Misi dalam Perjanjian Baru tidak bisa dilepaskan dari
topik tentang kerajaan Allah. Yohanes Pembaptis memberitakan “kerajaan Allah
sudah dekat” (Markus 1:15), begitu juga para murid (Luk 10:9, 11). Yesus
memberitakan “kerajaan Allah ada di tengah-tengah kamu” (Luk 17:21). Kerajaan
ini bukanlah masalah geografis (daerah) maupun politis (bdg. Kis 1:6). Kerajaan
Allah menyangkut realitas dan orang-orang. Selain itu, kerajaan Allah tidak
hanya terbatas pada bangsa Israel, tetapi seluruh bumi (Kis 1:6-8). Yesus
memang pernah melarang murid-murid memberitakan Injil di daerah non Israel (Mat
10:5-6), tetapi hal ini merupakan bagian dari strategi misi. Dalam Matius 28:20
Yesus memberikan perintah agar mereka menjangkau semua bangsa. Pelayanan Yesus
di dunia juga memerhatikan orang-orang non Yahudi, misalnya perwira Romawi (Mat
8:5-13), perempuan Kanaan (Mat 15:21-28), perempuan Samaria (Yoh 4),
orang-orang Yunani di Yerusalem (Yoh 12:20-32). Ketika Yesus hendak naik ke
surga, Ia memberikan perintah yang terfokus pada penyelesaian misi Allah.
Sebagai Bapa mengutus Yesus, sekarang Yesus mengutus para murid (Yoh 20:21). Ia
memerintahkan para murid untuk pergi menjadikan semua bangsa murid-Nya (Mat
28:19 21). Ia menjanjikan Roh Kudus bagi orang percaya agar mereka mampu
menjadi saksi (Kis 1:8). Sejarah perkembangan gereja di Kisah Rasul juga
merupakan sejarah perkembangan misi. Intinya, misi Yesus tetap dilakukan oleh
murid-murid-Nya.[1]
Jelas tak ada keraguan
bahwa Alkitab menampilkan Allah, mengutus banyak orang “menjalani misi dari
Allah”, dan gerakan misioner di Kitab Kisah Para Rasul diawali oleh sebuah
jemaat yang merespons dorongan ilahiah dengan mengutus Paulus dan Barnabas ke
dalam perjalanan misi pertama mereka. Bahasa “pengutusan” digunakan dalam
kisah-kisah berikut. Yusuf diutus (awalnya tanpa disadari) untuk menempati
posisi yang bisa menyelamatkan nyawa di tengah sebuah bencana kelaparan
(Kejadian 45:7). Musa diutus (awalnya tanpa disadari) untuk membebaskan sebuah
bangsa dari penindasan dan eksploitasi (Keluaran 3:10). Yesus memproklamasikan
kata-kata Yesaya bahwa diri-Nya diutus untuk memberitakan kabar baik,
memproklamasikan kemerdekaan, memberikan penglihatan kepada orang buta, dan
menawarkan kelepasan bagi mereka yang tertindas (Lukas 4:16-19;bdg. Yesaya
61:1).[2]
Dalam Perjanjian Baru,
para murid diutus untuk memberitakan dan mendemonstrasikan kuasa pemerintahan
Allah yang membebaskan dan menyembuhkan (Matius 10:5-8). Sebagai rasul, mereka
diutus untuk memuridkan, membaptis, dan mengajar (Matius 28:18-20). Yesus
mengutus merka ke dunia dalam cara yang sama seperti Bapa telah mengutus-Nya,
dan ini memunculkan berbagai pertanyaan dan tantangan yang menarik (Yohanes
17:18; 20:21). Paulus dan Barnabas diutus untuk membawa bantuan bencana
kelaparan (Kisah Para Rasul 11:27-30). Kemudian mereka diutus untuk melakukan
penginjilan dan perintisan jemaat (Kisah Para Rasul 13:1-3).[3]
Kitab Kisah Para Rasul
menceritakan bahwa para rasul pergi untuk memenuhi misi ini Dalam Kis 8:12,
dikatakan bahwa Filipus pergi ke Samaria memberitakan Injil. Misinya itu
digambarkan dalam kata-kata berikut: “… memberitakan Injil tentang Kerajaan
Allah.” Perjanjian Baru bahasa Yunani memunyai akar kata yang sama untuk kata
benda “Injil” dan kata kerja “menginjil” atau “memberitakan Injil.” Matius
24:14 berbicara tentang “Injil Kerajaan”, dan Kis 8:12 tentang “memberitakan
Injil tentang Kerajaan Allah.” Injil Kerajaan ini harus diberitakan di seluruh
dunia. Filipus pergi ke Samaria, menginjili
tentang Kerajaan Allah, yakni memberitakan Injil Kerajaan. Terdapat ungkapan
yang sama dalam Kisah Para Rasul 8:12 dan Matius 24:14, kecuali bahwa ada kata
kerja dan bukan kata benda dengan kata depan “tentang” diselipkan ke dalam frase tersebut dalam Kisah Para Rasul.[4]
Secara
khusus penulis juga membahas dalam Perjanjian Baru tentang amanat agung. Konsep
yang benar terhadap Amanat Agung (Matius 28:19-20). Mayoritas orang memahami
inti amanat agung terletak pada penginjilan (bandingkan kata “pergilah” yang
diletakkan di awal kalimat) dan langkah selanjutnya adalah pemuridan, baptisan
dan pengajaran. Bagaimanapun, menurut struktur kalimat Yunani di ayat 19-20,
inti Amanat Agung justru terletak pada pemuridan.[5]
Hal ini didasarkan pada mood imperatif
untuk kata kerja “jadikanlah murid” (lihat:
“muridkanlah”) yang diikuti oleh tiga participle
(anak kalimat), yaitu “pergi”, “baptiskanlah” dan “ajarkanlah”. Penggunaan kata
“muridkanlah” di sini menempatkan penginjilan dalam konteks mempelajari hukum
(ajaran) Yesus.[6]
Yesus juga memerintahkan para pengikut-Nya: “Jadikanlah semua bangsa murid-Ku.”
Pengarang mengubah kata benda mathetes
menjadi kata kerja. Bentuk kata kerja dari kata ini muncul empat kali dalam Perjanjian Baru (dalam Matius 13:52;27:57;Kisah Para Rasul 14:21 dan Matius
28:20). Menjadi seorang murid Yesus berarti ikut terlibat dalam kematian dan
kebangkitan-Nya dan ikut barisan-Nya sampai ke penyingkapan akhir Kerajaan
mesianis-Nya.[7]
“Maksud Allah” adalah hal-hal yang hendak
dilakukan Allah di dunia ini. Orang yang berkomitmen yang realitas Allah
mencari pemahaman tentang keterlibatan-Nya agar mereka dapat sepenuhnya
terlibat dalam keprihatinan-keprihatinan-Nya.[8]
Allah punya sebuah maksud dan sasaran bagi seluruh ciptaan-Nya. Paulus menyebut
ini “seluruh maksud Allah” (Kisah Para Rasul 20:27;bdg. Efesus 1:9-10). Dan
sebagai bagian dari misi ilahiah itu, Allah telah menjadikan sebuah umat yang
berpartisipasi bersama Allah di dalam penggenapan misi tersebut. Semua misi
kita mengalir dari misi Allah yang ada sebelumnya.[9]
John R.W. Stott berkata, “Misi muncul dari hati Allah itu sendiri, dan
dikomunikasikan dari hati-Nya kepada hati kita. Misi adalah pengjangkauan
global sebuah umat yang bersifat global milik Allah yang global pula.”[10]
[1] Yakub
Tri Handoko, Bagian 2: Misi dalam
Alkitab; diakses tanggal 12 Februari 2013; tersedia di http://ebookbrowse.com/gdoc.php?id=172478927&url=709e9b1dcc5fbac10b9935a6e5457eeb
[2] Christopher J.
H. Wright, Misi Umat Allah:Sebuah Teologi
Biblika Tentang Misi Gereja (Jakarta, Literatur Perkantas, 2011), 26.
[3] Christopher J. H. Wright, Misi Umat Allah:Sebuah Teologi Biblika Tentang Misi Gereja
(Jakarta, Literatur Perkantas, 2011), 26-27.
[4]George Eldon Ladd, “Injil Kerajaan” dalam Misi Menurut
Perspektif Alkitab (Jakarta:Yayasan
Komunikasi Bina Kasih, 2007), 91.
[5] D. A. Carson, “Matthew”
dalam Expositor’s Bible Commentary on the New Testament (Frank E.
Gaebelein. Zondervan Reference Software).
[6] Robert H. Gundry, Matthew: A
Commentary on His Handbook for a Mixed Church under Persecution (Grand
Rapids:Eedrmans Publishing Company, 1994), 596.
[7]Johannes
Verkuyl, “Dasar Alkitabiah untuk Mandat
Penginjilan Seantero Dunia” dalam Misi
Menurut Perspektif Alkitab (Jakarta:Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2007), 75.
[10] John R. W. Stott, The
Contemporary Christian: An Urgent Plea for Double Listening (Leicester:IVP,
1992), 335. Dikutip oleh Christopher J. H. Wright, Misi Umat Allah:Sebuah Teologi Biblika Tentang Misi Gereja
(Jakarta, Literatur Perkantas, 2011), 27.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar