Sumber: Trubus, Nov 23, 2007;
http://www.pusatagroindustri.com/
Pada akhir 2006 Eka Bukit juga menggeluti bisnis bioetanol.
Baik biodiesel (sumber energi mobil bermesin diesel) maupun bioetanol alias
biopremium termasuk bahan bakar nabati yang bersumber dari tumbuhan. Sarjana
Teknik Industri alumnus Universitas Sumatera Utara itu memang tak mengolah dari
bahan mentah. Ia bekerja sama dengan puluhan produsen bioetanol skala rumahan
di Kabupaten Minahasa Selatan, Sulawesi Utara.
Masyarakat setempat secara turun-temurun piawai mengolah
nira aren menjadi etanol dengan peralatan sederhana. Karena terbiasa mengolah
etanol, teknologi produksi sangat mereka kuasai. Dengan demikian, Eka tak harus
menyuluh atau mengajari cara menyuling, misalnya. Bagi mereka, etanol nira aren
itu sebagai bahan minuman keras yang sohor dengan sebutan Cap Tikus. Malahan
minuman itu juga dikapalkan ke Papua.
Bioetanol produksi mereka berkadar etanol 35%. Untuk
menghasilkan satu liter perlu 9 liter nira. Padahal, bermacam industri seperti
farmasi dan kosmetik memerlukan etanol berkadar 99,6%. Eka kemudian memurnikan
hasil sulingan masyarakat Minahasa Selatan hingga diperoleh kadar etanol 99,6%.
Menurut perhitungan Eka, untuk menghasilkan 1 liter bioetanol 99,6%
menghabiskan 15 liter nira aren.
Di Minahasa Selatan yang menjadi sentra aren, harga seliter
nira Rp200. Untuk menghasilkan bioetanol Eka menghabiskan Rp3.000. Itu baru
untuk bahan baku. Dengan menghitung biaya proses, transpor Manado-Jakarta, dan
pajak, total biaya produksi untuk menghasilkan 1 liter bioetanol 99,6% mencapai
Rp4.700. Ongkos transpor Manado-Jakarta Rp700 per liter.
Pasar terbentang
Rata-rata produksi Kreatif Energi Indonesia 1-2 ton per hari
atau 20.000 ton per bulan. Kepada reporter Trubus Andretha Helmina, Eka Bukit
mengatakan bahwa volume penjualan bioetanol mencapai 1-2 ton per hari dengan
harga Rp6.500 per liter. Artinya, setiap hari ia mengutip laba bersih
Rp1.800.000-Rp3.600.000 atau Rp36-juta per bulan dari penjualan bioetanol skala
rumahan.
Memang produksinya belum dikonsumsi oleh kendaraan bermotor,
walau sudah memenuhi standar kualitas bahan bakar nabati. Namun, lantaran konsumen
bioetanol sangat luas, Eka baru sanggup memasok industri farmasi. ‘Pasarnya
luar biasa besar,’ ujar direktur operasional PT Kreatif Energi Indonesia itu.
Sebagai gambaran, hingga saat ini Eka belum sanggup melayani tingginya
permintaan bioetanol.
Setidaknya 255 ton permintaan rutin per bulan yang gagal
terpasok. Jika itu terlayani, tentu saja Eka bakal meraup laba bersih jauh
lebih besar. Oleh karena itu lajang kelahiran Medan 16 Juni 1972 itu kini
membuka pabrik pengolahan bioetanol di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Daerah
itu dipilih lantaran terdapat 14 kecamatan sentra aren dari total 22 kecamatan.
Lokasinya gampang dijangkau dari Jakarta dan relatif dekat.
Jarak yang dekat berarti memangkas biaya produksi, terutama
biaya pengangkutan. Di Lebak, Banten, bungsu 5 bersaudara itu juga menerapkan
pola kemitraan dengan masyarakat. Ia akan menampung seluruh produksi mereka
sepanjang memenuhi standar kualitas yang dipersyaratkan. Saat ini 14 kecamatan
itu menghasilkan 120 ton nira per pekan. Eka juga mengembangkan 7 ha sorgum
sebagai bahan baku. Anggota famili Gramineae itu memang potensial sebagai
penghasil biotenaol (baca: Tanaman Penyumbang Bahan Bakar halaman 22).
Itulah strategi Eka membangun kilang hijau. Kilang adalah
instalasi industri tempat pemurnian minyak bumi. Namun, kilang juga berarti
fermentasi air tebu atau nira. Proses itu harus dilalui ketika ia mengolah nira
menjadi bioetanol yang terus ia kembangkan. Ia sama sekali tak khawatir soal
pemasaran. Selama ada kehidupan, bioetanol tetap diperlukan: untuk minuman,
makanan, kosmetik, rokok, juga bahan bakar. (Sardi Duryatmo/Peliput: Andretha
Helmina). Sumber : Majalah Trubus
http://www.kaskus.co.id/thread/546d224a62088152348b4568/nira-aren-arenga-pinata-tanaman-penghasil-bio-ethanol-pengganti-bbm-fosil
Tidak ada komentar:
Posting Komentar