Good News

Kamis, 11 Juni 2015

Hubungan Misi dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru (3) By Hengki Wijaya



Di dalam Kejadian 3:15, tersirat janji Allah mengenai rencana Allah bagi penebusan dunia ini. Ini merupakan misi Allah bagi umat manusia dalam mematahkan perlawanan si iblis di antara keturunan wanita (Tuhan Yesus Kristus), terhadap keturunan ular (iblis dan seterusnya) dan janji bahwa akan lahir Juruselamat melalui seorang wanita (bdg. Yesaya 7:14) serta kemenangan atas maut demi keselamatan umat manusia (bdg. Yesaya 53:5; Matius 1:20-23; Yohanes 12:31; Kisah Para Rasul 26:18; Roma 5:18-19; 16:20; I Yoh. 3:8; Wahyu 20:10).
John R. W. Stott mengemukakan empat alasan mengapa Alkitab tidak terpisahkan dari penginjilan dunia. Penjelasan itu sebagai berikut.[1]
Pertama, Alkitab memberi kita mandat untuk penginjilan dunia. Hanya ada satu Allah yang hidup dan sejati, Pencipta alam semesta, Tuhan bangsa-bangsa dan Allah dari jiwa semua manusia. Sekitar 4.000 tahun lalu Ia memanggil Abraham dan membuat perjanjian dengannya, dengan menjanjikan bukan hanya akan memberkatinya tetapi juga, melalui keturunannya, memberkati semua kaum di muka bumi (Kej 12:1-4). Teks inilah salah satru batu fondasi misi Kristen. Karena keturunan Abraham (yang melaluinya semua bangsa diberkati) adalah Kristus dan umat Kristus. Jika dengan aman kita jadi milik Kristus, maka kita adalah anak-anak rohani Abraham dan memikul tanggung jawab untuk semua umat manusia. Para nabi Perjanjian Lama juga telah mengatakan bagaimanana Allah akan menjadikan Sang Kristus ahli waris dan terang untuk bangsa-bangsa (Mazmur 2:8; Yesaya 42:6; 49:6). Ketika Yesus datang, Ia mengesahkan janji-janji ini. Betul, selama pelayanan-Nya di bumi Ia terbatas “kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel” (Matius 10:6; 15:24), tapi Ia bernubuat bahwa banyak orang “akan datang dari Timur dan Barat dan dari Utara dan Selatan,” dan akan “duduk makan bersama-sama Abraham, Ishak, dan Yakub di dalam Kerajaan Surga” (Matius 8:11; Lukas 13:29). Selanjutnya, setelah kebangkitan-Nya dan dalam mengantisipasi kenaikan-Nya Ia menyatakan klaim maha hebat bahwa “segala kuasa di surga dan di bumi” telah diberikan kepada-Nya (Matius 28:18). Dalam konsekuensi otoritas universal-Nya itulah Ia memerintahkan para pengikut-Nya untuk menjadikan semua suku bangsa murid-Nya, membaptis mereka ke dalam umat baru-Nya, dan mengajarkan kepada mereka semua apa yang telah diajarkan-Nya (Matius 28:19).
Kedua, Alkitab memberi kita berita untuk penginjilan dunia. Kovenan Lausane mendefenisikan penginjilan meurut beritanya. Pasal empat dimulai dengan: “menginjili berarti menyebarkan kabar baik bahwa Yesus Kristus telah mati untuk dosa kita dan dibangkitkan dari antara orang mati sesuai dengan Kitab Suci, dan bahwa sebagai Tuhan yang memerintah. Ia sekarang menawarkan pengampunan dosa dan karunia Roh Kudus yang membebaskan kepada semua yang bertobat dan percaya.”
Ketiga, Alkitab memberi kita model untuk penginjilan dunia. Melalui Alkitab, Allah sendiri sesungguhnya menginjili, yaitu mengkomunikasikan kabar baik kepada dunia. Kita teringat pernyataan Paulus tentang Kejadian 12:3 bahwa “Kitab Suci … telah terlebih dahulu memberitakan Injil kepada Abraham” (Galatia 3:8). Singkatnya, ketika Allah berkata kepada kita dalam Kitab Suci, Ia menggunakan bahasa manusia, dan ketika berkata kepada kita dalam Kristus, Ia mengambil rupa manusia. Untuk menyatakan dirinya, Ia mengosongkan dan juga merendahkan diri-Nya (Filipi 2:7-8). Inilah model penginjilan yang diberikan oleh Alkitab. Dalam semua penginjilan yang autentik, terdapat pengosongan diri dan perendahan diri; tanpa itu kita menyangkal  Injil dan menggambarkan Kristus yang kita beritakan secara keliru.
Keempat, Alkitab memberi kita kuasa untuk penginjilan dunia. Pertobatan dan pembaharuan orang Kristen tetap merupakan keajaiban kasih karunia Allah. Itu adalah puncak pertarungan kekuasaan antara Kristus dan iblis, atau (dalam perumpamaan apokoliptik yang gambling) antara Anak Domba dan Naga. Perampasan istana orang kuat  hanya mungki karena dia telah diikat oleh Ia yang masih lebih kuat, dan Ia yang melalui kematian dan kebangkitan-Nya melucuti dan membuang kerajaan-kerajaan dan kekuasaan-kekuasaan iblis (Matius 12:27-29; Lukas 11:20-22; Kolose 2:15).
Pandangan  Alkitab baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru menegaskan tentang misi. Ada tiga perikop dasar yang memperlihatkan bahwa Allah justru melakukan hal itu, yakni Kej 12:1-3;Kel 19:5-6; Mzm 67. Ketiga perikop ini begitu penting bagi pemahaman kita mengenai mandat missioner yang dirancang Allah untuk seluruh bangsa Israel sehingga tidak mungkin memahami PL dengan tepat tanpa melihat ketiga perikop ini dalam konteka misi. Dalam rencana dan maksud Allah, Israel selalu bertanggung jawab untuk menyampaikan kabar tentang kasih karunia Allah kepada bangsa-bangsa lain. Israel dimaksudkan sebagai bangsa yang menyampaikan Firman. Secara singkat, pesan perikop ini adalah panggilan Allah kepada kita untuk: 1) Menyatakan rencana-Nya untuk memberkati bangsa-bangsa (Kejadian 12:3); 2) berpartisipasi dalam keImaman-Nya sebagai perantara berkat itu (Keluaran 19:4-60); dan 3) membuktikan Maksud-Nya untuk memberkati semua bangsa (Mazmur  67).[2]
Kita harus merespon seperti yang dilakukan Abraham terhadap janji dan perintah Allah. Bagi Abraham, hal itu berarti meninggalkan dan berangkat, percaya dan menaati. Misi Allah menuntut meninggalkan dan berangkat, dan hal itu masih berlaku sekarang. Ada suatu debat kuno di kalangan para teolog biblika tentang apa perjanjian dengan Abraham itu tidak bersyarat atau bersyarat. Namun sebenarnya, itu terlalu menyederhanakan, karena dalam berbagai hal, yang terjadi adalah keduanya. Di satu sisi, perjanjian itu tidak bersyarat dalam arti tidak bergantung pada apa pun kondisi sebelumnya yang telah dipenuhi oleh Abraham. Allah hanya memberitahukan pilihan-Nya akan Abraham dan maksud-Nya yang mengagumkan untuk memberkati bangsa-bangsa melaluinya. Abraham tidak melakukan apa pun untuk layak menerima atau memicu tindakan dari pihak Allah itu. Namun di sisi lain, perkataan pertama Allah menyiratkan suatu syarat. Segala sesuatu bergantung pada perintah awalnya (Kejadian 12:1-4). Semua yang Allah janjikan berikutnya tergantung pada hal itu. Tidak pergi meninggalkan, tidak ada berkat. Jika Abraham tidak bangkit dan pergi ke Kanaan, jika ia tidak cukup memercayai Allah untuk menaatinya, kisahnya akan berakhir disana.[3] Penulis menegaskan bahwa misi Allah dalam Perjanjian Lama membutuhkan syarat ketaatan untuk mendapat berkat artinya dibahasakan seperti: “Apa yang dapat diterima Abraham apabila menaati perintah Allah”? dan Perjanjian Baru memiliki paradigma yang bergeser sesuai dengan keselamatan dalam Yesus Kristus, kita hanya dapat berkata, “Aku ini milikmu jadilah kehendak-Mu dan jadikan aku murid dan saksi-Mu”? Karena kita telah menjadi hamba yang ditebus dan harganya lunas dibayar. Yesus telah menyelesaikan semuanya dengan mati di atas kayu salib dengan taat sampai mati mengikuti kehendak Bapa. Hamba dalam Perjanjian Lama sama artinya dengan budak. Bedanya budak yang telah dimerdekakan di dalam Kristus. Kini kita tidak ada pilihan lagi untuk menjauhi Bapa karena kita milik-Nya dan keselamatan kekal hanya ada di dalam Yesus Kristus.


[1] John R. W. Stott, “Alkitab Dalam Penginjilan Dunia”  dalam Misi Menurut Perspektif Alkitab (Jakarta:Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2007), 9-17.
[2]  Walter C. Kaiser,Jr, “Panggilan Misioner Israel” dalam Misi Menurut Perspektif Alkitab (Jakarta:Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2007), 38.
             [3] Christopher J. H. Wright, Misi Umat Allah:Sebuah Teologi Biblika Tentang Misi Gereja (Jakarta, Literatur Perkantas, 2011), 96.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar