A.
Pendahuluan
Pendidikan
zaman sekarang telah mengalami banyak pergeseran makna. Dalam hal ini manusia
tidak lagi bebas bertumbuh dalam proses pendidikan dirinya menjadi manusia
seutuhnya dengan segala hal dalam hidup. Pendidikan itu hidup karena manusia
adalah manusia pembelajar. Apabila manusi berhenti belajar maka manusia
tersebut telah mati sebelum waktunya. Keberadaan manusia pada zaman ini dipengaruhi
oleh pola pikir yang keliru yang mengukur kehidupan ini adalah dengan istilah
“to have” (apa saja materi yang dimilikinya) dan “to do” (apa saja yang telah
berhasil/tidak berhasil dilakukannya) daripada keberadaan pribadi yang
bersangkutan (“to be” atau “being”nya). Dengan kata lain ada permasalahan yang
mendesak dalam diri manusia.
Saat
ini ada pergeseran nilai-nilai di masyarakat Indonesia dalam memahami kondisi
pendidikan yang carut marut. Indikasinya terlihat pada kegagalan membangun
manusia yang seutuhnya. Terbukti adanya kebijakan pendidikan karakter yang
menunjukkan bahwa pendidikan hanya mampu membangun manusia ‘pintar’ yang tidak
cerdas lahir dan batin. Artinya arah pendidikan di Indonesia dalam hal
mencerdaskan bangsa tertuju pada hasil dan bukan pada luaran manusia yang
seutuhnya. Manusia seutuhnya apabila cerdas itu secara spiritual, intelektual
dan bermoral. Melalui tulisan ini saya menegaskan argumen tentang rekonstruksi
pendidikan berbasis filsafat ilmu pngetahuan dengan melihatnya dari aspek
cipta, rasa dan karsa dengan berbasis pada aspek filsafat ilmu pengetahuan
ditinjau dari hakikat ilmu pengetahuan (ontologis, epistemologis dan etika).
Dan tulisan ini mengkaji secra singkat dengan belajar dari pemikiran Ki Hajar
Dewantara.
B.
Ki Hajar Dewantara
Ki
Hajar Dewantara menunjukkan perubahan sikapnya dalam melaksanakan pendidikan
yaitu dari satria pinandita ke pinandita satria yaitu dari pahlawan
yang berwatak guru spiritual ke guru spiritual yang berjiwa ksatria, yang
mempersiapkan diri dan peserta didik untuk melindungi bangsa dan negara. Bagi
Ki Hajar Dewantara, para guru hendaknya menjadi pribadi yang bermutu dalam
kepribadian dan kerohanian, baru kemudian menyediakan diri untuk menjadi
pahlawan dan juga menyiapkan para peserta didik untuk menjadi pembela nusa dan
bangsa. Dengan kata lain, yang diutamakan sebagai pendidik pertama-tama adalah memiliki
spiritualitas pribadi yang dapat diteladani oleh peserta didik. Apa yang
diketahui oleh pendidik sudah terlebih dahulu menjadi pribadi yang rohani. Oleh
karena itu, nama Ki Hajar Dewantara sendiri memiliki makna sebagai guru yang
mengajarkan kebaikan, keluhuran, keutamaan (Asmuni, 2012;
Soeratman, 1985, Suwariyanto, 1998). Sebagai pendidik yang merupakan
perantara Tuhan maka guru sejati sebenarnya adalah berwatak pandita juga, yaitu
mampu menyampaikan kehendak Tuhan dan membawa keselamatan bagi peserta
didiknya.
C.
Rekontruksi Pendidikan: Spiritual Hidup Manusia
Rekonstruksi
pendidikan yang ditawarkan oleh Ki Hajar Dewantara dilaksanakan dalam rangka kesempurnaan
hidup manusia. Manusia memiliki daya jiwa yaitu cipta, karsa dan karya. Maka
kesempurnaan hidup manusia itu jika terdapat pengembangan semua daya itu secara
seimbang. Pengembangan yang terlalu menitikberatkan pada satu daya saja akan menghasilkan
ketidakutuhan perkembangan sebagai manusia. Dan ternyata pendidikan sampai
sekarang ini hanya menekankan pada pengembangan daya cipta, dan kurang memerhatikan
pengembangan olah rasa dan karsa. Jika berlanjut terus akan menjadikan manusia
yang tidak berkarakter (manusiawi) (Asmuni, 2012; Riyanto, 2010). Dengan
demikian yang perlu direkonstruksi adalah keseimbangan kecerdasan intelektual,
moral dan spiritual. Membangun karakter bangsa dengan semangat spiritualitas
maka akan membangun daya cita yang sadar akan keberadaan Tuhan yang adalah
sumber keseimbangan.
Tujuan
pendidikan Indonesia adalah mencerdaskan bangsa. Dengan demikian manusia
Indonesia adalah manusi merdeka. Artinya pendidikan tidak bertujuan
memenjarakan kebebasan manusia. Manusia diberikan kebebasan untuk memilih
pendidikan apa yang sesuai dengan kecerdasan yang dimiliki oleh peserta didik.
Kemerdekaan ini baik secara fisik, mental dan kerohanian. Kemerdekaan pribadi atau
dikenal dengan Free will (kehendak bebas) ini dibatasi oleh tertib
damainya kehidupan bersama dan hal ini mendukung sikap-sikap seperti
keselarasan, kekeluargaan, musyawarah, toleransi, kebersamaan, demokrasi,
tanggung jawab dan disiplin. Landasan filosofisnya adalah nasionalistik dan
universalistik. Nasionalistik maksudnya adalah budaya nasional, bangsa yang
merdeka dan independen baik secara politis, ekonomis, maupun spiritual yang
kesemuanya itu mencerminkan karakter bangsa. Berasakan Pancasila membangun
karakter bangsa. Universal artinya berdasarkan pada hukum alam (natural law)
dan berlaku secara umum karena diterima oleh berbagai budaya dan bangsa. Prinsip
dasarnya adalah kemerdekaan yang memberi dampak secara menyeluruh dan membangun
manusia seutuhnya. Suasana yang dibutuhkan dalam dunia pendidikan adalah
suasana yang berprinsip pada kekeluargaan, kebaikan hati, empati, kasih dan
penghargaan terhadap masing-masing anggotanya. Maka hak setiap individu
hendaknya dihormati; pendidikan hendaknya membantu peserta didik untuk menjadi
merdeka dan independen secara fisik, mental dan spiritual; pendidikan hendaknya
tidak hanya mengembangkan aspek intelektual sebab akan memisahkan dari orang
kebanyakan; pendidikan hendaknya memperkaya setiap individu tetapi perbedaan
antara masing-masing pribadi harus tetap dipertimbangkan; pendidikan hendaknya
memperkuat rasa percaya diri, mengembangkan harga diri; setiap orang harus
hidup sederhana dan guru hendaknya rela mengorbankan kepentingan-kepentingan
pribadinya demi kebahagiaan para peserta didiknya. Peserta didik yang
dihasilkan adalah luaran peserta didik yang berkepribadian merdeka, sehat
fisik, sehat mental, cerdas, menjadi anggota masyarakat yang berguna, dan
bertanggung jawab atas kebahagiaan dirinya dan kesejahteraan orang lain. Metode
yang yang sesuai dengan sistem pendidikan ini adalah sistem among yaitu metode
pengajaran dan pendidikan yang berdasarkan pada asih, asah dan asuh (care and
dedication based on love). Yang dimaksud dengan manusia merdeka adalah
seseorang yang mampu berkembang secara utuh dan selaras dari segala aspek
kemanusiaannya dan yang mampu menghargai dan menghormati kemanusiaan setiap
orang. Oleh karena itu bagi Ki Hajar Dewantara pepatah ini sangat tepat yaitu
“educate the head, the heart, and the hand” (Asmuni, 2012). Manusia seutuhnya
atau manusia yang seimbang adalah manusia yang menyeimbangkan ranah
intelektual, afektif dan psikomotorik untuk mewujudkan kecerdasan spiritual,
intelektual dan moral.
Ki
Hajar Dewantara mengatakan bahwa pendidikan yang menekankan pada aspek
intelektual belaka hanya akan menjauhkan peserta didik dari masyarakatnya. (Asmuni,
2012; Riyanto, 2010). Pemikiran Ki Hajar Dewantara ini sejalan dengan pemikiran
Eduart Spranger (1950) yang melihat manusia sebagai makhluk jasmani dan rohani.
Yang membedakan manusia dengan makhluk lain adalah aspek kerohaniannya. Manusia
akan menjadi sungguh-sungguh manusia (utuh) kalau ia mengembangkan nilai-nilai
rohani, yang meliputi: nilai pengetahuan, keagamaan, kesenian, ekonomi,
kemasyarakatan dan politik (Asmuni, 2012; Suwariyanto, 1998). Artinya
keberadaan manusia menjadi utuh apabila manusia menjadi pendidik atau peserta didik
mengalami siklus rohani, intelektual, dan moral secara holistik (menyeluruh).
Untuk mewujudkan pendidikan seutuhnya maka seorang pendidikan perlu
mendahulukan dalam dirinya kecerdasan spiritual yang selanjutnya menunjukkan
keteladan kepada peserta didiknya supaya tampak dalam aspek etika yang dalam
tindakan dan perbuatannya (pendidik) yang dapat menjadi model atau gaya hidup
peserta didik.
D.
Rekonstruksi Pendidikan: Perjumpaan dengan Ilmu Pengetahuan
Ki
Hajar menekankan pentingnya peserta didik menyadari alasan dan tujuan ia
belajar. Hal yang perlu dihindari bahwa pendidikan yang hanya menghasilkan
orang yang sekadar menurut dan melakukan perintah (sendika dawuh). Ki Hajar
mengartikan mendidik sebagai kesadaran dan usaha dengan sengaja untuk memajukan
hidup tumbuhnya budi-pekerti (pikiran, rasa dan roh) dan memanusiakan peserta
didik dengan jalan pengajaran, teladan dan pembiasaan. Pendidik adalah selain
mengajar, juga memberi teladan dan membiasakan anak didik untuk menjadi manusia
mandiri dan berperan dalam memajukan kehidupan manusia. Jika pun ada ganjaran
dan hukuman, maka ganjaran dan hukuman itu harus datang sendiri sebagai hasil
atau buahnya segala pekerjaan dan keadaan (Asmuni, 2012; Takwin, 2007).
Pendidik memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk menjadi pembelajar
yang mengetahui keberadaannya dan lingkungannya melalui apa yang dilihat,
didengar (pikiran), merasakan (pengalaman atau perjumpaan), dan tindakan (moral
atau etika). Kebebasan ini memberikan konsekuensi bagi segala tindakan yang
diambil peserta didik yang akan memberikan pengalaman dan tidak sekadar
teoritis yang tidak dialaminya sendiri.
E.
Rekonstruksi Pendidikan: Etika dalam Pengambilan
Keputusan
Pengajaran
harus bermuatan pendidikan, demikian juga sebaliknya pendidikan harus bermuatan
pengajaran. Ki Hajarmengartikan pendidikan sebagai daya upaya memajukan budi
pekerti, pikiran serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup,
yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya.
Outcome-nya adalah “tringa” (ngerti, ngrasa, dan nglakoni) (Asmuni, 2012).
Sinergi pendidikan yang berbasis filsafat ilmu pengetahuan adalah melibatkan
ilmu-ilmu lain secara menyeluruh dalam pengambilan keputusan etis (moral).
Peserta didik yang dapat mengambil keputusan etis karena sudah mempertimbangkan
berbagai pendekatan ilmu-ilmu yang berhubungan dengan apa yang dipikirkan,
dirasakan dan akan dilakukan maka akan memberikan dampak kepada manusia dan
alam yang lebih baik. Maka harapan Ki Hajar Dewantara untuk pendidikan
Indonesia yang memanusiakan manusia dapat terwujud dan pengaruh filsafat ilmu
pengetahuan dapat mencerdaskan bangsa ini dengan kecerdasan spiritual
(bersyukur), intelektual (sabar dalam pemikiran) dan akhirnya moral yaitu
keikhlasan dalam bertindak sebagai usaha sadar dan sengaja karena pembiasaan
dari proses berpikir spiritual yang berdampak pada akal/logika dan tindakan.
Kecerdasan sipitual manusia menyebabkan pikiran, perasaan dan kehendak
(tindakan) akan selaras dengan kehendak Tuhan dalam pengambilan keputusan etis.
F.
Simpulan
Rekonstruksi
pendidikan berbasis filsafat ilmu pengetahuanmenitikberatkan pada tujuan
menyeimbangkan aspek rohani dan jasmani (intelektual) yang berdampak pada aspek
moral (etika) dalam hal ini pendidik dan peserta didik. Pendidik dan peserta
bersama-sama mengalami perubahan hidup yang menyeluruh melalui proses
pendidikan dengan tidak mengabaikan hubungan berbagai disiplin ilmu dan
bermanfaat bagi keilmuan dan bagi masyarakat. Rekonstruksi pendidikan Indonesia
bertujuan untuk membentuk manusia yang bersyukur, bersabar dan berakhlak mulia
(moral dan etika). Memanusiakan manusia membentuk karakter bangsa yang kuat dan
memperkuat kesatuan bangsa dan negara dalam kerangka NKRI dan Pancasila.
DAFTAR
PUSTAKA
Asmuni.
2012. Rekontruksi Pendidikan Indonesia
Berguru pada Ki Hajar Dewantara. (Online), (dalam https://www.academia.edu/26146362/REKONSTRUKSI_PENDIDIKAN_INDONESIA_Berguru_pada_Ki_Hajar_Dewantara, diakses 8 Agustus
2017).
Riyanto,
Theo. 2010. Pendidikan yang Humanis. (Online), (dalam
http://bruderfic.or.id/ h-60/pendidikan-yang-humanis.html., diakses 7 Agustus
2017).
Soeratman, Darsiti. 1985. Ki Hajar Dewantara. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan
Kebudayaan.
Suhartono,
Suparlan. 2016. Filsafat Ilmu Pengetahuan.
Makassar: Badan Penerbit Universitas Negeri Makassar.
Suwariyanto, Theodorus. 1998. The Educational Philosophy of Ki Hajar
Dewantara:
Naturalistic
and Humanistic Education in Analitical Comparison, (Thesis). Manila, De
la Salle University.
Takwin,
Bagus. 2007. Konstruktivisme dalam Pemikiran Ki Hajar Dewantara.
(Online), edisi 1 Desember 2007, (dalam
http://tamansiswa.org/publikasi-mainmenu-29/pusaramainmenu-
38/23, diakses 8 Agustus 2017).