Apabila
pernikahan itu kita renungkan dari sudut Alkitab, maka haruslah kita mulai
dengan mengatakan bahwa pernikahan adalah suatu peraturan yang ditetapkan oleh Tuhan. Pernikahan adalah tata tertib
suci yang ditetapkan oleh Tuhan, Khalik langit dan bumi; di dalam peraturan
suci itu diaturnya hubungan antara pria dan wanita. Sejak “pada mulanya” pun
Tuhan menghendaki, supaya seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan
ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging
(Kejadian 2:24).
Dalam kitab Kejadian 2 tertulis: “Mereka keduanya
telanjang, manusia dan istrinya itu, tetapi mereka tidak merasa malu” (Kejadian
2:25). Tentang ayat itu Karl Barth pernah menulis kata-kata yang dalam sebagai
berikut: “Dengan mata terbuka, mereka adalah bagi masing-masing sebagaimana
mereka ada, yakni sebagai suami bagi istrinya, sebagai istri bagi suaminya”. Apakah
yang kemudian dilakukan oleh Tuhan dengan pernikahan sebagai peraturan suci
yang ditetapkanNya? Tuhan tidak membatalkan peraturan itu. DipertahankanNya
tata tertib itu. Tuhan tahu, bahwa tanpa peraturan itu akan kalutlah kehidupan
seksuil. Maka diantara segala bangsa dan segala agama serta kebudayaan terdapat
suatu kesadaran, bahwa pernikahan adalah suatu peraturan Tuhan untuk melindungi
masyarakat manusia terhadap kekalutan.
Yesus Kristus telah datang ke dunia
untuk menyelamatkan hidup manusia. Maka Ia datang untuk meyelamatkan kehidupan
pernikahan pula. Hal itu dapat kita lihat dalam cerita perjamuan nikah di Kana
(Yoh 2). Dosa mulai di dalam pernikahan Adam dan Hawa di Taman Firdaus. Dan
ketika Adam kedua, yakni Yesus Kristus datang, Ia mulai dengan pekerjaanNya
padasuatu pernikahan di Kana di tanah Galilea. Di situ terganggu kegembiraan
perayaan, karena kehabisan air anggur. Maka Yesus mengubah air menjadi air
anggur.
Maka perlu sekali diberitakan lagi
sejelas-jelasnya bahwa nikah adalah suatu tata tertib suci yang ditetapkan oleh
Tuhan. Ada hal-hal yang tidak berubah. Sejak semula hingga akhir zaman. Salah
satu hal yang asasi seorang wanita, hubungan yang sudah dikehendaki oleh Tuhan,
Sang Khalik dan yang diteguhkan oleh Kristus.
Pernikahan sebagai suatu peraturan
monogami. Menurut Tuhan Yesus, pernikahan di Firdaus itu adalah pernikahan asli
(Matius 19:3) dan pernikahan di Firdaus itu digambarkan di dalam Alkitab
sebagai suatu penyerahan seorang laki-laki kepada seorang wanita, penyerahan
seorang wanita kepada seorang laki-laki untuk seumur hidup. Pernikahan monogami
itu adalah pernikahan asli. Tetapi dalam Perjanjian Lama, bahwa gejala poligami
memasuki juga lingkungan orang-orang beriman. Oleh karena itu, orang
kadang-kadang menarik kesimpulan, bahwa di dalam Perjanjian Lama poligami itu
tidak terlarang, tetapi diterima dengan tiada yang menentangnya. Barangsiapa
membela pendapat yang demikian itu, ia tidak membaca kitab Perjanjian Lama dengan
baik. Sebab di dalam Perjanjian Lama permaduan/poligamipun dipandang sebagai bentuk pernikahan yang
merusak maksud Tuhan dengan nikah itu.
Pernikahan Abraham dengan Hagar,
digambarkan sebagai akibat keragu-raguan terhadap janji-janji Tuhan. Baik pada
Sara maupun pada Abraham sendiri. Kita lihat pula betapa kebahagiaan
pernikahan. Yakub terganggu oleh kecemburuan antara Rahel dan Lea. Kita
mendengar keluh kesah mengharukan dari mulut Hana, istri Elkana, karena
hubungan Elkana dengan Penina (1 Samuel 1 dan 2). Di dalam Perjanjian Baru oleh
Yesus Kristus dan oleh para rasul diberitahukan monogami itu tegas-tegas
sebagai tuntutan dan sebagai pemberian. Yesus mengingatkan kita kepada
pernikahan yang asli, sebagaimana adanya pada mulanya (Matius 19:3).
Apakah sebabnya di dalam Alkitab
monogami dibela sebagai tuntutan Tuhan dan sebagai pemberian Tuhan? Oleh karena
monogamy sajalah yang sesuai dengan agape,
kasih yang melayani. Istilah eros ialah
cinta birahi, yang Nampak gejalanya dalam nafsu seksuil. Pada hakikatnya cinta
birahi itu sendiri bukanlah dosa. Cinta birahi pun adalah sesuatu hal yang
dijadikan oleh Tuhan. Tuhan hendak memberikan tempat kepada cinta birahi itu di
dalam pernikahan. Tetapi cinta birahi itu haruslah dipimpin oleh agape, yakni kasih yang melayani,
memelihara, melindungi, dan mendukung. Agape
tidak mencari keuntungan diri sendiri, tidak menyampingkan keinginan akan
kebahagiaan perseorangan, tetapi menuju kepada kebahagiaan bersama, artinya ia
menolak poligami dan menerima monogami. Kasih
itu tidak berlaku senonoh. Makanya ditentangnya poligami, sebab poligami
adalah berlaku tak senonoh terhadap kawan hidup, dari hari ke hari dan dari
malam ke malam.
Dalam 1 Korintus 13 Paulus menulis
tentang agape. Ia menulis antara lain
sebagai berikut: Kasih itu penyayang,
tidak berlaku senonoh, tidak mencari keuntungan diri sendiri, tidak lekas marah
(1 Korintus 13:4a, 5b). Kasih itu berpanjangan sabar dan penyayang. Cinta
berahi sangat tidak sabar. JIka kawan
hidup itu sudah tua atau sakit-sakit saja, maka cinta berahi mengarahkan
nafsunya kepada kawan hidup yang lain. Tetapi kasih yang sejati itu
berpanjangan sabar terhadap kawan hidup dan dengan demikian terlindunglah
kebahagiaan hidup pernikahan.
Maksud Tuhan dengan pernikahan adalah
supaya pernikahan itu menjadi persekutuan
hidup. Persekutuan hidup ini meliputi seluruh kehidupan. Pernikahan itu
menjadi suatu kesempatan untuk member jawab kepada soal mereka masing-masing di
segala aspek kehidupan, suatu kesempatan untuk layan melayani dalam penyerahan
diri sepenuhnya kepada masing-masing.
Nafsu birahi dan persetubuhan antara
suami istri oleh Alkitab tidak dipandang sebagai suatu dosa, tetapi Alkitab
memandangnya sebagai anugerah Tuhan kepada manusia, sejak ia diciptakan.
Persetubuhan memunyai dua arti, yakni sebagai penyataan kasih secara badani,
dan kedua sebagai jalan untuk “mengembangbang biakkan” manusia. Rahasia
persetubuhan hanya boleh dialami bersama-sama dengan dia, yang kepadanya si
suami telah mengikat dirinya untuk seumur hidupnya. Dari persetubuhan itu
keluar suatu daya ikat. Kedua manusia itu telah membuka selubung rahasia
masing-masing, mereka pun bersetubuhlah dan selanjutnya bolehlah mereka
mengalami rahasia itu setiap kali pada persetubuhan di dalam persekutuan
pernikahan.
Kami ingin mengetegahkan tiga buah soal
persetubuhan dipandang dari sudut Alkitab.
Peringatan
yang pertama, mengenai cara melakukan persetubuhan. Tentang itu
Paulus member peringatan yang patutu kita perhatikan dalam surat Tesalonika (1
Tes 4:3-5). Berkatalah Paulus kepada orang-orang itu: “Karena inilah kehendak
Allah: pengudusanmu, yaitu supaya kamu menjauhi percabulan, supaya kamu
masing-masing mengambil seorang perempuan menjadi istrimu sendiri dan hidup di
alam pengudusan dan penghormatan, bukan di dalam keinginan hawa nafsu, seperti
yang dibuat oleh orang-orang yang tidak mengenal Allah”.
Peringatan yang
kedua, mengenai panggilan supaya di dalam persetubuhan itu pihak yang satu
selalu mempertenggangkan yang lain. “Hendaklah suami memenuhi kewajibannya
terhadap istrinya, demikian pula istri terhadap suaminya, demikian pula istri
terhadap suaminya. Istri tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, tetapi suaminya,
demikian pula suami tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, tetapi istrinya” (1
Korintus 7:3-4). Peringatan yang ketiga,
mengenai frekuensi persetubuhan. Tentang itu Alkitab tidak member
petunjuk-petunjuk. Alkitab hanya mengatakan, bahwa terlalu seringmengulangi persetubuhan
dapat mengganggu doa kita dan menghilangkan semangat kerja kita. Sebaliknya,
Paulus memberi nasihat rasulinya, supaya orang jangan terlalu lama menahan
diri atau bertarak, supaya iblis jangan menggodai kamu, karena kamu tidak tahan
bertarak” (1 Kor 7:5).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar