Di
dalam Kejadian
3:15, tersirat janji Allah mengenai rencana Allah bagi penebusan dunia ini. Ini
merupakan misi Allah bagi umat manusia dalam mematahkan perlawanan si iblis di
antara keturunan wanita (Tuhan Yesus Kristus), terhadap keturunan ular (iblis
dan seterusnya)
dan janji bahwa akan lahir Juruselamat melalui
seorang wanita (bdg.
Yesaya 7:14) serta kemenangan atas maut demi keselamatan umat manusia (bdg. Yesaya 53:5; Matius
1:20-23; Yohanes 12:31; Kisah Para Rasul 26:18; Roma 5:18-19; 16:20; I Yoh.
3:8; Wahyu 20:10).
John R. W. Stott mengemukakan empat alasan mengapa Alkitab tidak
terpisahkan dari penginjilan dunia. Penjelasan itu sebagai berikut.[1]
Pertama, Alkitab memberi kita mandat untuk penginjilan dunia.
Hanya ada satu Allah yang hidup dan sejati, Pencipta alam semesta, Tuhan
bangsa-bangsa dan Allah dari jiwa semua manusia. Sekitar 4.000 tahun lalu Ia
memanggil Abraham dan membuat perjanjian dengannya, dengan menjanjikan bukan
hanya akan memberkatinya tetapi juga, melalui keturunannya, memberkati semua
kaum di muka bumi (Kej 12:1-4). Teks inilah salah satru batu fondasi misi
Kristen. Karena keturunan Abraham (yang melaluinya semua bangsa diberkati)
adalah Kristus dan umat Kristus. Jika dengan aman kita jadi milik Kristus, maka
kita adalah anak-anak rohani Abraham dan memikul tanggung jawab untuk semua
umat manusia. Para nabi Perjanjian Lama juga telah mengatakan bagaimanana Allah
akan menjadikan Sang Kristus ahli waris dan terang untuk bangsa-bangsa (Mazmur
2:8; Yesaya 42:6; 49:6). Ketika Yesus datang, Ia mengesahkan janji-janji ini.
Betul, selama pelayanan-Nya di bumi Ia terbatas “kepada domba-domba yang hilang
dari umat Israel” (Matius 10:6; 15:24), tapi Ia bernubuat bahwa banyak orang
“akan datang dari Timur dan Barat dan dari Utara dan Selatan,” dan akan “duduk
makan bersama-sama Abraham, Ishak, dan Yakub di dalam Kerajaan Surga” (Matius
8:11; Lukas 13:29). Selanjutnya, setelah kebangkitan-Nya dan dalam
mengantisipasi kenaikan-Nya Ia menyatakan klaim maha hebat bahwa “segala kuasa
di surga dan di bumi” telah diberikan kepada-Nya (Matius 28:18). Dalam
konsekuensi otoritas universal-Nya itulah Ia memerintahkan para pengikut-Nya
untuk menjadikan semua suku bangsa murid-Nya, membaptis mereka ke dalam umat
baru-Nya, dan mengajarkan kepada mereka semua apa yang telah diajarkan-Nya
(Matius 28:19).
Kedua, Alkitab memberi kita berita untuk penginjilan dunia. Kovenan Lausane mendefenisikan
penginjilan meurut beritanya. Pasal empat dimulai dengan: “menginjili berarti
menyebarkan kabar baik bahwa Yesus Kristus telah mati untuk dosa kita dan
dibangkitkan dari antara orang mati sesuai dengan Kitab Suci, dan bahwa sebagai
Tuhan yang memerintah. Ia sekarang menawarkan pengampunan dosa dan karunia Roh
Kudus yang membebaskan kepada semua yang bertobat dan percaya.”
Ketiga, Alkitab memberi kita model untuk penginjilan dunia. Melalui Alkitab, Allah sendiri
sesungguhnya menginjili, yaitu mengkomunikasikan kabar baik kepada dunia. Kita
teringat pernyataan Paulus tentang Kejadian 12:3 bahwa “Kitab Suci … telah
terlebih dahulu memberitakan Injil kepada Abraham” (Galatia 3:8). Singkatnya,
ketika Allah berkata kepada kita dalam Kitab Suci, Ia menggunakan bahasa
manusia, dan ketika berkata kepada kita dalam Kristus, Ia mengambil rupa
manusia. Untuk menyatakan dirinya, Ia mengosongkan dan juga merendahkan
diri-Nya (Filipi 2:7-8). Inilah model penginjilan yang diberikan oleh Alkitab.
Dalam semua penginjilan yang autentik, terdapat pengosongan diri dan perendahan
diri; tanpa itu kita menyangkal Injil
dan menggambarkan Kristus yang kita beritakan secara keliru.
Keempat, Alkitab memberi kita kuasa untuk penginjilan dunia. Pertobatan dan pembaharuan orang
Kristen tetap merupakan keajaiban kasih karunia Allah. Itu adalah puncak
pertarungan kekuasaan antara Kristus dan iblis, atau (dalam perumpamaan
apokoliptik yang gambling) antara Anak Domba dan Naga. Perampasan istana orang
kuat hanya mungki karena dia telah
diikat oleh Ia yang masih lebih kuat, dan Ia yang melalui kematian dan
kebangkitan-Nya melucuti dan membuang kerajaan-kerajaan dan kekuasaan-kekuasaan
iblis (Matius 12:27-29; Lukas 11:20-22; Kolose 2:15).
Pandangan Alkitab baik Perjanjian Lama maupun
Perjanjian Baru menegaskan tentang misi. Ada tiga perikop dasar yang
memperlihatkan bahwa Allah justru melakukan hal itu, yakni Kej 12:1-3;Kel
19:5-6; Mzm 67. Ketiga perikop ini begitu penting bagi pemahaman kita mengenai
mandat missioner yang dirancang Allah untuk seluruh bangsa Israel sehingga
tidak mungkin memahami PL dengan tepat tanpa melihat ketiga perikop ini dalam
konteka misi. Dalam rencana dan maksud Allah, Israel selalu bertanggung jawab
untuk menyampaikan kabar tentang kasih karunia Allah kepada bangsa-bangsa lain.
Israel dimaksudkan sebagai bangsa yang menyampaikan Firman. Secara singkat,
pesan perikop ini adalah panggilan Allah kepada kita untuk: 1) Menyatakan
rencana-Nya untuk memberkati bangsa-bangsa (Kejadian 12:3); 2) berpartisipasi
dalam keImaman-Nya sebagai perantara berkat itu (Keluaran 19:4-60); dan 3)
membuktikan Maksud-Nya untuk memberkati semua bangsa (Mazmur 67).[2]
Kita harus merespon seperti yang dilakukan Abraham terhadap janji dan
perintah Allah. Bagi Abraham, hal itu berarti meninggalkan dan berangkat, percaya dan menaati. Misi Allah menuntut
meninggalkan dan berangkat, dan hal itu masih berlaku sekarang. Ada suatu debat
kuno di kalangan para teolog biblika tentang apa perjanjian dengan Abraham itu
tidak bersyarat atau bersyarat. Namun sebenarnya, itu terlalu menyederhanakan,
karena dalam berbagai hal, yang terjadi adalah keduanya. Di satu sisi,
perjanjian itu tidak bersyarat dalam
arti tidak bergantung pada apa pun kondisi
sebelumnya yang telah dipenuhi oleh Abraham. Allah hanya memberitahukan
pilihan-Nya akan Abraham dan maksud-Nya yang mengagumkan untuk memberkati
bangsa-bangsa melaluinya. Abraham tidak melakukan apa pun untuk layak menerima
atau memicu tindakan dari pihak Allah itu. Namun di sisi lain, perkataan
pertama Allah menyiratkan suatu syarat.
Segala sesuatu bergantung pada perintah awalnya (Kejadian 12:1-4). Semua yang
Allah janjikan berikutnya tergantung pada hal itu. Tidak pergi meninggalkan,
tidak ada berkat. Jika Abraham tidak bangkit dan pergi ke Kanaan, jika ia tidak
cukup memercayai Allah untuk menaatinya, kisahnya akan berakhir disana.[3] Penulis
menegaskan bahwa misi Allah dalam Perjanjian Lama membutuhkan syarat ketaatan untuk mendapat berkat
artinya dibahasakan seperti: “Apa yang dapat diterima Abraham apabila menaati
perintah Allah”? dan Perjanjian Baru memiliki paradigma yang bergeser sesuai dengan
keselamatan dalam Yesus Kristus, kita hanya dapat berkata, “Aku ini milikmu
jadilah kehendak-Mu dan jadikan aku murid dan saksi-Mu”? Karena kita telah
menjadi hamba yang ditebus dan harganya lunas dibayar. Yesus telah
menyelesaikan semuanya dengan mati di atas kayu salib dengan taat sampai mati
mengikuti kehendak Bapa. Hamba dalam Perjanjian Lama sama artinya dengan budak.
Bedanya budak yang telah dimerdekakan di dalam Kristus. Kini kita tidak ada
pilihan lagi untuk menjauhi Bapa karena kita milik-Nya dan keselamatan kekal
hanya ada di dalam Yesus Kristus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar