Good News

Minggu, 27 Agustus 2017

Rekonstruksi Pendidikan Berbasis Filsafat Ilmu Pengetahuan (Belajar Dari Pemikiran Ki Hajar Dewantara) oleh Hengki Wijaya

A.      Pendahuluan
Pendidikan zaman sekarang telah mengalami banyak pergeseran makna. Dalam hal ini manusia tidak lagi bebas bertumbuh dalam proses pendidikan dirinya menjadi manusia seutuhnya dengan segala hal dalam hidup. Pendidikan itu hidup karena manusia adalah manusia pembelajar. Apabila manusi berhenti belajar maka manusia tersebut telah mati sebelum waktunya. Keberadaan manusia pada zaman ini dipengaruhi oleh pola pikir yang keliru yang mengukur kehidupan ini adalah dengan istilah “to have” (apa saja materi yang dimilikinya) dan “to do” (apa saja yang telah berhasil/tidak berhasil dilakukannya) daripada keberadaan pribadi yang bersangkutan (“to be” atau “being”nya). Dengan kata lain ada permasalahan yang mendesak dalam diri manusia.
Saat ini ada pergeseran nilai-nilai di masyarakat Indonesia dalam memahami kondisi pendidikan yang carut marut. Indikasinya terlihat pada kegagalan membangun manusia yang seutuhnya. Terbukti adanya kebijakan pendidikan karakter yang menunjukkan bahwa pendidikan hanya mampu membangun manusia ‘pintar’ yang tidak cerdas lahir dan batin. Artinya arah pendidikan di Indonesia dalam hal mencerdaskan bangsa tertuju pada hasil dan bukan pada luaran manusia yang seutuhnya. Manusia seutuhnya apabila cerdas itu secara spiritual, intelektual dan bermoral. Melalui tulisan ini saya menegaskan argumen tentang rekonstruksi pendidikan berbasis filsafat ilmu pngetahuan dengan melihatnya dari aspek cipta, rasa dan karsa dengan berbasis pada aspek filsafat ilmu pengetahuan ditinjau dari hakikat ilmu pengetahuan (ontologis, epistemologis dan etika). Dan tulisan ini mengkaji secra singkat dengan belajar dari pemikiran Ki Hajar Dewantara.
B.       Ki Hajar Dewantara
Ki Hajar Dewantara menunjukkan perubahan sikapnya dalam melaksanakan pendidikan yaitu dari satria pinandita ke pinandita satria yaitu dari pahlawan yang berwatak guru spiritual ke guru spiritual yang berjiwa ksatria, yang mempersiapkan diri dan peserta didik untuk melindungi bangsa dan negara. Bagi Ki Hajar Dewantara, para guru hendaknya menjadi pribadi yang bermutu dalam kepribadian dan kerohanian, baru kemudian menyediakan diri untuk menjadi pahlawan dan juga menyiapkan para peserta didik untuk menjadi pembela nusa dan bangsa. Dengan kata lain, yang diutamakan sebagai pendidik pertama-tama adalah memiliki spiritualitas pribadi yang dapat diteladani oleh peserta didik. Apa yang diketahui oleh pendidik sudah terlebih dahulu menjadi pribadi yang rohani. Oleh karena itu, nama Ki Hajar Dewantara sendiri memiliki makna sebagai guru yang mengajarkan kebaikan, keluhuran, keutamaan (Asmuni, 2012; Soeratman, 1985, Suwariyanto, 1998). Sebagai pendidik yang merupakan perantara Tuhan maka guru sejati sebenarnya adalah berwatak pandita juga, yaitu mampu menyampaikan kehendak Tuhan dan membawa keselamatan bagi peserta didiknya.
C.       Rekontruksi Pendidikan: Spiritual Hidup Manusia
Rekonstruksi pendidikan yang ditawarkan oleh Ki Hajar Dewantara dilaksanakan dalam rangka kesempurnaan hidup manusia. Manusia memiliki daya jiwa yaitu cipta, karsa dan karya. Maka kesempurnaan hidup manusia itu jika terdapat pengembangan semua daya itu secara seimbang. Pengembangan yang terlalu menitikberatkan pada satu daya saja akan menghasilkan ketidakutuhan perkembangan sebagai manusia. Dan ternyata pendidikan sampai sekarang ini hanya menekankan pada pengembangan daya cipta, dan kurang memerhatikan pengembangan olah rasa dan karsa. Jika berlanjut terus akan menjadikan manusia yang tidak berkarakter (manusiawi) (Asmuni, 2012; Riyanto, 2010). Dengan demikian yang perlu direkonstruksi adalah keseimbangan kecerdasan intelektual, moral dan spiritual. Membangun karakter bangsa dengan semangat spiritualitas maka akan membangun daya cita yang sadar akan keberadaan Tuhan yang adalah sumber keseimbangan.
Tujuan pendidikan Indonesia adalah mencerdaskan bangsa. Dengan demikian manusia Indonesia adalah manusi merdeka. Artinya pendidikan tidak bertujuan memenjarakan kebebasan manusia. Manusia diberikan kebebasan untuk memilih pendidikan apa yang sesuai dengan kecerdasan yang dimiliki oleh peserta didik. Kemerdekaan ini baik secara fisik, mental dan kerohanian. Kemerdekaan pribadi atau dikenal dengan Free will  (kehendak bebas) ini dibatasi oleh tertib damainya kehidupan bersama dan hal ini mendukung sikap-sikap seperti keselarasan, kekeluargaan, musyawarah, toleransi, kebersamaan, demokrasi, tanggung jawab dan disiplin. Landasan filosofisnya adalah nasionalistik dan universalistik. Nasionalistik maksudnya adalah budaya nasional, bangsa yang merdeka dan independen baik secara politis, ekonomis, maupun spiritual yang kesemuanya itu mencerminkan karakter bangsa. Berasakan Pancasila membangun karakter bangsa. Universal artinya berdasarkan pada hukum alam (natural law) dan berlaku secara umum karena diterima oleh berbagai budaya dan bangsa. Prinsip dasarnya adalah kemerdekaan yang memberi dampak secara menyeluruh dan membangun manusia seutuhnya. Suasana yang dibutuhkan dalam dunia pendidikan adalah suasana yang berprinsip pada kekeluargaan, kebaikan hati, empati, kasih dan penghargaan terhadap masing-masing anggotanya. Maka hak setiap individu hendaknya dihormati; pendidikan hendaknya membantu peserta didik untuk menjadi merdeka dan independen secara fisik, mental dan spiritual; pendidikan hendaknya tidak hanya mengembangkan aspek intelektual sebab akan memisahkan dari orang kebanyakan; pendidikan hendaknya memperkaya setiap individu tetapi perbedaan antara masing-masing pribadi harus tetap dipertimbangkan; pendidikan hendaknya memperkuat rasa percaya diri, mengembangkan harga diri; setiap orang harus hidup sederhana dan guru hendaknya rela mengorbankan kepentingan-kepentingan pribadinya demi kebahagiaan para peserta didiknya. Peserta didik yang dihasilkan adalah luaran peserta didik yang berkepribadian merdeka, sehat fisik, sehat mental, cerdas, menjadi anggota masyarakat yang berguna, dan bertanggung jawab atas kebahagiaan dirinya dan kesejahteraan orang lain. Metode yang yang sesuai dengan sistem pendidikan ini adalah sistem among yaitu metode pengajaran dan pendidikan yang berdasarkan pada asih, asah dan asuh (care and dedication based on love). Yang dimaksud dengan manusia merdeka adalah seseorang yang mampu berkembang secara utuh dan selaras dari segala aspek kemanusiaannya dan yang mampu menghargai dan menghormati kemanusiaan setiap orang. Oleh karena itu bagi Ki Hajar Dewantara pepatah ini sangat tepat yaitu “educate the head, the heart, and the hand” (Asmuni, 2012). Manusia seutuhnya atau manusia yang seimbang adalah manusia yang menyeimbangkan ranah intelektual, afektif dan psikomotorik untuk mewujudkan kecerdasan spiritual, intelektual dan moral.
Ki Hajar Dewantara mengatakan bahwa pendidikan yang menekankan pada aspek intelektual belaka hanya akan menjauhkan peserta didik dari masyarakatnya. (Asmuni, 2012; Riyanto, 2010). Pemikiran Ki Hajar Dewantara ini sejalan dengan pemikiran Eduart Spranger (1950) yang melihat manusia sebagai makhluk jasmani dan rohani. Yang membedakan manusia dengan makhluk lain adalah aspek kerohaniannya. Manusia akan menjadi sungguh-sungguh manusia (utuh) kalau ia mengembangkan nilai-nilai rohani, yang meliputi: nilai pengetahuan, keagamaan, kesenian, ekonomi, kemasyarakatan dan politik (Asmuni, 2012; Suwariyanto, 1998). Artinya keberadaan manusia menjadi utuh apabila manusia menjadi pendidik atau peserta didik mengalami siklus rohani, intelektual, dan moral secara holistik (menyeluruh). Untuk mewujudkan pendidikan seutuhnya maka seorang pendidikan perlu mendahulukan dalam dirinya kecerdasan spiritual yang selanjutnya menunjukkan keteladan kepada peserta didiknya supaya tampak dalam aspek etika yang dalam tindakan dan perbuatannya (pendidik) yang dapat menjadi model atau gaya hidup peserta didik.
D.      Rekonstruksi Pendidikan: Perjumpaan dengan Ilmu Pengetahuan
Ki Hajar menekankan pentingnya peserta didik menyadari alasan dan tujuan ia belajar. Hal yang perlu dihindari bahwa pendidikan yang hanya menghasilkan orang yang sekadar menurut dan melakukan perintah (sendika dawuh). Ki Hajar mengartikan mendidik sebagai kesadaran dan usaha dengan sengaja untuk memajukan hidup tumbuhnya budi-pekerti (pikiran, rasa dan roh) dan memanusiakan peserta didik dengan jalan pengajaran, teladan dan pembiasaan. Pendidik adalah selain mengajar, juga memberi teladan dan membiasakan anak didik untuk menjadi manusia mandiri dan berperan dalam memajukan kehidupan manusia. Jika pun ada ganjaran dan hukuman, maka ganjaran dan hukuman itu harus datang sendiri sebagai hasil atau buahnya segala pekerjaan dan keadaan (Asmuni, 2012; Takwin, 2007). Pendidik memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk menjadi pembelajar yang mengetahui keberadaannya dan lingkungannya melalui apa yang dilihat, didengar (pikiran), merasakan (pengalaman atau perjumpaan), dan tindakan (moral atau etika). Kebebasan ini memberikan konsekuensi bagi segala tindakan yang diambil peserta didik yang akan memberikan pengalaman dan tidak sekadar teoritis yang tidak dialaminya sendiri.
E.       Rekonstruksi Pendidikan: Etika dalam Pengambilan Keputusan
Pengajaran harus bermuatan pendidikan, demikian juga sebaliknya pendidikan harus bermuatan pengajaran. Ki Hajarmengartikan pendidikan sebagai daya upaya memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup, yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya. Outcome-nya adalah “tringa” (ngerti, ngrasa, dan nglakoni) (Asmuni, 2012). Sinergi pendidikan yang berbasis filsafat ilmu pengetahuan adalah melibatkan ilmu-ilmu lain secara menyeluruh dalam pengambilan keputusan etis (moral). Peserta didik yang dapat mengambil keputusan etis karena sudah mempertimbangkan berbagai pendekatan ilmu-ilmu yang berhubungan dengan apa yang dipikirkan, dirasakan dan akan dilakukan maka akan memberikan dampak kepada manusia dan alam yang lebih baik. Maka harapan Ki Hajar Dewantara untuk pendidikan Indonesia yang memanusiakan manusia dapat terwujud dan pengaruh filsafat ilmu pengetahuan dapat mencerdaskan bangsa ini dengan kecerdasan spiritual (bersyukur), intelektual (sabar dalam pemikiran) dan akhirnya moral yaitu keikhlasan dalam bertindak sebagai usaha sadar dan sengaja karena pembiasaan dari proses berpikir spiritual yang berdampak pada akal/logika dan tindakan. Kecerdasan sipitual manusia menyebabkan pikiran, perasaan dan kehendak (tindakan) akan selaras dengan kehendak Tuhan dalam pengambilan keputusan etis.
F.        Simpulan
Rekonstruksi pendidikan berbasis filsafat ilmu pengetahuanmenitikberatkan pada tujuan menyeimbangkan aspek rohani dan jasmani (intelektual) yang berdampak pada aspek moral (etika) dalam hal ini pendidik dan peserta didik. Pendidik dan peserta bersama-sama mengalami perubahan hidup yang menyeluruh melalui proses pendidikan dengan tidak mengabaikan hubungan berbagai disiplin ilmu dan bermanfaat bagi keilmuan dan bagi masyarakat. Rekonstruksi pendidikan Indonesia bertujuan untuk membentuk manusia yang bersyukur, bersabar dan berakhlak mulia (moral dan etika). Memanusiakan manusia membentuk karakter bangsa yang kuat dan memperkuat kesatuan bangsa dan negara dalam kerangka NKRI dan Pancasila.

DAFTAR PUSTAKA
Asmuni. 2012. Rekontruksi Pendidikan Indonesia Berguru pada Ki Hajar Dewantara.  (Online), (dalam https://www.academia.edu/26146362/REKONSTRUKSI_PENDIDIKAN_INDONESIA_Berguru_pada_Ki_Hajar_Dewantara, diakses 8 Agustus 2017).

Riyanto, Theo. 2010. Pendidikan yang Humanis. (Online), (dalam http://bruderfic.or.id/ h-60/pendidikan-yang-humanis.html., diakses 7 Agustus 2017).

Soeratman, Darsiti. 1985. Ki Hajar Dewantara. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.

Suhartono, Suparlan. 2016. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Makassar: Badan Penerbit Universitas Negeri Makassar.

Suwariyanto, Theodorus. 1998. The Educational Philosophy of Ki Hajar Dewantara:
Naturalistic and Humanistic Education in Analitical Comparison, (Thesis). Manila, De la Salle University.

Takwin, Bagus. 2007. Konstruktivisme dalam Pemikiran Ki Hajar Dewantara. (Online), edisi 1 Desember 2007, (dalam http://tamansiswa.org/publikasi-mainmenu-29/pusaramainmenu-

       38/23, diakses 8 Agustus 2017).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar