein. Zondervan Reference Software).
[6] Robert H. Gundry, Matthew: A Commentary on His Handbook for a Mixed Church under Persecution (Grand Rapids:Eedrmans Publishing Company, 1994), 596.
[7]Johannes Verkuyl,  “Dasar Alkitabiah untuk Mandat Penginjilan Seantero Dunia”  dalam  Misi Menurut Perspektif Alkitab (Jakarta:Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2007), 75.
   [8] J. Andrew Kirk,  APA ITU MISI? Suatu Penelurusan Teologis (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), 23.
             [9] Wright, Misi Umat Allah:Sebuah Teologi Biblika Tentang Misi Gereja, 26-27.
[10]  John R. W. Stott,  The Contemporary Christian: An Urgent Plea for Double Listening (Leicester:IVP, 1992), 335. Dikutip oleh Christopher J. H. Wright, Misi Umat Allah:Sebuah Teologi Biblika Tentang Misi Gereja (Jakarta, Literatur Perkantas, 2011), 27.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar