Memegang jabatan itu suatu mandat
yang diberikan dari Tuhan dan kepercayaan dari organisasi. Jabatan itu berisi
kekuasaan atau “power” yang menyertainya sehingga dia punya kuasa untuk
mengangkat atau memberhentikan, mempromosikan atau membiarkan pergi, kuasa atas
pemakaian anggaran atau keuangan, kekuatan untuk mengatur semua kebijakan dan
arah langkah organisasi. Di tangan pemimpin yang baik, maka organisasi akan
bertambah maju, tapi tidak demikian jika dipegang oleh pemimpin yang tidak
mengerti arti kepemimpinan yang sebenarnya. Tak sedikit lalu menjadi arogan,
menyingkirkan yang tidak disukai, nepotisme kekeluargaan dan pertemanan dalam
mengangkat seseorang, arah organisasi tidak jelas, keuangan diatur sesukanya
untuk kepentingan pribadi. Gaya ini disebut mentang-mentang yaitu karena merasa
punya kuasa maka dipakai seenak perutnya.
Mengapa itu terjadi? Memang
karena si pemimpin itu tidak pernah mau memahami hakikat inti dari arti
memimpin. Yesus sendiri sudah jelas sekali menyatakan bahwa memimpin itu artinya
melayani dan bukan dilayani. Memimpin artinya memberi yang terbaik bagi yang
dipimpin untuk kemuliaan Tuhan. Memimpin berarti menjadi pelayan. Sudah tidak
bisa dibengkokkan lagi arti memimpin. Pemimpin bukan penguasa otoriter, karena
pemimpin dinaikkan oleh suara peserta rapat bukan untuk menjadi Hitler, tapi
menjadi serupa dalam kepemimpinan Yesus. Hanya model kepemimpinan ini yang bisa
mengangkat sang pemimpin.
Artinya memimpin dengan melayani
adalah pemimpin yang banyak mendengarkan, berdialog sekalipun dengan orang yang
berbeda pendapat bahkan musuh sekalipun. Dia rela duduk di warung kopi untuk
bercakap secara informal untuk mendengarkan sang bawahan yang menangis
kepedihan dengan segala keluh dan kesahnya. Dia peduli penderitaan dan
bersama-sama merasakan kesusahan dan bertindak dengan tindakan nyata. Dalam
memutuskan sesuatu dia tidak mau sembunyi di balik kata “Menurut Peraturan”
karena sejatinya peraturan itu hanya alat mencapai tujuan organisasi. Jangan
peraturan itu diperalat untuk kepentingan sendiri atau menghancurkan orang.
Mungkin masalahnya adalah pemimpin tidak siap mendengarkan. Lagi-lagi, jangan
mentang-mentang berkuasa, maka suara di bawahan dianggap angin lalu. Jabatan
itu hanya sementara saja!
Nasihat terbaik adalah jangan
pernah memaksakan pendapat sendiri. Dalam organisasi yang sifatnya kolegial
(atau istilah gereja presbiterial) maka si pemimpin adalah orang yang
menghimpunkan dan menyatukan berbagai pendapat teman-teman dalam kepengurusan
secara bersama-sama. Ia perlu bermusyawarah untuk mencapai sebuah keputusan.
Diakui ini agak lama dan berat, tapi bila terus menerus berjumpa dalam dialog
yang sehat dan penuh kasih tanpa prasangka maka akan ditemukan sebuah komitmen
untuk saling memahami, saling menerima dan saling mengasihi. Jangan juga merasa
bahwa jika pendapat saya ditolak, lalu wibawa saya hilang. Tidak begitu arti
kepemimpinan. Pemimpin itu tidak tahu segalanya, maka dia membutuhkan masukan
dari banyak orang soal keputusan yang harus diambilnya. Alangkah eloknya sebuah
keputusan itu lahir dari sebuah kebersamaan.
Kadang pemimpin harus malu karena
sumber persembahan organisasi datang dari bawah tapi gaya kepemimpinan bersifat
otoriter dan tidak mau mendengarkan. Presiden sebuah negara saja dikritik jika
dia tidak bisa berdialog dan berkomunikasi serta melayani rakyatnya yang
notabene bayar pajak, mengapa pemimpin rohani merasa berbeda dalam prinsip
melayani? Seolah-olah pemimpin mau berkomunikasi “uangmu tidak bisa atur saya”.
Memang harus diingat bahwa pemimpin tidak boleh takluk dengan si pemberi
persembahan. Namun tidak elok bersikap ekstrim dengan merasa bahwa jabatan
pemimpin itu segalanya. Mendengarkan tidak sama dengan diatur orang. Itu adalah
dinamika di mana pemimpin harus berani mengungkapkan pendapatnya tanpa merasa ada
tekanan tapi pada saat yang sama penuh kasih melayani orang di bawah kekuasaan
si pemimpin. Jadi mendengarkan dan menerima pandangan adalah sebuah dinamika
untuk menemukan titik penyelesaian dan bukan bermaksud untuk diatur orang.
Jangan merasa rendah diri, apalagi tidak mau bicara di depan orang tapi di
belakang baru bicara. Pemimpin harus percaya diri bahwa dia adalah pemimpin
yang ditetapkan Tuhan. Hanya kemudian tetap diingat “Jangan mentang-mentang”.
Itu nasihat mentor saya almarhum Pendeta Peter Anggu. (DR)
Sumber: Daniel Ronda, “Jangan
Mentang-mentang,” diakses 28 September 2016, http://danielronda.com/index.php/artikelmateri-kuliah/187-jangan-mentang-mentang.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar